Tidak setiap orang Indonesia yang pergi ke Suriah punya niat bergabung dengan pasukan bersenjata ISIS. Ada banyak sebab. Namun, wacana memulangkan mereka menuai pro dan kontra di dalam negeri.
Ini kisah salah satu orang Indonesia yang pernah "terdampar" di wilayah konflik ISIS. Ini juga tentang pro-kontra pemulangan orang Indonesia yang pernah terlibat dan atau berada di wilayah konflik ISIS, termasuk anak-anak.
"ORANG yang di sana (Suriah) itu kan enggak semua motifnya full untuk perang jihad di sana. Ada banyak faktor... Ikut suaminya, ikut keluarganya, bawa orang tuanya."
Kalimat itu meluncur deras dari mulut WNI eks ISIS Febri Ramdani, yang ditemui Kompas.com di Pancoran Mas, Depok, Senin (24/2/2020).
"Tapi gimana? Masyarakat masih banyak yang menggeneralisasi orang sampai sana untuk jihad, perang. Enggak semuanya juga," lanjut dia.
Perbincangan kami pada malam itu membuka kembali ingatan lelaki ini saat memutuskan pergi ke Suriah empat tahun silam.
Percakapan itu juga membuka sudut pandang lain soal keputusan pemerintah yang tak memfasilitasi kepulangan para WNI eks ISIS dan teroris pelintas batas di Suriah dan sekitarnya.
Sambil menyeruput kopi dan ngemil kentang goreng, Febri menceritakan awal mula kepergiannya ke Suriah yang tak murni karena terpengaruh propaganda ISIS di dunia maya.
Keluarga lah yang menjadi alasan utama Febri bergabung dengan ISIS.
Keluarga inti Febri, yakni ibu dan saudara-saudaranya, berangkat lebih dulu karena termakan propaganda. Febri ditinggal sendirian.
Syok ditinggal sendirian, ia lalu mencari tahu apa yang ditawarkan ISIS sehingga membuat keluarganya rela menjual semua aset demi meninggalkan Tanah Air.
Usai menelusuri dan mempelajari propaganda di ISIS, Febri mulai terpengaruh untuk bergabung.
Setelah cukup lama mempelajari propaganda ISIS tersebut, Febri—yang tak sabar bertemu keluarganya kembali—mantap untuk berangkat ke sana.
Ia pun sempat meyakini ada masa depan yang menantinya di Suriah, khususnya di bidang pendidikan. Ia bahkan berencana melanjutkan kuliah sesampainya di sana.
"Push factor-nya keluarga. Ya propaganda itu sebagai pelengkap ya. Kayak saya tadi kan juga mau kuliah," kata Febri.
Dia lalu mengurai ragam propaganda yang disebarkan ISIS untuk memikat orang sesuai harapan dan bayangan masing-masing.
"Ada yang mau hidup di bawah syariah, ada mau dapat pekerjaan yang lebih baik, dapat fasilitas kesehatan, kerja. Saya juga selain ketemu keluarga di sana, ikut keluarga, pengin sekolah di sana, kuliah," lanjut dia.
Dengan bantuan kerabat, Febri berangkat ke Suriah. Butuh waktu setahun bagi Febri untuk bisa masuk ke Raqa dan bertemu keluarganya.
Ia terkatung-katung selama setahun di beberapa kota di Suriah sebelum bisa masuk ke markas ISIS di Raqa. Bahkan, Febri juga sempat ditangkap pihak keamanan sebelum masuk ke Raqa.
"Saya kan ke sana 2016. Masuk (markas) ISIS 2017. Sempat kemana-mana dulu. Ketangkap ke kota ini dulu," lanjut dia.
Sesampainya di markas ISIS, Febri justru tak melihat masa depan seperti propaganda yang dia dapatkan.
Justru, yang terlihat adalah banyak rumah hancur. Sepanjang hari ia juga harus mendengar dentuman bom. Beruntung, Febri berhasil bertemu keluarganya.
Mulanya, ISIS menempatkan mereka di flat kosong. Bangunan yang sudah setengah hancur itu jadi tempat tinggal mereka.
Febri mengaku, lebih banyak bersembunyi di tempat tinggalnya dan sedikit berinteraksi dengan warga sekitar.
Sebab, pasukan ISIS mengincar para laki-laki dewasa di wilayah mereka untuk dijadikan tentara. Tentara ISIS kerap datang ke flatnya dan memaksa Febri bergabung masuk ke pasukan militer.
Terkadang Febri sampai harus bersembunyi dari pasukan ISIS yang datang ke flatnya. Dia tak mau bergabung ke pasukan militer ISIS.
"Kalau kita banyak interaksi agak takut juga. Apalagi (kalau ketemu) orang Indonesia dan Malaysia, nanya-nanya ini dari mana, ada identitas di ISIS, 'Kamu gabung (pasukan) yang mana?' Kita ke kan sana enggak gabung buat perang, enggak gabung pasukannya," kata Febri.
Di sana Febri tak mendapati kampus yang layak sebagaimana didambakan. Jangankan pendidikan layak, alih-alih Febri tak mendapati pula fasilitas kesehatan yang layak.
Menurut Febri, fasilitas kesehatan dan pendidikan hanya diutamakan bagi mereka yang bergabung dengan milisi ISIS. Ini dia ketahui saat pura-pura sakit demi tak bergabung dengan milisi.
"Dibelakangin (pelayanannya kalau bukan ISIS). Yang penuh (dapat fasilitas) ya yang bergabung," ungkap Febri.
Dokter yang memeriksanya, tutur Febri, asal-asalan saja. Dia bahkan ragu orang itu betul-betul dokter atau bukan.
"Enggak diperiksa sama sekali sama dokter. Dilihat doang. (Jangankan) suruh kasih suntik segala macem, minimal kan pakai stetoskop, ini enggak," lanjut Febri.
Selama 10 bulan tak mendapatkan hal yang mereka harapkan dari propaganda ISIS, Febri dan keluarganya memutuskan kabur. Ini terjadi pada 2017.
Mereka menyerahkan diri kepada Pasukan Demokratik Suriah (SDF).
"SDF itu Syrian Demoratic Forces, waktu itu masih di-backup sama Amerika. Kami sempat ditahan dua bulan. Di penjara, waktu itu diinterogasi segala macam, keluarga, perempuan, dan anak-anak. Di kamp-nya," ujarnya.
Ia dan keluarganya menyewa jasa penduduk lokal untuk menyelundupkan mereka ke wilayah yang dikuasai SDF menggunakan mobil.
Sesampainya di sana, mereka langsung menyerahkan diri dan disambut todongan senjata.
"Menyerahkan diri, ditodong senjata. Masuk penjara dulu. Proses lama banget," kata Febri.
Febri dan keluarganya kemudian ditahan SDF selama dua bulan untuk dimintai keterangan karena berasal dari wilayah ISIS. Mereka diinterogasi terlebih dahulu karena paspor sebagai identitas mereka diambil penyelundup dan ISIS.
Menurut Febri, saat berada di SDF, pemerintah Indonesia pun mengetahui ada sejumlah WNI yang tertahan di sana.
Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri, kata dia, mendatangi para WNI dan mulai mendata dan mencari tahu motif mereka pergi ke Suriah.
Adapun WNI yang tertahan di SDF dari hasil pendataan Kemenlu dinyatakan bahwa mereka pergi ke Suriah bukan untuk perang. Dari situ, pemerintah memutuskan untuk memulangkan mereka ke Tanah Air.
"Dijemput waktu itu di wilayah Kurdistan, perbatasan Arab Saudi-Suriah. Waktu itu ada beberapa perwakilan dari Kementerian Luar Negeri, duta besar juga waktu itu. Kami dibawa ke Irak dulu beberapa hari di introgasi segala macam," jelasnya.
Setibanya di Indonesia, lanjut cerita Febri, ia harus menjalani program deradikalisasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama satu bulan.
Menurut Febri, sebelum deradikalisasi ada tahap pelepasan atau disengagement oleh BNPT. Ini adalah salah satu program untuk menghindarkan seseorang dari pengaruh radikalisme.
Namun, ia memberi catatan kepada BNPT agar tidak terlalu mendorong seseorang yang terpapar radikalisme untuk serta-merta berubah menjadi lebih nasionalis.
Febri menyarankan, BNPT lebih sering mengajak para WNI eks anggota ISIS untuk berdialog dan berdiskusi agar radikalisme itu berangsur hilang.
"Karena masalah ideologi, susah ya. Mereka di sana bertahun-tahun terdoktrin. Kalau kita langsung saklek dalam waktu dekat bisa langsung berubah, kan susah," ujar dia.
Selama satu bulan, Febri dan keluarganya juga mendapat pelatihan wirausaha dan bantuan psikologis dari BNPT. "Ada beberapa psikolog, kami diajak diskusi," tutur dia.
Pelatihan wirausaha yang diberikan BNPT, kata dia, dimaksudkan untuk menjadi bekal bagi dia dan keluarganya saat kembali berbaur ke masyarakat.
"Karena kami kan sudah pergi ke sana (Suriah), sudah enggak punya apa-apa lagi. Kami jual semua aset. Kembali seperti awal," ujar Febri.
Lalu, setelah satu bulan melewati program deradikalisasi, BNPT menyediakan rumah sewa untuk Febri dan keluarga.
"Ya, alhamdulillah, pas kami balik disewain rumah sama BNPT karena kami enggak ada rumah lagi," ujar Febri.
Menurut Febri, sebelum ia dan keluarganya bertempat tinggal di wilayah Depok, Jawa Barat, BNPT sudah melakukan penyuluhan kepada tokoh-tokoh masyarakat agar dapat menerima mereka.
"BNPT ketemu lurah, camat, RT, RW. Ya mereka mau menerima waktu itu," lanjut dia.
Febri pun mengomentari sikap pemerintah yang tak memulangkan para WNI eks ISIS di Suriah.
Ia menghormati sikap pemerintah yang bertujuan untuk melindungi 260 juta warga negara di Indonesia.
Namun, ia menilai ada bahaya lebih besar yang mengintai jika mereka tidal dipulangkan dan diproses hukum di Indonesia.
Mereka, kata Febri, bisa saja pulang diam-diam tanpa sepengetahuan pemerintah, bahkan lewat jalur ilegal kalau perlu. Penolakan pemulangan juga dapat memunculkan kemarahan dan rasa dendam kepada pemerintah.
"(Kalau sudah ada dendam itu), malah mungkin kecenderungan melakukan aksi lagi di sini. Saya kembalikanlah semuanya ke pemerintah," ujar dia.
Padahal, ulang Febri, tak semua WNI bergabung ke ISIS untuk berperang. Dirinya sendiri jadi contoh. Banyak di antara mereka yang pergi karena alasan keluarga atau bahkan dibohongi.
Karenanya, dia meminta masyarakat tak menggeneralisasi seluruh WNI yang pergi ke Suriah adalah untuk berperang. Ini harus dilihat lagi secara lebih obyektif, agar hidup orang tak bersalah tak hancur karena generalisasi.
"Banyak yang sekadar ikut-ikutan (keluarga). Malah ada yang awalnya mau pergi ke mana (lalu) ditipu terus sampai-sampai di sana (Suriah). Balik-balik (ke Indonesia) kena stigma," ucap Febri.
PADA pertengahan Februari 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, Pemerintah Indonesia tidak akan memulangkan terduga teroris pelintas batas atau WNI yang terlibat ISIS.
"Pemerintah tidak memiliki rencana untuk memulangkan orang-orang yang ada di sana, ISIS eks WNI," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Orang-orang ini tidak hanya ada di Suriah tetapi tersebar juga di beberapa negara Timur Tengah.
Presiden Jokowi meminta pula para WNI yang pernah tergabung ke ISIS ini dikenakan tindakan cegah dan tangkal di keimigrasian.
Lalu, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan HAM Mahfud MD menegaskan bahwa pemerintah sedang memproses blokir paspor WNI eks ISIS.
Namun, keputusan pemerintah untuk tidak memulangkan para WNI eks ISIS ini menuai beragam tanggapan.
Setara Institute menilai keputusan pemerintah soal menolak memulangkan WNI eks ISIS terkesan populis dan terburu-buru.
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan ketergesa-gesaan itu jelas merupakan pendekatan yang salah.
"Kebijakan untuk tidak memulangkan itu kan populer sekali karena kecenderungan publik kita sangat emosional dan itu masuk akal," ujar Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan kepada Kompas.com Senin (24/2/2020).
Meski sepakat bahwa keamanan nasional harus diutamakan, dia menilai Pemerintah Indonesia juga tidak bisa mengabaikan peran menjaga ketertiban dunia.
Tidak memulangkan para WNI eks ISIS, kata dia, Indonesia dapat dianggap berperan mendorong teroris global yang baru.
"Kalau kita membiarkan orang-orang di situ artinya kita ikut berkontribusi untuk memproduksi teroris global. Memang tidak di sini tapi di dunia. Bisa jadi di Suriah, Iran, dan Irak, " tutur Halili.
Secara etik dan moral, kata dia, Indonesia punya tanggung jawab untuk mengambil peran perdamaian ini.
"Ketika isu ini diputuskan dengan tergesa-gesa maka itu pendepakatan yang salah. Ini cenderung reaksioner, emosional, bahkan cenderung mengedepankan popularitas politik," tegas dia.
Halili menyarankan, Indonesia terlebih dulu mengirimkan tim advance (tim survei) ke lokasi para WNI eks ISIS itu saat ini berada. Tim ini disarankan terjun langsung ke Suriah, utamanya daerah Suriah Timur.
"WNI yang 689 (kini menurut pemerintah berjumlah 699) itu lebih banyak ada di Suriah Timur. Di kamp penampungan," ungkap dia.
Pandangan berbeda disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana.
Menurut dia, para WNI yang tergabung dalam ISIS sebenarnya telah kehilangan kewarganegaraan berdasarkan Pasal 23 UU Nomor 12 Tahun 2016 tentang Kewarganegaraan.
Isi pasal tersebut merinci penyebab WNI kehilangan kewarganegaraannya. Terkait kasus WNI eks ISIS, ujar Hikmahanto, mereka memenuhi klausul dalam huruf (d) dan huruf (f) dari Pasal 23 UU Kewarganegaraan tersebut.
Huruf (d) menyebutkan, kehilangan kewarganegaraan disebabkan karena masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden.
Adapun huruf (f) menyebutkan klausul secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
Meski begitu, Hikmahanto menyebut status kewarganegaran tetap dapat dipulihkan. Tentu, ada syaratnya.
"Kewarganegaraan mereka bisa saja dikembalikan namun mereka wajib mengikuti prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan," ujar Hikmahanto ketika dikonfirmasi Kompas.com, Sabtu (29/2/2020).
Lebih lanjut Hikmahanto menjelaskan, pemerintah harus jeli melihat satu per satu kondisi 699 WNI yang saat ini masih berada di wilayah Suriah dan Irak itu.
Dia menduga, kondisi mereka beragam. Misalnya, ada yang sudah membakar paspor Indonesia mereka tetapi ada juga yang belum.
Lalu, dari ratusan WNI itu bisa dikelompokkan lagi dengan kriteria lebih detail.
Contohnya, ada yang sudah tidak mau tinggal di Suriah atau Irak dan tidak mau lagi berhubungan dengan ISIS.
Kemudian, ada lagi yang ingin meninggalkan Suriah atau Irak tetapi ingin menyebarkan paham ISIS di Tanah Air.
Pengelompokan ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi mereka masuk kembali ke Indonesia lewat jalur tak resmi, membeli paspor, atau menggunakan paspor negara lain.
Menurut Hikmahanto, sebenarnya sangat kecil kemungkinan para WNI eks ISIS itu masuk kembali ke Indonesia lewat jalur tak resmi atau jalan tikus.
"Tapi kalau mereka kok terus tiba-tiba ada di Indonesia, terhadap mereka ini harus dilakukan lagi pengecekan. Apakah mereka ini sudah dianggap hilang kewarganegaraannya? Kalau misalnya hilang ya harus pewarganegaraan lagi," kata dia.
Harus dicek pula, lanjut Hikmahanto, apakah para WNI eks ISIS ini punya keterlibatan khusus juga selama ada di Suriah atau Irak.
"Kalau misalnya mereka adalah FTF nah maka ini harus ada hukuman (diproses hukum) dan harus ada deradikalisasi," ujar salah satu mantan Dekan FHUI ini.
Hikmahanto menegaskan, pengecekan ulang terhadap para WNI eks ISIS harus benar-benar dilakukan kasus per kasus, tidak dapat digeneralisasi.
"Ini bukan orang yang (mau pulang ke Indonesia karena) tertular virus corona atau overstay (melewati masa tinggal di luar negeri). Mereka punya paham. Pemerintah itu (juga) harus menjaga keselamatan 270 juta rakyat dan eksistensi NKRI, " ujar dia.
SALAH satu desakan yang mencuat di publik adalah memulangkan anak-anak dari WNI eks anggota ISIS. Meski demikian, sejumlah pandangan tetap meminta pemerintah tak begitu saja memulangkan anak-anak ini.
Hikmahanto, misalnya, berpendapat, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan khusus bila hendak memulangkan anak-anak ini. Di dalamnya, sebut dia, tercakup rehabilitasi yang multidimensi.
Itu pun, menurut Hikmahanto ada tiga kriteria yang harus terlebih dahulu dilakukan terkait kemungkinan pemulangan anak-anak WNI eks ISIS.
Pertama, sebut Hikmahanto, harus dicek apakah anak-anak ini masih bersama orangtuanya atau tidak.
"Kalau misalnya masih, pemerintah kan artinya memisahkan orangtua dengan anak," kata dia.
Jika kondisinya seperti ini, dia menyarankan pemerintah harus berhati-hati agar jangan sampai menimbulkan kesan secara paksa memisahkan orangtua dengan anaknya.
Kedua, lanjut dia, pemerintah harus memastikan siapa yang akan mengurus anak tersebut bila dibawa pulang ke Indonesia.
"Apakah keluarga besar dari anak itu, ataukah negara? Kalau negara, itu nanti ke mana?" tanya dia.
Ketiga, Hikmahanto berpendapat, pemulangan hanya dapat dilakukan terhadap anak-anak yang berusia maksimal 8 tahun.
Jika anak-anak yang hendak dipulangkan berusia lebih dari 8 tahun, lanjut dia, perlu dilakukan lagi pengecekan apakah mereka sudah mendapat pelatihan dari ISIS atau belum.
"(Harus dicek juga apakah) sudah dimatikan rasa kemanusiaannya sehingga dia tega melakukan tindakan yang sangat keji," tambah dia.
Kalau memang anak-anak dari WNI eks ISIS tersebut harus dipulangkan, lanjut Hikmahanto, pemerintah harus benar-benar punya program deradikalisasi yang tepat, sesuai dengan indoktrinasi ISIS yang mungkin telah didapat anak-anak ini.
Contoh, jika ISIS memberikan doktrin bahwa membunuh orang yang dianggap kafir bisa membawa ke surga maka pemerintah sebaiknya mengajarkan bahwa surga bisa dicapai dengan menjalani hidup yang damai dengan orang lain.
"Karena surga harus dilawan dengan surga. Jangan kemudian doktrin surga dilawan dengan dikasih pekerjaan atau yang lain," kata dia.
Sementara itu, Halili Hasan juga berpendapat bahwa pemulangan anak-anak dari WNI eks ISIS memang harus mendapat perhatian serius oleh negara.
Halili mengkritisi rencana pemerintah yang hanya akan memulangkan anak-anak yang yatim piatu.
Menurut dia, dalam konteks ini, anak-anak merupakan korban dari sistem yang dibuat oleh orang dewasa, termasuk preferensi orangtua.
"Karena mereka korban maka negara yang harus mengambil alih secara proaktif untuk merehabilitasi mereka," tegas Halili.
Bila terlalu lama dibiarkan tinggal di eks wilayah ISIS, lanjut dia, anak-anak ini pun akan terdampak lebih buruk lagi. Perbaikannya pun akan lebih sulit.
Lalu, Halili menyarankan pemerintah mengidentifikasi keluarga besar dari anak-anak tersebut. Jika memang dipulangkan, rehabilitasi yang didapat pun tak sekadar deradikalisasi.
"Yang rasional adalah mencangkokkan rehabilitasi medis, fisik, dan mental anak-anak ini ke dalam keluarga besarnya," ujar Halili.
Dengan pendekatan tersebut, program rehabilitasi pun harus mencakup konseling psikis dan dilakukan secara komprehensif.
Presiden Joko Widodo sudah membuat pernyataan tak akan memulangkan WNI eks ISIS.
Meski begitu, sejumlah langkah juga telah lebih dahulu dilakukan oleh otoritas yang terkait langsung dengan isu ini.
Upaya pengecekan adalah salah satu yang telah diupayakan, sekalipun tak mudah. Bahkan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius mengatakan, tidak mudah masuk ke wilayah Suriah.
Terlebih lagi, kelompok ISIS menyebar di tiga kamp berbeda di Suriah, yaitu Al-Hol, Al-Roj, dan Ein Issa. Sudah begitu, pengawasan atas ketiga kamp tersebut berada dalam tiga otoritas yang berbeda pula, yaitu Pasukan Demokratik Suriah atau Syrian Democratic Force (SDF), Pemerintah Suriah, dan kelompok Kurdistan.
“Jadi, bayangkan, segitu banyak otoritasnya. Makanya kami minta bantuan teman-teman, termasuk intelijen UEA, karena mereka punya akses,” tutur Suhardi.
Sementara itu, Deputi bidang Kerja Sama Internasional BNPT Andhika Chrisnayudhanto mengatakan, setiap negara, termasuk Indonesia, memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak yang menjadi korban eksploitasi teroris.
Ketentuan itu, sebut Andhika, termaktub dalam Hukum Humaniter Internasional.
Referensi tentang hukum sengketa bersenjata atau hukum perang ini antara lain dapat dibaca di sini, berupa materi pelatihan yang pernah diterbitkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
Karena itu, lanjut Andhika, pemerintah tetap berupaya memulangkan anak-anak dari WNI eks ISIS. Itu pun, tegas dia, ada sejumlah syarat termasuk batasan usia di bawah 10 tahun.
Dalam hal ini, bila ada anak-anak yang direkrut kelompok teroris di wilayah konflik untuk menjadi bagian dari mereka maka anak-anak digolongkan sebagai korban.
“Sehingga, kalau kita lihat sendiri, jadi ada kewajiban negara-negara secara internasional bahwa mereka harus memberikan perlindungan,” kata Andhika di Jakarta, Jumat (7/2/2020).
Meski demikian, pemerintah perlu memastikan kembali kebenaran informasi yang diperoleh dari komunitas intelijen internasional selama ini mengenai keberadaan eks-ISIS asal Indonesia, termasuk anak-anaknya.
“Kalau kami lihat dari segi jumlah yang ada di kamp itu kan mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Khusus yang anak-anak ini memang bisa dilihat dari berbagai segi,” ujar dia.
Itu pun, mantan pimpinan Jamaah Anshorud Tauhid (JAT) Jakarta yang juga mantan narapidana terorisme Haris Amir Falah memperingatkan pemerintah untuk tetap berhati-hati.
Haris mengatakan, usia anak-anak tidak menjamin bahwa mereka belum terkena paham radikal dan kekerasan.
"Jangankan remaja, (usia) di bawah itu pun banyak juga yang sudah terpapar dan mereka sudah dilatih bahkan, tapi saya tidak anggap semuanya, ada beberapa," kata Haris dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Sabtu (7/3/2020).
Haris menuturkan, usia bukan menjadi halangan bagi seseorang untuk terpapar paham radikalisme. Dia mencontohkan, ada seorang anak SD yang menganggap orangtuanya kafir sepulang dari sebuah pondok pesantren.
"Ini anak belum baligh, belum kena hukum, tapi dengan doktrin yang luar biasa ada perubahan seperti itu," kata Haris.
Haris juga mengatakan, hal serupa berlaku pada perempuan WNI eks ISIS dan teroris lintas batas.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, data terkini mendapati ada 1.276 WNI eks anggota ISIS yang berada di Suriah dan sekitarnya. Dari jumlah itu, lanjut dia, hanya 297 yang masih memiliki paspor dan data lengkap.
"Berkembang data yang awalnya 689, terakhir pengembangannya sampai hari kemarin dengan BNPT dan Densus 1.276 orang, dan tervalidasi memiliki paspor Indonesia datanya lengkap 297 orang," kata Yasonna dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, akhir Februari 2020.