JEO - Insight

Ironi
Harga Minyak Goreng
yang "Mendidih"
di Negeri
Penghasil Terbesar CPO

Sabtu, 20 November 2021 | 22:18 WIB

Indonesia adalah negara penghasil terbesar CPO tetapi tak berdaya menghadapi lonjakan harga minyak goreng. Ironis. 

GILA aja sih, masa harga minyak goreng curah dua liter hampir Rp 30.000. Seminggu lalu itu belinya masih wajar, masih normal,” ujar Purnama Sari, pemilik warung tegal (warteg) di wilayah Kramat Jati, Jakarta Timur, awal November 2021.

Sejak akhir Oktober 2021, harga minyak goreng terus merangkak naik. Bahkan, pada pekan pertama November 2021, harganya kian “mendidih”. Proyeksi pasar pun menyebut tren kenaikan harga minyak goreng bisa berlanjut hingga 2022.

Hal ini membuat para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjerit, termasuk Purnama Sari. Ia harus memutar otak agar kenaikan harga minyak goreng ini tidak membuatnya perlu menaikkan harga makanan di wartegnya.

Upayanya mulai dari lebih irit memakai minyak goreng, menggunakan minyak goreng bekas (jelantah) untuk menghangatkan makanan, hingga membuat porsi makanan lebih kecil atau tipis dari biasanya.

Kan kalau tempe goreng itu kerasa banget kalau enggak ‘krenyes’. Ya jadi harus dipotong tipis,” kata dia.

Baca juga: Pemerintah Ingin Lebih Banyak Produsen Turunkan Harga Minyak Goreng

Tak hanya para pengusaha makanan, para ibu rumah tangga juga merasakan dampak mahalnya minyak goreng. Salah satunya, Ery Yanti.

Ibu dari tiga anak ini mengatakan, mahalnya minyak goreng membuat dia harus pintar-pintar mengelola anggaran belanja. Sebab, kata Ery, tak hanya harga minyak goreng yang merangkak naik saat ini.

“Kemarin bawang itu kalau enggak salah sempat Rp 30.000 kan sekilonya. Mahal banget. Sekarang ditambah lagi minyak goreng ini yang mahal. Jadi memang harus pintar-pintar urus bujet, yang enggak penting ya enggak usah dibeli,” ujar Ery Yanti.

Tren harga minyak goreng

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, sejak 1 Juni 2021 hingga 8 November 2021 harga minyak goreng secara nasional naik 15,36 persen.

Pada Juni 2021, rata-rata harga minyak goreng secara nasional (minyak goreng curah, minyak goreng kemasan bermerek 1, minyak goreng kemasan bermerek 2) ada di harga Rp 15.300 per kg. Adapun pada 8 November 2021, harga minyak goreng tercatat Rp 17.850 per kg. Pada 19 November 2021, harganya masih naik lagi menjadi Rp 18.400 per kilogram.

Baca juga: Resep Kaserol Brokoli buat Sarapan, Masakan Tanpa Minyak Goreng

Berikut ini tren dan daftar harga minyak goreng (rata-rata gabungan harga minyak goreng curah, minyak goreng kemasan bermerek 1, dan minyak goreng kemasan bermerek 2) untuk tiap provinsi dan rata-rata nasional:

 


M E N U:

PENYEBAB
KENAIKAN HARGA
MINYAK GORENG

Ilustrasi industri minyak sawit.
SHUTTERSTOCK/ALEXACRIB
Ilustrasi industri minyak sawit.

LONJAKAN harga minyak goreng ternyata juga membuat para pengusaha kelabakan dan mengaku terancam gulung tikar. Mereka mendesak pemerintah mengevaluasi harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng.

Harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) diproyeksi masih terus naik dan ini berpotensi membuat harga minyak goreng terus melambung pula. CPO adalah bahan dasar untuk pembuatan minyak goreng, meskipun bukan satu-satunya kegunaan dan peruntukan.

Baca juga: Harga Minyak Goreng Naik, BI Proyeksi Terjadi Inflasi 0,25 Persen pada November 2021

Setidaknya ada dua sebab yang diyakini membuat harga minyak goreng di dalam negeri "mendidih" seperti pada hari-hari ini. Pertama, berkurangnya pasokan minyak nabati dan hewani di pasar global sehingga pengguna beralih ke CPO. Kedua, kenaikan harga CPO itu sendiri yang juga dipicu oleh sebab pertama.

Pasokan berkurang

Pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengungkapkan, kenaikan harga minyak goreng disebabkan oleh kekurangan pasokan minyak nabati dan minyak hewani di pasar global.

Pada 2020 terjadi penurunan produksi minyak nabati dan hewani sebanyak 266.000 ton. Penurunan produksi masih berlanjut pada 2021. . 

"Intinya, sesuai hukum ekonomi, di mana antara supply dan demand terjadi kepincangan," ujar Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga saat dihubungi Kompas.com, Senin (25/10/2021).

Terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, menyebutkan, pasokan global CPO susut tak terlepas dari situasi pandemi Covid-19, terutama di Malaysia.

Petani menata tandan buah segar kelapa sawit yang baru mereka panen di Desa Paku, Kecamatan galang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (10/9/2012).
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Petani menata tandan buah segar kelapa sawit yang baru mereka panen di Desa Paku, Kecamatan galang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (10/9/2012).

Produksi sawit negeri jiran susut karena persoalan berkurangnya tenaga kerja untuk perkebunan sawit di tengah situasi pandemi Covid-19 yang banyak didatangkan dari luar negara itu. Malaysia merupakan pemasok terbesar kedua CPO setelah Indonesia.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), dalam siaran pers yang dilansir pada 11 November 2021 pun menyebutkan, produksi CPO Indonesia pada September 2021 terpantau susut 1 persen dibandingkan produksi pada bulan sebelumnya. 

Baca juga: Kemendag Janji Akan "Guyur" Minyak Goreng ke Pasar

Sebelumnya, lembaga pemeringkat Fitch melansir pula laporan tentang perkembangan dan proyeksi kinerja CPO global pada 2021 dan 2022. Dalam laporan tertanggal 24 September 2021 itu, pasokan CPO global memang turun karena turunnya produksi sawit Malaysia pada 2021.

Namun, lanjut Fitch, produksi Indonesia mengalami kenaikan pada kurun waktu yang sama. Menurut lembaga pemeringkat ini, produksi sawit Indonesia naik sampai ke kisaran 6,7 persen pada kuartal II/2021 setelah pada kuartal I/2021 hanya tumbuh 1,5 persen.

Fitch memperkirakan, pemulihan produksi sawit Malaysia akan tergantung pada langkah negara itu untuk bisa mendatangkan lagi pekerja asing ke perkebunan sawit mereka.

Sebaliknya, produksi Indonesia pada kuartal III/2021 dan beberapa waktu sesudahnya diperkirakan bakal sedikit tertahan oleh cuaca dan banjir di sejumlah wilayah yang memiliki perkebunan sawit.

Kenaikan harga CPO global

Harga CPO di Indonesia berbasis harga CPO menurut Cost, Insurance, and Freight (CIF) Rotterdam, Belanda. Saat harga CIF Rotterdam naik, harga CPO lokal juga naik.

Sahat mengakui, industri penghasil minyak goreng di Indonesia tidak punya hubungan usaha dengan perkebunan sawit.

Ketiadaan hubungan di antara produsen minyak sawit dan penghasil CPO ini menyebabkan harga jual dari industri penghasil minyak goreng menggunakan dasar perhitungan harga CPO CIF Rotterdam yang sudah ditambahkan dengan biaya olah, biaya kemasan, dan biaya ongkos angkut.

Nelayan memindahkan minyak sawit mentah dari lambung perahu ke dalam jerigen di Kelurahan Kalianak,Kecamatan Asemrowo, Surabaya, Kamis (9/1/2014). Nelayan setempat banyak yang beralih sebagai pengumpul sisa-sisa minyak sawit dari kapal tongkang karena perairan pesisir tidak lagi memberikan keuntungan ekonomi. Mereka bekerja secara berkelompok dan mendapatkan upah sekitar Rp 180.000 untuk sekali jalan.
Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH)
09-01-2014
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Nelayan memindahkan minyak sawit mentah dari lambung perahu ke dalam jerigen di Kelurahan Kalianak,Kecamatan Asemrowo, Surabaya, Kamis (9/1/2014). Nelayan setempat banyak yang beralih sebagai pengumpul sisa-sisa minyak sawit dari kapal tongkang karena perairan pesisir tidak lagi memberikan keuntungan ekonomi. Mereka bekerja secara berkelompok dan mendapatkan upah sekitar Rp 180.000 untuk sekali jalan. Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH) 09-01-2014

Adapun harga internasional CPO juga terdampak oleh situasi pandemi dari sisi kelancaran distribusi, seturut berkurangnya frekuensi pelayaran yang berimplikasi mengurangi volume kontainer yang terkirim. 

"(Selain berkurangnya pasokan, kenaikan harga CPO), juga (karena ada faktor) rendahnya stok minyak nabati lainnya," kata Oke, Jumat (5/11/2021).

Krisis energi di sejumlah kawasan, seperti di Uni Eropa, Cina, dan India, ditengarai memicu peralihan sumber energi ke minyak nabati lewat energi terbarukan. Ketika sumber lain minyak nabati relatif lebih terbatas atau anjlok produksinya, CPO jadi pilihan yang tersedia dan bahkan relatif lebih murah.

Artinya, pasokan CPO untuk tujuan penggunaan konsumsi seperti minyak goreng ini pun makin susut pula. Hukum ekonomi lagi-lagi berlaku kembali.

"Tren kenaikan harga CPO sudah terjadi sejak Mei 2020. Hal ini juga disebabkan turunnya pasokan minyak sawit dunia seiring dengan turunnya produksi sawit Malaysia sebagai salah satu penghasil terbesar," kata Oke, Jumat (5/11/2021). 

Baca juga: Kemendag Ungkap Alasan Harga Minyak Goreng Makin Mahal

Dari laporan lembaga pemeringkat Fitch, mereka menaksir harga rata-rata CPO global pada 2021 akan berada di angka 1.000 dollar AS per ton, setara sekitar Rp 1,45 juta, pada 2021. Meskipun, mereka juga memantau harga CPO pada Juli 2021 terpantau 1.100 dollar AS per ton, dari sebelumnya 900 dollar AS per dollar AS pada Juni 2021. 

Saat ini, HET minyak goreng kemasan sederhana tercatat Rp 11.000 per liter, jauh di bawah harga minyak goreng di pasaran. GIMNI meminta HET minyak goreng naik menjadi Rp 15.600 per liter.

"Harga jual minyak goreng di pasar sudah selayaknya cepat ditanggapi oleh regulator dan (pemerintah) menaikkan harga jual saat ini ke level Rp 15.600 per liter," kata Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga saat dihubungi Kompas.com, Senin (25/10/2021).

Baca juga: Harga Minyak Goreng Naik Tajam, Ini Kata Pakar IPB

Tanpa ada penyesuaian HET, produsen dan pengemas minyak goreng diyakini akan mengalami tekanan. 

"Bila berlangsung lama tak ada penyesuaian atau penaikan HET, produsen bisa gulung tikar," ucap Sahat.


M E N U:

IRONI DI NEGERI
PENGHASIL TERBESAR
CPO

Seorang buruh angkut tengah menaikkan buah sawit segar dari perahu ke atas bak pikap di tepi Jalan Tangjung Apiapi, Desa Sukadamai, Kecamatan Tanjunglago, Kabupaten Banyuasin, Kalimantan Selatan, Senin (16/2/2015). Buah saiwt ini akan dibawa ke pabrik untuk diolah.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Seorang buruh angkut tengah menaikkan buah sawit segar dari perahu ke atas bak pikap di tepi Jalan Tangjung Apiapi, Desa Sukadamai, Kecamatan Tanjunglago, Kabupaten Banyuasin, Kalimantan Selatan, Senin (16/2/2015). Buah saiwt ini akan dibawa ke pabrik untuk diolah.

MELAMBUNGNYA harga minyak goreng di Indonesia merupakan ironi. Sebab, Indonesia adalah negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Tentu juga, minyak kelapa sawit produksinya juga terbesar. Minyak kelapa sawit merupakan bahan baku minyak goreng.

Pada 2020, produksi sawit Indonesia mencapai 51,58 juta ton dan mengekspor 34 juta ton  minyak sawit (crude palm oil/CPO). Angka-angka ini jauh melampaui produsen kedua terbesar CPO, yaitu Malaysia, yang memproduksi 19,14 juta ton kelapa sawit dan mengekspor 17,37 juta ton CPO.

 

Namun, melimpahnya bahan baku di Indonesia tak bisa membendung lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri. Belum ada integrasi antara bisnis produsen minyak goreng dan produsen CPO diakui sebagai penyebab ironi ini.

“Meskipun Indonesia adalah produsen crude palm oil terbesar, kondisi di lapangan menunjukkan sebagian besar produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, Jumat (5/11/2021).

Selama ini, para produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang Kharisma Perusahaan Bersama Nusantara (KPBN) Dumai yang terkorelasi dengan harga pasar internasional yang merujuk ke Cost, Insurance, and Freight (CIF) Rotterdam, Belanda. 

“Akibatnya, apabila terjadi kenaikan harga CPO internasional maka harga CPO di dalam negeri juga turut menyesuaikan harga internasional,” ujar Oke.

Terkait pasokan minyak goreng di dalam negeri, pemerintah memastikan stoknya aman. Produksi minyak goreng disebut mencapai 8,02 juta ton per tahun, sementara kebutuhan minyak goreng nasional "hanya" 5,06 juta ton per tahun.

 

Kementerian Perdagangan menyatakan akan melakukan sejumlah langkah terkait kenyataan harga minyak goreng yang masih terus naik hingga tulisan ini tayang.

Salah satu langkah itu, memantau harga minyak goreng kemasan sederhana dengan harga acuan khusus. Adapun harga minyak goreng kemasan lain akan tetap mengikuti mekanisme pasar.

Sementara itu, harga minyak goreng diprediksi masih akan terus melonjak. Direktur TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim, mengatakan bahwa menjelang Natal dan tahun baru biasanya permintaan CPO melonjak. Alhasil, harga CPO masih akan mengalami penguatan hingga akhir tahun ini.

Seperti dikutip dari Kontan.co.id, Senin (9/11/2021), Ibrahim memproyeksikan, harga CPO berpotensi untuk bergerak menuju RM 5.400 per ton, setara Rp 1,8 juta per ton dengan kurs pada Jumat (19/11/2021).

Pada perdagangan Kamis (4/11/2021), harga CPO kontrak pengiriman Januari 2022 di Bursa Derivatif Malaysia berada di level RM 5.071 per ton. Harga CPO sudah mengalami reli mingguan dalam enam pekan berturut-turut, dari posisi harga RM 4.518 per ton pada 17 September 2021.

Belum juga bulan berganti, kontrak CPO untuk waktu pengiriman yang sama ditutup di level RM 5.215 per ton, setara Rp 1,776 juta,  pada akhir perdagangan Jumat (19/11/2021) dan sedikit turun menjadi RM 5.205 per ton pada Sabtu (20/11/2021) pukul 07.25 waktu setempat.

Pantauan harga CPO untuk future contract trading melalui Bursa Derivatif Malaysia bisa dipantau melalui link ini. Adapun pergerakan harga CPO di CIF Rotterdam dapat dipantau antara lain melalui Palm Oil Analytic dan kode QR berikut ini:

QR Pantauan Harga CPO Berdasarkan CIF Rotterdam melalui Website Palm Oil Analytic

Bukan baru kali ini

Situasi yang terjadi hari-hari ini memperpanjang catatan sejarah Indonesia terkait tata niaga CPO dan spesifik lagi minyak goreng. 

Sebelum ada lonjakan harga global untuk CPO yang di dalam negeri diikuti juga dengan kenaikan harga minyak goreng ini, Indonesia pernah harus menelan harga rendah CPO sekalipun sama-sama menjadi produsen terbesar seperti sekarang.

Menjadi lebih ironis lagi, ada masa pula stok minyak goreng pun menipis di pasaran dan harganya melonjak, dalam kondisi produksi melimpah CPO dan harga rendah di pasar global tersebut. Kisah ini mencuat antara lain di harian Kompas edisi 3 Desember 1986.

Pada edisi tersebut, ada dua artikel terkait CPO dan minyak goreng. Satu artikel menggunakan judul Ekspor CPO Melonjak tapi Harganya Anjlok, sementar satu artikel lain berjudul Harga Minyak Goreng Melonjak. Keduanya bahkan ada di satu halaman yang sama.

Tangkap layar versi digital dari harian Kompas edisi 3 Desember 1986. Dalam satu halaman yang sama ada artikel tentang ekspor CPO tetapi harganya murah serta artikel lain tentang lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri. Tangkap layar diambil pada Sabtu (20/11/2021). Arsip Kompas dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data.
KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Tangkap layar versi digital dari harian Kompas edisi 3 Desember 1986. Dalam satu halaman yang sama ada artikel tentang ekspor CPO tetapi harganya murah serta artikel lain tentang lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri. Tangkap layar diambil pada Sabtu (20/11/2021). Arsip Kompas dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data.

Kalau sudah kejadian berulang, apakah setiap kali harus menjadi ironi begini?Jangan-jangan pula, ketika dunia beralih ke energi biodiesel, kita pun hanya mengekspor CPO sebagai bahan baku lalu di dalam negeri harga energi juga tetap tinggi? Duh, jadi berandai-andai....

M E N U: