KASUS kekerasan terhadap perempuan di Indonesia tidak ada habisnya. Setiap pekan, selalu ada kasus baru yang terkuak ke publik.
Sekalipun sudah sebanyak itu, para aktivis perempuan tetap meyakini bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es. Artinya, peristiwa yang sebenarnya terjadi, jauh lebih banyak.
Sejumlah kasus yang mencuat ke publik beberapa waktu terakhir semakin menambah kisah pilu para perempuan Indonesia.
Oleh sebab itu, tak berlebihan bila narasi Indonesia darurat kejahatan seksual perlu digaungkan kembali untuk mendorong pemerintah menyelesaikan persoalan tersebut.
Kisah pertama datang dari seorang wanita asal Mojokerto, Jawa Timur, berinisial NW (23). Ia nekat menenggak racun di atas pusara ayahnya, Kamis (2/12/2021). NW pun tewas beberapa saat kemudian.
Setelah diusut, aksi bunuh diri itu rupanya didorong oleh rasa depresi. Sebelumnya, NW diperkosa hingga hamil oleh kekasihnya berinisial RB (21).
RB yang merupakan personel Polres Pasuruan berpangkat Bripda itu kemudian terus mendesak NW agar menggugurkan janin.
Desakan yang sama juga datang dari keluarga RB. Mereka mendorong NW menggugurkan cabang bayi karena khawatir nasib karier RB di kepolisian bisa rusak. Bahkan, keluarga RB menuding NW menjebak RB telah sengaja dihamili agar bisa dinikahi.
Keluarga RB tidak menyetujui apabila RB menikah dengan NW karena kakak kandung RB belum menikah.
Ironisnya, NW ternyata pernah mengadukan kasus yang menimpanya ke Komisi Nasional Perempuan pada pertengahan Agustus 2021. Dalam komunikasinya itu, NW menyampaikan bahwa ia berharap masih bisa dimediasi dengan pelaku dan orangtuanya.
NW juga mengaku, membutuhkan bantuan konseling karena tekanan psikologis yang dirasakan setelah peristiwa yang menimpanya.
Pada 18 November 2021, Komnas Perempuan mengeluarkan surat rujukan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Mojokerto agar NW mendapatkan pendampingan psikologis.
Namun, karena jumlah psikolog yang terbatas dan jumlah pasien yang banyak, maka penjangkauan tidak dapat dilakukan sesuai yang dibutuhkan. Kemudian, pendampingan dijadwalkan kembali pada awal Desember 2021.
Tetapi, sudah terlambat. Aksi bunuh diri NW merupakan pukulan telak bagi seluruh pihak yang pernah menangani aduannya.
Baca Juga: Kasus Bunuh Diri NW dan Alarm Darurat Kekerasan Seksual di Indonesia
Kisah pilu perempuan Indonesia juga datang dari sekolah di Cilacap. Sebanyak 15 siswi salah satu SD di Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, menjadi korban pencabulan guru agama berinisial MAYH (51).
Pria yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) itu diduga melakukan aksi amoralnya selama tiga bulan terakhir.
Perbuatan pelaku terungkap setelah salah satu orangtua korban berinisial RA (9) melapor ke kepolisian pada tanggal 27 November 2021.
Dari hasil pemeriksaan, MAYH diketahui melancarkan aksinya di ruang kelas. Ia menjanjikan memberi nilai tinggi kepada para siswi yang dicabulinya.
"Aksi bejat ini dilakukan di dalam kelas saat jam istirahat dengan iming-iming 'kamu akan mendapat nilai (pelajaran) agama yang bagus'," kata Kasat Reskrim Polres Cilacap AKP Rifeld Constatien Baba di kantornya, Kamis (9/12/2021).
Saat dikonfirmasi wartawan, MAYH membantah memberikan iming-iming ke korbannya. Ia mengaku, perbuatannya terpaksa dilakukan karena tak dapat menahan nafsu.
"Saya hanya sebatas main-main saja, nafsu, tertarik saja gitu," ujar pria yang telah memiliki dua anak itu.
MAYH terancam dijerat dengan Pasal 82 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU dengan pidana penjara paling lama 15 tahun penjara.
Baca Juga: 6 Fakta Guru Agama Cabuli 15 Siswi SD di Cilacap sampai Korban Trauma
Kasus kekerasan seksual lain yang tak kalah menghebohkan terjadi di salah satu pesantren di Bandung.
Pelakunya adalah HW (36), salah seorang guru di pesantren tersebut. HW diduga telah memperkosa 21 santriwatinya, 10 di antaranya bahkan hamil.
Delapan korban yang masih di bawah umur sudah melahirkan sedangkan dua lainnya masih mengandung.
HW melakukan perbuatan bejatnya itu dalam kurun waktu 2016 sampai 2021.
Pemerkosaan dilakukannya di berbagai tempat. Selain di Yayasan Komplek Sinergi Jalan Nyaman Anatapani, pemerkosaan juga dilakukan di Yayasan Tahfidz Madani Komplek Yayasan Margasatwa Cibiru, Pesantren Manarul Huda Komplek Margasatwa Cibiru, apartemen di kawasan Soekarno-Hatta Bandung, dan sejumlah hotel di Bandung.
Hingga artikel ini ditayangkan, kasus yang melibatkan HW sudah naik ke persidangan. Berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum, HW melontarkan janji-janji kepada para korban yang dihamilinya.
"Biarkan dia lahir ke dunia, Bapak bakal biayai sampai kuliah, sampai dia mengerti, kita berjuang bersama-sama," kata HW seperti dikutip di berkas dakwaan jaksa.
Baca Juga: Ramai-ramai Desak Hukuman Kebiri untuk Guru Pesantren Pemerkosa 12 Santriwati
HW juga melancarkan aksi tipu daya lainnya. Kepada para korban, ia menjanjikan anak yang dilahirkan akan dibiayai dari kuliah sampai bekerja.
Lalu, pelaku juga menjanjikan bahwa sang anak akan menjadi polwan atau menjadi pengurus pesantren.
Selain itu, kepada para santriwati, HW kerap mencekoki dengan pemahaman bahwa guru harus ditaati, tidak boleh dilawan.
"Guru itu Salwa Zahra Atsilah, harus taat kepada guru," kata HW di berkas dakwaan.
Tetapi faktanya, bayi-bayi tersebut justru dijadikan alat bagi pelaku untuk meminta bantuan dana kepada sejumlah pihak. Bayi-bayi itu dipublikasi sebagai anak yatim piatu yang membutuhkan bantuan.
Teruntuk para korban, Kalian hebat udah berani speak up masalah kekerasan seksual yang ada di Indonesia. Semangat untuk kalian dan doa yang terbaik untuk kalian.🙆🏻♀️ pic.twitter.com/eNPNvs0RWX
— al (@jgwnbot) December 10, 2021
Masih maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi sinyal ada yang salah dari sistem hukum Indonesia. Hukum yang diharapkan jadi solusi persoalan itu-selain perbaikan nilai di masyarakat-belum cukup mumpuni menghentikan kekerasan terhadap perempuan.
Mari kita mulai membahasnya dari tren kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun.
Angka-angka di atas merujuk data Komnas Perempuan. Semakin tinggi, bukan?
Komnas Perempuan sendiri mendapatkan data itu dari berbagai sumber. Pertama, dari berbagai laporan yang diterima dan ditangani lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah di seluruh provinsi Indonesia. Kasus perceraian termasuk di dalamnya.
Selanjutnya, data itu juga bersumber dari pengaduan yang diterima langsung oleh Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan Rujukan (UPR) atau surel resmi.
Merujuk grafik di atas, dalam 13 tahun terakhir, angka kekerasan terhadap perempuan terus mengalami peningkatan. Hanya pada tahun 2020 dan 2021 tampak menurun.
Tetapi setelah diteliti, penurunan itu bukan berarti perempuan Indonesia semakin terlindungi. Penurunan angka itu lebih disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Situasi pandemi yang penuh dengan pembatasan aktivitas membuat korban sulit mengakses jalur hukum sebagai solusi kasus kekerasan yang dialaminya.
Seringkali muncul temuan korban justru semakin dekat dengan pelaku selama pembatasan aktivitas sehingga akhirnya tidak berani melapor. Ada pula temuan bahwa korban cenderung melapor ke keluarga saja atau memilih diam.
Selain itu, ditemukan persoalan bahwa model layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan belum siap dengan kondisi pandemi.
“Jumlah lembaga yang mengumpulkan pun hanya setengah dari tahun sebelumnya. Kami perkirakan, ini adalah dampak pandemi. Jadi, menyulitkan proses pendataan,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriani kepada tim JEO Kompas.com, Sabtu (10/12/2021).
Meski Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2020 mencapai 299.911 kasus, tetapi tidak seluruh kasus dilaporkan secara mendetail.
Apabila ditarik berdasarkan ranah di mana tindak kekerasan terjadi, Komnas Perempuan hanya bisa menghimpun sebanyak 8.234 dari keseluruhan. Sebab, sisanya merupakan kasus perceraian atau hanya dilaporkan dalam bentuk angka saja, tidak spesifik.
Dari 8.234 kasus itu, kekerasan terhadap perempuan di Tanah Air dapat dikategorikan terjadi pada tiga ranah.
Pertama, ranah personal atau privat. Contohnya, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan dalam hubungan pacaran.
Kedua, ranah publik atau komunitas. Contohnya, kekerasan dalam lingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan institusi pendidikan.
Ketiga, ranah negara. Artinya, tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat pada saat melaksanakan tugas pokok dan wewenangnya.
Data menunjukkan, kekerasan terhadap perempuan paling banyak dilakukan di ranah privat.
Lihat saja infografik berikut ini:
Ranah komunitas dan negara
Pada ranah komunitas, tindak kekerasan terhadap perempuan tahun 2020 tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Dari total kasus sebanyak 1.731, kasus yang mendominasi adalah kekerasan seksual dengan 371 kasus, diikuti oleh trafficking dengan 255 kasus, pemerkosaan 229 kasus, pelecehan seksual 181 kasus dan pencabulan 166 kasus.
Selebihnya, ada percobaan perkosaan 10 kasus dan persetubuhan 5 kasus.
Pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas itu pun beragam. Paling banyak, pelakunya adalah teman (330 kasus), disusul tetangga (209 kasus), orang tak dikenal (139 kasus) dan atasan kerja (91 kasus).
Baca Juga: Sebut Situasi Kekerasan Seksual Sangat Darurat, Aktivis Minta RUU TPKS Segera Disahkan
Fakta mengejutkannya, ada pelaku yang merupakan guru atau guru ngaji. Kasus yang tercatat, masing-masing 28 dan 15 kasus.
Ini artinya, tempat yang semestinya menjadi arena menimba ilmu bagi perempuan justru menjadi tempat yang paling tidak aman.
Sementara itu, negara yang diharapkan hadir sebagai solusi tersebut justru turut menjadi pelaku melalui para oknum-oknum aparatnya.
Sepanjang 2020, kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparat, yakni sebanyak 23 kasus. Kasus-kasus itu tersebar di wilayah DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Barat.
Persoalan rupanya tak berhenti sampai pada peristiwa tindak kekerasan itu sendiri. Hambatan juga terjadi dalam penyelesaian hukumnya.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga contohnya. Aparat hukum sering mengedepankan metode keadilan restoratif alias restorative justice sebagai jalan keluarnya. Salah satunya adalah mediasi.
Tetapi persoalannya, mekanisme keadilan restoratif yang dilakukan aparat dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga biasanya hanya bertujuan untuk menghentikan kasus atau menghindari proses peradilan pidana yang dianggap tidak efektif, lama dan mahal.
Mekanisme keadilan restoratif ujung-ujungnya tidak menyelesaikan akar masalah kekerasan dalam rumah tangga, yakni penggunaan kekuasaan dan kontrol dalam konteks rumah tangga.
Baca Juga: Keterangan Korban Kekerasan Seksual Diminta Bisa Jadi Alat Bukti
Padahal mestinya mekanisme keadilan restoratif berorientasi kepada kepentingan korban sebagai pihak yang secara langsung terkena dampak kejahatan, bukan jalan mudah bagi aparat penegak hukum untuk menghindari kasus.
Kajian yang dilakukan Komnas Perempuan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta didukung oleh UN Women merekomendasikan kepada aparat penegak hukum untuk menghindari mekanisme mediasi dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga.
“Dan kepada KPPPA dan Komnas Perempuan agar membangun standar yang jelas tentang kasus yang dapat diselesaikan secara restorative justice dan proses penanganannya melalui pemberdayaan korban oleh pendamping yang memiliki kualifikasi tertentu,” demikian hasil rekomendasi tersebut.
Sementara itu, penyelesaian hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan pada ranah komunitas menunjukkan angka yang sedikit lebih baik.
Sebanyak 46 persen kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas diselesaikan secara hukum dan hanya 17 persen kasus yang tidak diselesaikan secara hukum. Selebihnya, Komnas Perempuan tidak mendapatkan informasi mendetail terkait jalan keluar apa yang dipilih para korban untuk menyelesaikan kasusnya.
Koordinator Sekretaris Nasional Forum Pengadaan Layanan Veni Siregar menambahkan, salah satu hal yang menghambat penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan adalah minimnya pengetahuan aparat penegak hukum atas kompleksitas kasus itu sendiri.
“Masih banyak kami temukan polisi-polisi yang tidak memiliki sensitifitas. Misalnya dia bertanya kepada korban perkosaan, pada saat kejadian baju kamu terbuka atau tidak, dan sebagainya. Masih ada seperti itu walaupun semakin berkurang,” ujar Veni.
Pada 2016, Indonesia pernah dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak berinisial Y (4).
Ya, dia adalah siswi SMP yang disekap, dianiaya dan diperkosa oleh 14 pemuda di Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, Sabtu, 2 April 2016 silam.
Dalam kondisi tak tertutup sehelai benang pun, tubuhnya dibuang ke jurang sedalam lima meter dan baru ditemukan dua hari kemudian dalam kondisi mulai membusuk.
Di antara warga desa yang menemukan Yuyun, terselip beberapa pelaku yang berpura-pura menaruh simpati.
Belakangan, hasil visum et repertum menyebut, Yuyun pergi ke surga saat para pemuda memperkosanya sebanyak 28 kali.
Baca Juga: Tujuh Pelaku Pembunuh dan Pemerkosa Yn Divonis 10 Tahun Penjara
Kasus itu membuat pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu tersebut kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
Revisi aturan itu berorientasi pada dua hal. Pertama, penerapan hukuman berat bagi pelaku kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak. Kedua, merehabilitasi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya.
Atas revisi itu, sejumlah kementerian merancang aturan turunan untuk menjawab persoalan darurat kekerasan terhadap perempuan.
Sekitar empat tahun berselang, tepatnya 7 Desember 2020, Presiden Jokowi akhirnya meneken Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Sayangnya, hingga artikel ini ditayangkan, baru seorang narapidana yang divonis kebiri kimia. Ia adalah Moh Aris (22).
Aris diketahui memperkosa sembilan anak dalam kurun waktu 2015 hingga 2018. Para korban menderita robek dan pendarahan pada alat vitalnya.
Baca Juga: Kejati Jabar Pertimbangkan Hukum Kebiri Herry Wirawan, Guru Pesantren yang Perkosa 12 Santriwati
Mandeknya pelaksanaan hukuman kebiri kimia disebabkan oleh tak dimasukkannya unsur prinsip dokter dalam rancangan. Secara etik, dokter sebagai profesi disebut tak mau menjadi eksekutor sebagaimana yang telah diatur di dalam PP tersebut.
Anggota Majelis Kehormatan dan Etika Kedokteran PB IDI Danardi Sosrosumihardjo mengatakan, dokter terikat dengan sumpah untuk selalu menghormati setiap hidup insani, bahkan sejak pembuahan.
Danardi berujar, sikap etis seorang dokter harus berdasarkan pada azas beneficience dan non-maleficence, yang artinya senantiasa berbuat baik untuk kesehatan manusia.
"Sedangkan pemberian injeksi zat tertentu pada hukuman kebiri kimia bersifat merusak," kata Danardi kepada Kompas.com, Jumat (10/12/2021).
IDI pun hingga saat ini masih mempertimbangkan bagaimana sebaiknya bila seorang dokter diminta menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia.
Berbicara soal solusi untuk mengatasi kasus kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan, Danardi menyebut hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku sebaiknya juga meliputi pembinaan karakter, sifat maupun sikap, termasuk di antaranya bagaimana agar mampu mengendalikan libido seksualnya.
"Jadi, tidak hanya semata-mata menurunkan kadar hormon testostetonnya," ucap Danardi.
Situasi kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang kian darurat diyakini disebabkan oleh sistem hukum yang belum mapan dan lengkap.
Instrumen hukum saat ini dinilai tak cukup untuk mengakomodasi tindak kejahatan terhadap perempuan yang semakin kompleks. Padahal, hampir setiap pekan jatuh korban.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriani mencontohkan beberapa jenis tindak kekerasan terhadap perempuan yang sebenarnya berbeda, tetapi disamaratakan oleh hukum yang ada.
"Kita tahu bahwa perkosaan itu tidak hanya penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Tapi bisa juga dalam bentuk pemaksaan menggunakan misalnya anal, oral atau menggunakan alat lain ke vagina," papar Andy kepada tim JEO Kompas.com, Sabtu (10/12/2021).
"Nah, sementara kalau dalam hukum kita yang sekarang, itu (anak, oral, dsb) masuknya pencabulan. Akibatnya, ancaman hukumnya juga berbeda, yang harusnya dihukum misalnya 12 tahun karena memperkosa, ini jadi tinggal sembilan tahun. Padahal bagi korban, tindakan itu tidak ada bedanya dengan pemerkosaan sendiri," lanjut dia.
Contoh lainnya, yakni soal tindak pelecehan seksual. Andy menyebut, hukum tidak mengatur tindak pidana jenis ini secara spesifik.
Akibatnya, beberapa kasus yang disebut media sebagai 'begal payudara' tidak bisa dihukum maksimal. Padahal, dari definisinya, perbuatan itu termasuk sebagai bentuk pelecehan seksual.
"Pelaku begal payudara itu paling sejauh-jauhnya cuma dianggap mengganggu ketertiban umum," ujar Andy.
Belum lagi soal jenis kekerasan terhadap perempuan berupa pemaksaan aborsi dan perbudakan seksual. Andy mengatakan, hukum yang ada saat ini terlalu sempit sehingga tak sampai mengakomodasi tindak pidana kekerasan terhadap perempuan sespesifik itu.
Komnas Perempuan pun berpandangan, Indonesia membutuhkan instrumen hukum yang mampu mengisi kekosongan hukum sekaligus berpihak pada hak korban, bukan semata-mata menghukum berat pelaku.
"Instrumen hukum saat ini memang belum cukup. Oleh karena itu, RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) sangat penting dan mendesak disahkan agar mengatasi kekosongan hukum yang ada dan memperbaiki substansi hukum yang belum mencakup kebutuhan dan hak korban," ujar Andy.
Baca Juga: Setara Harap Permendikbud 30/2021 Jadi Pelecut DPR Sahkan RUU PKS
Dengan RUU TPKS, hukum akan mengakomodasi tindak kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari banyak jenis. Di antaranya adalah pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual berbasis elektronik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, eksploitasi seksual dan penyiksaan seksual.
Selain itu, RUU TPKS juga menjadi payung hukum dalam hal perlindungan hak-hak korban kekerasan. Di antaranya memudahkan korban mulai dari tahap laporan/pengaduan, larangan bagi aparat peradilan melakukan tindakan diskriminatif, menjamin hak korban mulai penyidikan hingga sidang pengadilan, pendampingan korban dan saksi serta ganti rugi dan restitusi.
"Kami melihat ada sejumlah terobosan hukum yang diupayakan melalui RUU TPKS ini. Utamanya adalah soal bukti. Jadi, ke depan polisi bukannya menghentikan kasus karena tak cukup bukti, tetapi justru harus mencari bukti baru untuk bisa membantu korban," ujar Andy.
Koordinator Sekretaris Nasional Forum Pengadaan Layanan Veni Siregar berharap RUU TPKS dapat disahkan pada akhir 2021 ini.
Menurut dia, tarik ulur pembahasan RUU TPKS sudah terlalu lama dan cenderung membahas hal-hal di luar substansi kebutuhan hukum akan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan.
Oleh sebab itu, pihaknya mengapresiasi tujuh fraksi yang dalam rapat Badan Legislasi DPR RI pada 8 Desember 2021 lalu menyetujui draf RUU TPKS sebagai inisiatif DPR. Dengan begitu, tak ada alasan lagi untuk melanjutkan prosesnya ke pengesahan pada rapat paripurna.
"FPL mengapresiasi kerja Baleg DPR RI, ya walaupun masih ada dua fraksi yang menyetujui dengan catatan, yaitu Fraksi PKS dan Golkar," ujar Veni.
"Kami mengajak semua unsur untuk terus mendesak DPR RI melanjutkan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS yang mengakomodir kebutuhan korban dan pendamping. Karena sekali lagi, Indonesia sedang darurat dalam hal kekerasan terhadap perempuan," lanjut dia.
Alhamdulillah RUU TPKS ( Tindak Pidana Kekerasan Seksual) hr ini disetujui di tingkat Baleg dan akan dibawa ke paripurna tanggal 15 des 2021. 7 fraksi (Nasdem, Demokrat, PDIP, PPP, PKB, PAN dan Gerindra ) setuju, sementara 1 fraksi menunda (Golkar), 1 fraksi menolak (PKS). pic.twitter.com/JiEmsb4fmG
— Anis Hidayah (@anishidayah) December 8, 2021
Akar kekerasan terhadap perempuan ada di dalam pikiran. Perempuan dianggap tak setara dengan laki-laki, oleh sebab itu boleh diperlakukan tidak baik.
Dogma agama bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki pun rupanya tak cukup menyadarkan bahwa keduanya justru harus saling melengkapi.
Yang terjadi justru penyesatan dogma. Ajaran agama dimanipulasi menjadi stempel bagi laki-laki untuk berkuasa atas perempuan.
Oleh sebab itu, mengupayakan hukum yang adil, proporsional dan berorientasi pada hak serta kebutuhan korban adalah perjuangan terakhir.