JEO - News

DPR vs KPK:
Catatan dan Preseden
Pansus Angket KPK

Rabu, 28 Februari 2018 | 14:17 WIB

ANTIKLIMAKS. Begitu kira-kira ujung kerja Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, kehadiran Pansus ini sudah menerakan pula preseden buruk bagi demokrasi dan penegakan hukum, tak hanya bagi KPK.

Pansus Angket KPK berakhir setelah penyampaian hasil kerja berupa rekomendasi dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (14/2/2018). Tanpa ada perdebatan antaranggota Dewan, DPR menyetujui rekomendasi tersebut. Isinya pun relatif melunak. 

Sebagian besar rekomendasi Pansus Angket KPK bersifat normatif.

Tak tergambar ketegangan DPR vs KPK yang sebelumnya muncul. Sebagian besar rekomendasi bersifat normatif. Hanya satu poin yang disorot publik dari rekomendasi tersebut, yakni usul pembentukan lembaga pengawas independen.

"Kepada KPK disarankan melalui mekanisme yang diatur sendiri oleh KPK membentuk lembaga pengawas independen yang beranggotakan dari unsur internal KPK dan eksternal yang berasal dari tokoh-tokoh yang berintegritas dalam kerangka terciptanya check and balances," ucap Ketua Pansus Angket Agun Gunandjar Sudarsa yang membacakan rekomendasi.

Wacana pengawasan atas KPK bukan kali pertama ini mencuat. DPR sejak dulu telah mewacanakan adanya pengawas eksternal di KPK. Pembentukan Dewan Pengawas bahkan sempat muncul dalam draf revisi UU KPK.

Namun, usulan soal Dewan Pengawas tersebut ditangkap negatif oleh publik. Terlebih lagi, ada tambahan aturan bahwa KPK nantinya hanya bisa menyadap bila mendapat izin Dewan Pengawas.

Kini—dengan alasan tak ingin kembali disorot miring—Pansus Angket menyerahkan sepenuhnya mekanisme pembentukan lembaga pengawas kepada KPK.

"(Pembentukan lembaga pengawas ini) kami rekomendasikan ke KPK. Karena, kalau kami atur, saya di-bully lagi. Ketika kami ingin membentuk lembaga pengawas dari luar, kan di-bully, meskipun masih dilempar dalam bentuk wacana, kan," ucap Agun.

Rekomendasi Pansus Angket KPK

Bukan berarti wacana ini lalu mulus meluncur. Menanggapi usulan tersebut, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, KPK sudah memiliki pengawas baik dari internal maupun eksternal KPK.

Pengawas eksternal KPK pun sudah mencakup DPR dan Badan Pengawas Keuangan (BPK).

"Pengawasan secara keseluruhan itu dilakukan oleh publik. Jadi kalau dikatakan pengawasan terhadap KPK tidak optimal, nah, kita perlu lihat siapa pihak pengawas yang tidak optimal melaksanakan tugasnya," ujar Febri.

Febri memberi contoh, ketika pimpinan KPK diduga melakukan pelanggaran kode etik maka ada mekanisme pengawasan eksternal yang disebut dengan komite etik. Struktur di dalam komite etik didominasi mereka yang berasal dari pihak luar KPK.

Adapun untuk pengawasan internal, KPK memiliki Deputi Bidang Pengaduan Masyarakat dan Pengawas Internal yang berada langsung di bawah pimpinan KPK.

Karena pengawas internal dan eksternal sudah ada, KPK menilai tidak perlu lagi dibentuk lembaga pengawas lainnya.

Gara-gara kicauan Miryam

Pansus Angket terbentuk berawal dari kegeraman para anggota DPR atas pernyataan penyidik senior KPK, Novel Baswedan, dalam persidangan kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP).

Novel menyebut, mantan anggota Komisi II DPR Miryam S Haryani—salah satu terdakwa dalam perkara tersebut—mengaku diancam sejumlah anggota DPR periode 2009-2014. Miryam buka suara kepada penyidik soal ancaman itu saat pertama kali diperiksa KPK pada 1 Desember 2016, terkait kasus tersebut.

Menurut Miryam seperti ditirukan Novel, para koleganya di DPR melontarkan ancaman terkait pembagian uang proyek e-KTP. Mereka menginginkan Miryam tak menyebutkan adanya pembagian uang. Sejumlah nama yang disebut Miryam adalah Bambang Soesatyo, Aziz Syamsuddin, Desmond Junaidi Mahesa, Masinton Pasaribu, dan Sarifuddin Sudding.

Para politisi di Komisi III DPR tersebut sontak bereaksi. Mereka membantah menekan Miryam. Dalam rapat dengan KPK, Komisi III DPR mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam. Jika KPK menolak, maka DPR akan menggunakan hak angket. KPK menolak. Rekamam dinyatakan hanya akan dibuka dalam persidangan.

Jika bukti-bukti termasuk rekaman penyidikan dibuka, hal itu dianggap berisiko menghambat penuntasan kasus korupsi proyek e-KTP. Buntutnya, bergulir wacana pembentukan Pansus Hak Angket. Usul itu disetujui DPR dalam rapat paripurna pada Kamis (28/4/2017) yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.

Saat itu, Fahri tak memberi kesempatan fraksi yang tidak setuju untuk bersuara. Meski ada gelagat suara penolakan, dia tetap saja mengetuk palu sidang, tanda disepakatinya penggunaan hak angket DPR. Tercatat, 26 anggota DPR dari delapan fraksi menandatangani usulan hak angket tersebut.

Pengusul Hak Angket KPK di DPR

Struktur Pansus Angket kemudian disusun. Tujuh fraksi di DPR mengirimkan nama perwakilan anggotanya, yakni Fraksi PDI-P, Golkar, PPP, Nasdem, Hanura, PAN, dan Gerindra. Adapun Fraksi Demokrat, PKB, dan PKS tidak mengirimkan perwakilan.

Anggota Pansus Angket KPK

Pansus cacat hukum dan putusan MK

Pengesahan pembentukan Pansus Angket kemudian dilaporkan Koalisi Tolak Hak Angket KPK ke Mahkamah Kehormatan DPR. Legalitas pembentukan Pansus Angket juga dianggap tak sah.

Berdasarkan kajian para pakar dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) bersama Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, pembentukan Pansus Angket cacat hukum.

Kajian yang ditandatangani 132 pakar hukum tata negara tersebut diserahkan ke KPK.

Pansus Angket KPK Dinilai Cacat Hukum

Meski menuai banyak kritik, Pansus Angket tetap memanggil sejumlah pihak. Mereka menganggap pembentukan Pansus sah.

Sejumlah polemik pun muncul selama Pansus Angket bergulir. Bersamaan, Komisi III DPR juga mempermasalahkan hal yang sama. Berikut ini rangkumannya dalam tampilan interaktif:

Upaya menghentikan guliran Pansus Angket KPK juga datang dari sejumlah pegawai KPK melalui jalur uji materi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK), tepatnya menguji Pasal 79 ayat (3) UU MD3.

Namun, MK menolak gugatan tersebut pada 8 Februari 2018, meski diwarnai beda pendapat dari empat hakimnya. Dengan putusan ini, MK menyatakan hak angket KPK yang dibentuk DPR adalah sah. Berdasarkan suara mayoritas hakim, MK memutuskan KPK adalah lembaga eksekutif.

Adapun empat hakim konstitusi yang memberikan dissenting opinion (pendapat berbeda) dalam putusan tersebut menyatakan, KPK adalah lembaga independen sehingga tak termasuk wilayah eksekutif. Karenanya, DPR seharusnya tak bisa menggunakan hak angket terhadap KPK.

Pendapat Berbeda di Mahkamah Konstitusi soal Status Kelembagaan KPK

Preseden buruk

Pakar hukum tata negara Refly Harun berpendapat, putusan MK yang menganggap KPK merupakan bagian dari eksekutif akan menjadi preseden buruk ke depan. Menurut dia, KPK bisa diserang berkali-kali dengan hak angket atas dasar putusan MK tersebut.

Jika hal itu terus terjadi, kata Refly, maka semakin lemah posisi KPK dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi.

"Makin mudah diserang. Karena kita tahu serangan balik terhadap KPK tidak lebih dari sekelompok orang yang terindikasi korupsi juga," kata Refly beberapa waktu lalu.

DPR berdalih, yang dijadikan objek hak angket merupakan wilayah non-yudisial KPK. Namun, kata Refly, hampir seluruh pekerjaan KPK berkaitan dengan wilayah yudisial baik langsung maupun tidak langsung.

Menurut Refly, kalaupun DPR memandang ada yang tidak beres dalam pekerjaan KPK maka seharusnya cukup dengan menggelar rapat kerja atau rapat dengar pendapat.

Jika terus-menerus bergulir, ujar Refly, penggunaan hak angket DPR terhadap KPK akan berpengaruh besar bagi kinerja lembaga anti-korupsi tersebut. Kinerja KPK, kata dia, dalam mengungkap kasus-kasus korupsi—terutama dalam penuntasan kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP—akan terhambat.

Refly mengatakan, KPK sebagai lembaga yang berperan besar dalam menindak praktik korupsi harus mendapat dukungan besar, bukannya dilumpuhkan.

"(Ini), alih-alih di-support malah diganggu selama dua hingga tiga tahun ini. Bahkan sejak berdiri," kata Refly.

Refly menambahkan, dampak putusan MK ini tak hanya akan dirasakan KPK. Lembaga-lembaga independen lainnya berpotensi juga menjadi objek hak angket jika mengacu pada pertimbangan hakim dalam putusan tersebut.

"Dengan putusan MK, maka lembaga yang dianggap bagian dari eksekutif karena punya karakter eksekutif bisa diangket semua... kalau pakai patokan putusan MK maka DPR punya legitimasi mengangket lembaga-lembaga independen," kata Refly.