TEPAT pada Rabu, 2 Maret 2022 ini, status pandemi Covid-19 di Indonesia telah berlangsung selama dua tahun.
Penularan virus SARS-CoV-2 belum mereda, tetapi kita sudah jauh lebih siap menghadapinya dibandingkan masa awal wabah.
Meski, memang tak sedikit yang masih nakal mengabaikan protokol kesehatan, bahkan tak percaya akan kehadiran virus ini sendiri. Ini pekerjaan rumah yang mesti kita selesaikan bersama-sama.
Infrastruktur pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah juga relatif siap. Meski, banyak pula masalah yang muncul.
Tetapi yang jauh lebih penting dari itu, solidaritas di tataran masyarakat sudah terbentuk.
Tak lagi mengucilkan mereka yang sedang sakit, kini membantu pasien Covid-19 dalam segi apapun, sudah menjadi peristiwa yang lumrah dalam keseharian.
Perang atas wabah pun masih terus digelorakan. Vaksinasi sebagai salah satu jalan keluar dari situasi pandemi sudah hampir menyentuh status kekebalan imunitas.
Meski di sisi lain, lagi-lagi masih ada persoalan yang menjangkiti. Mulai dari soal ketimpangan vaksinasi antardaerah, hingga peredaran hoaks yang menghambat vaksinasi.
Apapun, perubahan memang tidak dapat segera terwujud, namun kita sedang melangkah perlahan ke sana.
Oleh sebab itu, sebelum lanjut melangkah, peristiwa-peristiwa penting selama dua tahun ke belakang rasanya patut kita ingat kembali.
Barangkali ada yang terlewat sebagai bekal kita melanjutkan masa pandemi yang semakin menemui titik terang ini.
Kasus Covid-19 Pertama di Indonesia ♦ Payung Hukum Pertama di Masa Pandemi ♦ PSBB Hingga PPKM Skala Mikro ♦ Klaster Covid-19 Bermunculan ♦ Berujung Pada Pencopotan Terawan ♦ Game Changer Bernama Vaksin ♦ Vaksin Merah Putih ♦ Tiga Varian Baru & Gelombang Kedua ♦ Hoaks Merajalela, Pelaku Ditangkap ♦ Temuan Pertama Varian Omicron ♦ Booster Vaksin ♦ Gelombang Ketiga Covid-19
Kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan pada Senin, 2 Maret 2020 oleh Presiden Joko Widodo dari Istana Kepresidenan Jakarta.
Seorang ibu berusia 64 tahun beserta putrinya berusia 31 tahun dinyatakan positif Covid-19. Presiden menyampaikan analisis prose penularan dua orang itu.
“Minggu yang lalu ada informasi bahwa ada orang Jepang yang ke Indonesia, kemudian tinggal di Malaysia dan dicek di sana ternyata positif Corona. Tim dari Indonesia langsung menelusuri orang Jepang ini ke Indonesia bertamu ke siapa, bertemu dengan siapa. Ditelusuri dan ketemu,” kata Jokowi.
“Setelah ditemukan, ternyata orang yang terkena virus corona ini berhubungan dengan dua orang (Indonesia). Seorang ibu yang umurnya 64 tahun dan putrinya yang berumur 31 tahun. Dicek oleh tim kita, ternyata pada posisi yang sakit,” imbuh Presiden.
Kementerian Kesehatan kemudian mengambil sampel kedua orang itu untuk memastikan apakah terjangkit Covid-19 atau tidak.
“Dicek dan tadi pagi saya mendapatkan laporan dari Pak Menkes bahwa Ibu ini dan putrinya positif Corona,” kata Presiden.
Kedua pasien kemudian dilabeli sebagai Pasien 1 dan Pasien 2.
Pengumuman selanjutnya tentang penularan Covid-19 dilaksanakan 6 Maret 2020. Kali ini bukan disampaikan oleh Kepala Negara, melainkan oleh Juru Bicara Pemerintah Khusus Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto.
Dalam pengumuman kedua ini, disampaikan bahwa ada dua pasien lagi yang tertular Covid-19 dari Pasien 1 dan 2. Mereka adalah rekan dari keduanya yang kemudian dilabeli dengan Pasien 3 dan 4.
Pengumuman penambahan kasus Covid-19 selanjutnya dilaksanakan oleh juru bicara setiap hari dengan angka akumulatif yang terus bertambah.
Tak hanya masyarakat biasa, sejumlah pejabat negara dilaporkan terjangkit Covid-19 pada masa awal wabah. Salah satu contoh kasus yang paling parah kondisinya adalah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (BKS).
BKS sembuh 15 hari kemudian setelah dirawat intensif di ICU RSPAD Gatot Soebroto dan sempat mengalami perburukan kondisi.
Beberapa pejabat negara lain yang pernah terjangkit Covid-19 sepanjang 2020, antara lain Edhy Prabowo yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Fachrul Razi yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Agama, dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.
Demi mempercepat penanganan Covid-19, pada 31 Maret 2020, Presiden Joko Widodo melakukan terobosan hukum dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Perppu ini mengatur kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan negara dalam rangka penanganan Covid-19 serta menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional atau stabilitas sistem keuangan.
Perppu ini juga mengatur mengenai sanksi kepada siapapun yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat pelaksanaan kewenangan lembaga yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam Perppu ini.
DPR RI baru menyetujui Perppu itu menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2020 pada 12 Mei 2020 melalui satu kali masa sidang saja.
Meski demikian, publik menyoroti keberadaan Pasal 27 yang berkaitan dengan imunitas alias kekebalan pemerintah dalam menggunakan anggaran untuk penanganan Covid-19. Sejumlah pihak pun menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada 28 Oktober 2021, MK memutuskan mengoreksi Pasal 27 ayat (1) yang memberikan hak imunitas hukum kepada pejabat dan lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menangani pandemi.
Ketentuan itu dinilai berpotensi menimbulkan impunitas atau kondisi tidak dapat dipidana atas segala tindakan dan keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020.
MK menilai, kata "biaya" dan frasa "bukan merupakan kerugian negara" yang tidak dibarengi dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan telah menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum.
Karena itu, demi kepastian hukum, norma Pasal 27 ayat (1) harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa "bukan merupakan kerugian negara" tidak dimaknai "bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan".
Mengakhiri perseteruan hukum ini, pemerintah hanya memberikan penegasan bahwa tidak ada impunitas sebagaimana yang dikhawatirkan penggugat. Pejabat negara tetap dapat melakukan terobosan dalam rangka penanganan pandemi sepanjang tindakan tersebut dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan dengan itikad baik serta sesuai peraturan perundangan.
Informasi seluk beluk virus SARS-CoV-2 pada awal wabah masih minim.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) hanya menyampaikan bahwa penerapan protokol kesehatan berupa memakai masker, menjaga jarak, rajin mencuci tangan, dan menjauhi kerumunan, adalah kunci terhindar dari penularan virus.
Seiring dengan penerbitan Perppu 1/2020, Presiden Jokowi pun mengeluarkan beberapa peraturan sebagai dasar hukum untuk pembatasan aktivitas masyarakat.
Pertama, Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019. Melalui Kepres ini, pemerintah menetapkan Covid-19 adalah penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Selanjutnya, pemerintah merilis Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Melalui aturan ini, pemerintah daerah dimungkinkan membatasi pergerakan orang dan barang yang masuk atau keluar dari daerah masing-masing atas seizing Kementerian Kesehatan.
PP 21/2020 ini juga mengatur pembatasan kegiatan di civitas pendidikan, tempat bekerja, tempat peribadatan, dan fasilitas umum. Hanya kegiatan di sektor esensial yang diperbolehkan tetap beroperasi penuh.
Presiden Jokowi pada 13 April 2020 kemudian memperkuat PP ini dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional.
Kebijakan yang dipilih Indonesia pada ini ditentang sejumlah pihak yang lebih menghendaki penguncian wilayah alias lockdown seperti negara-negara di Eropa ketimbang pembatasan wilayah.
Tetapi, Presiden Jokowi meyakini bahwa kebijakan inilah yang terbaik bagi Indonesia. Di sisi lain, ia mengancam akan mencopot anak buah yang tidak bisa bekerja serius menangani pandemi.
Pada Februari 2021, pemerintah mengganti kebijakan PSBB dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Skala Mikro Jawa-Bali.
PPKM Skala Mikro ini berbentuk pembatasan pada tingkat RT/RW/ atau desa. Peran pengawasan pun bertumpu pada aparat RT/RW, desa, dan pemerintah daerah setempat.
Namun demikian, penerapan PPKM skala mikro tak sepenuhnya berhasil membendung penularan Covid-19. Sebab pada kenyataannya, Indonesia pernah mencapat penambahan kasus positif tertinggi di Asia Tenggara pada awal Maret 2021, dan tertinggi ke-4 di Asia.
Tak hanya itu, kasus kematian di Tanah Air juga sempat menduduki urutan tiga tertinggi di Asia, setelah India dan Iran.
Kendati kebijakan pembatasan telah dikeluarkan, tetapi masyarakat secara umum belum menaati betul protokol kesehatan. Khususnya masyarakat di luar kota-kota besar.
Beberapa pemerintah daerah dan institusi kemudian melaporkan kemunculan kasus Covid-19 di lingkungannya.
Sebut saja, Klaster Secapa Angkatan Darat di Bandung yang terdapat 1.262 kasus penularan; klaster sidang Genode GPIB di Bogor, yang menghasilkan 24 kasus yang menyebar di lima provinsi di Indonesia, yakni Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat; hingga klaster ijtima ulama di Gowa yang menghasilkan 1.248 kasus di 20 provinsi di Indonesia.
Kementerian Kesehatan mencatat, terdapat 1.146 klaster penyebaran Covid-19 hingga 22 September 2020.
Saat itu, penambahan klaster paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Tengah yang didominasi oleh kelompok pesantren.
Kemunculan klaster Covid-19 ini sekaligus menandai gelombang pertama di Indonesia. Pemerintah menyebut, gelombang pertama terjadi sejak awal pandemi hingga Januari 2021.
Perkembangan kasus Covid-19 dari awal pandemi hingga saat ini dapat disimak dalam grafik berikut ini:
Sekitar tiga bulan setelah pengumuman status pandemi, Presiden Joko Widodo mengungkapkan kemarahannya.
Dalam sidang kabinet paripurna 18 Juni 2020 di Istana Merdeka, Presiden Jokowi kesal karena banyak pembantunya yang masih menganggap situasi wabah seperti bukan krisis.
"Saya lihat, masih banyak kita ini yang seperti biasa-biasa saja. Saya jengkelnya di situ. Ini apa enggak punya perasaan? Suasana ini krisis!" ujar Presiden Jokowi.
Salah satu yang disorot Presiden adalah belanja Kementerian Kesehatan yang masih tergolong rendah, meski memiliki anggaran Rp 75 triliun. Ia pun menegaskan agar jajarannya mengambil langkah extraordinary untuk menangani situasi pandemi.
"Langkah extraordinary ini betul-betul harus kita lakukan. Dan saya membuka yang namanya entah langkah politik, entah langkah kepemerintahan. Akan saya buka. Langkah apa pun yang extraordinary akan saya lakukan. Untuk 267 juta rakyat kita. Untuk negara," ucap Presiden.
Kemarahan Presiden Jokowi menemui ujungnya. Pada 22 Desember 2020, Presiden Jokowi mencopot Terawan Agus Putranto dari kursi Menteri Kesehatan. Presiden menunjuk Budi Gunadi Sadikin sebagai penggantinya.
Sejumlah pemberitaan media massa luar negeri menyoroti reshuffle itu. Reuters menyegarkan ingatan publik soal sosok Terawan yang kontroversial. Salah satu pernyataan yang menuai kritik adalah “berdoa mampu melindungi orang dari virus” dan “masker hanya untuk orang sakit”.
Sebelum diganti, Terawan juga sempat digugat lima organisasi kedokteran, yakni Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), Majelis Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia (MKKGI), dan Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia (AFDOKGI).
Dalam gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada 9 November 2020 itu, Terawan dinilai telah bertindak sewenang-wenang karena membuat kebijakan sendiri dalam pengangkatan anggota konsil kedokteran.
Vaksin diyakini menjadi game changer atas situasi pandemi. Berbagai perusahaan farmasi di belahan dunia berlomba-lomba menciptakan vaksin. Tak terkecuali China, negara yang melaporkan virus SARS-CoV-2 pertama kali.
Pada awal Agustus 2020, pemerintah melakukan uji klinis tahap 3 vaksin Sinovac asal China. Uji klinis dilakukan di Bandung, Jawa Barat dengan pengawasan dari tim Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Ada 1.600 relawan yang disuntik vaksin ini secara bertahap.
Uji klinis tahap tiga dilaksanakan karena sebelumnya uji klinis tahap satu dan dua telah dilakukan di China.
Pada saat yang sama, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan audit lapangan terhadap Sinovac, baik di kantor pusat Sinovac di Beijing maupun kantor pusat Bio Farma. Audit lapangan dilakukan untuk memastikan kehalalan dan kesucian vaksin ini.
Meski produksi vaksin sudah di depan mata, muncul persoalan berikutnya. Vaksin dengan stok terbatas tersebut dipastikan bakal jadi rebutan sejumlah negara.
Upaya diplomasi pun dilakukan Kementerian Luar Negeri untuk mendatangkan Sinovac. Hasilnya, 1,2 juta dosis vaksin berhasil didatangkan pada 6 Desember. Selanjutnya pada 31 Desember 2020, Indonesia kembali mendapatkan 1,8 juta dosis.
“Dengan ketibaan ini, maka telah terdapat 3 juta vaksin Sinovac di Indonesia,” kata Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi.
Setelah kedatangannya, pemerintah menyatakan seluruh vaksin akan digunakan setelah mendapatkan izin penggunaan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Pada 11 Januari 2021, BPOM menerbitkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) vaksin Sinovac. Penerbitan EUA ini dilakukan setelah BPOM menyatakan vaksin Sinovac aman dan berkhasiat usai pelaksanaan uji klinis tahap tiga di Bandung.
Tingkat efikasi atau kemanjuran vaksin Sinovac disebut mencapai 65,3 persen. Itu berarti, vaksin Sinovac dinilai dapat menurunkan kejadian Covid-19 hingga 65,3 persen.
Sejalan dengan itu, MUI menerbitkan fatwa bahwa vaksin ini halal dan suci.
Terbitnya EUA vaksin Sinovac dari BPOM memberikan angin segar untuk pelaksanaan vaksinasi perdana.
Presiden Joko Widodo menjadi warga Indonesia pertama yang disuntik vaksin tersebut pada 13 Januari 2021.
Selain Jokowi, ada beberapa pihak yang turut disuntik vaksin ini di antaranya Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Pol Idham Aziz, Ketua Umum IDI Daeng M Faqih, sejumlah tokoh agama serta influencer.
Dalam tahap pertama ini, pemerintah menyasar 1,46 juta tenaga kesehatan sebagai target penerima vaksin Covid-19.
Adapun, tahap kedua vaksinasi yang dilaksanakan mulai 17 Februari 2021 menyasar pekerja publik, masyarakat yang memiliki interaksi dan mobilitas tinggi, serta masyarakat lanjut usia.
Perkembangan vaksinasi di Indonesia dapat dilihat dalam grafik berikut ini:
Di tengah upaya untuk memenangkan peperangan terhadap pandemi, Indonesia sendiri mengembangkan vaksin Merah Putih untuk kemandirian dalam penyediaan vaksin.
Dalam “Buku Laporan Tahunan 2020, Peringatan Setahun Jokowi-Ma’ruf: Bangkit untuk Indonesia Maju,” vaksin Merah Putih dikembangkan oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dengan menggunakan platform subunit protein rekombinan.
Mantan Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro sempat menargetkan bahwa pengembangan vaksin ini dapat selesai pertengahan tahun 2021.
Dalam perkembangannya, ada enam institusi yang akan mengembangkan vaksin tersebut dengan platform berbeda-beda. Enam institusi itu adalah Lembaga Eijkman Bandung, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Airlangga (Unair).
Vaksin Merah Putih adalah vaksin COVID-19 yang menggunakan isolat virus yang bertransmisi di Indonesia. Pengembangan vaksin dikerjakan oleh ahli Indonesia dan produksinya di Indonesia.
“Ini menunjukkan bagaimana kepedulian dosen dan peneliti Indonesia untuk mencari solusi penanganan COVID-19," kata Bambang, dikutip dari laman covid19.go.id, pada 27 Oktober 2020.
Dalam perjalanannya, pengembangan vaksin Merah Putih mengalami hambatan. Hingga akhirnya baru dapat melaksanakan uji klinis tahap pertama 9 Februari 2022 lalu. Adapun vaksin Merah Putih yang telah melaksanakan uji klinis tahap pertama itu adalah vaksin yang dikembangkan oleh Universitas Airlangga dengan PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan vaksin merah putih diproyeksikan selain sebagai booster dan vaksin anak, juga sebagai vaksin donasi internasional. Diharapkan vaksin merah putih dapat menembus negara dengan populasi agama Islam
“Presiden bersedia menggunakan ini sebagai vaksin donasi dari Republik Indonesia khususnya sebagai ketua G20 ke negara-negara lain yang membutuhkan,” kata Menkes dilansir dari keterangan resmi Kemenkes.
Pada awal Mei 2021, Kementerian Kesehatan mengonfirmasi tiga varian Covid-19 yang telah menyebar di luar negeri, masuk ke Indonesia.
Tiga varian itu yakni B.1.1.7 atau Alpha yang pertama kali ditemukan di Inggris, varian B.1.351 atau varian Beta yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan, dan varian mutasi ganda B.1.617 atau varian Delta yang berawal di India.
Adapun varian Delta ditemukan pada dua kasus positif di Jakarta. Sementara varian Beta ditemukan satu kasus di Bali. Sedangkan varian Alpha ditemukan di 13 kasus positif.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menyebutkan, beberapa kasus Covid-19 yang berasal dari varian Alpha merupakan transmisi lokal, seperti temuan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, di Provinsi Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan.
Temuan tiga varian baru virus Corona itu sekaligus menjadi tanda dimulainya gelombang kedua Covid-19 di Tanah Air.
Sebelumnya, pemerintah sempat mengklaim bahwa lonjakan kasus terjadi akibat mobilitas masyarakat saat libur Lebaran 13-14 Mei 2021. Namun pada akhirnya, pemerintah mengakui bahwa kenaikan kasus Covid-19 saat gelombang kedua didominasi oleh penyebaran varian Delta.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan, ketika gelombang pertama Covid-19 terjadi pada Januari 2021, jumlah kasus mingguan Covid-19 mencapai 89.902 kasus.
Kenaikan dari titik terendah kasus tercatat sebesar 283 persen dalam kurun 13 minggu.
Sementara ketika gelombang kedua terjadi, jumlah kasus mingguan Covid-19 mencapai 253.600 kasus. Kondisi ini hanya terjadi selama sembilan minggu, yang berarti tingkat penularannya lebih cepat dibandingkan sebelumnya.
Bahkan, Kemenkes menyebut, tingkat penularan varian Delta enam kali lebih cepat dibandingkan varian Alpha yang mendominasi kasus penularan di Inggris.
Adapun penambahan kasus harian tertinggi tercatat pada 15 Juli 2021 yakni sebanyak 56.757 kasus dalam 24 jam.
DKI Jakarta menjadi provinsi yang mencatat penambahan kasus harian tertinggi pada saat itu. Bahkan pada awal Juli 2021, penambahan kasus harian di atas 10.000 kasus.
Penambahan kasus harian ini membuat kondisi rumah sakit tertekan, meski jumlah ruang isolasi pasien Covid-19 sudah ditambah. Bahkan, rumah sakit di Jakarta di ambang kolaps. Tingkat keterisian ICU mencapai 95 persen.
Pemerintah pun akhirnya menerapkan kebijakan PPKM darurat di wilayah Jawa-Bali untuk pertama kali pada 3-20 Juli. Kebijakan ini diharapkan bisa menekan laju penularan Covid-19.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menekan laju penularan. Mulai dari menambah jumlah tenaga kesehatan, ruang isolasi, penyediaan oksigen sesuai estimasi kebutuhan daerah, hingga mempercepat vaksinasi dan menjaga ketersediaan obat terapi Covid-19.
Setelah puncak kasus terjadi pada 15 Juli, gelombang penularan Covid-19 berangsur menurun. Hingga akhirnya penambahan kasus di bawah 10.000 baru tercatat pada 6 September 2021, tepatnya sebanyak 4.413 kasus.
Setelah itu, laju penularan virus corona dapat terus dijaga pemerintah hingga ditemukan varian Omicron.
Sejak Indonesia berstatus pandemi, narasi ketidakpercayaan cukup eksis. Terutama di media sosial.
Kelompok ini semakin mendapat panggung ketika salah seorang dokter bernama Lois Owien mengungkapkan pernyataan kontroversial di salah satu program bincang-bincang di televisi.
Ia menyebut, virus SARS-CoV-2 sama sekali tidak berbahaya. Bahkan sebenarnya tidak ada pasien yang meninggal disebabkan virus tersebut.
Banyaknya kasus meninggal dunia selama pandemi ini disebut dokter Lois disebabkan oleh interaksi obat yang berlebihan.
Dia menyebut obat-obatan yang digunakan untuk pasien Covid-19 telah menimbulkan komplikasi di dalam tubuh pasien.
"Interaksi antar obat. Kalau buka data di rumah sakit, itu pemberian obatnya lebih dari enam macam," ujar dokter Lois.
Pernyataan itu direspons oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Wadah profesi dokter itu menyebut, dokter Lois tidak memiliki kapasitas yang memadai atas pernyataannya. Terlebih, pernyataan itu tidak didasarkan pada penelitian ilmiah yang diuji oleh rekan sejawat.
Fakta mengejutkan juga diungkapkan oleh IDI. Keanggotaannya di wadah profesi dokter itu rupanya telah kadaluwarsa.
Polisi kemudian meringkus dokter Lois dan menetapkannya sebagai tersangka karena telah menyiarkan berita bohong.
Selain dokter Lois, penyebar hoaks tentang Covid-19 di sejumlah daerah di Indonesia juga diringkus oleh kepolisian.
Berseliwerannya hoaks selama pandemi memang cukup membuat resah. Hoaks membuat orang tercerai berai. Padahal, kekompakan dibutuhkan agar segera keluar dari masa krisis ini.
Tanggal 16 Desember 2021, pemerintah mengumumkan temuan pertama pasien Covid-19 varian Omicron. Namun, temuan ini cukup mengherankan. Sebab, pemerintah tidak bisa mengetahui secara pasti dari mana asal penularann tersebut.
Diketahui, temuan pertama varian Omicron itu terjadi pada seorang pasien berinisial N, seorang office boy yang bekerja di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. N diketahui tidak memiliki riwayat perjalanan keluar negeri.
Demikian pula, N tidak pernah berinteraksi dengan pelaku perjalanan luar negeri.
Penelusuran pun dilakukan. Dari 196 warga yang dilacak, ditemukan satu orang yang diduga kuat membawa varian Omicron ke Tanah Air. Ia adalah TF, berusia 21 tahun.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes, Widyawati mengatakan, TF kembali ke Tanah Air pada 27 November 2021.
Setelah tiba, TF dinyatakan positif Covid-19 dan dirawat di Wisma Atlet Kemayoran. TF dinyatakan sembuh dari Covid-19 pada 3 Desember.
Namun diketahui pada saat itu status TF hanya ‘probable Omicron’. Status ‘probable Omicron’ TF juga merujuk pada uji deteksi Single Nucleotide Polymorphism (SNP) berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil tes mengarah ke varian Omicron.
Hasil pelacakan ini otomatis menggugurkan label bahwa N adalah pasien Omicron pertama di Indonesia. Dan, sebagaimana perkiraan sejumlah epidemiolog sebelumnya, varian Omicron sebenarnya sudah masuk ke Indonesia, namun belum terdeteksi.
Epidemiolog dari Griffifth University Australia, Dicky Budiman mengatakan, varian baru Omicron disebut 500 persen lebih menular daripada virus corona asli yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China.
"Kalau diibaratakan varian Delta (yang sempat merebak beberapa waktu lalu) yang 100 persen kecepatannya lebih cepat menular daripada virus liar di Wuhan, ini kemungkinannya (varian baru) Omicron bisa sampai 500 persen atau 5 kalinya kecepatan penularannya," jelas Dicky kepada Kompas.com, Sabtu (27/11/2021).
WHO dalam keterangan resminya, Selasa (9/11/2021) menyebutkan bahwa varian Omicron ini memiliki sejumlah besar mutasi dan beberapa di antaranya mengkhawatirkan.
Meski demikian, Dicky berharap, penularan varian Omicron yang bisa lebih 4 kali lipat dibandingkan varian Delta ini hanya terjadi di awal saja, dan gejalanya tidak lebih parah dari kondisi yang terjadi sekarang.
"Ini baru dari data yang awal saat ini ya, mudah-mudahan tidak lebih parah lagi seperti (lonjakan kasus akibat infeksi varian delta) itu ke depannya," ujarnya.
Presiden Jokowi mengumumkan vaksinasi booster dimulai 12 Januari 2022 bagi seluruh rakyat Indonesia. Awalnya, booster diprioritaskan untuk diberikan kepada masyarakat yang masuk ke dalam kelompok rentan dan lansia.
Belakangan, vaksin booster dapat diberikan kepada seluruh warga berusia 18 tahun ke atas yang sudah mendapatkan dosis lengkap minimal enam bulan. Selain itu, ibu hamil pun juga sudah dibolehkan menerima booster.
Untuk mendapatkan vaksin booster, masyarakat harus mendapatkan tiket terlebih dulu. Tiket itu bisa dicek melalui aplikasi PeduliLindungi.
Mengingat jenis vaksin yang diberikan kepada masyarakat selama setahun terakhir cukup beragam, mulai dari Sinovac, AstraZeneca, Sinopharm, hingga Pfizer, untuk pemberian dosis vaksin booster menyesuaikan jenis vaksin primer yang diberikan.
Sejak kasus pertama varian Omicron ditemukan, grafik pertumbuhan kasus Covid-19 masih menunjukkan angka yang fluktuatif. Namun, tiga pekan berselang atau tepatnya 6 Januari 2022, kasus mulai merangkak naik.
Saat itu, kasus harian Covid-19 mencapai 533 kasus. Selanjutnya pada 18 Januari 2022, kasus harian Covid-19 mencapai 1.362.
Padahal sebelumnya kasus harian di atas 1.000 tercatat pada 14 Oktober 2021 atau tiga bulan sebelumnya, yaitu sebanyak 1.053 kasus.
Hingga pada 16 Februari 2022 penambahan kasus harian Covid-19 mencapai 64.718 kasus.
Simak perkembangan varian Omicron di Indonesia lewat grafik berikut ini:
Pemerintah tidak pernah secara resmi menyatakan bahwa Indonesia kini tengah menghadapi gelombang ketiga Covid-19. Meskipun dalam sejumlah kesempatan pemerintah menyatakan bahwa pada puncaknya kasus harian Covid-19 diprediksi mencapai 150.000 kasus.
Kondisi gelombang tiga justru disampaikan oleh Ketua Terpilih Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi. Ia mengatakan, hal tersebut dilihat dari positivity rate yang sudah berada di atas 30 persen.
"Kita sudah masuk sebenarnya di gelombang ketiga, karena progresivitas kenaikan positivity rate yang di awal kemarin itu awalnya 16 persen, lalu seminggu naik jadi 24 persen, bahkan kemarin 33 persen positivity rate," kata Adib dalam diskusi secara virtual, Jumat (4/2/2022).
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehayan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan Indonesia kian mendekati puncak gelombang ketiga Covid-19.
Nadia menerangkan prediksi itu berdasarkan tren penurunan kasus Covid-19 di wilayah DKI Jakarta. Padahal mayoritas kasus Covid-19 varian omicron terjadi di Ibu Kota.
“Kami perkirakan karena 60-70 persen kasus konfirmasi itu dari DKI dan DKI ada tren penurunan seluruh wilayah DKI, maka kemungkinan kita sudah mendekati puncak kasus omicron ini,” ungkapnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (16/2/2022).