MASJID di antara deretan ruko Jalan Lautze, Karang Anyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat, terlihat begitu mencolok. Temboknya didominasi warna merah dan kuning.
Arsitektur bangunannya menyerupai pagoda. Selain itu, bagian atap tidak berbentuk kubah, seperti masjid pada umumnya yang memiliki simbol bintang dan bulan sabit.
Bentuk pintu masjid mirip dengan gerbang kelenteng yang tinggi dan terbuat dari kayu tebal. Pada langit-langit dekat pintu masuk terdapat ornamen lampion.
Menjelang matahari terbenam, beberapa jemaah mulai berdatangan ke Masjid Lautze. Mereka duduk-duduk di area depan masjid.
Sebagian besar yang datang merupakan karyawan pertokoan di sekitar masjid. Mereka berbincang santai sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Pengurus masjid pun sibuk menyiapkan hidangan untuk berbuka. Mereka menyajikan tiga buah kurma, roti, gorengan, air mineral, dan teh manis hangat untuk tiap orang yang berbuka di sana.
Tak lama kemudian, Lim On Sioe atau akrab disapa Koh Aon mengenakan peci dan bergegas menuju mimbar yang terletak di dekat mihrab. Sore itu, Senin (10/4/2023), ia bertugas menjadi muazin.
Setelah menyiapkan pengeras suara, pria berusia 66 tahun itu mengumandangkan azan maghrib. Waktu berbuka puasa pun tiba.
Bagian dalam masjid dihiasi dengan ornamen seni kaligrafi Arab dan aksara China. Warna merah, kuning, dan hijau juga mendominasi.
Pada bagian mihrab atau ruang kecil tempat imam memimpin shalat terdapat hiasan kaligrafi bertuliskan Ar-Rahman, yang artinya Allah Maha Pengasih.
Di sebelahnya terpasang ornamen aksara China dengan arti yang sama, dalam bahasa Mandarin berbunyi La Ha Man.
Seluruh ornamen pada dinding masjid merupakan cendera mata yang dibawa pengurus Yayasan Haji Karim Oei dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika berkunjung ke China.
Ide pembangunan Masjid Lautze dicetuskan oleh Haji Junus Jahja alias Lauw Chuan Tho. Ia memeluk Islam pada 1979 di bawah bimbingan Buya Hamka.
Junus dikenal sebagai tokoh pembauran yang mendorong asimilasi etnis Tionghoa melalui Islam. Ia meyakini bahwa proses pembauran etnis Tionghoa dapat ditempuh dengan jalur keagamaan.
Penerima Bintang Mahaputera dari Presiden BJ Habibie itu juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Kemudian, pada era 1990-an, Junus menggagas pendirian Yayasan Haji Karim Oei. Ketika itu, jabatan ketua yayasan dipegang oleh tokoh Muhammadiyah, Lukman Harun, dan digantikan oleh Junus.
Tahun 1991, Junus mencetuskan pembangunan Masjid Lautze dan diresmikan pada 1994 oleh Habibie saat masih menjabat Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Junus Jahja wafat pada 7 November 2011 di Rumah Sakit PGI Cikini dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Setelah Junus, jabatan ketua yayasan diemban Haji Ali Karim, anak dari Haji Abdul Karim Oei Tjeng Hien, seorang muslim Tionghoa yang namanya diabadikan sebagai nama yayasan.
Haji Karim Oei merupakan sahabat Buya Hamka dan Soekarno. Pada era 1930-an, ia menjabat Ketua Konsul Muhammadiyah di Bengkulu.
Karim Oei juga tercatat sebagai salah satu pendiri Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dan pernah menjadi pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Menurut Ali Karim, banyak tokoh dari berbagai organisasi ikut membantu Masjid Lautze. Selain Lukman Harun dari Muhammadiyah, mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Ali Yafie turut memiliki andil dalam pembangunan masjid.
“Dia paling aktif membantu Masjid Lautze,” ujar Ali Karim saat ditemui, Sabtu (15/4/2023).
Bantuan juga datang dari tokoh organisasi Al Washliyah, Yunan Helmi Nasution, dan tokoh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Fahmi Idris.
Setelah resmi berdiri, Masjid Lautze tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi wadah bagi warga keturunan Tionghoa untuk mempelajari agama Islam.
Karena itu, bangunan masjid didesain bercorak budaya Tionghoa agar mereka yang ingin belajar Islam tidak merasa asing dan nyaman.
Pada periode 1997 hingga 2022, tercatat ada 1.741 orang yang menjadi mualaf di masjid tersebut. Ada yang memeluk Islam atas pengalaman spiritual, sebagian lainnya karena alasan perkawinan.
“Tujuan kami memberikan informasi soal Islam, bukan mengislamkan orang ya. Itu beda,” kata Ali Karim.
“Kami memberikan informasi mengenai agama Islam kepada warga keturunan Tionghoa, yang selama ini mereka melihat Islam dari sudut pandang negatif,” tutur dia.
Namun, bentuk bangunan masjid ketika baru diresmikan tidak seperti sekarang. Corak khas Tionghoa tidak terlihat mencolok pada bagian luarnya.
Ali Karim mengungkapkan, kala itu Junus Jahja berpandangan bahwa upaya pembauran yang paling efektif bagi etnis Tionghoa yakni melalui agama.
Identitas budaya tidak boleh terlalu mencolok ketika seorang Tionghoa telah menjadi mualaf. Menurut Ali Karim, pandangan ini tidak terlepas dari kebijakan diskriminatif yang dialami warga Tionghoa pada masa Orde Baru.
Ia mencontohkan, di kartu tanda penduduk (KTP) warga Tionghoa tertera tanda A yang artinya keturunan asing. Setelah itu kebijakan berganti menggunakan kode 0, sedangkan kode angka 1 merujuk pada warga pribumi.
“Ada kode-kodenya, tetap dibedakan. Nah, di situlah kami melihat pentingnya pembauran. Pak Junus melihat bahwa pembauran di Indonesia ini paling berhasil adalah lewat agama,” kata Ali Karim.
Hal senada disampaikan Qiu Xue Long atau Ustaz Naga Kunadi (47), salah satu pengurus masjid dan pendamping para mualaf.
Ia mengatakan, dahulu bangunan Masjid Lautze tidak jauh berbeda dengan ruko yang ada di sekitarnya.
“Tujuan Pak Junus Jahja mendirikan masjid ini kan memang untuk pembauran. Jadi, Pak Junus itu inginnya orang Tionghoa berbaur, cara yang paling efektif adalah dengan Islam. Dulu bentuknya (masjid) tidak seperti ini,” kata Naga.
Identitas budaya Tionghoa mulai tampak pada era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Mantan Ketua Umum PBNU itu menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Keputusan tersebut menjadi dasar bagi warga Tionghoa mengekspresikan kebudayaan dan kebebasan menjalankan agamanya.
“Ketika zaman Presiden Gus Dur, kami bisa memunculkan identitas Tionghoa, sebagai muslim Tionghoa,” ucap Naga.
Kini, warga muslim Tionghoa bisa berbaur tanpa perlu menyembunyikan identitas budaya mereka.