JEO - Tokoh

In Memoriam
Sapardi Djoko Damono

Minggu, 19 Juli 2020 | 19:55 WIB

 Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni.
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu.

SELARIK puisi di atas adalah satu saja potongan dari sekian banyak karya Sapardi Djoko Damono.

Namun, selarik itu juga yang banyak dikutip setiap kali hujan turun pada bulan Juni, bahkan oleh orang yang mungkin tak menikmati puisi-puisi Sapardi.

Sampul Buku Hujan Bulan Juni - (KOMPAS/YUNIADHI AGUNG)

Lalu, puisi yang dapat ditemukan dalam novel berjudul sama terbitan 1994 ini muncul pula menjadi aneka musikalisasi puisi bahkan film.

Hujan Bulan Juni juga menjelma dalam komik adaptasi karya Mansjur Daman.

Komik adaptasi ini menjadi salah satu karya yang dipamerkan Mansjur Man di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) Jakarta pada medio April 2013.

Komikus Mansjur Daman menyaksikan Sapardi Djoko Damono menandatangani komik adaptasi Hujan Bulan Juni, Kamis (11/4/2013). - (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Namun, ada sederet puisi lain karya Sapardi yang sama bergaungnya seperti Hujan Bulan Juni.

Baca juga: Sapardi Djoko Damono dan Ceritanya soal Hujan Bulan Juni

Simak yang ini, misalnya:

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada

Betul, inilah puisi Aku Ingin. Digubah pada 1989. Musikalisasi oleh Ari Malibu dan Reda Gaudiamo membuatnya makin bergaung.

Untuk mereka yang pernah jatuh cinta luar biasa tapi tak kuasa mewujudkannya, puisi yang ini bisa jadi sempat jadi bagian dari haru.

Padahal, puisi ini pun sejatinya adalah ungkapan cinta untuk mereka yang tak bertepuk sebelah tangan. Inilah cinta sejati, yang sederhana, tak menuntut, tetapi ada, hanya memberi di setiap saat.

Baca juga: Sapardi Djoko Damono dalam Kenangan Mahasiswa dan Asisten Dosen, Guru yang Berwawasan Luas

Sapardi Djoko Damono dalam Kenangan Mahasiswa dan Asisten Dosen, Guru yang Berwawasan Luas

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sapardi Djoko Damono dalam Kenangan Mahasiswa dan Asisten Dosen, Guru yang Berwawasan Luas", https://megapolitan.kompas.com/read/2020/07/19/15001961/sapardi-djoko-damono-dalam-kenangan-mahasiswa-dan-asisten-dosen-guru-yang.
Penulis : Wahyu Adityo Prodjo
Editor : Nursita Sari
Sapardi Djoko Damono dalam Kenangan Mahasiswa dan Asisten Dosen, Guru yang Berwawasan Luas

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sapardi Djoko Damono dalam Kenangan Mahasiswa dan Asisten Dosen, Guru yang Berwawasan Luas", https://megapolitan.kompas.com/read/2020/07/19/15001961/sapardi-djoko-damono-dalam-kenangan-mahasiswa-dan-asisten-dosen-guru-yang.
Penulis : Wahyu Adityo Prodjo
Editor : Nursita Sari

Di acara ASEAN Literarty Festival 2016, Sapardi mengungkap kisah di balik dua puisi tadi.

"Yang istimewa, dua-duanya (Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin) saya bikin sekali jadi," ujar dia di situ.

Meski begitu, dengan kerendahhatian, Sapardi menyebut, tanpa musikalisasi dari mendiang Ari bersama Reda, puisi-puisinya tak akan seterkenal saat ini.

Ari dan Reda saat tampil di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) Jakarta. Gambar diambil pada 1 Februari 2015. - (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

"Karena lagu itu, Anda sekalian mengenal saya. Bukan karena Anda mengenal puisi saya dulu (tapi karena) mengenal lagu itu dulu," ucap Sapardi kepada Najwa Shihab yang menjadi penanya.

Baca juga: Kisah Sapardi Djoko Damono dan Topi Petnya...

Menurut Sapardi, inspirasi juga bukan sesuatu yang harus dicari. "Niat saja. Mau menulis," tegas dia.

Berikut ini potongan wawancara Sapardi yang juga menghadirkan Joko Pinurbo serta menampilkan mendiang Ari dan Reda, dalam video official acara dimaksud:

Ada banyak video lain dari wawancara yang sama, dengan isi yang lebih lengkap, menggenapi, dan atau beririsan dengan video di atas.

Namun, itu baru satu acara. Ada banyak acara lain. Ada beragam cerita lain.

Lagi-lagi, Sapardi juga bukan semata puisi Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni. Karya-karyanya yang terdokumentasi setidaknya sudah ada sejak 1958.

Baca juga: Sastrawan Djoko Damono Tutup Usia, Berikut Sejumlah Karyanya yang Terkenal

Jauh-jauh hari sebelumnya, Sapardi pernah pula menulis puisi Yang Fana adalah Waktu.

Yang fana adalah waktu
Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa

“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu
Kita abadi

Lalu, Sapardi juga tak abai pada kejadian di dunia nyata yang tak melulu soal cinta.

Pembunuhan Marsinah yang sampai kini masih jadi misteri, salah satunya, tak luput dari puisi Sapardi.

Dongeng Marsinah, Sapardi gubah pada 1993. Ini menjadi salah satu puisi dalam kumpulan puisi Sapardi, Melipat Jarak.

Sampul Buku Melipat Jarak - (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”

SAPARDI Djoko Damono. Lelaki kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, pada 20 Maret 1940 ini berpulang pada Minggu (19/7/2020) sekitar pukul 09.00 pagi. Tersebab sakit.

Baca juga: Mengenang Sapardi Djoko Damono dan Karya Abadinya bagi Dunia Sastra Indonesia

Pada senja harinya, jasad Sapardi dikebumikan di Taman Pemakaman Giritama, Giri Tonjong, Bogor, Jawa Barat.

Sepanjang hayat, Sapardi telah menorehkan sejumlah karya. Jejak karyanya dapat ditelusuri antara lain lewat buku Manuskrip Sajak Sapardi Djoko Damono terbitan Gramedia Pustaka Utama pada 2017.

Sampul Buku Manuskrip Sajak Sapardi Djoko Damono - (DOK GRAMEDIA)

Dokumentasi puisi Sapardi dalam tulisan tangannya, memenuhi isi buku ini. Juga cerita di balik hadirnya suatu sajak.

BAGI penyuka karya-karyanya, cerita tentang Sapardi tak akan pernah usai. Lihat saja lini masa media sosial Anda, ada saja pasti yang mengunggah petikan puisi Sapardi dan atau momentum persinggungan jumpa di antara mereka.

Namun, seperti puisi Sapardi juga, pada suatu hari nanti setiap perjumpaan jasad akan menemui akhir.

Bagi Sapardi, puisi-puisinya ini adalah teman yang dia tinggalkan bagi siapa saja yang mau menafakurinya.

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
 
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
 
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
 
~Pada Suatu Hari, Sapardi Djoko Damono~
 
Kembali ke acara ASEAN Literary Award 2016, Sapardi sempat berkomentar, intepretasi atas puisi itu seharusnya memang tak tunggal.
 
Karena, hanya dengan begitulah sebuah puisi akan terus hidup, tak sekali dibaca lalu selesai. Pada Suatu Hari bak menggenapi pesannya ini.
 
Tulisan ini masih teramat jauh untuk menggambarkan sosok Sapardi Djoko Damono. Biarlah para pencinta yang terus mencari dan memaknai sendiri karya dan kenangan tentang Sapardi.
 
“Hanya suara burung yang kau dengar dan tak pernah kaulihat burung itu tapi tahu burung itu ada di sana hanya desir angin yang kaurasa dan tak pernah kaulihat angin itu tapi percaya angin itu di sekitarmu hanya doaku yang bergetar malam ini dan tak pernah kaulihat siapa aku tapi yakin aku ada dalam dirimu”

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "7 Puisi Sapardi Djoko Damono yang Paling Dikenal", https://www.kompas.com/skola/read/2020/07/19/164500969/7-puisi-sapardi-djoko-damono-yang-paling-dikenal?page=all#page2.
Penulis : Ari Welianto
Editor : Ari Welianto
hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
 
hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
 
hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu
 
~Hanya, Sapardi Djoko Damono~
 
Teriring doa, ndherekaken sugeng kondur, Sapardi Djoko Damono....