~Bagian dari seri tulisan 100 Tahun PK Ojong~
PK Ojong adalah salah satu pendiri Kelompok Kompas Gramedia. Dalam momentum 100 tahun PK Ojong, apa yang masih relevan untuk hari ini?
BAGI banyak orang, nama PK Ojong mungkin tidaklah terlalu familiar. Terlebih lagi buat mereka yang baru lahir selewat 1980.
Bahkan, bagi mereka yang berkecimpung di media massa dan budaya, bisa jadi butuh jeda sejenak untuk mengingat siapa PK Ojong ini.
Jadi, siapakah dia?
Terlahir dengan nama Auwjong Peng Koen, PK Ojong adalah pendiri Kelompok Kompas Gramedia (KKG) bersama Jakob Oetama.
Fondasi yang mendasari grup media ini ada hingga sekarang, tak kurang banyak adalah warisan Ojong.
Pada 25 Juli 2020, andai masih bersama kita, PK Ojong berusia 100 tahun. Satu abad. Namun, PK Ojong berpulang pada 31 Mei 1980.
Berjeda lebih dari 40 tahun, kisah dan warisan nilai PK Ojong pun mungkin sekali tergerus waktu dan keriuhan dinamika dunia.
Untuk inilah, di sini, dalam momentum satu abad PK Ojong, JEO Kompas.com berupaya menghadirkan lagi hal-hal utama yang seharusnya masih relevan dan layak digenggam oleh siapa pun yang mengaku menjunjung nilai-nilai utama pula.
Tulisan ini adalah salah satunya....
BERDERET saksi hidup menegaskan betapa idealis dan kerasnya PK Ojong. Bahkan pegawai yang sebenarnya sama-sama berkarakter sekeras PK Ojong pun sempat kesal.
Bukan hanya tidak bisa melihat orang bekerja lamban, Ia juga tak bisa menolerir orang yang datang terlambat.
Helen Ishwara dalam buku Hidup Sederhana, Berpikir Mulia mengutip cerita tentang harian Kompas yang terlambat terbit selama empat hari berturut-turut.
Hilang sabar, pada suatu hari Minggu itu, dia datang ke kantor. Kebetulan, Roestam Afandi, salah satu wartawan Kompas pada saat itu, datang terlambat.
“Roestam!” panggil Ojong yang saat itu masih memakai nama awalnya, Auwjong. Duduk Roestam karena panggilan itu di salah satu kursi yang ada.
“Saudara harus masuk pukul berapa?” tanya Auwjong. “Pukul enam,” jawa Roestam.
Berlanjut lagi percakapan mereka. “Sekarang pukul berapa? (Dijawab), enam lewat dua puluh. Saudara dari mana? Gereja, Pak.”
Jawaban itu mengundang gebrakan meja. Marah betul Auwjong.
“Ke gereja bukan alasan untuk datang terlambat. Saudara bisa ke gereja pagi. Saudara tahu, kalau Saudara terlambat, Kompas juga terlambat.”
Di buku tulisan Helen, Roestam mengaku pengin minta berhenti seketika pada saat itu. Ternyata, pada hari itu, P Swantoro dan Indra Gunawan—sama-sama masih wartawan Kompas pada waktu itu, terlambat pula.
Swantoro yang juga berkarakter keras pun mengaku pernah pula sepikiran dengan Roestam untuk keluar gara-gara sikap keras Auwjong.
Pada hari itu, Roestam, Swantoro, dan Indra Gunawan turun ke percetakan yang berlokasi di lantai bawah ruang redaksi lebih awal daripada biasa. Mereka ingin membuktikan bahwa Koran terlambat bukan karena mereka yang datang terlambat.
Mereka bertiga meminta petugas tata letak bekerja tertib agar tak terjadi kesalahan. Hasilnya, semua selesai sebelum batas waktu yang ditentukan.
Di sisi lain, Auwjong yang sudah reda marah, mengumpulkan lagi orang-orang yang saling terkait ini.
Dalam tanya jawab detail dan panjang, Ojong pun menjelaskan mengapa semarah itu dia sebelumnya.
Mekanisme produksi, distribusi, dan ujung-ujungnya adalah soal kinerja plus visi kemajuan perusahaan ke depan, jadi penjelasannya.
Yang unik, fragmen terlambat itu lalu menjadi inspirasi cerita yang dipanggungkan sebagai sandiwara peringatan ulang tahun Kompas pada 1967. Judulnya, Kalau Zetsel Berantakan.
Zetsel adalah huruf-huruf timah yang disusun dalam bentuk kotak dan dipakai mencetak Koran pada masa tersebut.
Dimainkan para karyawan, sandiwara itu bermula dari peristiwa zetsel yang telah tersusun rapi jatuh berantakan. Cepat-cepat, huruf-huruf timah itu dipunguti dan disusun lagi.
Namun, susunan baru itu banyak yang keliru. Muncul kesalahan seperti, “Frans Seda beristri dua.” Celaka dua belas, sudah.
Auwjong, masih dalam sandiwara itu, lalu ditelepon. Kata sang putri yang mengangkat telepon, ayahnya sedang keluar membeli sate padang.
Ketika akhirnya Auwjong bisa dihubungi melalui telepon, jawabannya adalah, “Saudara tahu apa artinya ini? Artinya Koran akan datang terlambat. Kalau terlambat semenit ruginya sekian, sepuluh menit sekian, sejam sekian. Bagaimana kita bisa maju?”
Jawaban yang persis didapat Roestam, Swantoro, dan Indra pada hari mereka terlambat dan menanggung kemarahan besar Auwjong.
Nah, sisi menariknya, saat sandiwara ini tampil, Auwjong tertawa terbahak-bahak….
Kemarahan lain Ojong adalah soal data. Tak ada di kamusnya, data itu boleh disebut sebagai “kira-kira sekian”. Peristiwa pada 1968 yang dialami Roesilah, adalah salah satu contohnya.
Ditanya soal oplah lewat telepon, Roesilah yang di belakang hari pernah menjadi Wakil Pemimpin Umum Kompas, menjawabnya, “Kira-kira sekian, Pak.”
Langsung, Ojong mendamprat, “Kira-kira, kira-kira! Yang pasti berapa?” Telepon langsung dibanting.
Roesilah segera menelepon petugas penghitung tiras. Itu pun dia kalah cepat dengan Auwjong.
Namun, pada siang harinya, saat berpapasan, Auwjong juga meminta maaf kepada Roesilah. Dia jelaskan pula mengapa dia marah sebelumnya.
Angka-angka, kata Auwjong, itu penting. Tak boleh dikira-kira. Mesti diketahui dengan pasti. Saat menjelaskan ini, tak ada lagi jejak marah.
Dalam urusan di luar business cycle media pun marah Auwjong tak kehabisan stok sepertinya. Petugas kebersihan di kantor pernah sebegitu ketakutan karena tak ada angin tak ada hujan dimarahi Auwjong.
Ceritanya, petugas kebersihan itu sedang mengebut-ngebut meja dan kursi dengan bulu ayam. Menurut Auwjong, cara itu hanya akan memindahkan debu dari meja dan kursi ke lantai, karpet, dan udara di seluruh ruangan.
Seharusnya, ujar dia, meja, kursi, dan lemari diseka dengan lap lembab untuk menghilangkan debunya.
Bisa jadi, bagi Auwhong, cara membersihkan meja dan kursi yang dilakukan petugas kebersihan tersebut bak memindahkan masalah tetapi tak menyelesaikannya.
Karena, dia tak suka kalau masalah ditumpuk atau dalam istilahnya “disembunyikan di bawah karpet”. Seperti ditulis Helen di buku Hidup Sederhana, Hidup Mulia, cara seperti itu menurut Auwhong atau Ojong hanya akan mendatangkan kesulitan besar di masa mendatang.
Meski begitu, Auwhong juga bukan wajah yang selalu tampil marah. Bukan pula tangan besi dalam setiap langkah dan kebijakannya.
Paling sederhana, Ojong adalah orang yang tak berpikir dua kali menghampiri atau bahkan mendatangi karyawan yang terlihat atau dikabarkan sakit.
Bukan hal yang tak biasa pula ketika tiba-tiba ada petugas dari kantor mengirimkan obat ke karyawan yang sakit karena perintah Ojong.
Kepada wartawan “kemarin sore”, Ojong juga tak berjarak. August Parengkuan punya cerita di buku Helen, ketika dia baru sampai di kantor menjelang tengah malam seusai meliput persidangan.
Di kantor, Ojong menunggunya. August langsung ditawari nasi bungkus oleh Ojong. Dia pun mengaku sering diajak Ojong ke pertemuan-pertemuan penting dan diperkenalkan sebagai “kolega saya”.
Pengalaman August bukan peristiwa tunggal pada hari-hari itu. Banyak wartawan lain pernah pula mengalami hal serupa, sekalipun boleh dibilang baru seujung kuku pengalamannya.
Lalu, ada lagi cerita tentang karyawati yang hendak mengundurkan diri. Tak serta-merta menerima, Auwhong memanggil karyawati ini dan menanyakan alasannya.
Ternyata, dia hendak keluar karena tak tahan dengan tekanan atasan barunya. Atasan lamanya yang telah keluar pun mengajak dia bergabung bekerja bersama lagi.
Auwhong bertanya lagi soal tawaran yang dia dapat dari tempat baru. Ternyata, angkanya sama dengan yang didapat selama ini. Maka, keluarlah jawaban yang tak diduga si karyawati dari Auwjong.
“Saya tak menahan si Anu yang juga meminta berhenti karena di tempat baru ia mendapatkan mobil dan gaji yang lebih baik, yang tidak bisa saya berikan di sini. Tapi, Anda lain. Di tempat baru, Anda tidak mendapat lebih dari di sini. Kalau Anda (adalah) anak atau adik saya, saya juga akan menganjurkan Anda untuk berpikir-pikir lagi.”
Dari respons tersebut, si karyawati pada akhirnya tak jadi mengundurkan diri dan berkarya sampai pensiun. Atasan barunya yang malah tak bertahan lama.
Bagi Ojong, perhatian kepada karyawan, membesarkan hati untuk maju dan dihargai, adalah hal sehari-hari dan banyak diceritakan oleh mereka yang pernah bekerja bersamanya.
Ketika ada kecurangan dan informasi itu sampai ke Ojong, yang dia lakukan adalah diam-diam menyelidiki tanpa memberi tahu siapa pun.
Kalau informasi itu benar, Ojong akan memberitahu si pemberi informasi itu bahwa dia benar. Lalu, orang yang tidak jujur pun ditindak.
AUWJONG Peng Koen berganti nama menjadi Petrus Kanisius Ojong barulah pada akhir 1966. Pemerintah pada saat itu mendorong warga peranakan mengganti nama.
Nama Petrus Kanisius dia pilih semata karena punya singkatan yang sama dengan nama pemberian orangtuanya. Meskipun, tentu saja, ini tak bisa dipisahkan dengan keyakinan yang dia pilih.
Dalam soal pemilihan nama baru, dia punya pendapat mendalam soal pilihan nama-nama yang ada pada saat itu. Bukan pula tanpa perspektif yang lebih luas.
Menurut dia, banyak kaum peranakan yang lalu berganti nama memilih memakai nama-nama berunsur sumber Hindu dan Kawi.
Dia berpendapat, ada hal buruk dalam pilihan ini, terutama bila kondisinya seperti yang dia jelaksan kemudian.
Pertama, kata dia, arti nama-nama tersebut punya arti terlampau hebat. Adiwjiaya, contoh yang dia sebut, punya arti “indah dan selalu menang”.
Kedua, sering terdapat sisa-sisa feodal. Kalau peranakan yang berganti nama itu bukan dari Jawa, dia cenderung baru akan tahu arti nama serba hebat itu justru dari orang lain.
Yang paling serius, lanjut dia, pengambilan nama-nama Kawi ini mengingatkan dia pada sejarah orang Yahudi Jerman pada abad ke-19. Dia sebutkan contoh Goldstein yang berarti gunung emas, Goldberg yang adalah gunung emas, dan Morgenthau yang berarti embun pagi.
“Lama-kelamaan, nama-nama serba hebat itu sudah diketahi pemakainya adalah keturunan Yahudi, padahal bukan itu maksudnya,” ungkap Ojong.
Soal pilihan nama ini menarik untuk diangkat adalah sebagai gambaran awal tentang cara dia menyikapi segala hal di kehidupan, termasuk ketika menjadi pemimpin bagi banyak orang.
Kata-kata bukanlah cara Ojong mengejawantahkan keteladanan. Bagi dia, teladan adalah menjalani dan menjadi contoh sejak awal dalam laku yang dijalani itu.
Ribuan orang mengantarkan jenazah Ojong menuju pemakaman adalah saksi bahwa keteladanannya sampai ke hati orang-orang ini.
Pengantarnya dari menteri, bekas tahanan politik, aktivis hak asasi manusia, seniman, hingga wartawan dan para karyawannya.
“Itulah cara orang baik meninggal,” pendek saja komentar Mr Roem, mantan diplomat, tokoh Masyumi, dan salah satu pelaku sejarah penting Indonesia, yang melawat Ojong.
Bingkai kacamatanya ketinggalan zaman. Sepatunya juga.
Dalam keseharian, Ojong dikenal sebagai orang yang sering ditemui memakai kemeja lengan pendek yang dikeluarkan, tak rapi jali dengan bagian bawah kemeja dimasukkan ke celana.
Bingkai kacamatanya ketinggalan zaman. Sepatunya juga.
Kalau ia nongkrong makan sate di tepi jalan, orang tak akan tahu bahwa dia adalah perintis dan pemimpin perusahaan besar dengan ribuan karyawan.
Seperti ditulis Helen Ishwara dalam buku Hidup Sederhana, Berpikir Mulia, Ojong bahkan pernah ditawari pekerjaan sebagai pemetik buah persik ketika diajak temannya ke kebun persik di Kanada.
Bukan tersinggung apalagi marah, Ojong malah dalam berbagai kesempatan berkirim surat ke temannya itu hingga tahun-tahun sesudahnya kerap menyisipkan tanya, “Apakah lowongan sebagai pemetik buah itu masih terbuka untuk saya?”
Goenawan Mohamad menyebut Ojong sebagai seseorang dengan harga diri cukup sehingga tak punya ego yang besar.
Goenawan Mohamad menyebut Ojong sebagai seseorang dengan harga diri cukup sehingga tak punya ego yang besar. Ojong, lanjut Goenawan, adalah orang yang terutama hadir untuk melayani, bukan untuk dilayani.
Bahkan ketika orang bisa memuji Ojong setinggi langit karena jabatannya, kata Goenawan, Ojong tetap adalah orang yang keras untuk tidak mengistimewakan diri.
Contoh, saat Ojong jadi pemimpin redaksi Star Weekly, dia tak juga mengganti mesin ketik lamanya sementara anggota redaksi lain malah sudah berganti mesin ketik.
Ketika Kompas sudah menjual 300.000 eksemplar koran setiap hari dan Intisari di atas 100.000 per bulan, tutur Goenawan, Ojong masih bersemangat mengurusi langsung keuangan majalah Horison yang per bulan hanya beroplah 6.000.
Adapun bagi Oei Tjoe Tat, mantan menteri dan bekas tahanan politik, Ojong yang dia kenal sejak 1946 sampai 1980 tetaplah orang yang intinya sama.
“Ia reliable, bisa diandalkan. Kematiannya merupakan kerugian besar bagi banyak orang,” ujar Oei Tjoe Tat dalam buku Hidup Sederhana, Berpikir Mulia.
Semenjak Ojong berpulang, Oei Tjoe Tat mengaku hatinya kadang terasa dingin dan sepi.
“Sedikit sekali orang yang idealistis, yang mau melelahkan diri di kemasyarakatan, yang mau memikirkan kepentingan orang banyak, bukan disibukkan oleh mencari nafkah semata-mata,” ungkap Oei Tjoe Tat.
Putri bungsu Ojong, Mariani, pernah berkata tentang ayahnya, “Uang kembalian Rp 25 pun mesti dikembalikan kepada Papi.”
Uang pinjaman, meski hanya Rp 200, harus juga dikembalikan, meski pada saat yang sama dia bisa menyumbang puluhan juta dollar AS kepada badan sosial yang menurut Ojong pantas dibantu.
Jangan pernah juga meminta Ojong membelikan hadiah, baik untuk acara pribadi seperti perkawinan maupun perayaan keagamaan.
Lalu, tegas dia, “Kalau tak punya uang, jangan pesta.”
Bahkan, Ojong berpendapat perayaan ulang tahun perusahaan tak perlu pula dirayakan setiap tahun, sekalipun ada uang. Cukuplah, kata dia, lima tahun sekali.
Kesederhanaan melekat di diri Ojong sejak kecil. Didikan, bisa jadi punya pengaruh besar di sini.
Pernah pada suatu ketika, dia minta dibelikan sepatu oleh sang ayah. Waktu itu, Ojong memilih sepatu berujung lancip. Oleh sang ayah, pilihan itu ditolak. “Jangan, itu cepat rusak.”
Sebagai ganti, ayah Ojong memilihkannya sepatu berujung bengkak. “Sepatu ini kuat,” penjelasannya.
Ketika Ojong masih belia, ayahnya punya mobil Fiat lalu Chevrolet. Artinya mereka adalah orang berada pada masanya.
Namun, nasi di piring harus habis dimakan, tak boleh tersisa sebutir nasi pun. Kata sang ayah, memperoleh sebutir nasi itu sulit.
Ajaran ini masih dijalankan Ojong hingga tua. Ojong tak akan pernah menyendok nasi lebih dari yang kira-kira dapat dia habiskan.
Sang ayah pernah pula pamer sabuk yang dia sebut berumur 12 tahun. Ketika Ojong bertanya mengapa tak beli yang baru, dijawab, “Untuk apa? Ini kan masih bisa dipakai?”
Dari hal-hal keseharian ini, Ojong dalam sejumlah kesempatan mengakui semua itu adalah pelajaran berharga.
Idealis juga lekat dengan sosok Ojong. Dia mewanti-wanti para wartawannya untuk tak pernah menerima jasa dan atau kebaikan dari pejabat, adalah salah satunya.
Pernah, pada suatu ketika, air ledeng di kamar sewanya di Menteng, Jakarta Pusat, mati. Kebetulan, dia kenal seorang pejabat kota. Dikeluhkannya bab itu. Tak berselang lama, air telah mengalir lagi ke situ.
Namun, suatu hari, si pejabat tersandung masalah korupsi. Ojong merasa tak berdaya untuk menulis perkara itu. Ia merasa terikat utang budi.
Dari peristiwa pada 1950 tersebut, dia lalu sering berucap, "Wartawan jangan sekali-sekali meminta dan menerima fasilitas dari pejabat. Sekali hal itu terjadi, ia (wartawan) tak bebas lagi menghadapi pejabat itu dalam profesinya."
Ojong pun membuktikan diri menjalankan apa yang dia pesankan kepada wartawannya. Pada 1951, misalnya, ada kejadian istrinya melahirkan putra pertama mereka.
Kali ini, Ojong mengantar istrinya yang hendak melahirkan dari Menteng ke RS Carolus di Salemba dengan menggunakan sepeda.
Setelah PK Ojong meninggal, Siswadhi—yang pernah bekerja bersamanya di Star Weekly sejak 1956 sampai majalan itu dilarang terbit pada 1961—menulis Pak Ojong sebagai Guru dan Teman di Intisari edisi Juni 1980.
“Sejak semula dia tidak suka mendapat keistimewaan, apalagi berlindung di balik seorang tokoh berpengaruh. Kalau dia mencapai sesuatu dalam hidup ini maka itu adalah usahanya sendiri, berkat kerja kerasnya sendiri,” ada di tulisan Siswadhi.
Surat rekomendasi dari guru besar Belanda yang menaruh perhatian kepadanya, justru membuat dia tak jadi beralih profesi dari saat itu yang adalah wartawan. Menurut Siswadhi, surat itu dia baca karena sampulnya tak tertutup.
Tujuan penerima surat itu adalah pimpinan perusahaan besar. Yang diminta, si pembawa surat tersebut—yang adalah Ojong—diberi pekerjaan yang baik di perusahaan tersebut.
Dalam sikap dan tindakan, Ojong menolak segala hal yang punya bau feodalisme. Lagi-lagi, pengalaman masa kecil mengajarinya hal ini.
Pada 1931, Ojong pernah diajak orangtuanya piknik ke kawasan tambang emas. Dalam perjalanan, mobil mereka harus menepi bahkan sampai berjarak hanya beberapa sentimeter ke tepi jurang.
Gara-garanya, administrator tambang yang hendak mereka tuju itu akan lewat.
Ojong menganggap peristiwa tersebut sebagai wujud feodalisme. Sejak itu, dia tidak menyukai feodalisme. Bagi dia, itu adalah sikap tak adil dan menghambat kemajuan.
Berbeda sisi tetapi masih dalam warna senyawa, Ojong pun ingin perusahaan yang dia rintis, dirikan, dan pimpin bersama Jakob Oetama tidak bersifat onmisbaar.
Perusahaan yang baik yang dapat menjamin kesejahteraan pegawainya, kata dia, adalah yang tidak onmisbaar.
Artinya, urai dia, ketika pemimpin pendahulu tak ada lagi, perusahaan tetap harus bisa berjalan. Jadi, lanjut Ojong, perlu disusun sistem yang memungkinkan untuk itu. Harus ada pula kader-kader untuk menggantikan pemimpin lama.
“Saya yakin Tuhan tidak menghendaki onmisbaarheid. Kalau DIa menginginkannya, umur manusia tidak akan dibatasi,” tegas Ojong, seperti dikutip Helen Ishwara dalam buku Hidup Sederhana, Berpikir Mulia.
Ojong berkeyakinan, otak anak buahnya tak beda dengan otak miliknya. Dia pun mengaku senang punya pegawai yang pandai. Kesempatan dia buka luas untuk anak buahnya dan dia senang ketika si anak buah bersemangat menyambut kesempatan itu.
Dalam rapat, adalah biasa Ojong memberikan kesempatan kepada anak buahnya mengemukakan gagasan dan beradu argumentasi ketika ada rencana baru bagi perusahaan.
Indra Gunawan, salah satu saksi hidup sampai tulisan ini dibuat, menyebut Ojong juga tak akan mengungkit-ungkit ketika gagasan anak buah yang menjadi keputusan rapat ternyata gagal dalam perjalanannya.
“Kalau kebanyakan orang tidak berani, enfrant terrible (anak nakal) memang perlu sekali.”
~PK Ojong~
Pada 15 Februari 1969, Ojong pernah menulis di rubrik Kompasiana, tentang anak cerdas, pemberani, tetapi miskin. Suatu hari, tulis dia, anak itu tiba-tiba berkata kepada gurunya, “Tuan tidak tahu apa artinya miskin.”
Celetukan murid itu menarik karena dalam tulisan tersebut Ojong menulis bahwa si guru pernah mengucapkan kaul kemiskinan. Kawan-kawan si murid yang setuju tapi tak pernah berani angkat suara mendukung anak itu.
Si guru pun tampaknya cukup bijak. Di tulisan itu, Ojong menyebut bahwa si murid tak dihukum. Di kemudian hari, tulis dia, anak ini jadi usahawan yang berhasil dan terhormat.
“Kalau kebanyakan orang tidak berani, enfrant terrible (anak nakal) memang perlu sekali,” tulis dia.
Ojong tak pernah mendaku sebagai si murid yang dia gambarkan dalam tulisan tersebut. Bukan berarti itu bukan hal yang mungkin saja memang kenyataan.
Terlebih lagi, guru Ojong di MULO—sekolah zaman kolonialisme Belanda, setingkat SMP pada saat ini—pernah dibuat terperangah oleh celetukan Ojong kecil.
Saat guru di kelas sedang bercerita tentang silsilah Ratu Belanda, Wilhelmina, sebagai bagian dari cerita sejarah pada setengah jam terakhir di waktu sekolah, Ojong bersuara lantang, “Weg met de koningin (Enyahlah sang ratu)!”
Sikap Ojong tentang ini juga pernah dia tulis pada 22 April 1969, berbekal kenangan atas sebuah gambar pada buku sekolah.
Di bawah gambar itu tertera kata-kata De lerse Kwesti (masalah sosial dan politik orang Irlandia yang ditindas oleh orang Inggris dalam abab XIX).
“Pengusiran penghuni dari rumahnya secara tidak adil merupakan kejahatan sosial yang besar. Ia bisa menjadikan manusia itu gelandangan. Manusia tanpa rumah lebih malang daripada sapi perah atau babi piaraan yang sedikitnya diberi kandang,” tulis Ojong.
Maka, lanjut Ojong, kalau pengusiran secara tidak adil oleh si pemilik rumah dapat dilakukan karena polisi atau penguasa lain memberikan bantuannnya, penguasa itu menaruh beban tanggung jawab yang besar di pundaknya.
Masih soal penindasan, Ojong pernah bercerita mengutip kata-kata ibunya. Ketika dia kecil, ibunya pernah bercerita tentang anak yang dipukul ayahnya sendiri dengan kejam.
Menurut sang ibu, kalau perbuatan itu diketahui polisi Belanda, sang ayah bisa ditangkap dan dipenjara. Ibu Ojong menambahkan satu kalimat bahwa anak itu punya hak tertentu yang tidak dapat dilanggar orang lain, tidak juga oleh ayahnya sendiri.
“Kita sekarang tahu apa yang dimaksudkan Ibu dengan ‘hak-hak tertentu’ yang dimiliki anak itu. Sekarang kita menamakannya human rights, hak-hak asasi manusia,” tulis Ojong.
Wartawan dan budayawan Mochtar Lubis menyebut Ojong sebagai teman yang penuh setia kawan, suka menolong kawan yang berada dalam kesulitan.
Dalam kehidupan di luar kantor, Indra menilai Ojong sebagai sosok yang bisa lebih santai dan akrab. Untuk urusan kerja, tutur Indra, Ojong adalah orang yang cermat dan detail.
Teman, bagi Ojong juga bukan hanya dicari saat dibutuhkan. Setiap bepergian ke suatu tempat atau negara, dia menyempatkan diri menyapa atau bahkan menyambangi teman-temannya bila cukup karib.
Bertanya kabar adalah hal rutin Ojong untuk teman-temannya. “Kalau ada teman dekatnya tak membalas surat, dia sangat khawatir,” tutur Indra.
Ojong pun mengikuti kisah perjalanan teman-temannya, apalagi mereka yang tengah menjalani liku terjal kehidupan.
Arief Budiman—budayawan, sosiolog, dan psikolog yang belum lama ini berpulang juga—bertutur bagaimana Ojong tak kenal takut untuk urusan baik dan benar terkait teman-temannya.
Saat itu, dalam ceritanya di buku Helen, Arief ditahan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 1972. Intel bertebaran di sekitar rumahnya, semua orang yang datang dicatat.
Ojong santai saja datang berkali-kali bahkan membawakan ini-itu kebutuhan keluarga Arief, mengantar mereka dengan mobilnya, dan menyediakan makanan-minuman untuk mahasiswa yang berkemah di depan rumah Arief.
Tak berhenti di situ, Ojong menulis di Kompasiana, rubrik di Kompas yang waktu itu mencorong, tentang perlakuan yang melawan kemanusiaan dari penangkapan Arief.
“Karena keluarga saya tidak diberi tahu di mana saya ditahan, apa tuduhannya, dan untuk berapa lama,” tutur Arief seperti dikutip di buku Helen.
Goenawan pun mengakui bahwa Ojong punya kepedulian besar untuk melayani teman-temannya.
“Di zaman Demokrasi Terpimpin yang penuh tekanan, ia dengan rajin melayani teman-temannya, mengirimi mereka bahan bacaan yang bisa dipakai memelihara kemerdekaan berpikir; di tengah indoktrinasi yang bertubi-tubi,” kata Goenawan yang menyebut Ojong sebagai sahabat seumur hidup.
Namun, dari semua yang sudah dikutip di sini, cerita paling seru barangkali adalah fakta bahwa sopir Ojong lebih dulu punya rumah daripada dia sendiri.
“Pak Ojong nunggu sopir-sopir punya rumah dulu, baru dia bangun rumah sendiri.” Ini adalah kisah Kusnadi, sopir yang bersama Ojong tercebur ke jurang sedalam 12 meter pada 1977.
Maka, tak mengherankan bila dengan semua cerita ini, pemakaman Ojong diantar ribuan orang.
Karena, di balik sikap keras, kaku, bahkan pemarahnya, Ojong adalah manusia yang tak mati hati sekalipun telah menjadi pemimpin tertinggi dari sebuah perusahaan dengan ribuan pekerja di dalamnya.
Selain di Kompas.com, simak pula sajian dalam tema dan momentum yang sama di harian Kompas, Kompas TV, dan Kontan.