JEO - Peristiwa

Selasa, 30 November 2021 | 12:23 WIB

Jalan tak bisa dilepaskan dari manusia. Ia selalu lahir bersamaan dengan langkah yang kita jejak dari satu tempat ke tempat lain.

Menilik transformasi jalan di Indonesia pun menjadi menarik. Peradaban bangsa terekam dalam tanah-batu pada masa lampau, hingga aspal-beton pada masa kini.

Maka selain merekonstruksinya ke dalam catatan sejarah, ada cara lain agar peristiwa monumental yang mengiringi penyelenggaraan jalan Tanah Air selalu dikenang, yakni menetapkan Hari Jalan.

BAGI kita yang lahir di zaman modern, keberadaan jalan tentu adalah hal yang biasa saja.

Mulai dari jalan di depan rumah, jalan arteri, jalan protokol, hingga jalan tol, semuanya sering kita lalui tanpa banyak bertanya dan berpikir. 

Padahal, entah disadari atau tidak, jalan secara fisik mengambil peran penting dalam kehidupan kita.

Jalan berfungsi sebagai sarana mobilitas manusia untuk melakukan banyak aktivitas, mulai dari ekonomi, sosial, politik, hingga budaya.

Tanpa jalan, seorang anak tidak dapat menggapai sekolah. Tanpa jalan, ibu tak mungkin bisa membeli bahan pangan di pasar. Tanpa jalan, ayah tak bisa pergi bekerja menghidupi keluarga. Tanpa jalan, seorang kepala negara tak mampu menjalankan roda pemerintahan.

Mengingat perannya yang sungguh vital dalam perjalanan peradaban, lantas muncul pertanyaan mendasar.

Sebenarnya bagaimana sih asal usul jalan di Indonesia? Dan seperti apa perjalanannya hingga masa kini?

Sebelum melanjutkan pembahasan, simak infografik berikut ini:

Jalan sebagai tempat lalu lintas orang pertama kali hadir pada masa prasejarah, manakala manusia prasejarah hadir pertama kali di Indonesia.

Berdasarkan temuan, fosil manusia yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah pithecanthropus. Diketahui, pithecanthropus tertua yang hidup di Indonesia adalah pithecanthropus modjokertoensis atau robustus.

Manusia generasi paling awal ini diperkirakan hidup pada masa plestosen awal dan plestosen tengah atau masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana.

Mereka kemungkinan besar hidup di lembah-lembah atau kaki-kaki pegunungan dekat perairan darat yang saat ini masuk ke Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Bentuk jalan pada masa ini tentu berupa tanah, batu, atau rerumputan.

Setelah masa prasejarah berakhir, jejak eksistensi jalan di Indonesia dapat kita telisik dalam naskah-naskah kuno kerajaan Hindu-Budha dan Islam.

Misalnya Negarakertagama yang ditulis pada awal abad ke-14, Bujangga Manik pada akhir abad ke-15, Sanghyang Siksakandang Karesian pada abad ke-16 dan Serat Centhini pada abad ke-19.

Menyitir Pupuh 10 bait ke-1 Negarakertagama, Mpu Prapanca-sang penulis-menggambarkan kondisi jalan pada masa itu. Tertulis begini:

"Keesokan harinya raja berangkat menuju Bhaya, menginap di sana tiga hari tiga malam. Berangkat dari Katang, Kedung Dawa, sudah melintasi pedesaan yang indah. Sampai di Lampes, di Temes dan juga Biara Budha di Pogara melalui jalan pedesaan yang keras. Menuju ke daerah Beringin Tiga sampai di Dadap, kereta melaju beriringan".

Negarakertagama dan naskah kuno lainnya menceritakan secara implisit rute pengembaraan di sepanjang Pulau Jawa.

Geliat pembangunan jalan terus bergulir dari zaman ke zaman dan belum berhenti sampai kini. 

Gulirkan layar untuk membaca artikel ini secara runut atau klik salah satu topik di bawah ini untuk mendapatkan informasi tentang sejarah penyelenggaraan jalan di Indonesia.

 

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
thumb

 Jejak Jalan Era Hindia-   Belanda 

Pada era kolonial, pembangunan jalan di Indonesia dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda. Tepatnya sejak abad ke-19. 

Meskipun pada awalnya pembangunan jalan dipusatkan di Pulau Jawa, tetapi fakta menunjukkan bahwa pemerintah kolonial kala itu tetap memperhatikan pembangunan jalan di luar Pulau Jawa. 

Lihat saja grafik berikut ini: 

Perbandingan Jalan di Era Hindia Belanda

Merujuk grafik di atas, pembangunan jalan di Jawa relatif stagnan dari tahun ke tahun. Sebaliknya, jalan di luar Pulau Jawa semakin panjang. 

Mandeknya pembangunan jalan di Pulau Jawa kemungkinan disebabkan krisis ekonomi yang melanda dunia pada awal 1930-an, tidak terkecuali di Hindia Belanda. 

Pembangunan jalan di Jawa kemudian dilanjutkan kembali pada tahun 1937 usai kondisi ekonomi perlahan pulih. Total jalan yang berhasil dibangun pada tahun itu mencapai 26.780 kilometer. 

Sementara, pembangunan jalan di luar Jawa menunjukkan pemerintah kolonial hendak menjangkau tempat baru untuk mengeksploitasi hasil bumi. 

Pada era ini, jalan sudah memiliki kelas. Klasifikasi jalan didasarkan pada kekuatan jalan menampung beban. Hal ini tertuang dalam Wegverkeersordonnantie atau Undang-Undang Lalu-Lintas Jalan.

Jalan dikategorikan ke dalam lima kelas. Kelas I hingga IV merupakan golongan tertinggi karena mampu dilewati kendaraan bermotor dengan bobot maksimum 3,5-7 ton.

Kelas V hanya bisa menahan beban maksimal 2 ton sehingga disebut sebagai jalanan kelas rendah. 

 

     Dari perlintasan, pertahanan, hingga ekonomi

Jalan pada era itu tidak hanya sebagai sarana perlintasan, tetapi juga untuk semakin menancapkan kuku kolonialisme di Nusantara. Salah satu contohnya adalah Jalan Raya Pos atau Groote Postweg yang dibangun atas instruksi Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1808. 

Jalan Raya Pos membentang dari Anyer hingga Panarukan. Karenanya, jalan sepanjang 1.000 kilometer (km) dan lebar 7,5 meter (m) ini juga dikenal sebagai Jalan Raya Anyer-Panarukan.

Pada dasarnya, Daendels membangun jalan tersebut untuk melindungi Jawa dari Inggris yang kala itu sedang melakukan ekspedisi ke kawasan Asia. Namun, seiring waktu, fungsi Jalan Raya Pos bertambah. Jalan itu menjadi jalur pendistribusian surat. 

Peta Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan
Dok Harian Kompas
Peta Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan

Diketahui, Daendels mengalami kesulitan berkomunikasi dengan pejabat-pejabatnya karena lalu lintas laut yang biasa digunakan untuk mengirimkan surat diblokade oleh Inggris. Inilah yang mendasari penamaan Jalan Raya Pos.

Pembangunan Jalan Raya Pos sendiri berlangsung selama 1808-1811. Proyek ini menghabiskan dana dan tenaga yang tak sedikit. Bahkan, sampai mengorbankan jiwa pekerja lokal. 

Adapun kuli-kuli yang terlibat dalam pembangunan jalan berasal dari Jakarta dan Priangan. Selain upah, mereka juga mendapatkan jatah beras dan garam setiap bulan.  

Kendati kontroversial, Jalan Raya Pos menjadi tonggak bagi pembangunan jalan di Jawa. Kehadiran jalan tersebut dapat mempersingkat waktu tempuh dari Batavia ke Surabaya secara signifikan. Perjalanan yang semula bisa menghabiskan waktu lebih kurang satu bulan jadi bisa ditempuh hanya dengan 10 hari saat itu.

Bukan itu saja, pengiriman pos yang awalnya memakan waktu tiga pekan dapat dipangkas menjadi tiga atau empat hari dengan adanya Jalan Raya Pos. 

Selain Jalan Raya Pos, masih ada jalan lain yang dibangun semasa pemerintahan Hindia Belanda.

Hingga tahun 1903, total jalan yang dibangun mencapai 23.793,5 km. Kemudian, ada pula jembatan sebanyak 9.473 buah.

Selengkapnya, dapat Anda lihat dalam tabel berikut ini: 

Tabel tentang Panjang Jalan di Pulau Jawa

 

     Penyelenggara jalan pertama

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pemerintah kolonial punya peranan penting sebagai tonggak penyelenggaraan jalan di Indonesia. Pada era inilah, jalan dikelola secara profesional oleh institusi resmi untuk pertama kalinya. 

Institusi penyelenggara jalan yang pertama kali diberi tugas membangun dan mengawasi jalan adalah Civiele Gebouwen (Bangunan-Bangunan Sipil) yang didirikan pada 1819.

Pada 1828, lembaga ini berubah nama menjadi Administratie van den Waterstaat en der Civiele Gebouwen (Administrasi Pengairan dan Bangunan Bangunan Sipil), sebagai bagian dari Directie der Producten en Civiele Magazijnen (Direksi Produksi dan Pergudangan Sipil). 

Umumnya, pembangunan dan pemeliharaan jalan serta jembatan di berbagai daerah pada abad ke-19 masih sangat sederhana. Sebagian masih berupa tanah sehingga banyak permukaan jalan yang kondisinya kurang baik ketika musim penghujan.

Pada periode selanjutnya, pembangunan jalan mulai dilapisi kerikil sehingga permukaannya lebih rata dan tahan lama jika dibandingkan jalan yang hanya berupa tanah.

Jalan aspal baru muncul pada awal abad ke-20, disertai adanya penataan trotoar yang baik.

Pada 1930, pemerintah kolonial mencanangkan pembangunan jalan untuk menghubungkan jalan-jalan penting yang sudah ada di Jawa, Sumatera, Borneo (Kalimantan), dan Celebes (Sulawesi).

Hal ini sekaligus menjadi upaya mengoneksikan daerah berpenduduk dan pusat-pusat pertanian di wilayah pedalaman dengan pelabuhan dan tempat vital di sepanjang sungai yang bisa dilayari.

Institusi penyelanggaraan jalan terus berkembang dari tahun ke tahun hingga pada 1900-an pemerintahan kolonial memberlakukan desentralisasi. Wewenang terhadap penyelenggaraan jalan digeser dari pusat ke tingkat keresidenan atau kota. 

Perawatan dan perluasan sistem jalan diberikan kepada dinas terkait, yaitu Gemeentewerken (Pekerjaan Umum Kotapraja) dan Regentschap-werken (Pekerjaan Umum kabupaten). 

Di wilayah Gubernemen Surakarta dan Yogyakarta contohnya. Urusan pekerjaan umum-jalan salah satunya-diselenggarakan oleh aparat pemerintah setempat yang disebut Rijkswerken, Sultanaatswerken, dan Mangkunegaranswerken.

Sementara itu, di wilayah Gubernemen Sumatra, Borneo, dan Gubernemen Groote Oost atau yang biasa disebut wilayah Buitengewesten, urusan jalan diselenggarakan oleh aparat yang disebut Gewestelijke Inspectie van de Waterstaat (Inspeksi Wilayah Perairan/Pekerjaan Umum). Institusi ini dipimpin oleh seorang inspektur. 

 Jejak Jalan Era Soekarno 

Pada masa awal republik Indonesia berdiri, pemerintah yang dipimpin Ir. Soekarno masih fokus membenahi politik dalam negeri yang belum stabil. Apalagi, Belanda masih berupaya menduduki Tanah Air kembali. 

Meski demikian, geliat pembangunan jalan di Indonesia mulai tampak pada era Orde Lama yang berlangsung selama 1945-1966 ini. Tepatnya pada pertengahan hingga akhir rezim. 

Departemen Pekerjaan Umum merupakan salah satu dari 12 kementerian yang pertama kali dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), usai merdeka. 

Tokoh dari Partai Sarekat Islam Indonsia (PSII) Abikusno Tjokrosoejoso dipercaya menjadi menteri. 

Sebagai sebuah negara baru, pemerintahan kala itu harus berkonsolidasi dengan banyak pihak terkait pengaturan tugas, tanggung jawab dan wewenang masing-masing departemen.

Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta
Dok. Kompas
Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta

Namun setidaknya urusan jalan tidak ada yang terbengkalai. Buktinya, pembangunan jalan dan jembatan Batavia-Kebayoran berhasil direalisasikan pada 1 April 1949.

Jembatan memiliki dimensi panjang 106 meter, lebar 17 meter, dan berada pada ketinggian 7 meter di atas permukaan tanah.

Pembangunan jembatan bermaterial beton, bertulang, dan berfondasi tiang pancang tersebut menghabiskan biaya hingga 930.000 gulden (f).

 

     Semakin masif

Geliat pembangunan jalan di Indonesia yang diinisiasi oleh pemerintah semakin masif pada 1960-an. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (RPNSB) tahap I pada periode 1961–1969.

Hal-hal yang termasuk dalam RPNSB adalah rehabilitasi dan pembangunan jalan raya sepanjang 2.713 km, peningkatan (modernisasi) jalan negara sepanjang 1.910 km, peningkatan jalan kerikil (negara, provinsi, kabupaten) sepanjang 19.985 km, pembangunan dan penggantian jembatan sepanjang 1.000 km, dan persiapan jalan baru sepanjang 1.625 km.

Rehabilitasi dan pembangunan jalan tersebut difokuskan pada jalan-jalan yang memiliki nilai strategis dan punya kepentingan atau berhubungan dengan obyek-obyek pembangunan semesta dalam bidang produksi.

Jalan-jalan baru antar-ibu kota kabupaten dan ibu kota kecamatan juga masuk ke dalam prioritas rehabilitasi dan pembangunan.

Pembuatan jalan-jalan baru itu diutamakan pada jalur Trans-Sumatera, Trans-Sulawesi, Trans-Kalimantan.

Rinciannya sebagai berikut: 

Trans-Sumatera

  1. Jalan Takengon - Blangkejeren - Kutacane (Aceh) 

Trans-Kalimantan

  1. Balikpapan – Samarinda sepanjang 117 km
  2. Tanjung – Kuaro sepanjang 126 km
  3. Kintap – Batulicin sepanjang 114 km
  4. Palangkaraya – Parabingan sepanjang 117 km
  5. Palangkaraya – Tangkiling sepanjang 37 km

Rekonstruksi jalan lama, yaitu:

  1. Tanjung – Barabai sepanjang 75 km
  2. Pelaihari – Kintap sepanjang 65 km

Trans-Sulawesi

  1. Jalan Raya Makassar-Manado

 

     Asian Games ke-4 jadi momentum

Khusus di Jakarta, perhelatan Asian Games ke-4 Tahun 1962 dijadikan momentum Bung Karno untuk meningkatkan level kota, jalan termasuk di dalamnya. 

Bung Karno menempatkan kawasan Sudirman-M.H Thamrin sebagai political venue. Oleh sebab itu, pembangunan kawasan itu dikebut agar Jakarta layak dipandang sebagai kota tuan rumah perhelatan olahraga terbesar se-Asia. 

Bung Karno berpendapat, Asian Games adalah momen untuk menunjukkan Indonesia baru kepada dunia. Indonesia yang modern, nasionalis dan memiliki karakter bangsa yang kuat. 

Jalan, dalam hal ini, adalah pengikat desain kawasan jantung kota. Tempat yang akan membuka sinergitas politik, ekonomi, sosial dan budaya Indonesia, sekaligus representasi kebanggaan dan pemersatu bangsa. 

Selain perluasan jalan di kawasan Sudirman dan M. H. Thamrin, dua jalan utama yang dibangun pada masa ini adalah Jalan Jakarta Bypass dan Jembatan Semanggi.

Di luar itu, turut dibangun pula ikon kemakmuran negara yang maju dan berkepribadian, antara lain Patung Pemuda di Pancoran, Tugu Monumen Nasional, Gedung Sarinah, Wisma Nusantara, Hotel Indonesia dengan bundaran air mancur dan patung Selamat Datang-nya, serta Gelanggang Olahraga (Gelora) Bung Karno. 

Semua mega proyek tersebut tercatat dalam sejarah sebagai proyek mercusuar Bung Karno. 

Memorabilia Indonesia menjadi tuan rumah untuk pertama kalinya pada Asian Games 1962 yang dipamerkan di Main Lobby Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta dalam acara Remarkable Sports dan Heritage Photo Exhibition
 
Memorabilia Indonesia menjadi tuan rumah untuk pertama kalinya pada Asian Games 1962 yang dipamerkan di Main Lobby Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta dalam acara Remarkable Sports dan Heritage Photo Exhibition

"Bangsa Indonesia sekarang adalah bangsa Indonesia baru. Bangsa jang bertjorak baru. Bangsa jang hidup didalam suasana baru. Bangsa jang sedang membangun dunia baru. Dan aku mengutjap sjukur Alhamdulillah bahwa perobahan ini terdjadi dimasa aku. Dengan bantuan daripada segenap rakjat Indonesia dan dengan bantuan daripada segenap Negara-negara sahabat daripada Indonesia itu. Indonesia sekarang sedang di dalam perobahan jang besar menudju kepada kebaikan, menudju kepada kebesaran, menudju kepada kemakmuran, menudju kepada kesedjahteraan".

Pidato Presiden Sukarno pada Upacara Peresmian Pembukaan Jalan Djakarta By Pass, Djakarta, 21 Oktober 1963

 Jejak Jalan Era Soeharto 

Perkembangan jalan di Indonesia memasuki babak baru pada rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Jalan-jalan di Indonesia meningkat, baik kualitas maupun kuantitasnya.

Pembangunan ini seirama dengan jargon 'pembangunan' yang didengungkan Soeharto terus menerus. Kata itu pula yang dipilih menjadi nama bagi kabinet pemerintahannya, Kabinet Pembangunan. 

Visi pembangunan Pak Harto tampak pada program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dalam kurun 32 tahun, infrastruktur jalan di penjuru Indonesia pun dibangun secara masif. 

Berikut ini merupakan jalan dan jembatan yang dibangun pada masa Presiden Soeharto:


     Jalan tol pertama di Indonesia

Rezim Orde Baru mencetak sejarah penting tentang jalan di Indonesia. Pada periode inilah jalan tol pertama di Indonesia dibangun. 

Sebenarnya, rencana pembangunan jalan tol dikemukakan oleh Wali Kota Jakarta Raden Sudiro pada 1955 (Orde Lama). Tetapi, usulan itu berorientasi pada dana tambahan untuk pembangunan. 

Usulan itu kemudian ditolak oleh DPRDS dengan alasan jalan bebas hambatan justru akan mengganggu lalu lintas. Penarikan tarif jalan tol juga dinilai seperti pungutan pajak pada era kolonial. 

Pada masa Orde Baru, usul ini mencuat kembali. Direktur Jenderal Bina Marga pada Pelita IV bernama Suryatin Sastromijoyo memiliki argumentasi soal mengapa Indonesia butuh jalan tol. 

Ia mengambil contoh Jakarta. Pada 1980, jalan arteri yang menghubungkan wilayah di DKI Jakarta dengan daerah lainnya (Karawang, Bogor, Tangerang) tercatat dibanjiri kendaraan. 

Setiap hari, terpantau 50.000 hingga 70.000 kendaraan lalu lalang di jalan-jalan arteri itu. 

Keadaan itu menyebabkan kemacetan lalu lintas yang berujung pada kerugian ekonomi. 

Padahal, menurut Garis-Garis Besar Haluan Negara Bidang Pembinaan Jaringan Jalan, pembangunan prasarana harus ditujukan untuk menunjang peningkatan pertumbuhan produksi barang dan jasa serta keberlanjutan pemerataan pembangunan. 

Rencana pembangunan tol pun terealisasi pada 1973, yakni tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi). Proyek tersebut memakan waktu pengerjaan lima tahun dan resmi beroperasi pada 9 Maret 1978. 

Proyek tersebut juga merupakan hasil kerja sama keuangan antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia menggelontorkan dana sebesar USD 10.371.648. Sementara AS meminjamkan dana sebesar USD 22.835.329. 

Salah satu ruas Jalan Tol Jagorawi disekitar Kampung Makasar, Jakarta, Jumat (7/7). Titik awal pembangunan Tol Jagorawi di Jakarta dimulai titik di sekitar sungai yang dilintasi tol tersebut.
Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM)
07-07-2017
untuk jalan-jalan metro
HERU SRI KUMORO
Salah satu ruas Jalan Tol Jagorawi disekitar Kampung Makasar, Jakarta, Jumat (7/7). Titik awal pembangunan Tol Jagorawi di Jakarta dimulai titik di sekitar sungai yang dilintasi tol tersebut. Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 07-07-2017 untuk jalan-jalan metro

Setelah itu, sejumlah ruas tol, di samping jalan arteri dan jembatan, dibangun di sejumlah daerah di kota besar Pulau Jawa. 

Panjang jalan tol kemudian terus meningkat pada dekade 1990-an, yakni hampir mencapai 400 km secara keseluruhan. Jalan tol yang menghubungkan Jakarta-Cikampek menjadi jalan tol terpanjang karena mencapai lebih dari 70 km. 

Pada 1997, Indonesia dilanda krisis ekonomi. Hal ini memaksa pemerintah membuat keputusan untuk menangguhkan dan meninjau kembali proyek-proyek pembangunan. Dalam bidang pembangunan jalan, sejumlah proyek harus tertunda. 

 Jejak Jalan Era Habibie-SBY 

Sebagaimana masa sebelumnya, perkembangan penyelenggaraan jalan pada periode 1999 hingga 2019 tak dapat dipisahkan dari pergantian pemerintahan. 

Pada 1998, Presiden Soeharto mundur dari jabatan menyusul serangkaian peristiwa sosial, ekonomi dan politik sejak 1997. Rezim berganti dari Orde Baru menjadi Reformasi. 

Bacharuddin Jusuf Habibie yang dilantik menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto, membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan. Ia melantik menteri-menterinya pada 23 Mei 1998. 

Pada rezim baru ini, penyelenggaraan jalan diarahkan untuk meningkatkan pelayanan serta struktur dan kapasitas jaringan jalan. Salah satunya, mewujudkan Sistem Transportasi Nasional (Sistranas). 

Pada masa pemerintahan selanjutnya, yakni Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), nama Departemen Pekerjaan Umum diubah menjadi Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah.  

Nomenklatur kembali diubah pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Institusi yang mengurus jalan masuk ke dalam Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 

Pada 20 Oktober 2004, Susilo Bambang Yudhoyono dilantik sebagai Presiden RI menggantikan Megawati. Ia adalah Presiden pertama di Indonesia hasil pemilihan umum langsung. 

Di tangan SBY, nomenklatur lagi-lagi diubah. Namanya berganti menjadi Departemen Pekerjaan Umum. Pergantian ini sekaligus menandai pemisahan antara bidang pekerjaan umum dengan perumahan rakyat. 

SBY yang memenangkan pemilu 2009 kemudian mengubah kembali nomenklatur dari departemen menjadi kementerian sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Tetapi, perubahan itu tidak mengubah apapun dari institusi terkait. 

 

      Semakin berkualitas

Pada periode ini, pembangunan jalan nasional meningkat dari semula 26.581 km pada 1996 era Soeharto menjadi 34.628,83 km pada 2004. Artinya, panjang jalan nasional bertambah sepanjang 8.047,83 km atau bertambah hingga 30,27 persen.

Geliat pembangunan semakin terasa ketika pemerintah melahirkan regulasi baru di bidang penyelenggaraan jalan, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan.

Bunyinya sebagai berikut:

“Pembangunan jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan.”

Proyek pembangunan Tol Nusa Dua - Ngurah Rai - Benoa di Bali di atas laut dangkal tampak dari atas. Proyek senilai Rp 2,48 triliun ditujukan untuk mendukung penyelenggaran Asia-Pasific Economic Cooperation di Nusa Dua pada Oktober 2013. Foto diambil Minggu (3/2/2013).
KOMPAS/LAKSANA AGUNG SAPUTRA
Proyek pembangunan Tol Nusa Dua - Ngurah Rai - Benoa di Bali di atas laut dangkal tampak dari atas. Proyek senilai Rp 2,48 triliun ditujukan untuk mendukung penyelenggaran Asia-Pasific Economic Cooperation di Nusa Dua pada Oktober 2013. Foto diambil Minggu (3/2/2013).

Jika dibandingkan dalam satu masa, panjang jalan nasional meningkat 21,9 persen dari 38.569,84 km pada 2009 menjadi 47.017,27 km pada 2015.

Sementara untuk jalan tol, hingga 2019, tercatat ruas yang telah beroperasi sepanjang 2.093 km dan tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali.

Tidak hanya semakin panjang, jalan di Indonesia juga semakin berkualitas pada periode ini. 

Sebagai perbandingan, panjang jalan nasional pada tahun 1996 yakni 26.850 kilometer. Dari sepanjang jalan itu, 96,8 persen masuk kategori berkualitas mantap. Hanya 2,7 persen yang berkualitas sedang dan 0,5 persen masuk kategori rusak berat. 

Sementara pada tahun 2019, persentase jalan berkualitas baik memang hanya menyentuh angka 92,8 persen saja. Tetapi, panjang jalan nasional bertambah menjadi 47.017 kilometer. 

Artinya, semakin ke sini, pemerintah tidak hanya menambah panjang jalan, melainkan juga meningkatkan kualitas jalan itu sendiri. 

Simak selengkapnya perkembangan jalan pada periode Reformasi melalui tabel berikut ini:


 Jejak Jalan Era Jokowi

Masa jabatan SBY berakhir 20 Oktober 2014. Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu 2014. 

Atas alasan efisiensi dan efektivitas, Presiden Jokowi menyatukan kembali bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat ke dalam satu kementerian menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Seorang pejabat karier bernama Basuki Hadimoeljono dipercaya menjabat kementerian tersebut.

Basuki menjadi salah satu menteri kepercayaan Presiden Jokowi. Buktinya, ketika Jokowi kembali memenangkan Pilpres pada 2019 bersama wakil barunya Kiai Haji Ma’ruf Amin, Basuki tak didepak dari kabinet dan tetap dipercaya mengemban tugas di kementerian yang sama hingga artikel ini ditayangkan.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono meninjau jalan tol Cikopo-Palimanan sepanjang 116,75 kilometer, Selasa (2/5/2015).
HBA/Kompas.com
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono meninjau jalan tol Cikopo-Palimanan sepanjang 116,75 kilometer, Selasa (2/5/2015).

Pada era Jokowi, pembangunan infrastruktur merupakan garda depan pembangunan bangsa. Dengan infrastruktur, jalan salah satunya, ekonomi diharapkan semakin merata dan meningkat. 

Oleh sebab itu, pemerintahan Jokowi fokus pada pembangunan koneksi antardaerah, terutama daerah yang memiliki potensi ekonomi tinggi hingga daerah terdepan alias perbatasan. 

 

     Trans Sumatera

Pulau Sumatera merupakan pulau dengan laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. 

Pada 2004, jumlah penduduknya mencapai 45.111.968 jiwa. Sebanyak 27 persen di antaranya tinggal di Provinsi Sumatera Utara. Sementara, jumlah penduduk terendah ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 

Pada 2015, jumlah penduduk Pulau Sumatera bertambah 11 persen menjadi 55.272.876 jiwa.

Untuk menopang sekaligus meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat, pemerintah terus menambah panjang jalan di pulau tersebut.

Jaringan jalan nasional pun terus ditambah sejak 2004 yang semula 10.588,92 km menjadi 13.709,85 km pada 2015. Pada tahun 2021 ini, jumlah panjangnya bertambah lagi. 

Interchange Tanjung Mulia Jalan Tol Trans Sumatera Ruas Medan-Binjai Seksi 1 Segmen Tanjung Mulia-Helvetia.
Hutama Karya
Interchange Tanjung Mulia Jalan Tol Trans Sumatera Ruas Medan-Binjai Seksi 1 Segmen Tanjung Mulia-Helvetia.

Selain itu, pemerintahan Jokowi juga mengebut pengerjaan Jalan Tol Trans Sumatra yang dirancang memiliki total panjang 3.044 kilometer. Total ini terdiri dari jalur utama dan jalur penghubung. 

Dari total panjang tersebut, ruas tol yang sudah beroperasi secara keseluruhan mencapai 673 kilometer.

Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) pada November 2021 menyebut, akan ada lima ruas Jalan Tol Trans Sumatera yang akan beroperasi hingga akhir tahun ini dengan total panjang 96,6 km.

Kelima ruas JTTS yang akan beroperasi pada akhir tahun ini adalah Seksi 1 Tebing Tinggi–Indrapura di ruas tol Kuala Tanjung–Tebing Tinggi–Parapat sepanjang 20,4 km dengan progres konstruksi sebesar 85,38 persen per November ini.

Lalu, ruas tol Binjai–Langsam segmen Binjai–Stabat sepanjang 12,3 km, Seksi tol Pekanbaru–Bakinang 9–40 di ruas tol Padang–Pekanbaru dengan panjang 40 km yang progres konstruksinya mencapai 75,46 persen, dan Seksi Bengkulu–Taba Penanjung di ruas tol Lubuk Linggau–Curup–Bengkulu sepanjang 17,6 km dengan progres konstruksi 84,13 persen.

Ada pula Seksi 2 Seulimeum–Jantho di ruas tol Sigli–Banda Aceh sepanjang 6,3 km dengan progres konstruksi saat ini mencapai 97,76 persen.

 

     Trans Papua

Trans Papua merupakan salah satu proyek pembangunan jalan yang cukup monumental pada periode Reformasi ini. 

Sebab, Papua-setidaknya selama 12 tahun terakhir-berkembang pesat. Laju pertumbuhan penduduk di sana dalam rentang 2004-2015 mencapai 2,2 persen, lebih besar dibandingkan Pulau Jawa yang hanya 1,2 persen. 

Menopang fakta itu, ada fakta lain bahwa jaringan jalan nasional di Papua belum terbentuk. Dari 42 kabupaten/kota di Pulau Papua, hanya 17 kabupaten dan satu kota yang terhubung oleh jalan nasional. 

Pada 2004, panjang jalan nasional di Papua tercatat hanya 2.303,16 km. 

Oleh sebab itu, Presiden Jokowi menginisiasi pembangunan jalan Trans Papua sepanjang 3.535 km itu pada tahun 2015. Total panjang itu terbagi di dua provinsi. Provinsi Papua sepanjang 2.465 km dan Papua Barat sepanjang 1.070 km. 

Berdasarkan laporan Juli 2021, jalan yang sudah terbangun, yakni sepanjang 3.446 kilometer, dengan kondisi teraspal sepanjang 1.733 kilometer, belum teraspal 1.712 kilometer. Sedangkan yang belum tembus sepanjang 16 kilometer.

Presiden Joko Widodo dan rombongan saat menjajal salah satu ruas Jalan Trans Papua, Rabu (10/5/2017).
Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo dan rombongan saat menjajal salah satu ruas Jalan Trans Papua, Rabu (10/5/2017).

"Kita harapkan dengan selesainya jalan-jalan Trans Papua ini, mobilitas barang, mobilitas orang, pengiriman logistik, bisa lebih cepat lagi dan akhirnya menurunkan biaya-biaya logistik transportasi. Saya kira arahnya ke sana".

Presiden Joko Widodo saat meninjau pengerjaan proyek Trans Papua, Jumat (16/11/2018)

 

     Jalan perbatasan

Pembangunan jalan perbatasan menjadi salah satu agenda utama pembangunan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak periode pertama.

Adapun pembangunan infrastruktur pada kawasan tersebut ditujukan untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus meningkatkan akses daerah terpencil menuju Pos Lintas Batas Negara (PLBN), membentuk jalur-jalur logistik baru, dan pemerataan pembangunan di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).

Jalan perbatasan di Indonesia tersebar di tiga lokasi, yakni Kalimantan, Papua dan juga Nusa Tenggara Timur (NTT). Proyek pengerjaannya pun masih berlanjut dan total panjangnya terus bertambah.

Berikut adalah data jalan perbatasan di Indonesia terkini dan rencana pembangunan hingga 2021.

Jalan perbatasan NTT
Kementerian PUPR
Jalan perbatasan NTT

 

 Penyelenggara Jalan   dan Penetapan Hari Jalan di   Indonesia 

Keberhasilan pembangunan jalan di Indonesia yang masyarakat nikmati saat ini tak terlepas dari campur tangan penyelenggara yang menaungi.

Penyelenggara jalan di Indonesia sendiri telah ada sejak masa kolonial dengan nama Civiele Gebouwen. Seiring waktu, institusi ini mengalami serangkaian perubahan, mulai dari nama hingga fungsi.

Selengkapnya tentang institusi yang berjasa atas penyelenggaraan jalan di Indonesia dari masa ke masa dapat dilihat dalam infografis berikut ini: 

Dalam perkembangan paling mutakhir, yakni pada 2019, institusi penyelenggara jalan dipegang oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga sebagai pemilik wewenang mengelola jalan di Indonesia.

Melihat begitu panjangnya akar sejarah penyelenggaraan jalan di Indonesia, sudah sepantasnya ada upaya khusus untuk memperingati hal tersebut. Inilah alasan penetapan Hari Jalan pada 20 Desember.

Penetapan momen tersebut tidak hanya bertujuan untuk mengingat sejarah penyelenggaraan jalan di Indonesia, tetapi diharapkan mampu membangun kesadaran pengguna jalan dalam memelihara dan menjaga keberadaannya. Dengan begitu, jalan-jalan di Indonesia bisa memiliki usia panjang.

Di sisi lain, penetapan Hari Jalan bisa menjadi pelecut bagi penyelenggara jalan agar bekerja lebih keras dan berinovasi seperti yang sudah dibuktikan lewat penyelenggaraan jalan pada masa silam.   

 

     Meredam pro kontra

Menetapkan Hari Jalan bukan perkara mudah. Bahkan, tak menutup kemungkinan terjadi pro dan kontra.

Guna meminimalkan hal tersebut, tim peneliti Ditjen Bina Marga telah meneliti dan membuat kriteria untuk menentukan jalan-jalan yang direkomendasikan sebagai maskot Hari Jalan.

Ada empat kriteria penting sebuah jalan atau jembatan untuk dapat ditetapkan sebagai Hari Jalan.

  1. Jalan atau jembatan nasional yang mengintegrasikan berbagai wilayah di Indonesia
  2. Jalan atau jembatan nasional yang memiliki identitas, seperti tanggal, bulan, dan tahun.
  3. Jalan atau jembatan nasional yang dibangun atas inisiasi bangsa Indonesia
  4. Jalan atau jembatan nasional yang memiliki makna penting bagi negara

Merujuk empat kriteria tersebut, Ditjen Bina Marga memilih tujuh jalan dan jembatan untuk dijadikan maskot Hari Jalan. Simak selengkapnya...

Hasil penelitian tim peneliti Direktorat Jenderal Bina Marga kemudian juga disajikan dalam bentuk buku Jalan di Indonesia: Dari Sabang Sampai Merauke

Secara garis besar, buku ini mengemukakan perkembangan pembangunan infrastruktur jalan di Tanah Air sejak masa sebelum kemerdekaan hingga era kemerdekaan atau sampai 2019--awal mula periode pemerintahan saat ini. 

"Sebagaimana ditegaskan Presiden Joko Widodo tentang Visi Indonesia tanggal 14 Juli 2019, pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia ke depannya akan terus berlangsung. Dalam kaitan itu, agar pembangunan jalan di Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang dapat berlangsung lebih baik dibanding masa sebelumnya, maka proses rekonstruksi dan dokumentasi catatan-catatan sejarah pembangunan jalan dan jembatan yang telah dilakukan sebelumnya secara utuh, menjadi sangat penting, agar dapat dijadikan sebagai cermin, sekaligus bahan pembelajaran."

Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Hedy Rahadian

 

Sejatinya, keberadaan jalan-jalan di Indonesia jadi bukti perkembangan dan kemajuan bangsa.

Ke depan, perkembangan dan penambahan infrastruktur jalan tak akan terhenti.

Jika penyelenggara jalan sudah merealisasikan komitmennya, kini giliran masyarakat Indonesia turut aktif memelihara jalan dan jembatan yang sudah ada agar dapat dipergunakan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia.

thumb
thumb