Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni.
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu.
SELARIK puisi di atas adalah satu saja potongan dari sekian banyak karya Sapardi Djoko Damono.
Namun, selarik itu juga yang banyak dikutip setiap kali hujan turun pada bulan Juni, bahkan oleh orang yang mungkin tak menikmati puisi-puisi Sapardi.
Lalu, puisi yang dapat ditemukan dalam novel berjudul sama terbitan 1994 ini muncul pula menjadi aneka musikalisasi puisi bahkan film.
Hujan Bulan Juni juga menjelma dalam komik adaptasi karya Mansjur Daman.
Komik adaptasi ini menjadi salah satu karya yang dipamerkan Mansjur Man di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) Jakarta pada medio April 2013.
Namun, ada sederet puisi lain karya Sapardi yang sama bergaungnya seperti Hujan Bulan Juni.
Simak yang ini, misalnya:
Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada
Betul, inilah puisi Aku Ingin. Digubah pada 1989. Musikalisasi oleh Ari Malibu dan Reda Gaudiamo membuatnya makin bergaung.
Untuk mereka yang pernah jatuh cinta luar biasa tapi tak kuasa mewujudkannya, puisi yang ini bisa jadi sempat jadi bagian dari haru.
Padahal, puisi ini pun sejatinya adalah ungkapan cinta untuk mereka yang tak bertepuk sebelah tangan. Inilah cinta sejati, yang sederhana, tak menuntut, tetapi ada, hanya memberi di setiap saat.
Di acara ASEAN Literarty Festival 2016, Sapardi mengungkap kisah di balik dua puisi tadi.
"Yang istimewa, dua-duanya (Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin) saya bikin sekali jadi," ujar dia di situ.
Meski begitu, dengan kerendahhatian, Sapardi menyebut, tanpa musikalisasi dari mendiang Ari bersama Reda, puisi-puisinya tak akan seterkenal saat ini.
"Karena lagu itu, Anda sekalian mengenal saya. Bukan karena Anda mengenal puisi saya dulu (tapi karena) mengenal lagu itu dulu," ucap Sapardi kepada Najwa Shihab yang menjadi penanya.
Menurut Sapardi, inspirasi juga bukan sesuatu yang harus dicari. "Niat saja. Mau menulis," tegas dia.
Berikut ini potongan wawancara Sapardi yang juga menghadirkan Joko Pinurbo serta menampilkan mendiang Ari dan Reda, dalam video official acara dimaksud:
Ada banyak video lain dari wawancara yang sama, dengan isi yang lebih lengkap, menggenapi, dan atau beririsan dengan video di atas.
Namun, itu baru satu acara. Ada banyak acara lain. Ada beragam cerita lain.
Lagi-lagi, Sapardi juga bukan semata puisi Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni. Karya-karyanya yang terdokumentasi setidaknya sudah ada sejak 1958.
Jauh-jauh hari sebelumnya, Sapardi pernah pula menulis puisi Yang Fana adalah Waktu.
Yang fana adalah waktu
Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu
Kita abadi
Lalu, Sapardi juga tak abai pada kejadian di dunia nyata yang tak melulu soal cinta.
Pembunuhan Marsinah yang sampai kini masih jadi misteri, salah satunya, tak luput dari puisi Sapardi.
Dongeng Marsinah, Sapardi gubah pada 1993. Ini menjadi salah satu puisi dalam kumpulan puisi Sapardi, Melipat Jarak.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
SAPARDI Djoko Damono. Lelaki kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, pada 20 Maret 1940 ini berpulang pada Minggu (19/7/2020) sekitar pukul 09.00 pagi. Tersebab sakit.
Pada senja harinya, jasad Sapardi dikebumikan di Taman Pemakaman Giritama, Giri Tonjong, Bogor, Jawa Barat.
Sepanjang hayat, Sapardi telah menorehkan sejumlah karya. Jejak karyanya dapat ditelusuri antara lain lewat buku Manuskrip Sajak Sapardi Djoko Damono terbitan Gramedia Pustaka Utama pada 2017.
Dokumentasi puisi Sapardi dalam tulisan tangannya, memenuhi isi buku ini. Juga cerita di balik hadirnya suatu sajak.
BAGI penyuka karya-karyanya, cerita tentang Sapardi tak akan pernah usai. Lihat saja lini masa media sosial Anda, ada saja pasti yang mengunggah petikan puisi Sapardi dan atau momentum persinggungan jumpa di antara mereka.
Namun, seperti puisi Sapardi juga, pada suatu hari nanti setiap perjumpaan jasad akan menemui akhir.
Bagi Sapardi, puisi-puisinya ini adalah teman yang dia tinggalkan bagi siapa saja yang mau menafakurinya.