APES bagi Dian Febriansah Sugiono (33) sekeluarga. Perjalanan mudik mereka dari Gresik ke Surabaya, Jawa Timur, terpaksa harus terhambat.
Entah apa penyebabnya, motor matic berpelat L 5861 DU yang dikendarai tiba-tiba mogok di tengah Jalan Raya Banyuwangi, Kecamatan Manyar, Gresik, Rabu 27 April 2022.
Di tengah hari bolong itu, ia terpaksa menuntun motor mencari bengkel terdekat. Sementara sang istri mengikuti dari belakang sembari menggendong bayi yang baru berusia empat bulan.
“Kasihan ini anak saya kepanasan,” ujar Febri.
Rupanya, ketidakberuntungannya berhenti sampai di situ saja. Setelah nyaris setengah jam berjalan, ia dihampiri personel Samapta Polsek Manyar yang sedang berpatroli menggunakan mobil bak terbuka.
Mengetahui persoalan yang tengah dihadapi Febri, petugas kemudian mengangkut motornya ke mobil patroli untuk dibawa ke bengkel terdekat. Febri beserta anak dan istrinya pun turut naik ke mobil.
“Alhamdulillah, yang bersangkutan sudah bisa melanjutkan perjalanan mudik kembali (setelah motornya diperbaiki),” ujar Kapolsek Manyar AKP Windu Priyo Prayitno.
Mudik Lebaran di Indonesia memang selalu menghadirkan beragam kisah menarik. Apalagi tahun 2022 ini.
Setelah dua tahun pemerintah melarang mudik akibat wabah Covid-19, tahun ini Presiden Jokowi memutuskan memperbolehkannya dengan penerapan protokol kesehatan.
Rindu untuk pulang ke kampung halaman pun seolah dibayar tuntas.
Pantas bila berdasarkan riset yang digelar Kementerian Perhubungan menunjukkan, jumlah pemudik pada Lebaran tahun ini melonjak tajam dibanding tahun-tahun sebelum pandemi, yakni mencapai 85,5 juta orang.
Segala daya dan upaya dikerahkan untuk dapat bertemu sanak saudara di kampung halaman setelah dua tahun lamanya tertahan.
Salikun Angel (62) yang tinggal di Asem Baris, Tebet, Jakarta Selatan misalnya. Ia memilih mudik ke kampung halaman di Kebumen, Jawa Tengah, menggunakan sepeda.
Ditemui di tengah perjalanannya, Kamis 28 April 2022 malam, Salikun mengaku, mudik menggunakan sepeda memang biasa dia lakukan.
“Sudah sejak 2012 mudik menggunakan sepeda. Lebih enak. Alhamdulillah tidak pernah ada kendala,” kata dia.
Baca juga: Cerita Lansia Salikun, Sudah 10 Tahun Mudik Pakai Sepeda Tempuh 400 Km ke Kebumen
Menempuh jarak sekitar 400 kilometer, Salikun mempersiapkan perjalanan yang diperkirakan akan memakan waktu empat hari itu dengan baik.
Di atas sepedanya, terdapat tas berisi aneka perlengkapan. Mulai dari ban cadangan, selang air, baju ganti, rompi reflektif, pimpa ban, bekal makanan kecil, hingga kompor portabel.
“Semua kebutuhan sudah dipersiapkan untuk jaga-jaga selama perjalanan,” ujar Salikun yang mengaku tetap berpuasa.
Rindunya tak terbendung. Setiap kayuhannya adalah doa yang dalam beberapa hari ke depan akan membawanya ke orang-orang yang ia kasihi.
"Bekal khusus saya adalah rasa nekat dan kemauan dalam hati," ucap Salikun.
Lain kisah dari Dyah (44), warga Ciputat, Tangerang Selatan Banten, yang memilih mudik bersama suami dan ketiga anaknya menggunakan mobil pribadi pada hari yang sama dengan Salikun.
Dyah sekeluarga memilih berangkat pukul 02.30 WIB. Ia memprediksi, waktu tersebut adalah waktu terbaik untuk melintasi jalan tol menuju kampung halamannya di Yogyakarta.
Rupanya kelancaran arus lalu lintas hanya dirasakan hingga Jalan Layang Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) saja, tepatnya di Kilometer 40.
"Terus Km 41 mulai padat sampai Cikampek," ujar dia.
Kemacetan terjadi karena antrean kendaraan di pinggir jalan tol imbas penuhnya rest area. Ia menyebut, parkir kendaraan di tepi jalan terjadi mengular hingga dua kilometer sebelum rest area.
Bahkan, setelah rest area, penumpukan kendaraan masih terjadi. Arus lalu lintas baru terasa lancar setelah memasuki Kilometer 80.
Artinya, Dyah dan ribuan pemudik lainnya mengalami kemacetan sepanjang sekitar 40 kilometer.
Baca juga: Cerita Mereka yang Bermacet-macetan di Tol Demi Mudik di Kampung Halaman
Apapun, bagi Dyah sekeluarga, macet bukan halangan untuk tidak pulang ke kampung yang selama dua tahun terakhir hanya dijumpai secara virtual.
Sebab, rasa rindu sudah membuncah, tak peduli macet seberapa parah.
Mudik menjadi kata yang paling populer di Indonesia setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Aktivitas mudik biasanya diawali oleh pengumuman pemerintah soal penerapan serangkaian kebijakan untuk mempermudah kegiatan mudik.
Setelah itu, beberapa hari sebelum Lebaran, orang mulai berbondong-bondong pulang ke kampung halaman untuk bersilaturahim dengan sanak saudara.
Seiring dengan itu, sejumlah media mendistribusikan segala macam informasi tentang mudik. Baik peta mudik, tempat peristirahatan beserta sejumlah fasilitasnya, informasi destinasi wisata, kuliner, hingga tips soal angkutan umum atau pribadi yang digunakan untuk mudik.
Pada saat waktu mudik berlangsung, kegiatannya pun tak lepas dari pemberitaan. Arus lalu lintas di jalur darat diinformasikan secara aktual dan berkelanjutan.
Kondisi mudik di moda transportasi laut dan udara pun demikian. Kisah-kisah pemudik jadi hal yang menarik untuk jadi konsumsi khalayak.
Pola ini terjadi dari tahun ke tahun hingga muncul pertanyaan, sebenarnya kapan ini semua berawal?
Direktur Narabahasa Ivan Lanin mengungkapkan, bila ditilik dari sisi kebahasaan dan sejarah, kata 'mudik' sudah ada sejak sekitar tahun 1390. Kata itu ditemukan di dalam naskah kuno berbahasa Melayu.
"Dari penelusuran di Malay Concordance Project, kata 'mudik' sudah dipakai di dalam naskah Hikayat Raja Pasai yang bertarikh sekitar (tahun) 1390," kata Ivan.
Sekadar informasi, kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara. Rentang masa kekuasaan kerajaan itu sekitar tiga abad, yakni dari 1267 hingga 1524.
Kata 'mudik' ditemukan dalam naskah Hikayat Raja Pasai. Dalam salah satu bagiannya, 'mudik' berarti 'pergi ke hulu sungai'.
Dalam salah satu naskahnya, kata 'mudik mengandung arti 'pergi ke hulu sungai'.
"Kata ini tampaknya berkaitan dengan kata "udik" (hulu sungai) yang dilawankan dengan "ilir" (hilir sungai)," jelas Ivan.
Baca juga: Asal Kata dan Sejarah Mudik, Tradisi Masyarakat Indonesia Saat Lebaran
Dalam perkembangannya, lanjut Ivan, kata 'mudik' mengalami perubahan makna. Pada awalnya berarti pergi ke hulu sungai, kini bermakna pergi ke kampung halaman.
"Dari arti awal 'pergi ke hulu sungai', kata ini mengalami perubahan makna 'pergi ke kampung' karena hulu sungai (pedalaman) dianggap identik dengan kampung asal," terang Ivan.
Makna mudik kemudian tidak hanya terbatas pada kampung saja. Kampung atau tempat asal menjadi bukan hanya merujuk pada wilayah kampung/desa, melainkan juga wilayah kota.
"Komponen makna yang dipertahankan ialah 'tempat asal', bukan jenis tempat asal itu," kata Ivan.
Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno menambahkan, pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1527), aktivitas yang disebut sebagai mudik juga dilakoni.
Kala itu, kekuasaan Majapahit merambah hingga Semenanjung Malaya, bahkan Sri Lanka.
Mudik pada era Majapahit dilakoni pejabat-pejabat yang ditugaskan raja menduduki wilayah yang jauh dari kampung halaman.
Luasnya wilayah kekuasaan Majapahit membuat raja-raja menempatkan pejabat di berbagai daerah yang jauh dari Pulau Jawa.
Suatu ketika, pejabat-pejabat yang bertugas di wilayah yang jauh dari tempat kelahirannya itu diminta menghadap raja.
Mereka memanfaatkan momen itu untuk sekaligus pulang ke kampung halaman bertemu sanak saudara. Aktivitas inilah yang kemudian dikaitkan dengan istilah mudik.
"Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri," kata Silverio.
Berabad abad kemudian, kembali ke tanah kelahiran pada momentum hari raya keagamaan menjadi tradisi di masyarakat Indonesia.
Pada awal abad ke-19, aktivitas mudik Lebaran sempat terganggu wabah pes yang melanda Pulau Jawa.
Peristiwa ikonik tersebut bermula saat pemerintahan Hindia-Belanda yang menguasai Nusantara mengimpor beras dari Birma. Impor kala itu terpaksa dilakukan karena mengalami masa paceklik ditambah penyusutan sawah akibat penanaman komoditas perkebunan lain.
Baca juga: Wabah Pes dan Malaria Berdampak pada Evolusi Manusia, Bagaimana dengan Covid-19?
Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmoko dalam artikel berjudul Pagebluk dan Mudik (2020) bercerita, beras-beras diangkut menggunakan kapal. Kemudian, diturunkan di pelabuhan dan didistribusikan melalui kereta api.
"Celakanya, berkarung beras dikuntit tikus, binatang pengusung penyakit pes. Pada periode itu, diketahui jenis pes bubo dan pes paru-paru," ujar Heri.
Korban pes biasanya ditandai dengan demam tinggi, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan melemahnya tubuh.
Pekerja informal yang rata-rata kaum perantau juga kelimpungan dan dilematis. Hidup di kota tiada harapan, sedangkan jikalau nekad mudik, pes telah mengamuk di desa.
Laiknya Covid-19 yang diam-diam menyusup ke banyak negara, penyakit pes juga menyebar secara bertahap di Pulau Jawa.
Dimulai tahun 1910 menyasar mulut pelabuhan Surabaya, kemudian menjalar ke Malang, Kediri, Madiun, Surakarta, serta Yogyakarta. Orang-orang yang sakit dikarantina.
Hari-hari dan tahun-tahun setelahnya, jumlah korban meninggal akibat penyakit pes semakin melonjak. Di Solo Raya tahun 1924, angka kematian akibat pes mencapai 4.482 jiwa. Setahun kemudian, korban bertambah menjadi 5.145 jiwa.
"Bisa dibayangkan betapa kondisi kota mencekam detik itu. Pekerja informal yang rata-rata kaum perantau juga kelimpungan dan dilematis," ujar Heri.
"Hidup di kota tiada harapan, sedangkan jikalau nekad mudik, pes telah mengamuk di desa," lanjut dia.
Bila mereka mudik pun belum tentu diperbolehkan masuk ke rumah. Sebab, mulut kampung dijaga ketat dengan maksud menghalau orang membawa penyakit pes masuk ke dalam kampung.
Orang-orang yang berhasil pulang dipaksa membersihkan rumah dari keberadaan tikus. Bagi yang memiliki sumber daya, dinding anyaman bambu wajib diganti papan kayu agar tak jadi sarang tikus.
Para pemudik tak hanya membantu merenovasi rumah sendiri, melainkan wajib bergotong royong melakukan hal yang sama bagi rumah tetangganya.
Silverio melanjutkan, istilah 'mudik' kemudian baru disadari masyarakat dan menjadi populer di era 1970-an.
Kata 'mudik' mengalami penyempitan makna menjadi sebutan bagi perantau yang pulang ke kampung halamannya untuk sementara waktu.
Dalam bahasa Jawa, masyarakat kemudian mengartikan mudik sebagai akronim dari mulih dhisik yang berarti 'pulang dulu'.
Sementara dalam etnis Betawi, masyarakatnya mengartikan mudik sebagai 'kembali ke udik'. Dalam bahasa Betawi, 'udik' berarti 'kampung'.
Pada tahun 1976, pakar bahasa memasukkan kata 'mudik' ke dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta. Kata itu artinya 'pulang ke udik', dan 'pulang ke kampung halaman'.
Akhirnya, secara bahasa mengalami penyederhanaan kata dari 'udik' menjadi 'mudik dan kata tersebut menjadi populer di Indonesia hingga saat ini.
Pada tahun 1976, pakar bahasa Indonesia Badudu-Zain dan Abdul Chaer memasukkan kata 'mudik' ke dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta.
Dalam kamus tersebut, kata 'mudik' memiliki arti 'pulang ke udik', dan 'pulang ke kampung halaman'.
Silverio berpendapat, mudik zaman dulu berbeda dengan zaman sekarang.
Dulu, mudik dilakukan secara natural untuk mengunjungi dan berkumpul dengan keluarga. Tetapi sekarang, mudik lebih kompleks dari itu. Mudik sekaligus menjadi ajang eksistensi diri.
Mengutip arsip Kompas, 20 April 2022, pemudik pada era ini mengalami keterbatasan dalam memilih moda transportasi publik.
Kereta api dan bus menjadi primadona pemudik untuk membawa mereka ke daerah asal. Kendaraan pribadi, seperti motor dan mobil, tidak sebanyak saat ini.
Pesawat belum menjadi alternatif bepergian kala itu. Bila ada yang menggunakannya, pastilah mereka dari kalangan pejabat ataupun kelompok menengah atas. Mudik menggunakan pesawat baru disebut-sebut pada 1980-an.
Karena itu, sorotan terhadap angkutan mudik terfokus pada kereta api dan bus.
Namun bagi Eko, mudik tahun ini sangat spesial. Selain sudah dua tahun tak mudik, Eko kini telah membangun keluarga kecil dengan seorang buah hati.
Pedagang oleh-oleh di wilayah pesisir pantai utara Jawa Tengah salah satunya. Mereka telah bersiap menyambut pemudik. Momentum mudik tahun ini diharapkan menjadi titik balik kebangkitan usaha oleh-oleh yang dua tahun terakhir lesu akibat pandemi.
Mengutip Kompas, 23 April 2022, para pedagang telur asin mulai menambah stok telur itik. Setiap pedagang menyetok hingga puluhan ribu butir telur itik sejak pekan pertama Ramadhan.
Peningkatan permintaan telur itik tersebut membuat harganya naik dari Rp 2.200 per butir menjadi Rp 2.700 per butir.
Dinah (55), pedagang telur asin di Kecamatan Wanasari, Brebes, misalnya, berencana menyiapkan 50.000 butir telur itik untuk diolah menjadi telur asin.
Kini, ia baru mendapatkan sekitar 40.000 telur itik. Kekurangan 10.000 butir lainnya akan dipenuhi pada pekan ini.
Jumlah stok telur itik yang disiapkan Dinah pada masa mudik Lebaran tahun ini masih belum menyamai stok yang ia siapkan pada periode yang sama di tahun 2019. Kala itu, ia menyiapkan 100.000 butir telur.
Baca juga: 20 Oleh-oleh Khas Yogyakarta, Ada Cokelat Monggo Hingga Geplak
Kendati demikian, jumlah telur itik yang disiapkan oleh Dinah pada tahun ini lima kali lipat lebih banyak daripada yang ia siapkan di tahun lalu. Pada masa mudik Lebaran tahun lalu, perempuan yang berjualan telur asin sejak 1994 itu menyiapkan 10.000 butir telur.
”Saya optimistis, penjualan harian pada masa mudik Lebaran tahun ini meningkat tiga kali lipat rata-rata penjualan harian di hari-hari biasa. Soalnya, sejak menjelang puasa kemarin, peningkatan pembeli sudah mulai terasa,” kata Dinah.
Optimisme yang sama diungkapkan pedagang telur asin Brebes lainnya, Dhani Bagus Purnama. Dhani yang pada hari-hari biasa menyiapkan 1.000 butir telur asin setiap hari akan menambah stoknya menjadi 3.000 butir per hari.
Untuk memaksimalkan produksi dan penjualan, Dhani berencana menambah sif kerja karyawannya. Jika biasanya hanya ada tiga sif, yakni pagi, siang, dan sore, mulai pekan ini ditambah menjadi empat sif dari pagi hingga malam hari.
Diperbolehkannya kembali mudik Lebaran juga disambut antusias oleh para pedagang oleh-oleh di Kota Semarang. Vincent Setiawan Usodo, pengelola toko oleh-oleh lumpia, berencana menambah jumlah karyawan khusus produksi selama arus mudik Lebaran.
”Sekarang, karyawan berjumlah enam orang. Mulai pekan depan akan kami tambah menjadi sepuluh orang. Kalau memang masih kurang, nanti bisa ditambah lagi,” katanya.
Dalam sehari, toko lumpia yang dikelola Vincent menjual sekitar 500 lumpia. Pada masa mudik Lebaran, ia akan menambah jumlah stok menjadi 800 lumpia per harinya.
Dalam skala nasional, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, mudik Lebaran tahun ini dapat meningkatkan ekonomi yang terpuruk akibat dua tahun pandemi.
"Jumlah masyarakat yang mudik 85,5 juta dan kalo masing-masing minimal spending Rp1,5 juta saja, maka ekonomi mudiknya sebesar Rp175 triliun. Dan ekonomi mudik ini naik dibandingkan tahun yg lalu sekitar 15-20 persen," kata Airlangga, Jumat 29 April 2022.
Berbagai penelitian tentang konsep diri menunjukkan, asal-usul ras, kesukuan, kebangsaan, dan agama merupakan aspek terpenting dalam kehidupan seseorang.
Oleh sebab itu wajar bila saat mudik Lebaran kita mengunjungi makam orangtua atau leluhur, untuk menegaskan kembali asal-usul kita.
"Mudik sebagai kecenderungan manusiawi ini sesuai dengan falsafah ulah pareumeun obor (jangan biarkan obor padam) dalam budaya Sunda dan sangkan paraning dumadi (dari mana manusia berasal dan akan ke mana ia kembali) dalam budaya Jawa," ujar Deddy.
Pandangan lama Arnold Dashefsky (1976) masih relevan, bahwa kemajuan masyarakat telah meningkatkan keterasingan secara individual dan perubahan besar secara sosiokultural yang mendorong manusia mencari sumber keamanan yang bersifat nostalgik, hangat, dan menyenangkan, yang dalam konteks Indonesia tentu bisa dilakukan lewat mudik.
Seperti dinyatakan Hofstede dkk (2010), media populer kerap menyatakan bahwa teknologi komunikasi, termasuk televisi, surel, internet, telepon seluler, dan media sosial, akan membawa orang-orang di seluruh dunia bersama-sama ke dalam suatu desa dunia di mana perbedaan budaya tak lagi jadi masalah.
Namun, menurut mereka, dominasi teknologi atas budaya ini hanya suatu khayalan; perangkat lunak mesin mungkin mendunia, tetapi perangkat lunak pikiran (budaya) yang menggunakannya tidak demikian.
Walhasil, alih-alih menyeragamkan budaya, teknologi komunikasi malah menciptakan budaya dan subkultur yang semakin rumit.
"Medsos bahkan dapat digunakan untuk memperkokoh budaya atau subkultur sendiri, misalnya dengan membentuk grup Whatsapp sambil menjaga jarak dengan budaya atau subkultur lain," ujar Deddy.
M. Khoidin, staf pengajar FH Universitas Jember dalam Kompas, 21 Februari 1995 mengungkapkan, mudik mengandung ekspresi romantisme religius yang tersublimasi dalam momentum Idul Fitri.
"Kita semua mahfum bahwa Idul Fitri adalah hari kemenangan. Pada hari itu umat Islam yang telah berpayah-payah menunaikan ibadah puasa selama bulan Ramadhan merayakan hari kemenangan, hari kembali kepada kesucian (fitrah). Pada hari itu semua orang ingin merayakannya bersama seluruh keluarga, termasuk mereka yang menjadi urban people," ujar Khoidin.
Tak peduli lautan manusia menghadang. Kalau gelora dan niat sudah bulat, maka keinginan pulang kampung, berkumpul dengan orang tua, keluarga, dan handaitaulan pada saat Lebaran, tak akan surut karenanya. Akhirnya, ditempuhlah mudik dengan segala konsekuensinya, baik suka maupun duka.
Dengan mudik, di samping tercapai hablum minallah yang dilakukan secara khusyuk bersama seluruh keluarga di kampung, juga dapat dicapai hubungan secara horizontal (hablum minannas).
Dalam hablum minannas ini paling tidak ingin dicapai tiga rangkaian perbuatan ritual.
Pertama, silaturahim dengan keluarga. Kebiasaan saling kunjung- mengunjungi, saling bermaaf-maafan, halal bihalal hanya dapat dilaksanakan secara fisik (personal). Tidak bisa (cukup) orang mengadakan halal bihalal dengan kartu Lebaran, telegram indah atau telepon.
Kedua, menyalurkan sebagian hasil jerih payah di kota kepada keluarga. Mudik dapat dijadikan wahana pemerataan ekonomi. Pemudik sengaja menyisakan sebagian uangnya untuk keluarga dan kerabat di kampung.
Ketiga, berziarah ke makam. Pada saat Idul Fitri banyak orang mengunjungi makam leluhurnya. Berziarah ke makam dapat mengingatkan manusia pada kematian, yang senantiasa akan menjemputnya.
Mengingat-ingat kematian -- melalui ziarah kubur -- dapat menjadikan orang mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan ikhlas.
Itulah siratan makna yang dapat diambil dari fenomena mudik. Mudik merupakan gabungan ekspresi romantisme kultural dan religius.
"Dalam mencapai kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang mesti meninggalkan dan menanggalkan soal-soal yang berbau rasionalitas dan pertimbangan kematerian," ujar dia.
Mudik sudah mentradisi dan mengkultur. Tidak bisa dibendung. Hal-hal yang merupakan bias negatif dari mudik, hendaknya dijadikan tantangan dan penyemangat untuk berbenah diri.
Sisi negatif mudik tidak perlu ditonjolkan apalagi dibesar-besarkan. Nilai-nilai yang positif sajalah yang perlu digali, sehingga kita dapat mengambil makna dari mudik. Kembali ke fitrah.