SATE adalah salah satu permata kuliner Nusantara.
Tidak sulit untuk menemukannya. Sate dijual mulai dari restoran kelas atas, warung makan tepi jalan, hingga gerobak yang setiap malam melintas di depan rumah.
Di penjuru Indonesia, rasa-rasanya tidak ada daerah yang tidak menjual jenis makanan berciri ditusuk kayu kecil ini.
Sulit pula menemukan orang yang tak suka atau tak pernah memakan sate sepanjang hidupnya.
Umumnya, sate berbahan dasar daging ayam, sapi atau kambing yang diiris kecil, kemudian dibakar di atas bara. Sekujur tubuhnya dilumuri bumbu rempah yang menyatu di dalam kecap manis.
Tetapi, varian sate lainnya tentu tak kalah menggugah selera. Ada sate yang berbahan dasar lidah sapi dan disiram kuah kental.
Ada pula sate berisikan kerang yang telah direbus dengan aneka bumbu. Bahkan, ada sate yang bukan berbahan protein hewani, melainkan tempe.
Jenis sate yang begitu beragam itu bergantung pada daerah di mana sate itu sendiri tercipta.
Lantas, sebenarnya ada berapa ragam sate di Indonesia? Dari mana asal-usulnya? Bagaimana sate bisa menjadi berbeda-beda di setiap daerah?
Berikut ulasannya…
Sebuah penelitian yang dilakukan tim dari Universitas Gajah Mada (UGM) 2018 silam menjadi pintu masuk atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Penelitian itu menemukan fakta baru bahwa sate di Indonesia memiliki 252 ragam.
Hasil penelitian ini sekaligus memperbaharui penelitian serupa yang pernah dilakukan pada 2016.
Pada penelitian tahun 2016, peneliti menemukan bahwa sate di Indonesia memiliki 85 ragam. (Harmayani, dkk, 2016).
Baca Juga: Jarang Diketahui, Indonesia Punya 252 Jenis Sate
Meski demikian, dari 252 ragam sate tersebut, hanya 175 ragam sate yang dapat ditelusuri asal-usulnya sedangkan 77 ragam sate lainnya belum diketahui asal usulnya.
Ragam sate yang dapat ditelusuri asal usulnya tersebut dikelompokkan ke tujuh pulau besar yang ada di Indonesia.
Berikut ini adalah infografiknya:
Sebanyak 175 ragam sate di atas berasal dari 32 daerah kuliner dari 34 daerah di seluruh nusantara (94,11%).
Hal ini menunjukkan bahwa hampir di semua daerah kuliner Indonesia memiliki ragam sate kuliner masing-masing.
Hanya dua daerah kuliner, yakni Lampung dan Mandar, tidak memiliki ragam sate yang biasa dimasak oleh masyarakat.
Sementara itu, sebanyak 77 ragam sate yang tidak dapat ditelusuri asal usulnya diduga merupakan variasi dari ragam sate yang telah ada.
Berikut ini adalah tabelnya:
Sebagai contoh, sate ayam saus tempe dan sate ayam bumbu rica yang merupakan pengembangan dari sate ayam.
Sate kambing bumbu kecap dan bumbu petis merupakan pengembangan dari sate kambing.
Sate sapi bumbu ketumbar dan bumbu rempah merupakan pengembangan dari sate sapi.
Sate tersebut dimungkinkan akan bertambah seiring berkembangnya seni dapur sate di nusantara.
Baca Juga: Resep Sate Komoh, Sate Daging Sapi Khas Jawa Timur
Dari ragam sate Nusantara yang dilansir dalam infografik di atas, kita tentu pernah mencicipi beberapa di antaranya.
Sate Ambal, yakni sate ayam yang disajikan dengan bumbu dari tempe yang dihaluskan.
Ambal sendiri adalah sebuah nama kecamatan di pesisir selatan Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Selain itu, kita bergeser sedikit ke Yogyakarta, ada beragam sate yang biasa kita temui di angkringan, yakni sate telur puyuh, sate usus, dan sate usus.
Tak semua sate menggunakan bahan baku hewan darat. Sebagaimana yang sudah disinggung pada awal artikel, di beberapa daerah ada juga sate yang bahan bakunya menggunakan komoditas laut.
Contohnya sate kerang di Medan atau sate tenggiri di Jambi. Sementara itu, di Papua ada sate ikan yang proses pembakarannya menggunakan media batu.
Pada sebagian orang dengan gaya hidup vegetarian, bahan baku sate juga berkembang menjadi tempe, atau jamur.
Baca Juga: Resep Sate Ikan Bumbu Kari, Lauk Makan Siang untuk Diet
Tak semua keunikan sate diukur dari bahan baku ataupun cara penyajian. Ada juga jenis sate yang ciri khasnya terletak dari proses pembuatan.
Contohnya bisa dilihat pada sate lalat yang ada di Madura. Sepintas tidak ada yang istimewa dari sate ini.
Sate lalat adalah sate ayam yang disebut lalat karena ukuran potongan dagingnya yang terlampau kecil. Saking kecilnya, satu ekor ayam bahkan bisa diolah menjadi 1.000 tusuk sate.
Keunikan sate lalat sendiri dapat dilihat dari proses pembuatannya. Karena ukuran daging yang digunakan sangat kecil, maka dituntut kehati-hatian saat merangkai daging pada tusuknya.
Rekor muri membakar sate lalat terbanyak di Pamekasan pic.twitter.com/JTtxVedWxO
— KOMPAS TV (@KompasTV) October 30, 2016
Keanekaragaman jenis sate di Indonesia tentu menarik pertanyaan, sebenarnya dari mana asal usul sate itu sendiri.
Ada banyak versi tentang asal usul sate. Ada yang mengatakan, sate berasal dari daratan Arab, dan India.
Bahkan, ada yang mengatakan sate berasal dari sebuah wilayah Nusantara yang bernama Ponorogo.
Baru setelah itu sate dibawa oleh pedagang ke penjuru Nusantara, hingga menyeberang ke Malaysia dan Singapura.
Baca Juga: Mengulik Sejarah Lahirnya Sate di Indonesia
Guru Besar Ilmu & Teknologi Pangan UGM Murdijati Gardjito mengungkapkan, Nusantara memang merupakan kuali adukan berbagai budaya di dunia. Tak terkecuali sate.
Bu Mur, begitu ia akrab disapa, mengatakan bahwa setidaknya ada dua versi asal usul sate di Indonesia yang ia ketahui.
Dua versi ini bukan sembarang kisah yang dituturkan dari mulut ke mulut atau generasi ke generasi. Tetapi menitikberatkan pada penelitian dan kajian mendalam terhadap literatur kuliner Nusantara dan sejumlah negara di dunia.
Versi pertama menyebut, sate berasal dari daratan China. Salah satu literaturnya adalah buku berjudul Origins of Chinese Food Culture.
Penemuannya terjadi beratus-ratus abad silam, bahkan sebelum manusia mengenal budaya bercocok tanam.
Pada suatu hari, rombongan dari ada sebuah kerajaan di tanah Tiongkok yang pergi berburu. Dalam perjalanan itu, kemudian terjadi kebakaran di hutan tempat mereka berada.
Usai api padam, rombongan mencium adanya bau harum dari dalam hutan yang baru saja terbakar.
Usai ditelusuri, bau harum rupanya berasal dari bangkai hewan yang gagal menyelamatkan diri hingga akhirnya mati terpanggang.
Memang tak semua bangkai hewan yang terbakar memunculkan aroma mewangi. Bangkai hewan yang gosong sudah tidak sama sekali memunculkan bau yang menarik.
Tetapi, peristiwa itulah yang jadi awal mula ide untuk membuat sate.
"Ternyata daging kalau dibakar, wanginya enak, rasanya enak," tutur Bu Mur, saat berbincang dengan Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Resep Sate Languan khas Bali, Sate Lilit dari Ikan Tongkol
Sementara, ide awal membuat tusukan terjadi setelah rombongan kerajaan tadi gagal memanggang daging dengan cara menjepit dengan kayu ranting.
Alih-alih disantap, banyak daging yang akhirnya jatuh ke bara api karena ukuran potongan daging yang jadi mengecil setelah dipanggang.
Akhirnya ditemukanlah cara yang lebih aman, yakni potongan-potongan daging tadi ditusuk dengan kayu kecil berukuran panjang supaya tidak mudah jatuh ke bara api.
Budaya menyate kemudian berkembang sampai akhirnya sampai di kepulauan Nusantara seiring terjadinya migrasi manusia.
Sebab, salah satu pola perpindahan penduduk di masa lampau yang tercatat dengan baik adalah migrasi masyarakat China bagian selatan ke arah kepulauan di Nusantara. Salah satunya ke Pulau Jawa.
Versi kedua, sejumlah literatur menyebut bahwa jenis makanan daging yang dipanggang berasal dari daratan Timur Tengah.
Makanan bernama kebab yang populer di Turki dan India adalah pintu masuknya.
Setelah ditelusuri, kebab berasal dari daratan Timur Tengah dengan nama 'kebabu' yang artinya daging dipanggang.
"Meskipun, kebab yang kita lihat sekarang dahulunya tidak seperti itu, ini yang wallahualam, kita tidak dapat keterangan," ujar Bu Mur.
Pada masa itu, India menjadi salah satu pusat perdagangan dunia. Pedagang-pedagang rempah dari Nusantara, semisal dari Jawa, Melayu dan Bugis, tidak asing berdagang di sana.
Mereka pun membawa jenis makanan tersebut ke daerahnya masing-masing.
Sebaliknya, pedagang-pedagang dari India pun intens beraktivitas di Indonesia. Khususnya di Pulau Jawa.
Maka, tak heran apabila Pulau Jawa jadi daerah kuliner dengan ragam sate paling banyak di Indonesia.
"Apalagi setelah ketahuan bahwa lada Indonesia itu lebih bagus daripada lada lain. Lalu mereka makin dekat dengan kita," ujar Bu Mur.
"Jadi, terjadinya silang. Orang India bermigrasi ke Indonesia membawa budaya sate. Sebaliknya orang Indonesia membawa kebiasaannya ke daerahnya masing-masing. Akhirnya menjadi sate seperti yang kita kenal," lanjut dia.
Meski demikian, versi sate berasal dari China memiliki tingkat akurasi lebih tinggi lantaran pendokumentasian sejarah di negara tersebut cukup baik.
Setelah sate benar-benar sampai di Nusantara, perjalanannya belum selesai.
Bu Mur mengatakan, ide tentang potongan daging kecil yang ditusuk menggunakan kayu dan dipanggang itu menyebar ke penjuru Nusantara.
Di sisi lain, Nusantara sendiri memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan budaya yang sungguh kaya. Termasuk bahan baku makanannya.
"Contohnya daun temurui, asam sunti. Itu hanya ada di Aceh dan Minangkabau. Kemudian ada lokio dan andaliman, itu ada di Sumatera Utara. Tempoyak di Melayu," ujar Bu Mur.
"Di Jawa beda lagi. Sunda ada tauco dan terasi, Yogyakarta ada kluwek dan seterusnya. Jadi, setiap daerah in komoditas yang dihasilkan berbeda-beda," lanjut dia.
Baca Juga: Daftar Makanan Tradisional di Indonesia
Selain bahan baku makanan, setiap daerah di Nusantara memiliki seni dapur yang berbeda-beda.
Keanekaragaman inilah yang berjalan beratus-ratus tahun lamanya hingga akhirnya mereka menemukan resep sate di daerahnya masing-masing. Tetapi, dengan konsep yang serupa.
"Akhirnya orang menemukan, oh ini kombinasi bumbu yang enak. Jadilah sate daerah kuliner A, B, C dan lainnya. Sehingga sate itu saat ini rasanya macam-macam," ujar Bu Mur.
Namun demikian, Bu Mur dan tim peneliti lain menemukan benang merah bumbu di antara sebagian besar ragam sate Nusantara.
Rempah yang paling banyak digunakan dalam pengolahan sate-sate di Nusantara adalah bawang merah, bawang putih, dan ketumbar.
"Sisanya bervariasi menurut di mana sate itu berada. Ada yang pakai asam jawa, ada yang pakai kemiri, lalu ada yang pakai parutan kelapa. Di Surabaya, sate klopo," ujar Bu Mur.
"Jadi, sebetulnya secara budaya, secara biodiversity, kita ini manusia yang dimanja oleh Gusti Allah. Karena kita punya berbagai macam bumbu, sayur mayur, buah, sumber karbohidrat, ikan, daging, wah macam-macam sekali," lanjut dia.
Tak semua sate yang beredar di masa kini adalah makanan yang membawa nilai-nilai tradisi dan budaya masa lalu.
Ada juga sate yang muncul dari hasil kreativitas. Contohnya bisa dilihat pada sate taichan.
Tempat-tempat yang menjual sate taichan kini mudah ditemui di hampir penjuru Jakarta.
Namun, sate yang satu ini tidak termasuk dalam 252 jenis sate seperti yang diteliti oleh Murdijati Gardjito dan timnya.
Baca Juga: Sate Taichan, Apakah Itu?
Mur mengaku tak tahu banyak soal sate yang konon berawal dari sekitar Senayan tersebut.
"Tidak seperti sate-sate lain yang saya pelajari," ucap perempuan yang kini sudah menginjak usia 79 tahun itu.
Meski demikian, sate taichan sebenarnya tetap layak untuk dimasukkan ke dalam ragam sate yang ada di Nusantara.
Dikutip dari Travel.Kompas.com, Sate Taichan mulai populer pada sekitar 2016. Dari penuturan salah seorang penjual sate di Senayan, Taichan bermula saat ada seorang warga asing dari Jepang datang untuk makan sate.
Namun, alih-alih sekedar memesan dan menunggu, orang tersebut justru mencoba untuk membuat sendiri satenya.
Dari orang Jepang itulah nama dan resep sate taichan bermula.
"Dia kasih garam ke dagingnya sama jeruk (nipis) dan sambal. Terus saya tanya 'Ini sate apa namanya?' kata orangnya 'taichan!'," cerita penjual sate yang bernama Amir itu kepada KompasTravel pada 2017 silam.
Baca Juga: Resep Sate Maranggi Cianjur, Sajikan dengan Sambal Oncom
Menurut Mur, eksisnya taichan merupakan penanda bahwa perjalanan sejarah sate di Nusantara belum selesai.
Kreativitas akan selalu ada. Budaya akan selalu mengikuti perkembangan dan selalu berubah.
"Kita dulu waktu Taichan belum ada juga tidak tahu bahwa di tahun 2019 akan ada Sate Taichan," ujar Mur.
Terlepas dari tautan tradisi masa lalu ataupun kreativias masa kini, Bu Mur mengatakan, sate-sate di Nusantara merupakan produk kuliner yang perlu diakui keberadaannnya secara tertulis.
Mur tidak menyarankan sate-sate tersebut harus diakui sebagai hak kekayaan intelektual. Sekadar dicatat sebagai hidangan Indonesia di perpustakaan nasional saja sudah lebih dari cukup.
Jangan sampai, kealpaan kita dalam hal ini nantinya menjadi celah bagi negara lain untuk mengklaimnya.
Kita semua tentu kita ingin pada masa mendatang pemerintah kita justru kebakaran jenggot saat ada negara lain yang memasukkan sate klatak atau mungkin sate maranggi sebagai warisan budaya kulinernya.