DUNIA diserang wabah, negara-negara malah terpecah. Alih-alih kompak untuk mengakhiri pandemi Covid-19, sejumlah negara besar justru kian sengit terlibat pertarungan kepentingan.
Sebut saja, Amerika Serikat dengan China, Amerika Serikat dengan Rusia, Eropa Barat dengan Rusia, China dengan India, atau Australia dengan China.
Di sisi lain, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Desember 2020 melaporkan, wabah telah memperburuk kemiskinan di 47 negara miskin. Sementara, 32 juta orang di negara berkembang telah terhempas ke jurang kemiskinan.
Situasi ini menjadi tantangan bagi Indonesia yang memegang tampuk keketuaan alias Presidensi G20 tahun 2021-2022.
Untungnya, sejarah berpihak ke kita. Indonesia memiliki rekam jejak yang baik dalam hal ‘membangun jembatan’ di dunia.
Mulai dari Gerakan Non-Blok, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hingga Konferensi Asia Afrika, Indonesia berperan aktif menyeimbangkan kekuatan-kekuatan negara di bumi.
Tajuk Rencana Kompas, 19 Januari 2022 menyebut, selain memiliki rekam jejak yang baik, Indonesia juga memiliki kapasitas ekonomi yang memungkinkan untuk mengambil peran itu.
Pada tahun 2020, Indonesia diakui sebagai salah satu negara berkekuatan menengah yang sedang naik daun. Selain Indonesia, ada India, Jepang, dan Jerman.
Oleh sebab itu, sebagai pemimpin kerjasama 20 negara berkekuatan ekonomi terbesar di dunia, Indonesia harus memanfaatkan momen ini untuk menjadi penyeimbang sekaligus penyambung global.
Indonesia dituntut untuk sukses mengadvokasi berbagai kepentingan domestik dan negara miskin serta berkembang, agar dunia menjadi lebih adil dan setara.
Melihat betapa pentingnya perhelatan G20 , pantas bila isu-isu di dalamnya diperhatikan saksama oleh publik.
Untuk itu, tim JEO Kompas.com telah merangkum seluk beluk informasi tentang G20 agar mudah Anda pahami.
Simak selengkapnya…
Group of Twenty atau G20 adalah sebuah forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia terdiri dari 19 negara dan 1 lembaga Uni Eropa.
Negara yang termasuk anggota G20 adalah Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.
G20 memiliki posisi strategis karena secara kolektif merupakan representasi dari 85 persen perekonomian dunia, 80 persen investasi global, 75 persen perdagangan internasional, 60 persen populasi dunia.
Forum ini mengadakan pertemuan setiap tahun dan memulai KTT Tahunan pertamanya pada 2008 dengan partisipasi dari masing-masing Kepala Negara dan pemerintahan.
Pembentukan G20 tidak terlepas dari kekecewaan komunitas internasional terhadap kegagalan G7 dalam mencari solusi terhadap permasalahan perekonomian global yang dihadapi saat itu.
Pandangan yang mengemuka saat itu adalah pentingnya negara-negara berpendapatan menengah dan memiliki pengaruh ekonomi untuk diikutsertakan dalam perundingan demi mencari solusi permasalahan ekonomi global.
Pada tahun 1999, atas saran dari para Menteri Keuangan G7 (Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis), para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara G20 mulai mengadakan pertemuan untuk membahas respon terhadap krisis keuangan global 1997-1999.
Sejak saat itu, pertemuan tingkat Menteri Keuangan dilaksanakan secara rutin pada musim gugur.
Pada tanggal 14 hingga 15 November 2008, Presiden Amerika Serikat George Walker Bush mengundang para pemimpin negara-negara G20 dalam KTT G20 pertama.
Pada kesempatan itu, para pemimpin negara melakukan koordinasi respons global terhadap dampak krisis keuangan yang terjadi di AS saat itu dan sepakat untuk melakukan pertemuan lanjutan.
Untuk mempersiapkan KTT setiap tahun, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 melakukan pertemuan beberapa kali setahun.
Berbeda dari kebanyakan forum multilateral lain, G20 tidak memiliki sekretariat tetap. Fungsi presidensi (tuan rumah) dipegang oleh salah satu negara anggota yang berganti setiap tahun.
Guna memastikan seluruh pertemuan G20 lancar, Presidensi tahun berjalan beserta presidensi sebelum dan presidensi selanjutnya (disebut Troika) secara intensif melakukan koordinasi kesinambungan agenda prioritas G20.
Event kerjasama multilelateral yang fokus pada isu keuangan dan non keuangan ini telah berlangsung di Indonesia sejak 1 Desember 2021.
Sejumlah pertemuan yang dihadiri menteri/kepala badan terkait telah selesai dilaksanakan sekaligus telah dijadwalkan.
Terdapat tiga jenis pertemuan dalam G20. Pertama, pertemuan kelompok kerja/Working Groups.
Pertemuan ini beranggotakan para ahli dari negara G20, Working Groups menangani isu-isu spesifik yang terkait dengan agenda G20 yang lebih luas, lalu dimasukkan ke dalam pertemuan yang lebih tinggi.
Kedua, pertemuan tingkat menteri dan deputi yang diadakan di masing-masing area fokus utama forum.
Pada Finance Track, Ministerial Meetings dihadiri oleh menteri keuangan dan gubernur bank sentral, yang disebut Finance Ministers and Central Bank Governors Meetings (FMCBG).
Sementara pertemuan para deputi disebut Finance and Central Bank Deputies Meetings (FCBD).
Ketiga, yakni merupakan klimaks dari rangkauan G20, yaitu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)/Summit. Dalam acara ini, akan hadir setiap kepala negara.
Acara Summit G20 ini sendiri akan dilaksanakan akhir bulan November 2022 di Bali.
Pertemuan G20 kali ini mengambil tema, ‘Recover Together, Recover Stronger’. Melalui tema ini, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia bahu membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.
Indonesia akan fokus untuk mengerjakan tiga hal saat memegang presidensi G20. Pertama, penanganan kesehatan yang inklusif. Kedua, transformasi berbasis digital. Ketiga transisi menuju energi berkelanjutan.
Pembahasan ketika sektor tersebut dijalankan di dalam dua kelompok, yakni Finance Track dan Sherpa Track.
1. Finance Track
Fokus isu yang dibahas pada arus ini adalah ekonomi dan keuangan.
Dalam isu ini, ada enam hal yang akan menjadi pembahasan, yakni:
a. Exit policy untuk pemulihan ekonomi global pascapandemi.
b. Bagaimana mengatasi dampak pandemi agar pertumbuhan di masa depan terjamin. Fokusnya pada dampak Covid-19 di sektor riil, contohnya tenaga kerja dan keuangan.
c. Sistem pembayaran di era digital.
d. Pembahasan mengenai keuangan berkelanjutan yang menciptakan keadilan bagi semua negara.
e. Inklusi keuangan terkait teknologi digital dan akses pembiayaan serta pemasaran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
f. Membahas sistem perpajakan internasional agar tercipta kepastian rezim pajak, transparansi dan pembangunan.
Pembahasan jalur ini dipimpin oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
2. Sherpa Track
Fokus isu yang dibahas pada arus ini lebih luas di luar isu keuangan.
Jalur Sherpa pada Presidensi G20 di Indonesia memprioritaskan, antara lain pada isu di bidang geopolitik, antikorupsi, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender, serta lingkungan hidup dan iklim.
Pembahasannya jalur ini dipimpin oleh Menteri Koordinator Keuangan Airlangga Hartarto dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Mengutip laman bi.go.id, berikut ini adalah beberapa manfaat Presidensi G20 bagi Indonesia:
Pertemuan-pertemuan G20 di Indonesia juga menjadi sarana untuk memperkenalkan pariwisata dan produk unggulan Indonesia kepada dunia internasional, sehingga diharapkan dapat turut menggerakkan ekonomi Indonesia.
Mengutip Kompas, 5 Januari 2022, secara ekonomis, putaran uang dari penyelenggaraan forum G-20 sepanjang periode presidensi Indonesia mencapai 1,5 hingga 2 kali lebih besar dari Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali tahun 2018.
Berdasarkan hitung-hitungan Kemenko Perekonomian, melalui ratusan forum yang terselenggara secara hibrida, akan terjadi peningkatan konsumsi domestik hingga Rp 1,7 triliun.
Selain itu, akan ada penambahan produk domestik bruto nasional hingga Rp 7,4 triliun, serta pelibatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan penyerapan tenaga kerja sekitar 33.000 orang di berbagai sektor.
Salah satu kesuksesan G20 terbesar adalah dukungannya dalam mengatasi krisis keuangan global 2008.
G20 turut mengubah wajah tata kelola keuangan global, dengan menginisiasi paket stimulus fiskal dan moneter yang terkoordinasi, dalam skala sangat besar.
G20 juga mendorong peningkatan kapasitas pinjaman IMF, serta berbagai development banks utama.
Forum ini dianggap telah membantu dunia kembali ke jalur pertumbuhan, serta mendorong beberapa reformasi penting di bidang finansial.
G20 telah memacu OECD untuk mendorong pertukaran informasi terkait pajak.
Pada 2012, G20 menghasilkan cikal bakal Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) keluaran OECD, yang kemudian difinalisasikan pada 2015.
Melalui BEPS, saat ini 139 negara dan jurisdiksi bekerja sama untuk mengakhiri penghindaran pajak.
Inisiatif G20 dalam penanganan pandemi mencakup penangguhan pembayaran utang luar negeri negara berpenghasilan rendah, Injeksi penanganan Covid-19 sebanyak >5 triliun USD (Riyadh Declaration), penurunan/penghapusan bea dan pajak impor, pengurangan bea untuk vaksin, hand sanitizer, disinfektan, alat medis dan obat-obatan.
Selain itu, G20 berperan dalam isu internasional lainnya, termasuk perdagangan, iklim, dan pembangunan.
Pada 2016, diterapkan prinsip-prinsip kolektif terkait investasi internasional.
G20 juga mendukung gerakan politis yang kemudian berujung pada Paris Agreement on Climate Change di 2015, dan The 2030 Agenda for Sustainable Development.
Negara miskin-berkembang menaruh harapan besar kepada Indonesia sebagai pemegang tampuk keketuaan G20.
Pada pertengahan Januari 2022, lembaga-lembaga nonpemerintah yang tergabung dalam engagement group (C-20) menggodok inisiatif yang akan direkomendasikan ke negara-negara G20.
C-20 sendiri merupakan satu dari 10 engagement group yang ada di bawah jalur Sherpa Presidensi G-20 Indonesia.
Persoalan membumi dan berdampak besar terhadap warga di negara-negara miskin-berkembang menjadi prioritas utamanya.
Sebagaimana diketahui, populasi negara miskin-berkembang mencapai 80 persen penduduk dunia. Tetapi, kepentingan negara kaya selama ini mendominasi agenda global. Termasuk pada saat pandemi Covid-19.
Akses terhadap vaksin misalnya. Mengutip Kompas, (18/1/2022), Suara negara miskin-berkembang untuk mengakses vaksin secara struktural belum mendapatkan sambutan yang signifikan dari negara-negara kaya.
Sebagian besar distribusi vaksin masih mengandalkan model kariatif yang terbukti kurang efektif dalam mengendalikan penyebaran virus SARS-CoV-2. Akibatnya, tingkat vaksinasi dunia mengalami kesenjangan.
”Ketidaksetaraan vaksin tak hanya menghambat negara-negara termiskin, tetapi juga menahan dunia (dari proses pemulihan),” kata Direktur Eksekutif Unicef Henrietta Fore.
Afrika menduga, munculnya varian Omicron terkait dengan terbatasnya akses pada vaksin, yang sejak semula diijon oleh negara-negara kaya.
Oleh sebab itu, diperlukan advokasi bagi negara-negara yang tidak mendapatkan akses terhadap vaksin agar kekebalan imunitas dunia segera tercapai dan pandemi segera berlalu.
Isu lain yang akan diangkat adalah soal pekerja migran. Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, terdapat 20 makalah yang membahas soal migrasi pada Presidensi G-20 Italia, 2021 lalu.
Namun, tidak ada satu pun yang membahas soal isu remitansi pekerja migran.
”Ini isu pinggiran. Kami tengah mengupayakan agar ini masuk dalam agenda pembahasan dan prioritas, agenda yang membumi,” kata Wahyu.
Remitansi atau pengiriman dana dari pekerja migran ke negara asalnya, dalam pandangan Migrant Care, telah melebihi penerimaan bantuan luar negeri lewat skema official development assistance (ODA) dan juga lebih besar daripada keuntungan bersih yang diperoleh negara dari investasi asing langsung.
Remitansi, menurut Wahyu, jadi penggerak ekonomi nasional dan sumber keuangan yang dibutuhkan untuk membantu negara dalam pemulihan ekonomi. Namun, tingginya biaya remitansi yang mencapai 10-15 persen merupakan eksploitasi tak tampak terhadap pekerja migran.
Migrant Care mencatat, volume remitansi pekerja migran Indonesia pada 2019 mencapai 11,44 miliar dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 160 triliun per tahun. Namun, angka remitansi menurun seiring pandemi Covid-19 menjadi 9,43 miliar dollar AS atau Rp 130 triliun pada 2020.
”Harus ada pengakuan bahwa pekerja migran memiliki standar penghidupan yang layak dan manusiawi saat berada di negara penempatan,” kata pendiri lembaga Synergy Policies Dinna Prapto Raharja.
Sementara itu, di jalur pembahasan keuangan, keringanan utang bagi negara-negara miskin juga menjadi perhatian Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, ada tiga negara yang meminta keringanan pembayaran utang kepada negara anggota G20. Sejak pandemi melanda, utang negara-negara tersebut semakin membumbung tinggi.
Sri Mulyani memastikan, hal itu akan menjadi pembahasan di dalam forum elite G20. Pembahasannya akan masuk ke dalam topi kesinambungan utang (debt sustainability).
"Dalam komunikasi ini, ada tiga negara yang disebut memang sedang didalam proses untuk negosiasi kondisi utang mereka yang tidak sustainable yaitu Chad, Zambia, dan Ethiopia," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers, Jumat (18/2/2022).
Bendahara negara ini mengungkapkan, forum G20 bakal "mengurusi" utang negara miskin hingga tercapai kesepakatan konsensus, yakni negara pemberi utang akan memberikan restrukturisasi.
Pasalnya, sebagian kreditor dari tiga negara itu merupakan negara anggota G20. Untuk itu diperlukan sinergi dan koordinasi untuk merumuskan mekanisme restrukturisasi utang.
Di tengah tarik menarik kepentingan negara-negara besar serta memprihatinkannya kondisi negara miski/berkembang, tugas Indonesia menjalankan tampuk keketuaan G20 tidaklah mudah.
Tetapi, Presiden Joko Widodo telanjur berjanji. Indonesia akan menyuarakan kepentingan negara-negara miskin dan berkembang, terutama untuk pulih dari kejatuhan akibat pandemi Covid-19.
Dia menuturkan, masyarakat dunia harus dapat merasakan dampak positif dari kerja sama ini.
"Menggalang komitmen negara maju membantu negara berkembang. Negara kaya membantu negara miskin. Kebersamaan adalah jawaban atas masa depan dengan semangat solidaritas," ungkap Presiden Jokowi dalam pembukaan G20, Rabu (1/12/2021).
Jokowi menuturkan, Indonesia akan berupaya membangun tata kelola dunia yang lebih adil, sekaligus memperkuat solidaritas dunia dalam mengatasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.
"Indonesia berupaya keras untuk menghasilkan inisiatif-inisiatif konkret untuk mendorong pemulihan situasi global agar segera pulih dan menjadi kuat. Recover together, recover stronger," tutur dia.
Dengan demikian, pantas bila upaya-upaya Indonesia perlu dikawal hingga janji tuntas terpenuhi.