Ini gambaran ringkas dari persoalan yang butuh jawaban Jokowi dan Prabowo sebagai capres 2019. Adakah debat ini juga akan berdampak pada peta suara Pilpres 2019?
DEBAT kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Minggu (17/2/2019), menghadapkan calon presiden (capres) dari dua pasangan calon peserta pemilhan tersebut.
Joko Widodo (Jokowi) dari pasangan calon nomor urut 01 dan Prabowo Subianto dari pasangan calon nomor urut 02 akan beradu visi, misi, dan harapannya arah kebijakan soal pangan, energi, infrastruktur, serta sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Bagi Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, debat kedua Pilpres 2019 mengangkat tema yang teramat sangat krusial bagi Indonesia.
"Dari urusan perut hari ini, sampai urusan masa depan," ujar Enny, dalam percakapan dengan Kompas.com, Kamis (14/2/2019).
Namun, Enny tak banyak berharap debat akan memberikan banyak kesempatan bagi Jokowi dan Prabowo untuk dapat tuntas mengeksplorasi keempat topik debat.
"Membahas pangan dan energi saja sudah berat, ini masih ada infrastruktur bahkan soal sumber daya alam dan lingkungan hidup," ujar Enny.
Dalam bahasa ringkas, papar Enny, kedaulatan pangan adalah soal kecukupan pangan. Lalu, energi merupakan syarat bagi daya saing suatu bangsa dan negara.
"Bila energi tak efisien, tak akan ada daya saing," kata dia.
Adapun infrastruktur seharusnya merupakan syarat dari terjadinya pembangunan yang lebih luas. Sementara itu, lingkungan hidup merupakan persoalan masa depan yang harus digarap sejak sekarang, dengan setiap hal tentangnya memiliki multiplier effect luas.
"Itu empat topik sangat krusial. Melihat debat pertama, bisa jadi (keempat topik) tak akan tuntas dibahas, (dan debat) rawan lari ke isu-isu gimmick. Semoga setidaknya isu sentral seperti pangan dan energi bisa dibahas tuntas," harap Enny.
Karena debat ini pun menghadapkan dua capres, Enny berharap yang muncul bukan sekadar penyampaian visi dan misi normatif. Tidak cukup, misalnya, menyebut akan membatasi impor tanpa detail rencana langkah pelaksanaan. Demikian pula soal strategi soal energi.
"Dari pertanyaan yang muncul dan saling dilemparkan, semoga yang bersifat policy direction, bukan visi. Kalau visi, takutnya cenderung normatif. Elaborasi nanti juga bisa dilanjutkan oleh masing-masing tim mereka (setelah debat)," ujar Enny.
Menurut Enny, debat—apalagi menghadapkan dua capres yang akan memimpin negara lima tahun ke depan—seharusnya merupakan instrumen untuk memberikan pemahaman ke publik.
"Terutama bagi yang belum menentukan pilihan, masih ragu dengan pilihan sementara. Karena itu, substansi menjadi sangat penting," kata dia,
SEBAGAI gambaran secara umum, Enny meringkas identifikasi dari keempat topik yang akan menguji kapasitas Jokowi dan Prabowo di panggung debat.
Sekali lagi, ketahanan pangan pada prinsipnya adalah soal kecukupan pasokan. Ini antara lain akan ekuivalen dengan isu semacam perlunya impor pangan atau tidak, lalu soal stabilitas harga.
"Ini yang ditunggu masyarakat adalah way out-nya," tegas Enny.
Kalau Jokowi sebagai calon petahana bilang sudah melakukan banyak hal, misalnya, bukan lagi rincian capaian yang ingin didengar publik.
"Yang dibutuhkan (dari jawaban Jokowi) adalah yang meyakinkan mereka terutama terkait sejumlah kritik atas kebijakan dan kinerja selama ini, termasuk soal impor, apalagi janji pada pemilu lalu untuk tak akan lagi mengimpor," ungkap Enny.
Bagaimana pun, ujar Enny, pangan ini masih jadi perkara besar di Indonesia. Penentu garis kemiskinan, misalnya, masih menggunakan 75 indikator terkait pangan.
Tak cukup juga Jokowi berkilah segala perbaikan kondisi di Tanah Air selesai dalam lima tahun masa jabatannya sekarang.
"Petahana harus bisa jawab dengan rencana yang akan dia lakukan lima tahun ke depan kalau terpilih lagi. Kalau jawabannya rasional, swing voter bisa direngkuh juga," kata Enny.
Prabowo sebagai oposisi, lanjut Enny, juga tak cukup semata melemparkan kritik apalagi mengolok-olok petahana.
"(Prabowo) harus bisa juga menyampaikan alternatif solusi. Kalau bicara stabilitas harga, misalnya, harus bisa rinci pakai instrumen apa," tegas Enny.
Terlebih lagi bila semisal Prabowo menjadikan jargon menentang impor sebagai jurus utama. Karena, kata Enny, menghapus semua impor—termasuk soal pangan—juga bukan solusi bahkan nyaris tidak mungkin pada saat ini.
Baca juga: JEO-Jokowi dan Prabowo, Siapa Lebih Punya Jawaban soal Pangan?
Untuk topik pangan, Enny mengingatkan pula soal kerusakan pertanian yang sudah berlangsung lama. Meski Orde Baru lewat rencana pembangunan lima tahun (repelita) berhasil membangun swasembada pangan pada Pelita I dan Pelita II, pada pengujung Pelita V semua itu berantakan.
"Di akhir Pelita V sampai krisis moneter, kelembagaan pangan juga sudah mulai goyah, apalagi dengan IMF yang memangkas peran Bulog," kata dia.
Enny menyebutkan, saat ini tak bisa dipungkiri bahwa energi masih bertumpu pada bahan bakar berbasis fosil.
Tentu, jangan dibayangkan energi hanya soal listrik untuk menyalakan lampu dan mengecas peralatan elektronik di rumah atau bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan bermotor.
Cakupan energi mulai dari kebutuhan rumahan seperti itu sampai skala industri dan sebaran wilayah.
Baca juga: JEO-Pilpres 2019 dan Bayang-bayang Ancaman Krisis Energi
Saat ini, cadangan migas nasional memang menipis, dengan posisi Indonesia menjadi net importer minyak sejak 2003 dan diperkirakan segera menjadi net importer gas pada 2022.
"Belum ada ada investasi atau upaya untuk temuantemuan baru. Dua capres harus bisa menyampaikan rencana apa yang akan mereka lakukan untuk itu," kata Enny.
Karena, sekalipun tidak banyak, cadangan migas diyakini masih ada. Selain itu, alternatif sumber energi seperti batubara pun sudah menipis pula, baik karena praktik ekspor selama ini maupun penggunaan yang besar dan makin meningkat untuk pemenuhan kebutuhan pembangkit listrik.
"Planning energi baru terbarukan (EBT) seperti apa? Energi efisien sebagai kunci daya saing itu akan seperti apa? Tak cukup bilang diversifikasi energi juga, harus bisa merinci alternatifnya apa saja, juga mana yang substantif dan realistis," papar Enny.
Menurut Eny, topik infrastruktur akan menjadi persoalan yang paling debatable. Pada satu sisi, Jokowi bisa saja menunjukkan kinerja pembangunan jalan tol, embung, atau jalan desa.
"Namun, infrastruktur itu seharusnya adalah instrumen untuk mencapai tujuan akselerasi pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur harusnya menekan high cost economy, membuat indeks kinerja logistik menurun, lebih efisien. Infrastruktur harusnya bersifat sebagai supporting dan harus ada kegiatan yang ditumbuhkan karena kehadirannya," papar Enny.
Contoh, untuk hadir industri di suatu wilayah, harus terlebih dulu ada instalasi dan pasokan listrik, juga air dan jalan.
Baca juga:JEO-Debat Infrastruktur, Kunci Kemenangan Capres 2019?
Tantangan hari ini, sebut Enny, infrastruktur tumbuh pesat tetapi tren investasi turun. Kalau penurunan investasi karena perlambatan serupa terjadi juga di luar Indonesia, hal itu tak terlalu menjadi persoalan. Masalahnya, kata Enny, Asia kebanjiran investasi pada 2018 tetapi tak banyak yang masuk ke Indonesia.
"Padahal sudah ada 16 kebijakan ekonomi juga di luar (kebijakan) infrastruktur. Ini yang menohok sekali," kata Enny.
Namun, lagi-lagi oposisi juga tak cukup hanya melontarkan kritik atas situasi ini. Prabowo sebagai capres oposisi harus bisa pula menyajikan jawaban dan detail rasional yang implementatif untuk menjawab tantangan persoalan yang sama terkait kebutuhan menutup gap infrastruktur nasional seandainya nanti memenangi Pilpres 2019.
Terlebih lagi, infrastruktur akan memberikan multiplier effect langsung yang sangat besar bila perencanaannya sejak awal memang runut langkah demi langkah.
"Tata kelola bagaimana sebenarnya perencanaan dan eksekusi program, yang itu harus pula terkoordinasi baik mulai dari jajaran pemerintahan, dengan serapan tenaga kerja yang jelas dan kenaikan potensi daya beli masyarakat, adalah jawaban yang dibutuhkan publik, terutama yang bukan dari awal sudah menjadi pendukung salah satu capres," ungkap Enny.
Dengan berat, Enny mengakui topik ini kemungkinan bakal paling terpinggirkan dari debat sebagaimana kenyataan hidup sehari-hari selama ini.
"Boro-boro mengurusi risiko masa depan. Mengurusi kebutuhan perut hari ini saja masih berpolemik terus. Isu lingkungan terpinggir, termasuk kemungkinan oposisi tak akan terlalu menjadikan itu sebagai challenge ke petahana," kata Enny.
Meski begitu, sejatinya persoalan terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup pun tak kalah pelik dengan tiga topik lain dari debat kedua Pilpres 2019.
"Isu saat ini masih mengejar pertumbuhan ekonomi. Mengejar itu, ya bisa jadi akan mengabaikan sejumlah isu lingkungan. Efisiensi masih menjadi yang diutamakan, belum akan bicara soal green energy, green development. Masih menyelesaikan yang basic-basic dulu," ujar Enny.
Terlebih lagi, isu ini pun belum menjadi persoalan utama bagi kebanyakan masyarakat. Isu lingkungan cenderung masih menjadi isu elite dan atau terbatas, karena dianggap tidak menyentuh langsung kehidupan orang banyak.
Bahkan, persoalan air yang sejatinya juga adalah hak dasar dan salah satu kebutuhan hidup paling krusial untuk manusia pun tak banyak yang benar-benar serius menggarapnya selama ini.
"Selama ini isunya masih lebih banyak untuk pemanfaatan industri, sementara soal pemenuhan air baku untuk air minum malah tidak ada yang benar-benar serius menggarapnya," kata dia.
Setali tiga uang, persoalan air untuk pengairan pertanian juga sudah lama berkurang. Tak ada juga yang membahas kompensasi dan alternatif solusi bagi masyarakat.
Ini semua belum bicara soal kerusakan lingkungan hdup, sekalipun sudah ada banyak bencana alam seperti banjir bandang di wilayah yang dulu tak pernah terdengar musibah serupa.
Untuk isu lingkungan, Enny berpendapat siapa pun yang kelak memimpin negara dari hasil Pilpres 2019 harus punya tim teknokrat yang mumpuni dan terkoordinasi solid.
"Goodwill politik pengin ada terobosan, akselerasi, dan sebagainya. Target-target itu harus bisa diterjemahkan oleh tim teknokrat. Koordinasi tim ini juga harus solid, saling menggenapi bukan malah saling menegasikan," kata Enny.
Bagaimana pun, mengelola negara itu haruslah menggunakan kerja tim dan harmonisasi di segala lini.
DEBAT kedua Pilpres 2019 membahas sejumlah persoalan krusial terkait hajat hidup dan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Namun, banyak kalangan ragu akan ada hal substansif dari debat ini, apalagi melihat kualitas debat pertama Pilpres 2019 pada Kamis (17/1/2019).
Reza Sahib dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) mengaku tak antusias menyambut debat capres Pilpres 2019 sekalipun topik yang diangkat berkelindan dengan aktivitasnya sehari-hari.
"Debat akan menjadi retorika. Dari yang beredar, air akan menjadi isu marjinal, sebatas dilihat sebagai sumber daya, sesuatu yang mati dan bisa dieksploitasi," kata dia, Kamis.
Perlakuan kepada air akan serupa dengan yang dihadapi tanah, sebagai kapling untuk sertifikasi.
"Bukan sebagai kesatuan ekosistem sebagai penopang ruang hidup, penopang hak-hak dasar warga negara," kata dia.
Menurut Reza, pada hari ini pemilu dan tahapan-tahapan kegiatan di dalam prosesnya telah memperlihatkan artikulasi politik yang masih tertahan di level prosedural. Mau ada pemilu atau tidak, persoalan air masih sama saja situasinya sejauh ini.
"Di jajaran pemerintah pusat dan daerah ada kontradiksi dan kegamangan menempatkan posisi air sebagai domain publik," kata Reza memberikan contoh.
Mandeknya pembahasan RUU Sumber Daya Air menjadi salah satu cermin dari situasi itu. Perspektif dan solusi-solusi yang ditawarkan menurut Reza bahkan makin buruk seiring berjalannya waktu untuk pembahasan RUU itu, dengan draf terakhir dilansir pada April 2018.
Menurut Reza, penyelenggara pemilu saat ini terlalu banyak mengakomodasi beragam kepentingan dan gagal melihat problem sesungguhnya di masyarakat yang kemudian diupayakan jawabannya dari pada kandidat agar rakyat dapat memilih.
"Jadinya semacam politik entertainmen, seolah ada partisipasi," kata dia.
Khusus soal sumber daya alam dan lingkungan hidup, Reza menyebut isu ini tak pernah dianggap sebagai isu penting politik. Kalaupun diangkat, kata dia, jatuhnya menjadi isu populis, sekadar dibajak untuk menjadi isu kampanya meraup suara pemilih, tapi lalu tak ada bukti ketika terpilih.
Terlebih lagi, kata Reza, sejatinya tak bisa membahas masalah sumber daya alam dan lingkungan hidup tanpa bicara topik lain seperti infrastruktur, pertambangan, atau ekstensifikasi energi.
"Semua akan berdampak ke sektor strategis, termasuk air," tegas Reza.
Bahkan kepanikan ketika tiba-tiba krisis air mengadang tak cukup untuk membuat banyak perubahan politik dan kebijakan atas sumber daya alam dan lingkungan hidup. Menurut Reza, problem hari ini adalah politik yang tak lagi terhubung dengan persoalan substansi di masyarakat.
"Demokrasi dalam konteks pemenuhan hak-hak dasar, gelap. Selalu dipotong pertarungan elite, siapa dapat apa di mana,:" kecam Reza.
Terpisah, pengamat pemilu dari Universitas Indonesia, Topo Santoso, tak yakin debat Pilpres 2019 akan banyak mengubah peta suara politik, termasuk swing voters.
"Kalaupun mempengaruhi swing voter, tak banyak. Kecuali ada yang luar biasa hebat," kata Topo.
Untuk isu, Topo melihat kedua capres punya plus dan minus masing-masing. Yang satu, sebut dia, akan menonjolkan angka-angka kinerja sementara yang satu lagi akan mengaitkan angka-angka itu tak berbanding lurus dengan kesejahteraan.
"Debat yang sudah ada tak memunculkan hal substantif. Ini kemungkinan juta. Gimmick yang akan banyak. Terlalu banyak prosedural juga atas nama desakan debat yang beretika, berbudaya. Masih lebih seru debat mahasiswa," tegas Topo yang hadir dalam debat pertama.
Meski begitu, Topo tak sepenuhnya menyalahkan KPU sebagai penyelenggara pemilu. Karena, kata dia, dari masing-masing kontestan pemilu juga ada proses tawar-menawar dan negosiasi yang banyak, lagi-lagi atas nama menjaga etika debat.
Justru, Topo melihat KPU pada hari ini merupakan lembaga yang paling banyak mendapat rongrongan atas otoritasnya.
"Belum lagi, KPU juga lembaga yang paling banyak menjadi subjek peraturan terkait pelanggaran dan sengkete. Terhimpit sebagai lembaga kepemiluan dan juga oleh para kandidat yang timnya sangat kuat itu. Serba salah," kata Topo.
Ke depan, Topo menyarankan perlu dipikirkan bersama tradisi debat yang ideal seharusnya seperti apa.
"Kalau debatnya seperti kemarin dan terulang lagi di debat kedua, tak akan ditunggu lagi oleh publik. Tak ada perbedaan signifikan juga yang akan dihadirkan dari situ," kata dia.
Saksikan debat kedua Pilpres 2019 lewat saluran live streaming Kompas TV dan ikuti pemberitaannya di Kompas.com.