AKHIR energi batu bara, kini dalam pandangan mata, begitu kata Presiden COP26 Alok Sharma.
COP26 atau Conference of the Parties ke-26 adalah konferensi tingkat tinggi negara-negara di bumi yang membahas perubahan iklim demi keberlangsungan hidup manusia. Tahun 2021, COP26 diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia.
Pernyataan Alok keluar setelah 23 negara sepakat menandatangani "Global Coal to Clean Power Transition Statement".
Isinya adalah komitmen negara-negara di bumi untuk mempercepat transisi ke energi bersih, pensiunkan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU).
Selain Indonesia, negara yang ikut menandatanganinya, antara lain Korea Selatan, Vietnam, Polandia, Mesir, Spanyol, Nepal, Singapura, Chili, dan Ukraina.
Baca juga: Kesepakatan di COP26, Pemakaian Batu Bara Bakal Dihentikan
Meski sepakat, Indonesia mengajukan syarat.
Butir ketiga kesepakatan itu menyebut, perlunya negara-negara membatalkan izin baru dan konstruksi new unabated coal-fired power generation alias PLTU yang belum disertai teknologi pengurangan emisi.
Dalam butir tersebut, semua PLTU yang didanai pemerintah juga harus disetop.
Indonesia keberatan dengan butir ketiga itu. Alasannya, batu bara masih efisien dan masih dibutuhkan dalam transisi ke produksi energi ramah lingkungan.
Indonesia kemudian menyatakan, boleh saja bebas batu bara lebih cepat, asal ada pendanaan dan dukungan teknis internasional.
Jika dua syarat terpenuhi, maka Indonesia berjanji akan meninggalkan energi kotor itu sekitar tahun 2040 mendatang.
Baca juga: Indonesia dan Lebih dari 100 Negara Janji Akhiri Deforestasi Tahun 2030
Ya, perubahan ke energi terbarukan memang butuh investasi besar.
Sebagaimana diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam koferensi COP26 di Glasgow, percepatan penutupan PLTU berkapasitas 5,5 mega watt membutuhkan pendanaan setidaknya 25-30 dollar AS dalam delapan tahun ke depan.
Artinya, usaha penutupan lebih banyak PLTU tentu akan memakan dana lebih besar saat infrastrutur energi terbarukan belum matang benar.
Namun di sisi lain, pengamat energi mengatakan, percepatan transisi masih bisa dilakukan lewat kebijakan.
Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Service Reform (IESR) mengatakan, penerapan pajak karbon bisa mendorong percepatan peralihan ke energi ramah lingkungan.
"Tetapi cap-nya harus lebih rendah," kata dia saat ditemui Kompas.com di sela aktivitasnya di COP 26 di Glasgow, Jumat (5/11/2021).
Pemerintah harus mendesain allowance emisi untuk PLTU sedemikian rupa sehingga sesuai target National determined Contribution (NDC) penurunan gas rumah kaca serta mendorong usaha ekstra mengurangi emisi.
Selain cap, bayaran kelebihan emisi per ton karbon ekuivalen juga harus mahal.
"Sekarang masih murah. Rp 30 per kilogram karbon ekuivalen. Berarti cuma 2,5 dollar AS per tonnya. Buat perbandingan, harga teknologi pengurangan emisi yang bagus, misal Carbon Capture Storage, mahal. Per tonnya bisa 100-150 dollar AS," terang Fabby.
Baca juga: Kemenkeu: Indonesia Jadi Negara Penggerak Pertama Pajak Karbon di Dunia
Dengan harga pajak karbon saat ini, dipastikan tidak akan mengubah perilaku investasi.
"Yang saya khawatirkan, pajak karbon bagi PLTU tujuannya memang bukan untuk energi terbarukan, tetapi hanya untuk menambah pemasukan negara. Jadi penerapannya buru-buru," imbuh dia.
Selain tak mengubah perilaku, pajak karbon yang murah juga bisa mendorong praktik buruk PLTU.
Beban pajak karbon dapat dialihkan industri kepada masyarakat lewat kenaikan harga listrik.
Dengan harganya yang cuma Rp 30 per kilogram ekuivalen, konsumen tidak akan merasakan kenaikan harga listrik yang ditetapkan.
“Kalau mahal kan enggak mungkin dibebankan, bisa marah konsumennya,” kata Fabby.
Baca juga: Mengenal Pajak Karbon di Indonesia
Skema European Trading Scheme (ETS) yang digagas Eropa bisa jadi contoh.
Kajian De Nederlanche Bank menunjukkan bahwa dengan skema ETS, ongkos produksi di sektor listrik bisa meningkat 8 persen rata-rata Eropa dan 18 persen di negara Eropa timur dan tengah.
Dengan ongkos produksi tinggi, mau tak mau industri beralih ke sumber terbarukan yang ramah lingkungan.
Surya Darma dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengungkapkan, percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Energi Terbarukan adalah cara lain mempercepat transisi ke energi terbarukan.
“Aturan itulah yang nantinya bisa jadi payung hukum,” kata Surya.
Aturan terkait energi terbarukan saat ini masih berupa peraturan menteri sehingga belum rigid alias terus berubah-ubah.
Perubahan ini bisa diartikan ketidakpastian bagi investor maupun pelaku usaha. Saat Indonesia membuka peluang pendanaan dan investasi, kepastian hukum diperlukan.
“UU Energi Terbarukan nanti enggak perlu dicampur dengan energi baru. Nuklir, misalnya, tidak perlu masuk di situ,” jelas dia.
Baca juga: YLKI: Kalau Mahal, Masyarakat Enggan Pakai EBT
Surya juga menambahkan, pemerintah harus segera menetapkan harga energi terbarukan.
Pengesahan harga energi terbarukan itu sudah tertunda lama sehingga jadi faktor internal yang menghambat perkembangan energi terbarukan di Tanah Air.
“Kalau tidak ada standar harga, bagaimana mau berinvestasi? Jadi harus segera ditetapkan. Tetapkan saja berdasarkan nilai ekonominya,” kata Surya.
Kebijakan kelistrikan juga mesti membuka peluang bagi warga di wilayah terpencil, misal untuk mengupayakannya sendiri. Warga bisa menjual sisa listrik yang dihasilkan ke PLN dengan harga kompetitif.
“Warga bisa produksi listrik dengan mikrohidro dan dikelola koperasi, misalnya,” tambah Surya.
Sumbangsih pembangkit listrik komunitas memang tak akan besar. Namun akan mencegah pertumbuhan pemakaian energi fosil di wilayah terpencil, contohnya diesel.
Di sektor energi, Indonesia terus melangkah maju dengan pengembangan ekosistem mobil listrik dan pembangunan pembangkit tenaga surya. Indonesia juga memanfaatkan energi baru terbarukan. Dan berbagai upaya lain. pic.twitter.com/VtDAkOnOQ2
— Joko Widodo (@jokowi) November 2, 2021
Bagi Fabby dan Surya, tanpa menunggu dana asing, Indonesia memang harus mengakhiri penggunaan batubara secepatnya.
Alasannya bukan cuma lingkungan serta konflik sosial yang kerap terjadi antara PLTU dan warga, tetapi juga alasan ekonomi.
“Eropa sekarang sudah mulai menggagas CBAM (Cross Border Adjustment Mechanism CBAM),” kata Surya.
Baca juga: Harga Batu Bara cs Melonjak, Penerimaan Pajak Pertambangan Naik 3 Kali Lipat
Berdasarkan skema itu, kelayakan produk yang masuk Uni Eropa akan dinilai berdasarkan emisinya, termasuk energi yang digunakan untuk menghasilkan.
Dalam tahap pertama, produk yang akan dinilai adalah listrik, semen, pupuk, besi dan baja. Ke depan, penerapannya bisa diperluas ke produk lain.
“Kalau tidak cepat akselerasi, kita akan menemui hambatan dalam memasarkan produk,” ungkap dia.
Kajian yang dilakukan International Renewable Energy Agency (IRENA) menunjukkan, saat ini semakin mudah menyediakan energi terbarukan.
Ongkos pembangkitan energi listrik terbarukan semakin murah, salah satunya karena perkembangan teknologi. Ongkos listrik dari solar photovoltaic turun 85 persen sepanjang 2010-2020.
IRENA memperkirakan, PLTU berkapasitas 800 MW secara umum punya ongkos operasi lebih tinggi dibanding instalasi pembangkit listrik tenaga angin, termasuk biaya integrasinya.
Menghentikan PLTU sama dengan menghemat 32 miliar dollar AS dan mengurangi emisi sebesar 32 gigaton CO2.
Baca juga: Krisis Iklim Rupanya Tak Surutkan Dahaga Batu Bara
Jadi, mempercepat pensiun batu bara bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Berlama-lama dengan batubara justru akan menyusahkan ekonomi bangsa.
Kajian IESR menunjukkan, potensi energi terbarukan Indonesia melebihi 443 GW.
Fabby menambahkan, dengan potensi itu, Indonesia bisa jadi negara berpengaruh di Asia Tenggara apabila menguasai teknologi dan mampu meghasilkan energi terbarukan.
“Malah mungkin kita tetap bisa jual energi. Misalnya seperti perusahaan di Batam dan Kepulauan Riau yang baru-baru ini ekspor energi surya ke Singapura,” kata dia.
“Menurut saya, dengan kondisi Indonesia, kita harus bangun energi terbarukan besar-besaran untuk di dalam negeridan komoditas ekspor masa depan,” imbuh dia.
Sama seperti energi fosil, energi hijau bisa diekspor dalam bentuk tertentu yang mudah dikirim. Misalnya hidrogen dalam bentuk ammonia.
Selama seminggu COP26, sejumlah pihak telah menjanjikan pendanaan transisi menuju energi terbarukan bagi Indonesia.
Asian Development Bank lewat proyek Energy Transition Mechanism (ETM) menjanjikan total 25 juta dolar AS bagi Indonesia dan Filipina.
Program ETM menargetkan pensiunnya 50 persen PLTU di Indonesia, Filipina dalam 10-15 tahun ke depan.
Sementara itu, bersama dengan Afrika Selatan, India, dan Filipina, Indonesia dijadikan menerima bantuan dari Climate Investment Fund (CIF) sebesar total 2,5 miliar dollar AS.
PLN mendapat dukungan pendanaan dari Asian Development Bank (ADB) dalam upaya mengurangi emisi karbon dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara guna mendukung target pemerintah menuju Carbon Neutral 2060.#PLNGreen #COP26 #COP26Glasgow #PLNGoCarbonNeutral2060 #carbonneutral pic.twitter.com/pfLrtbGNEn
— PT PLN (Persero) (@_pln_id) November 3, 2021