JEO - Insight

Evolusi Pop Korea, Dari Diberangus Rezim Hingga Mendunia

Minggu, 31 Oktober 2021 | 17:27 WIB

BUDAYA pop Korea berkembang pesat secara global dua dekade terakhir.

Keberadaannya cukup digandrungi masyarakat dari berbagai belahan negara. Bahkan oleh masyarakat di negara yang secara kultur berbeda jauh dengan rumpun Asia.

Fenomena ini dijuluki Korean wave atau yang juga popular dengan istilah Hallyu.

Di Indonesia, Hallyu merasuki generasi milenial dan gen Z. Mereka ‘melahap’ semua produk yang dirilis para artis Korea idolanya.

Tak sedikit pula generasi di atas mereka yang turut bersimpati dengan aktif mendengar karya-karyanya.

Namun siapa sangka, gemerlap arus budaya pop Korea yang kita kenal kini, lahir dari perjalanan panjang yang penuh kerikil tajam. Ada penolakan, kecaman dan ironi pada secuil masanya sebelum sukses mewabah di dunia.

Kisah berliku pada perjalanan pop Korea ini mengingatkan kita dengan kisah semangat American Dreams melalui industri film Hollywood, atau komik superhero Marvel dan DC. 

Baca Juga: K-Pop, "Soft Power" Korea Selatan

Kemudian di Inggris, populer dengan istilah British Invasion atau Invasi Britania. Istilah ini menggambarkan fenomena menjamurnya penyanyi rock, pop dan band asal Britania Raya yang populer di dunia pada era 1960-an dan 1980-an.

Sebut saja, The Beatles, Queen, Rolling Stones, Black Sabbath, sampai Sex Pistols. 

Di India, ada Bollywood. Di China ada industri sinema bela diri dan di Jepang ada anime, cosplay dan manga.

Sama seperti produk-produk yang telah disebutkan di atas, pop Korea juga telah menembus batas negara dan budaya. Tak berlebihan pula apabila kita menyebut sebagai warisan global.

Lantas, bagaimana proses lahirnya pop Korea dan seperti apa perjalanannya?

Dekade 1950 dan tarian go go

Periode penting perkembangan budaya pop Korea dimulai pada era 1950-an.

Masyarakat Korea kala itu cukup tertutup dengan budaya asing, terutama Jepang. Hal itu sedikit banyak disebabkan oleh kolonialisme Jepang yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade (1910-1945).

Jarak antara Korea dengan Jepang kemudian dimanfaatkan Negeri Gingseng itu untuk membangun hubungan baik dengan Amerika Serikat. 

Peneliti Universitas Keio, Milim Kim, menceritakan bagaimana situasi sosial politik Korea pada masa itu melalui The Role of the Goverment in Cultural Industry: Some Observation from Korean Experience.

Kim menyebut, hubungan baik Korea Selatan-Amerika Serikat tidak hanya ada pada kamar dagang, tetapi juga budaya.

Baca Juga: Apa yang Membuat Kpop Begitu Mendunia? Inilah 4 Faktor Pentingnya

Tahun 1963 menjadi puncak masuknya budaya Amerika di Korea. Salah satu wujudnya adalah tarian gaya bebas ala barat yang merambah di kalangan muda Korea.

Tetapi, nilai-nilai warisan kolonial terlanjur mengakar. Khususnya bagi masyarakat Korea berusia tua.

Jutaan warga Korea terpisah akibat perang selama 1950-1953, kini sekitar 72.000 warga Korea Selatan  masih menunggu giliran untuk bertemu kembali dengan keluarga mereka.
AFP
Jutaan warga Korea terpisah akibat perang selama 1950-1953, kini sekitar 72.000 warga Korea Selatan masih menunggu giliran untuk bertemu kembali dengan keluarga mereka.

Golongan ini terbilang sudah memiliki kemapanan finansial dan tersebar ke sejumlah posisi penting di birokrasi dan masyarakat. Posisi mereka strategis sebagai penentu arah pendapat di Korea.

Mereka menilai, tarian gaya bebas itu merupakan bentuk dekadensi moral dan cabul.

Pertentangan seolah mencapai puncaknya setelah Park Chung-hee melakukan kudeta tahun 1961.

Rezim Park Chung-hee merupakan rezim militer yang bersifat otokratis dan represif, tetapi memiliki komitmen mengejar pembangunan ekonomi.

Baca Juga: 26 Oktober 1979: Terbunuhnya Presiden Korea Selatan Park Chung Hee

Rezim Park mengusung industri film dan drama televisi dengan gaya lokal. Selain itu, rezim Park juga menggaet banyak konglomerat untuk meningkatkan devisa negara melalui ekspor.

Sejumlah terobosan ini dinilai sukses meningkatkan kompetisi Korea Selatan di bidang ekonomi.

Namun, rezim ini boleh dibilang antiasing. Pemerintah menganggap tarian gaya bebas sebagai bentuk akulturasi budaya tidak strategis dalam hal sumbangsih ekonomi dan justru melunturkan nilai-nilai masyarakat Korea.

Maka, tak heran banyak pria dan wanita penari gaya bebas diarak di depan umum dan diadili oleh pengadilan militer.

 

Pernah terjadi di Indonesia

Sepintas, karakter rezim Park Chung-hee serupa dengan yang pernah terjadi di Indonesia. 

Sekadar menambah wawasan, pada dekade 1970, pemerintah Indonesia juga pernah menekan budaya pop yang dipelopori kaum muda kala itu. 

Pada awal 1970-an, demam hippies melanda dunia. Personel The Beatles, John Lennon, dan istrinya, Yoko Ono, jadi salah satu pentolan fenomena ini.

Gaya mereka mewabah hingga ke Indonesia dan menjadi tren anak muda, khususnya para seniman.

Pemerintah Orde Baru yang dikomandoi Soeharto kemudian melarang masyarakat, terutama anak muda, untuk berambut gondrong. 

Baca Juga: Penerapan Pancasila pada Masa Orde Baru

Demi menjamin keamanan dan kenyamanan penumpang, aparat melakukan penertiban taksi. Seperti yang dilakukan saat Pekan Pendidikan Lalu Lintas 17 Oktober 1977 ketika ratusan mobil President Taxi digiring ke Komdak untuk ditahan sekitar 8 jam karena dianggap kurang kelengkapannya. Para pemiliknya diminta datang dan diberikan peringatan agar lebih menertibkan kelengkapan taksi dan pengemudi. Para pengemudi taksi diwajibkan menunjukkan penampilan yang rapi. Harus berseragam yang sudah ditentukan (biru-biru), mengenakan pet, tidak boleh gondrong, dan tidak boleh bersandal jepit sewaktu bertugas. Satlantas Komdak Metro Jaya Letkol (Pol) Putra Astaman berseru agar masyarakat tak perlu menggunakan taksi yang menyimpang dari ketentuan tersebut.
Kompas/Dudy Sudibyo
Demi menjamin keamanan dan kenyamanan penumpang, aparat melakukan penertiban taksi. Seperti yang dilakukan saat Pekan Pendidikan Lalu Lintas 17 Oktober 1977 ketika ratusan mobil President Taxi digiring ke Komdak untuk ditahan sekitar 8 jam karena dianggap kurang kelengkapannya. Para pemiliknya diminta datang dan diberikan peringatan agar lebih menertibkan kelengkapan taksi dan pengemudi. Para pengemudi taksi diwajibkan menunjukkan penampilan yang rapi. Harus berseragam yang sudah ditentukan (biru-biru), mengenakan pet, tidak boleh gondrong, dan tidak boleh bersandal jepit sewaktu bertugas. Satlantas Komdak Metro Jaya Letkol (Pol) Putra Astaman berseru agar masyarakat tak perlu menggunakan taksi yang menyimpang dari ketentuan tersebut.

Pada 1971, TVRI mencekal para seniman berambut gondrong. Mereka dilarang tampil di stasiun televisi milik pemerintah itu. Di antaranya adalah Sophan Sophian, Broery Marantika, Trio Bimbo, W.S. Rendra, Umar Kayam, juga Ireng Maulana dan Taufiq Ismail.

Bahkan, aparat merazia rambut gondrong di jalan-jalan. Salah satunya terjadi di Sumatera Utara.

Sampai-sampai Marah Halim, Gubernur Sumatera Utara periode 1967-1978 melakukan perlawanan dengan membentuk Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong. 

Sikap dan kebijakan pemerintah Orde Baru ini pun banyak dikritik dan ditentang banyak pihak, terutama kaum muda yang diisi aktivis, mahasiswa, dan pelaku seni. 

Mari kita kembali ke Korea. Kaum muda Seoul baru bisa bernapas lega setelah pembatasan itu dicabut pada tahun 1969.

Baca Juga: Kpop, antara Hiburan dan Imperialisme Budaya

 

Berkembang, tetapi belum diterima

Pencabutan pembatasan itu membuat pertunjukan musik langsung bermunculan di Seoul. Di sanalah kaum muda bebas menggerak-gerakkan tubuhnya dengan alunan musik rock dan soul asal Amerika yang kebetulan mulai popular.

Beberapa tempat menjadi ikon. Salah satu yang paling ternama adalah klub Hollywood Whiskey A Go Go, tempat tentara Amerika Serikat menghabiskan waktu kosong.

Atraksi yang paling disukai adalah ketika tarian dipimpin oleh para ‘gadis go go’ sehingga seisi klub turut menari.

Pelonggaran ini rupanya menginisiasi terbentuknya grup go go Korea pertama, yakni the Spookies pada April 1968. Grup ini mulai digandrungi kaum muda Korea dan pernah tampil di panggung militer AS.

Baca Juga: Asal Mula dan Sejarah Korea Selatan Punya Wajib Militer

Mereka diperkenalkan kepada penonton Korea pada serangkaian konser bapak rock Korea Shin Joong-hyun pada Oktober 1969.

Salah satu momen paling atraktif adalah ketika mereka melakukan koreografi mengguncangkan seluruh tubuh seperti orang terkena stroke.

Sebulan setelahnya, TBC-TV memperkenalkan sebuah acara yang menampilkan band dan penari muda yang disebut ‘1,2,3,Go’. Hal ini mengingatkan orang Korea pada The Rhythms, grup penari go-go beranggotakan tujuh gadis remaja dari Seoul American High School Yongsan Garrison.

Namun, pada akhir Maret 1970 program itu ditutup karena menuai kritik di media massa. Tarian itu dinilai tidak memiliki jiwa dan bersifat sugestif negatif.

Nyatanya, tarian go-go terus berkembang seiring dengan berjalannya musik langsung. 

Pada April 1970 majalah mingguan Sunday Seoul memamerkan The Rhythms di "Go-Go Gala Party" selama tiga hari di Balai Warga Seoul. Momen itu seakan menjadi penanda bahwa tarian go-go berkembang sedemikian pesatnya di Korea.

Pada Februari 1970, Ruang Cosmos memulai "go-go time" pada Selasa malam. Kabaret Midopa juga membuka “go-go time”. Keduanya mendahului transformasi mereka menjadi klub go-go pada bulan Mei.

Klub Las Vegas segera mengiklankan lampu psychedelic yang menyebut go-go sebagai "Musik eksplosif!". Di sana, semua orang dapat merasakan atmosfer tarian yang dapat melepaskan frustrasi dan kemarahan kaum muda yang terpendam.

Baca Juga: Tarian Tradisional Indonesia Lebih Keren dari Tarian K-Pop?

Meskipun biaya masuk cukup mahal, pengalaman baru yang ditawarkan klub go-go menarik pelanggan, terutama para anak muda. 

Pada musim panas 1970, tarian itu mendapatkan perhatian yang masif dari media dan meningkatkan kemarahan orangtua mereka.

Saat itu, bahkan pria berambut panjang mulai ditindak. Rambut mereka dipangkas lantaran dianggap sebagai simbol perlawanan dan perkembangan terhadap nilai-nilai yang sudah ada. 

Penampakan Chosun Hotel di Korea Selatan.
Fabian Januarius Kuwado
Penampakan Chosun Hotel di Korea Selatan.

Seolah melawan gelombang kritik kala itu, pada Januari 1971, Chosun Hotel membuka klub go-go sepanjang malam yang didekorasi dengan mewah bernama Tomorrow. Pintu masuknya didekorasi sedemikian rupa sehingga membuat orang merasa seolah-olah memasuki dunia fantasi. 

Di dalam, band Filipina Wild Five meningkatkan suasana dengan alunan musik yang membius pengunjung.

Korea Times menyebut, tempat seperti itu surga bagi kaum muda yang ingin melepaskan diri dari intervensi yang tidak diinginkan dari orangtua mereka.

Sayangnya, beberapa laporan mengatakan bahwa Tomorrow penuh dengan penari yang mengabaikan jam malam. Pelanggaran itu menjadi celah bagi pihak berwenang untuk meminta Tomorrow dan klub sejenis tutup lebih awal dan menghentikan pesta pora sepanjang malam.

Dari larangan itu, pihak berwenang dan tarian go-go kerap berbenturan selama beberapa dekade.

Baca Juga: Mengapa Grup K-Pop Punya Banyak Anggota?

Potensi ekonomi hingga ledakan K-pop

Tahun-tahun berlalu, muncul kesadaran dari pemerintah Korea bahwa budaya pop bisa menjadi celah untuk mengangkat taraf negara. Baik dari segi ekonomi, pariwisata dan lainnya.

Pada 1990, pemerintah Korsel membentuk Kementerian Kebudayaan dengan tugas mengampanyekan sepuluh simbol kultural sebagai identitas nasional.

Mereka juga membangun auditorium konser raksasa, membuat teknologi hologram lebih sempurna, dan mengatur tata kelola bar karaoke demi melindungi industri Kpop. 

Contohnya lainnya, pemerintah Korea Selatan mampu menjadikan sebuah halte bus, bekas tempat shooting video klip sebuah idol grup di daerah pantai terpencil sebagai objek wisata populer.

Hal ini menunjukkan kesungguhan pemerintah Korea Selatan dalam memberdayakan popularitas artis mereka.

Patung di Nami Island, Korea Selatan, dari adegan dan lokasi pembuatan drama Korea Winter Sonata. Gambar diambil pada 25 Oktober 2015.
SHUTTERSTOCK/GUITAR PHOTOGRAPHER
Patung di Nami Island, Korea Selatan, dari adegan dan lokasi pembuatan drama Korea Winter Sonata. Gambar diambil pada 25 Oktober 2015.

Jurnalis sekaligus penulis Korsel-Amerika, Euny Hong mencatat, berkat hal itu Korea Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi nasional yang sangat tajam sepanjang periode 1980-an hingga awal 1990-an.

Dalam buku Korean Cool: Strategi Inovatif di Balik Ledakan Budaya Pop Korea (2016), Hong juga menggarisbawahi ledakan diplomasi kebudayaan yang terjadi kemudian erat kaitannya dengan ketakutan pemerintah pada kemajuan Korea Utara. 

Saat itu, Korsel semakin gencar mengekspor produk budaya pop ke China sejak tahun 1992. Dampaknya, pengaruh budaya pop Korsel di China mencapai puncak pada 1997 ketika sebuah siaran bertajuk Seoul Music Agency menjadi kegemaran anak-anak muda Beijing. 

Sekitar tahun 1997, pemerintah Korea Selatan membuat Undang Undang Promosi Budaya dan Seni. Salah satu implikasi UU ini adalah melarang impor produk kreatif.

Baca Juga: Jokowi "Blusukan" ke Pusat Industri Kreatif Korea

Bermula dari sini, media-media China mulai menggunakan istilah Hallyu untuk menyebut hiburan dan produk kebudayaan massa dari Korea yang marak di China.

Hong kemudian mencatat, ledakan Kpop lahir dari krisis ekonomi Asia yang terjadi pada 1997-1998. 

Krisis telah meruntuhkan ekonomi Korsel yang sudah berjalan selama lebih dari 50 tahun. Pada Desember 1997, pemerintah Korsel mendapatkan pinjaman 57 miliar dolar AS dari Dana Moneter Internasional untuk membantu mengentaskan krisis nasional. 

Hong menggarisbawahi, hari di mana pemerintah Korea mengajukan permohonan pinjaman itu dikenal sebagai Hari Memalukan Nasional.

Pada 1998, Presiden Kim Dae-jung memutuskan Korsel harus keluar dari lingkaran pinjaman yang kurang menguntungkan itu. Ia mencurahkan perhatiannya kepada pembangunan teknologi demi meningkatkan kualitas ekspor budaya populer. 

(Dari kiri) Jennie, Rose, Lisa, dan Jisoo dari girl group BLACKPINK menghadiri  YouTube Music Artist Lounge at Coachella 2019 di Indio, California, pada 12 April 2019.
AFP/GETTY IMAGES NORTH AMERICA/ROGER KISBY
(Dari kiri) Jennie, Rose, Lisa, dan Jisoo dari girl group BLACKPINK menghadiri YouTube Music Artist Lounge at Coachella 2019 di Indio, California, pada 12 April 2019.

Hasilnya, sektor ekonomi kreatif terintegrasi dengan berbagai sektor lainnya dengan sangat baik. Kebudayaan tak hanya diposisikan sebagai warisan, melainkan sebagai komoditas yang punya nilai ekonomi. 

Rencana ini lahir menyusul pendapat yang menyebut bahwa sudah saatnya Korsel mulai meniru cara AS menarik perhatian dunia melalui Hollywood.

Kim Dae-Jung ingin sekali meniru AS dalam meraup keuntungan dari film dan Britania Raya dari konser musik. Ia memutuskan untuk menggunakan kedua negara itu sebagai patokan dalam menciptakan industri budaya populer Korea.

Rupanya, strategi ini cukup jitu. Grup-grup idol Kpop muncul dan bertumbuh. Para penggemarnya juga demikian, bukan hanya menggemari sebagai individual, tetapi membentuk ekosistem sendiri yang telah menguntungkan industri.

Baca Juga: Bagaimana K-Pop dan K-Drama Pengaruhi Ekonomi Korsel?

Memasuki milenium baru, ambisi Korsel melebarkan Korean Wave ke penjuru Asia tercapai berkat pembangunan ekonomi berbasis teknologi yang terus ditingkatkan selepas krisis ekonomi. 

Menyambung kesuksesan ini, pada 23 Maret 2013, Presiden Park Geun-hye mendirikan Divisi Industri Budaya Populer di bawah Kementerian Kebudayaan.

Kesuksesan itu pun terbukti. Bukan hanya dari segi kualitas, tapi juga kuantitas. 

 

Kisah sukses BTS

Contoh konkretnya adalah Bangtan Boys atau BTS yang menjadi ikon budaya pop Korea sekaligus industri kreatif Negeri Ginseng. Boyband beranggotakan tujuh orang yang diasug Big Hit Entertainment ini mencatatkan pundi-pundi yang luar biasa.

Seperti kekuatan industri hiburan lainnya, kekuatan BTS juga terletak pada penggemarnya. Melihat asal views di kanal YouTube BTS dari tahun 2020 hingga awal 2021, Jepang, Indonesia, dan India adalah pasar potensial yang luar biasa.

Salah satu bukti nyata kemampuan BTS dalam membuat heboh di Indonesia adalah BTS Meal. Di mana, BTS dan franchise restoran cepat saji McDonalds atau McD bekerja sama dalam menyajikan menu BTS Meal.

Di hari pertama BTS Meal rilis di Indonesia, Rabu (9/6/2021), antrean membeludak di hampir seluruh gerai McDonalds.

Korean Wave di Indonesia

Masifnya kemajuan teknologi informasi melunturkan batas ideologi, negara dan budaya. Apa yang terjadi di belahan bumi yang satu dapat dengan cepat diketahui manusia di belahan bumi lainnya.

Seperti inilah Korean Wave bekerja di dunia, termasuk di Tanah Air.

Diawali dengan musik, drama dan variety shows yang dikemas apik dengan menyelipkan budaya Korea, gelombang ini kemudian diikuti dengan masuknya produk lain. Mulai dari busana, produk kecantikan dan perawatan kulit, hingga kuliner.

Kegandrungan terhadap produk-produk Korea ini kemudian memunculkan ketertarikan terhadap segala sesuatu yang berbau Korea. Gaya bicara, hingga bahasanya.

Anak muda Indonesia sering menyelipkan kata-kata dengan bahasa Korea dalam kehidupan sehari-hari seperti “annyeong”, “saranghae”, “hyung”, dan “hwaiting”

Cara pandang mereka pun juga berubah menjadi lebih terbuka terhadap berbagai aspek kehidupan, menjadi lebih bahagia dan bahkan banyak yang bangkit dari depresi.

Indonesia yang berstatus negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia kini menjadi rumah bagi jutaan Kpopers, julukan bagi pecinta pop Korea.

Baca Juga: Kreativitas Ekonomi Korea Selatan Perlu Ditiru

Twitter pernah mengumumkan daftar negara yang paling banyak men-tweet terkait artis Kpop sepanjang tahun 2019. Indonesia berada pada peringkat tiga setelah Thailand dan Korea Selatan sendiri.

Maka tak heran apabila para fans dari artis-artis Korea biasanya mendirikan fanbase atau komunitas yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Tentu, kita masih ingat bagaimana kolaborasi BTS dengan McDonalds lewat BTS Meal membuat orang berbondong-bondong membelinya. Seolah tak peduli pandemi Covid-19 masih melanda, orang-orang menyerbu gerai McD untuk membeli produk kolaborasi itu demi idola mereka.

Empat remaja asal Ciganjur, Jagakarsa, Jaksel berburu menu khusus BTS Meal di McDonalds Kemang, Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan pada Rabu (9/6/2021) sore. Mereka akan mengoleksi gelas, paper bag, dan saus edisi khusus BTS.
KOMPAS.com/WAHYU ADITYO PRODJO
Empat remaja asal Ciganjur, Jagakarsa, Jaksel berburu menu khusus BTS Meal di McDonalds Kemang, Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan pada Rabu (9/6/2021) sore. Mereka akan mengoleksi gelas, paper bag, dan saus edisi khusus BTS.

Dalam posisi ini, tentu Indonesia menjadi target pasar Korea Selatan.

Pertanyaannya, apakah Indonesia bisa menapaki jalan yang sama?

 

Penuh potensi, tetapi butuh keseriusan

Keseriusan Korea Selatan menggarap industri hiburan perlu jadi bahan pembelajaran Indonesia.

Analis Media Indonesia Indicator Sari Mawarni memaparkan, tak sedikit seniman Indonesia yang tampil di kancah internasional. Sebut saja Agnez Mo, Rich Brian, Weird Genius, dan masih banyak lagi.

Jika ditarik mundur lagi, Indonesia memiliki penyanyi Anggun C. Sasmi dan Pianis Joey Alexander yang masuk ke peringkat music Billboard.

Khusus Joey, bahkan masuk ke dalam nominasi penghargaan Grammy Awards untuk kategori music jazz selama dua tahun berturut-turut pada 2016 dan 2017.

Pencapaian lainnya diraih band rock Superman Is Dead yang sempat menempati posisi ke-23 Billboard Uncharted pada tahun 2011.

“Berdasarkan data ini, tidak perlu ada keraguan akan kualitas penyanyi dan karya musik anak bangsa di pasar musik internasional. Jangan-jangan, sesungguhnya potensi musik Indonesia lebih unggul dibandingkan Kpop,” ujar Sari dalam sebuah artikel tahun 2019.

Beberapa hal yang harus digiatkan dalam rangka membangkitkan industri hiburan Tanah Air di kancah internasional dapat dimulai dari menggairahkan program-program musik berkualitas dengan konsep acara mendidik.

Amat disayangkan bila ajang pencarian bakat bernyanyi yang terus digelar setiap tahunnya tidak dibarengi dengan penyediaan acara musik yang megah dan mewadahi perkembangan para penyanyi pendatang baru itu.

“Saluran yang dianggap popular dan efektif justru Youtube. Acara yang mengulas karya musik pun terbilang minim,” ujar Sari.

Baca Juga: Ekonomi Kreatif Era Budaya Layar

Di sisi lain, peringkat lagu bukan dijadikan formalitas, melainkan acuan untuk mengukur apresiasi dari penikmat musik.

Tidak perlu pula ada penonton bayaran. Tak perlu ada tambahan alur komedi atau kisah iba hanya demi menambah durasi acara.

“Biarkan audiens memilih lagu dan musik kesukaannya hingga membentuk kelompok pasar musiknya sendiri. Biarkan penyanyi, band, grup vokal dan musisi seakan ‘dihakimi’ penikmat musik Tanah Air,” ujar Sari.

Ilustrasi panggung konser musik kosong.
SHUTTERSTOCK/BENOIT DAOUST
Ilustrasi panggung konser musik kosong.

Seiring dengan itu, ajang penghargaan musik perlu dibuka secara transparan dan melibatkan peran serta penggemar.

Selain menumbuhkan karakter kompetitif dan eksploratif, bukan tidak mungkin akhirnya musik Indonesia menemukan konsep industri yang menjadi satu bagian dari kebudayaan.

“Saya membayangkan, modernisasi terjadi di genre musik campursari atau terbukanya peluang kolaborasi antara penyanyi daerah dengan penyanyi nasional,” ujar dia.

Baca Juga: Ekonomi Kreatif Tak Lepas dari Kebudayaan

Lebih jauh dari itu semua, musisi Tanah Air juga harus mengedepankan kedisiplinan dan komitmen dalam menapaki dunia entertainment. Sebagaimana industri Kpop yang menjual harmonisasi suara dan gerak, ada proses sulit yang harys mereka lalui sebelum ‘lahir’.

Singkat kata, dibutuhkan keinginan politik pemerintah yang kuat, road map yang mapan, tata kelola yang profesional serta sumber daya yang berkualitas untuk menjadikan industri hiburan Indonesia bisa mendunia.