JEO - Insight

Jangan Lupakan TB
di Tengah Pandemi

Senin, 7 Desember 2020 | 20:19 WIB

Risiko pasien penderita tuberkulosis (TB atau TBC) tak bisa disepelekan.

Putus obat, misalnya, berisiko jadi TB resisten obat, yang itu makan biaya lebih mahal, berpotensi menularkan bakteri yang lebih ganas, dan dapat mengancam nyawa.

Pandemi Covid-19 menambah pula tantangan eliminasi TB. Cerita dari Solo, Jawa Tengah, ini memberikan gambaran utuh atas semua risiko itu. 

TANPA pandemi Covid-19 sekalipun, tuberkulosis (TB atau TBC) sudah jadi permasalahan panjang kesehatan. Pandemi membuat bobot masalah bertambah. Setidaknya, ini terjadi di Solo, Jawa Tengah. 

Agus Santoso (41 tahun) kurang lebih sudah sebulan batuk pada akhir Maret 2020. Sejak akhir Februari 2020, warga RW 034 Kelurahan Mojosongo, Jebres, Solo, itu juga merasakan nyeri dada saat bernapas.

Namun, keinginannya untuk sembuh saat itu kalah dengan rasa takut tertular atau malah terdiagnosis Covid-19 ketika harus menyambangi fasilitas kesehatan. 

“Saya rasa banyak orang lain juga punya kekhawatiran yang sama ketika harus berobat saat pandemi ini. Ya takut tertular, takut juga sudah terkena," kata Agus saat berbincang dengan Kompas.com, Jumat (27/11/2020).

Khawatir corona

Mau tidak mau, Agus sedikit banyak tahu kabar soal kasus Covid-19 di kotanya. Misal, Agus tahu bahwa pada akhir Maret 2020 sudah ada beberapa orang di Kota Bengawan dinyatakan positif terinfeksi virus corona.

Beberapa di antara pasien Covid-19 meninggal pun dia dengar kabarnya. Terlebih lagi,  Pemerintah Kota (Pemkot) Solo pun saat itu sudah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) Corona.

Alhasil, laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkutan barang ke luar kota—terutama Jakarta—itu lebih memilih untuk tidak mendatangi dokter. Lagi pula, selama ini Agus pun jarang berobat ketika sakit. 

Agus punya alasan tambahan soal keengganannya mendatangi fasilitas kesehatan selama pandemi Covid-19. Ada alasan ekonomi, ada pula soal stigma.

"(Kalau sampai kena Covid-19), otomatis kan kita harus isolasi, tidak bisa kerja. Belum lagi bisa jadi omongan orang lain saat dinyatakan positif corona,” ungkap dia.

Namun, kondisi kesehatanya ternyata tak kunjung membaik sesuai harapan. Pada awal April 2020, Agus tumbang. 

Itu pun, dia baru bersedia diajak berobat oleh sang istri, Marlina Pujiyanti (36), setelah sepekan tak sanggup pergi bekerja.

Tes dan pengobatan

Di Puskesmas Sibela, Mojosongo, Solo, Agus diminta melakukan tes dahak. Dia juga diarahkan untuk melakukan pemeriksaan awal atau skrining virus corona.

Agus lega ketika mendapati hasil pemeriksaan virus corona dirinya dinyatakan negatif. Di sisi lain, kekhawatiran istrinya ternyata menjadi kenyataan, hasil tes dahak Agus menunjukkan dia positif mengidap TB.

Hasil tes dahak itu membuat Agus harus mengonsumsi obat antituberkulosis (OAT) selama enam bulan. Berdasarkan riwayat kesehatan dan berat badannya yang lebih dari 70 kg, dia diminta untuk minum obat tersebut dengan dosis lima tablet sehari.

Baca juga: TBC bisa diobati dan Gratis, Ahli Tegaskan Pasien Jangan Mangkir Berobat

Namun, saat menjalani pengobatan TB tersebut, Agus merasa badannya sudah pulih setelah dua pekan meminum obat. Dia pun berhenti minum obat.

Agus sebenarnya sudah diperingatkan sang istri untuk tidak berhenti minum obat. Namun, bapak tiga anak ini bersikeras berhenti minum obat karena merasa badannya sudah membaik.

Terlebih lagi, dia merasa tidak tahan dengan efek samping OAT seperti mual, sakit perut, nyeri sendi, serta gatal dan kemerahan di kulit.

Akibat putus obat

Semula, petugas kesehatan di puskesmas tidak tahu soal Agus berhenti meminum obatnya. Pandemi yang mengubah banyak protokol layanan kesehatan jadi penyebab.

Sebelum pandemi Covid-19, pasien TB diminta untuk kontrol kesehatan dan mengambil obat seminggu sekali. Pandemi membuat petugas kesehatan memperpanjang jeda waktu kontrol dan pengambilan obat menjadi sebulan sekali, untuk meminimalkan kontak fisik.

Rupanya, ini malah jadi celah bagi Agus untuk membandel tak meminum obat. Petugas kesehatan di puskesmas baru tahu soal Agus yang berhenti minum obat setelah Marlina melapor. 

Marlina memutuskan menghubungi petugas kesehatan setelah merasa tak sanggup membujuk suaminya meminum obat, sementara dia merasa tindakan berhenti obat itu salah. Mendapat kabar itu, petugas kesehatan dan kader TB langsung datang ke rumah Agus.

Kunjungan petugas juga tak serta-merta bikin Agus mau  minum obat lagi. Butuh tiga hari dan tiga kali kunjungan petugas untuk Agus mau berjanji melanjutkan meminum obatnya.

Baca juga: Penyakit TBC, Begini Diagnosis hingga Lama Pengobatannya

Agus luluh setelah petugas meminta dia mempertimbangkan kemungkinan istri dan anaknya ikut tertular TB. Selain itu, Marlina menyebut Agus juga malu dengan tetangga karena terus didatangi kader TB.

Setelah putus obat selama dua bulan delapan hari, Agus baru memulai lagi pengobatannya.  Namun, keputusan itu terlambat. Satu dari tiga anaknya sudah tertular TB yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis

 “Setelah bapak sudah minum obat lagi, kami berempat baru tes," kata Marlina.

Marlina dan anak pertama mereka negatif TB dari hasil tes dahak. Anak bungsu dinyatakan negatif pula setelah menjalani tes mantoux atau tuberculin skin test (TST).

TST adalah tes yang dilakukan dengan menyuntikkan purified protein derivative (PPD) di kulit lengan. Tes ini bisa dipakai untuk semua usia tetapi lebih dianjurkan untuk anak berusia di bawah lima tahun. 

Bila TST mendapati hasil positif terinfeksi bakteri penyebab TB, dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan untuk memastikan apakah pasien benar-benar menderita TB. Pilihannya, rontgen, tes darah, dan tes dahak.

“Tapi, anak kedua saya ternyata sudah positif TB setelah rontgen di RS,” jelas Marlina yang mendampingi Agus ketika diwawancara.

Alhasil, anak kedua Agus dan Marlina yang masih berusia 5 tahun itu pun kini harus ikut mengonsumsi obat secara rutin dengan dosis tiga tablet sehari. Agus mengakui, hasil ini membuat dia menyesal.

Baca juga: Beda Batuk sebagai Gejala Virus Corona dengan Batuk akibat TBC

Bersyukur, putrinya tak menunjukkan gejala TB yang parah. Dia hanya mengalami batuk ringan. 

Risiko MDR

Satu hal lain yang Agus syukuri setelah sempat putus obat TB adalah dia tak dinyatakan sebagai pasien multidrug-resistant tuberculosis (TB MDR).

TB MDR atau resistan obat (RO) adalah TB yang terjadi antara lain karena pasien TB berobat tidak sampai selesai. Dampak pengobatan yang tak tuntas adalah bakteri bermutasi serta berubah menjadi kuat dan kebal obat lini pertama. 

Bila seseorang dinyatakan sebagai pengidap TB MDR atau TB RO, dia bisa menularkan kuman yang telah resisten obat dan sulit disembuhkan.

Baca juga: Kenali Berbagai Gejala TBC, dari Batuk, Demam, sampai Sesak Napas

Karena bakteri telah kebal dengan obat yang biasa digunakan untuk TB, pasien TB MDR harus mengonsumsi obat kimia lini kedua. Obat yang dikonsumsi akan lebih banyak, dosis lebih keras, waktu pengobatan lebih lama—bisa sampai dua tahun—, dan punya efek samping lebih banyak.

“Kata dokter, kalau jadi TB RO, saya harus menerima suntikan juga setiap hari selama enam bulan. Tapi untungnya tidak, saya hanya diminta untuk mengulang minum obat dari awal dengan dosis lima  tablet sehari selama enam bulan,” jelas Agus.

Kali ini, Agus menepati janji untuk terus meminum obatnya. Pada Desember 2020, Agus tinggal sebulan lagi harus mengonsumsi OAT. Dia berharap pada pemeriksaan berikutnya sudah akan benar-benar dinyatakan sembuh dari TB.

 

 MENU: 

 

BUKAN HANYA KISAH AGUS

Ilustrasi paru-paru pasien pengidap tuberkulosis (TB) paru, dengan tampilan diperbesar bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkannya.
SHUTTERSTOCK/KATERYNA KON
Ilustrasi paru-paru pasien pengidap tuberkulosis (TB) paru, dengan tampilan diperbesar bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkannya.

KEKHAWATIRAN lebih besar untuk berobat selama pandemi Covid-19 yang dialami masyarakat Solo direkam pula oleh para kader TB. Para dokter pun mengakui situasi tersebut.

Dyah Retno A (51) salah satu yang punya cerita tentang ini. Dia adalah kader Sub-Sub Recipient (SSR) TB-HIV Care Aisyiyah Kota Solo dan Kader Kesehatan wilayah Puskesmas Sibela.

Beberapa kali, Dyah sempat mendapati warga menolak dimintai kultur dahak (sputum) atau diajak pergi ke fasilitas kesehatan dalam rangka diagnosis TB di tengah wabah Covid-19.

Sebagian warga bahkan enggan ditemui kader yang sedang melaksanakan program Ketuk Pintu dan investigasi kontak (IK) tersebut. Warga tampak menutup rapat pintu ketika mengetahui kader kesehatan hendak berkunjung.

Warga yang batuk selama dua pekan terakhir, sesak napas, nafsu makan berkurang, dan berkeringat di malam hari tanpa sebab yang jelas, lebih baik segera memeriksakan diri, karena bisa saja itu gejala TB.

Program Ketuk Pintu digalakkan Pemkot Solo sejak 2017 untuk mendata warga yang mengidap penyakit TB paru dari rumah ke rumah. Adapun IK dilakukan untuk mencari warga yang pernah kontak dengan pasien TB.

Baca juga: Benarkah TBC Penyakit Orang Miskin? Ini Penjelasan Ahli

Mendapati beberapa penolakan dari warga tersebut, Dyah tentu tak tinggal diam. Dia berupaya lebih keras untuk bisa menemui dan meyakinkan warga bahwa lebih penting untuk mau pergi berobat ketika sakit.

Setidaknya, Dyah akan menjamin bahwa puskesmas menerapkan ketat protokol kesehatan sehingga meminimalkan risiko penularan Covid-19. Semua petugas dipastikan memakai alat pelindung diri (APD) lengkap, tempat duduk pengunjung juga berjarak untuk meminimalkan kontak fisik.

"Saya bersyukur setelah dijelaskan dengan baik, banyak juga warga yang pada akhirnya mau diminta diambil dahaknya atau diajak ke puskesmas. Saya bersyukur juga setelah dilakukan tes, banyak warga tidak terbukti menderita TB maupun Covid-19," tutur Dyah.

Meski tak pasti menderita TB, Dyah berharap warga yang batuk selama dua pekan terakhir, sesak napas, nafsu makan berkurang, dan berkeringat di malam hari tanpa sebab yang jelas, lebih baik segera memeriksakan diri ke faskes. Pasalnya, keadaan tersebut tetap saja dapat menjadi gejala penyakit TB.

Baca juga: Sakit Punggung Bisa Jadi Ciri-ciri TBC Tulang

Terlebih lagi, jika pasien terduga TB itu terus berada di lingkungan, masyarakat kini menjadi tidak hanya dihadapkan pada ancaman Covid-19, tetapi juga berisiko tertular TB.

"Tantangannya sekarang dobel dalam menjangkau kasus baru TB. Kalau dulu masyarakat takut periksa karena stigma (negatif) yang ditujukan pada penderita TB, sekarang jadi tambah takut karena corona," kata dia.

Kisah serupa dituturkan pula oleh Kader SSR TB-HIV Aisyiyah di wilayah Puskesmas Banyuanyar, Banjarsari, Indri Hastuti (41). Dia bahkan menyebut sejumlah warga berbohong tidak sedang batuk demi menghindari pemeriksaan kesehatan.

“Saat kami melakukan program Ketuk Pintu maupun IK ke masyarakat, sekarang yang pura-pura tidak batuk itu ada banyak. Padahal kami tahu sendiri mereka batuk,” ujar Indri.

Tatkala mendapati masalah seperti ini, Indri biasanya juga akan terus meyakinkan warga tersebut bahwasanya penting untuk menjalani pemeriksaan. Jika memang warga ini dicurigai bergejala TB, Indri akan menawarkan pula pengumpulan dahak untuk proses diagnosis.

Stigma

Dokter Umum Puskesmas Banyuanyar, dr Dinar Arum Wulansari, menjelaskan bahwa tantangan yang dihadapi petugas kesehatan dan kader kesehatan dalam menjangkau kasus TB dari dulu adalah kejujuran pasien.

Menurut dia, ada saja pasien yang tidak mau berkata kondisi sebenarnya. Salah satu alasan masyarakat enggan untuk periksa TB, sebut Dinar, pada umumnya mereka khawatir vonis penyakit TB bisa berdampak pada nasib pekerjaan.

Baca juga: TBC Penyakit Menular yang Bisa Diobati, Begini Fase Pengobatannya

Perusahaan dikhawatirkan akan memberhentikan mereka bekerja karena pasien TB memang harus istirahat panjang, kurang lebih dua bulan karena masih berpotensi menular. Situasi pandemi memperburuk situasi.

“Berkaitan dengan Covid-19 ini, warga jadi tambah ragu berkata jujur. Sempat ada juga warga yang bilang gejala batuk dibawa ke Puskesmas pasti (dibilang) positif Covid-19. Padahal tidak seperti itu,” ungkap Dinar.

Tanpa penanganan yang tepat, TB bisa berbahaya dan bahkan mengancam jiwa. Sejumlah komplikasi TB tak bisa disepelekan juga, mulai dari kerusakan pada otak, kerusakan pada tulang dan sendi, gangguan fungsi penglihatan, kerusakan fungsi hati, kerusakan ginjal, serta kemungkinan kerusakan pada jantung.

“Fenemoma ini sebenarnya berbahaya jika terus terjadi, karena jika masyarakat membiarkan dirinya sakit dan menunda periksa, justru saat pandemi usai nanti dikhawatirkan akan muncul ledakan pasien berobat dengan kondisi yang lebih parah,” tutur dia.

 

 MENU: 

 

KASUS BARU TB TURUN
SELAMA PANDEMI

Ilustrasi
SHUTTERSTOCK/KATERYNA KON
Ilustrasi

KOORDINATOR Program SSR TB-HIV Care Aisyiyah Kota Solo, Iskandarsyah, menyampaikan selama pandemi Covid-19, kader SSR TB-HIV Care Aisyiyah sempat libur tak berkegiatan selama dua bulan pada Maret-April 2020 demi keselamatan bersama.

Dengan demikian, baik program Ketuk Pintu dan untuk menjaring warga yang memiliki gejala TB maupun kegiatan investigasi kontak dengan mendatangi keluarga dan warga yang tinggal di sekitar pasien TB tidak dilakukan pada kurun waktu itu.

Alhasil, jumlah orang yang dirujuk kader TB untuk melakukan pemeriksaan kesehatan dan tes dahak pun berkurang atau lebih sedikit dibandingkan pada 2019. Ini juga yang jadi sebab perubahan data temuan kasus baru TB. 

Baca juga: TBC Mudah Menyebar Lewat Udara, Cegah dengan Etika Ini

SSR TB-HIV Care Aisyiyah Kota Solo mencatat, pada Januari-Juni 2019 sedikitnya telah merujuk 417 orang untuk melakukan tes dahak. Adapun pada Juli-Desember tahun lalu, jumlahnya mencapai 666 orang.

Pada 2020, Kader TB Aisyiyah hanya merujuk 337 warga untuk cek dahak pada kurun Januari-Juni. Adapun selama rentang Juli-25 November 2020, baru ada 150 orang dirujuk.

“Selama pandemi ini, masyarakat juga semakin tidak mau untuk terbuka. Yang pertama takut kalau TB positif, sekarang jadi tambah cemas karena Covid-19,” ungkap Iskandarsyah.

Data DKK Solo

Benar saja, Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo pum mencatat, jumlah temuan kasus baru TB di Kota Bengawan pada 2020 jauh lebih sedikit dibandingkan pada 2019.

Pada 2019, jumlah temuan kasus TB baru di Solo tercatat 1.780 kasus atau 113 persen dari target 1.591 kasus yang ditetapkan pemerintah pusat. Adapun pada Januari-September 2020, baru ada 689 kasus TB baru yang ditemukan dan diobati atau hanya 41,31 persen dari target 1.668 kasus. 

 

Kepala DKK Solo, dr Siti Wahyuningsih, menilai wajar jika jumlah temuan kasus TB baru di Solo turun pada tahun ini atau lebih kecil dibandingkan tahun lalu. Kondisi ini diyakini terjadi bukan karena kasus TB di masyarakat yang benar-benar turun.

Menurut Ning—panggilan Siti Wahyuningsih—, penurunan temuan kasus baru TB itu lebih disebabkan oleh sejumlah faktor terkait upaya penjaringan kasus dan kesadaran masyarakat.

Pertama, dia mengakui bahwa keaktifan petugas dan kader kesehatan untuk menjaring warga bergejala TB berkurang selama wabah.

Sebelum Maret 2020, ungkap Ning, petugas dan kader kesehatan bisa melaksanakan program Ketuk Pintu Terpadu minimal sebulan sekali. Setelah jeda dua bulan, mulai Mei 2020 program ini hanya diarahkan digelar dua bulan sekali.

Jangkauannya pun menjadi terbatas. Petugas dan kader dalam pencarian kasus TB, dilarang mendatangi rumah warga yang menjalani karantina mandiri akibat Covid-19.

Kedua, Ning menyebut masyarakat juga menjadi semakin kurang aktif melaporkan diri ketika mengalami kondisi yang mengarah pada gejala tuberkulosis—termasuk untuk mengadukan temuan kecurigaan kasus TB di lingkungan sekitar—selama pandemi.

“Kami juga mengurangi kontak langsung," imbuh Ning.

Target meleset

Ning tak menampik pandemi Covid-19 bisa mengganggu bahkan menggagalkan target Kota Solo mengeliminasi TB pada 2025 atau lima tahun lebih cepat dibanding target nasional. Namun, dia tak mau menyerah begitu saja.

DKK Solo sudah mulai kembali menggelar koordinasi baik di internal maupun dengan sejumlah pihak lain untuk membahas langkah penanganan TB ke depan.

Mereka juga merangkul organisasi atau kelompok peduli TB untuk kembali menggiatkan program sosialisasi dan penjaringan kasus baru TB dengan penerapan protokol kesehatan.

"Kami sudah melakukan pertemuan. Mereka siap untuk kembali menjangkau masyarakat secara langsung maupun dengan komunikasi telepon atau online,” ujar Ning.

Pasien TB non-MDR butuh biaya pengobatan Rp 400.000 sampai Rp 1,2 juta, sementara pasien TB MDR bisa menghabiskan lebih dari Rp 100 juta untuk pengobatan.

Selain fokus pada penemuan kasus baru, DKK Solo juga mengajak organisasi peduli TB untuk ikut aktif dalam pendampingan pasien TB yang telah ditemukan. Jangan sampai, misalnya, pengobatan pasien TB terhenti dan membuat mereka menjadi pasien TB MDR.

Ketika pasien dinyatakan mengidap TB MDR, peluang kesembuhannya lebih kecil dibandingkan TB non-MDR. Beban pembiayaan kesehatan untuk pasien TB MDR pun akan meningkat. 

Buat gambaran, pengobatan pasien TB MDR bisa menghabiskan biaya 200 kali lebih banyak dibanding ongkos pengobatan pasien TB non-MDR. Jika pasien TB non-MDR butuh biaya pengobatan Rp 400.000 sampai Rp 1,2 juta maka pasien TB MDR bisa menghabiskan dana lebih dari Rp 100 juta untuk pengobatannya.

“Lebih jauh, implikasi peningkatan epidemi TB MDR ini bisa menurunkan produktivitas SDM dan dapat berpengaruh pada sektor ekonomi dan pariwisata. Jadi, harus diantisipasi bersama,” tegas Ning.

Sepanjang Januari-September 2020, DKK Solo mencatat sudah ada lima temuan pasien TB MDR baru. Tiga orang di antaranya sudah dalam pengobatan, sedangkan dua orang lainnya tidak berobat.

Tidak berobat di sini bisa berarti pasien menolak diobati dengan berbagai alasan, bisa pula pasien sudah meninggal dunia sebelum atau sesudah diobati.

Tanggung jawab bersama

Selain dengan organsiasi peduli TB, Ning mengungkap, DKK juga sudah membangun koordinasi dengan layanan kesehatan swasta.

Ini merupakan praktik dari strategi public-private mix (PPM) untuk meningkatkan penemuan kasus dan kualitas layanan dengan melibatkan fasilitas kesehatan swasta tingkat primer-sekunder.

Ning menegaskan bahwa penemuan TB tidak lepas dari peran layanan swasta. Untuk itu, layanan swasta diharapkan mampu tetap melayani semua suspek TB secara standar dan dapat dengan mudah diakses seluruh penderita TB di masa pandemi.

Harapannya, pengobatan TB dapat berjalan secara optimal meski di tengah wabah, sehingga mampu mencegah penyebaran dan terjadinya TB resistan obat (RO) di masyarakat.

Baca juga: Penanganan TBC Jadi Masalah Berat hingga Sekarang

Ning mengakui, DKK Solo sejak Maret 2020 lebih fokus pada penanganan wabah virus corona. Banyak layanan swasta juga terpantau demikian.

“Intinya masalah TB adalah masalah bersama. Dengan adanya pandemi ini, kami coba ingatkan kepada yang lain, jangan terus-terusan hanya berkutat dengan Covid-19. TB tidak kalah bahayanya,” tutur dia.

Lagi pula, kata Ning, Solo sudah mempunyai Perwali Surakarta Nomor 12 tahun 2017 tentang Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Tuberkulosis Kota Surakarta tahun 2016-2021, untuk mempercepat pencapaian tujuan eliminasi TB.

Dalam peraturan ini, dijabarkan proram aksi daerah berupa langkah-langkah konkret dan terukur yang telah disepakati oleh para pemangku kepentingan dalam penanggulangan TB.

Sedikitnya ada enam strategi penanggulangan TB yang tertuang dalam beleid tersebut, yang kemudian di-breakdown ke dalam berbagai program hingga kegiatan secara nyata.

Keenam strategi tersebut, meliputi:

  1. Penguatan kepemimpinan program TB Solo
  2. Peningkatan akses layanan TOSS-TB (Temukan Tuberkulosis, Obati Sampai Sembuh) yang bermutu
  3. Pengendalian faktor risiko
  4. Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB
  5. Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TB
  6. Penguatan manajemen progam melalui penguatan sistem kesehatan

Ning mengingatkan, masyarakat umum, kelompok masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat, instansi vertikal, dan atau badan hukum dapat berperan serta dalam pelaksanaan program dan kegiatan yang diatur dalam peraturan tersebut.

Peran serta yang dapat dilakukan, sebut Ning, mulai dari sosialisasi di lingkungan masing-masing, memberikan bantuan pembiayaan program kegiatan penjunjang, hingga dukungan fasilitasi.

“Perwali ini dibuat agar ada percepatan-percepatan dalam penanggulangan TB. Intinya adalah penting keterlibatan stakeholder, lintas sektoral terkait, karena TB ini bukan tanggung jawab kesehatan saja,” tutur dia.

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) DKK Solo, dr Tenny Setyoharini, meminta masyarakat untuk jangan pernah menunda menghubungi fasilitas kesehatan terdekat apabila mengalami gejala TB.

TB, ujar Tenny, termasuk penyakit sangat berbahaya dan mematikan. Dia memastikan bahwa 17 puskesmas di Solo  siap melayani kasus tuberkulosis, baik secara SDM, sarana prasarana, maupun obat.

“Seluruh Puskesmas di Solo menyediakan layanan secara gratis kepada penderita TB, termasuk warga dari luar kota. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi alternatif pencegahan penularan penyakit ini,” tegas Tenny.

 

 MENU: