ASIAN Games 2018 terus-menerus menghadirkan kejutan dan penghiburan bagi segenap anak bangsa. Capaian prestasi dan perolehan medali adalah hal pertama.
Namun, kehadiran bersama para tokoh sentral politik dalam suasana yang hangat—sejauh kesan visual yang tertangkap mata—bisa jadi adalah oase yang dihadirkan Asian Games 2018 di tengah eskalasi kontestasi politik di dalam negeri.
Arena cabang olahraga pencak silat Asian Games 2018 pada Rabu (29/8/2018) menjadi saksi dari dua hal itu. Nyaris sapu bersih medali emas di cabang olahraga ini merupakan hal pertama, pelukan hangat dua bakal calon presiden untuk Pemilu 2019 menjadi hal berikutnya.
Fotografer Kompas.com, Kristianto Purnomo, mengabadikan rangkaian momen tersebut di arena tanding dalam bingkai lensa kamera.
JEO ini akan merunutkan peristiwa dan konteks yang menyertainya dalam navigasi sebagai berikut:
RAIHAN berturut-turut dan bahkan nyaris sapu bersih medali emas dari cabang olahraga pencak silat menjadi magnet kehadiran para tokoh politik.
Tak berlebihan bila disebut di antara sosok yang layak disebut tokoh sentral itu adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Tentu saja, figur utamanya dalam konteks ini adalah bakal calon presiden yang diusung PDI-P dan 8 partai lain, Joko Widodo, serta bakal calon presiden sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Kehadiran Prabowo sebagai Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI), tentu bukan kejutan besar di arena tanding pencak silat Asian Games 2018. Namun, kedatangan Megawati pada Rabu (29/8/2018) sekitar pukul 14.00 WIB, menjadi pemandangan awal yang berbeda.
Prabowo menyambut Megawati laiknya kawan lama. Momentum "pembuka" ini mendapatkan puncaknya ketika Presiden Joko Widodo tiba pula di lokasi pada sekitar pukul 17.00 WIB. Terlebih lagi, Presiden diketahui berada di Yogyakarta pada pagi harinya.
Sepanjang perjalanan menuju arena tanding, wajah dan percakapan hangat antara Prabowo dan Megawati serta Prabowo dan Joko Widodo, terekam jelas di kamera wartawan yang ada di sana.
Namun, momentum yang lalu sekejab sontak membuat adem suhu politik ini bermula dari aksi Hanifan Yudani Kusumah.
Lelaki asal Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ini mengaku spontan saja berlari ke podium seusai memenangi laga kelas 55-60 kilogram, lalu memeluk Jusuf Kalla, Joko Widodo, dan Prabowo Subianto.
"Spontan saja langsung ingin berpelukan. Saya beruntung bisa berpelukan dengan orang-orang seperti mereka," ujar Hanifan saat bertandang ke Studio Kompas TV, Kamis (30/8/2018) petang.
Ketika ditanya soal apa yang dia pikirkan ketika meminta Prabowo dan Jokowi berpelukan bersama dirinya, dengan bendera merah putih menyelimuti badan mereka, Hanifan mengaku hanya ingin Indonesia cinta damai.
"Di tengah sengitnya pilpres, di luar itu ternyata (para tokoh politik ini) tidak ada apa-apa. Sejuk. Adem. (Di situ) senyum mereka juga lepas. Adem lihatnya," ujar dia.
Dalam rekaman televisi, Hanifan terlihat berbincang dengan Joko Widodo di tengah aksi pelukannya. Ternyata, yang dibisikkan bukan soal pertandingan apalagi keberpihakan politik.
"Pak, saya punya produk sendiri, ini. (Saya mau bilang), saya tidak hanya atlet tetapi juga calon wirausahawan," kata Hanifan.
Seandainya mendapat kesempatan lagi berbincang dengan para tokoh politik itu di luar momentum spontan di arena, barulah Hanifan mengaku ingin menekankan harapannya soal masa depan Indonesia.
"Terima kasih untuk para tokoh bangsa. Semoga dengan kejadian kemarin, spontanitas saya, negeri ini makmur tanpa perpecahan, sejuk, disegani negara lain," harap dia.
Bagi Hanifan, kehadiran sosok-sosok utama politik nasional itu adalah suntikan semangat. Terlebih lagi, saat itu posisinya pun masih di tengah pertandingan kritis bahkan sempat nyaris kalah.
"Terharu (melihat tokoh-tokoh itu hadir). Sangat sadar mereka datang. Di poin kalah jadi lebih semangat. (Perasaan menjadi) rileks, enjoy, yakin bisa menang," ungkap dia.
DARI bidikan lensa Kristianto Purnomo, berikut ini sejumlah keakraban dan momentum berpelukan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto, lewat "perantara" aksi kemenangan sekaligus ekspresi spontan Hanifan Yudani Kusumah.
Situasi adem dengan menghadirkan dua bakal calon presiden di Pemilu 2019 pun berlanjut sesudah itu. Kemenangan Wita Wewey di kelas B putri 50-55 kilogram pun menghadirkan momentum hangat di antara kedua sosok itu, meski wujudnya beralih menjadi selfie bersama.
CERITA di balik peristiwa, biasanya jadi topik tak kalah menarik dibandingkan kejadiannya. Pelukan bertiga antara Joko Widodo, Prabowo, dan Hanifan, bukan perkecualian.
Manajer kontingen pencak silat Indonesia untuk Asian Games 2018, Edy Prabowo, menyebut kehadiran para tokoh politik utama Indonesia pada sesi pertandingan pencak silat dan berakhir dengan momentum "pelukan politik" itu murni tidak direncanakan.
"Kelihatan kan ya kalau direncanakan atau tidak," kata Edy setelah siaran langsung di program Kompas Petang, Kamis (30/8/2018).
Ketua Harian PB IPSI ini pun bertutur, begitu informasi para tokoh itu akan hadir, pesan yang disampaikan lewat dirinya antara lain adalah sejauh mungkin menghilangkan nuansa politis, termasuk dari penonton.
"Penonton atau kontingen, misalnya, tidak boleh meneriakkan nama Pak Prabowo. Lha padahal saya ini bukan penyelenggara tapi bagian dari kontingen," ujar Edy memberikan contoh.
Tuduhan kecurangan di tim Indonesia yang nyaris menyapu bersih medali emas di cabang olahraga ini juga ditepis Edy. Menurut dia, tidak masuk akal pula kemenangan para atlet pada hari kehadiran para tokoh itu disebut telah dirancang.
"Waktu Hanifan tanding, dia itu sudah nyaris kalah, ketinggalan 8 poin. Kartu protes ke wasit juga sudah habis. Ini kemenangan dengan kerja keras," tepis Edy.
Terlebih lagi, sepanjang pengetahuan Edy mengawal para atlet pencak silat, Prabowo pun selalu berpesan, kemenangan yang diraih tidak boleh didapat dengan kecurangan.
Menurut Edy, momentum kehadiran presiden, wakil presiden, ketua umum partai politik, bakal calon presiden, menteri, dan jajaran partai politik ini adalah spontanitas sejarah.
"Pak Prabowo awalnya pakai baju PDH. Begitu tahu Ibu Mega akan hadir, langsung ganti baju teluk belanga, biar lebih rapi," ujar dia menggambarkan situasi yang terjadi pada hari itu.
Selama Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto—yang notabene kompetitor di Pemilu 2019—berbincang di podium, Edy berada tepat di belakang mereka berdua. Dari sekilas pembicaraan yang terdengar, tutur dia, Presiden menyatakan keterkejutan dengan capaian atlet pencak silat pada Asian Games 2018.
Momentum ini, bagi Edy adalah menghidupkan lagi filosofi dari olahraga pencak silat.
"Silat itu kependekan dari silaturahmi. Pencak itu gaya, olah. Jadi ini gaya untuk silaturahmi. Apa pun yang terjadi di pencak silat, hubungan kita tetap kekeluargaan. Pilihan (terkait politik, misalnya) bisa beda, tetapi silaturahmi kita harus tetap dijaga," tegas Edy.
Dia pun berharap pencak silat dapat menjadi olahraga bagi seluruh anak bangsa Indonesia. Momentum yang dimulai Hanifan, kata Edy, sudah sepatutnya pula jadi contoh.
Capaian IPSI bersama para pelatih dan atlet pencak silat, imbuh Edy, menggarisbawahi pula bahwa apa pun itu selama demi kepentingan Merah Putih harus dilakukan, termasuk yang diminta presiden, sekalipun secara politik bisa jadi berada pada posisi yang saling berkompetisi.
Pendapat senada pun datang dari Presiden Joko Widodo yang juga adalah bakal calon presiden untuk Pemilu 2019. Setidaknya, itu ditilik dari unggahannya di akun @jokowi di Instagram. Caption-nya lugas saja, "Semuanya untuk Indonesia..."
Wasekjen Bidang Program Kerakyatan PDI-P Erico Sutarduga pun bercerita tentang kehadiran Megawati dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani.
Menurut Erico, pada Selasa (28/8/2018), Puan bertanya kepada Megawati apakah berminat menonton pertandingan pencak silat. Di situ disebut ada ajakan untuk hadir dari Prabowo. Namun, Erico tidak dapat memastikan ajakan itu untuk Puan atau untuk Megawati.
Pada Rabu pagi, kata Erico, dia diminta datang dan menyiapkan rencana Megawati menyaksikan laga pencak silat. Pada saat yang sama, informasi mengenai rencana kehadiran Wakil Presiden Jusuf Kalla juga didapat dari panitia.
"Saya lihat sendiri kehangatan (relasi antara Megawati dan Prabowo). Bu Mega menyampaikan, sudah lama juga tidak bertemu mas Bowo (panggilan Megawati untuk Prabowo). Sangat rileks, tak ada tersirat ini sedang kontestasi," ujar dia dalam program Kompas Petang.
Lalu, lanjut Erico, Presiden Joko Widodo pun kemudian ketika dihubungi juga menyatakan berkehendak datang ke arena pencak silat.
"Pak Jokowi ternyata juga dihubungi, (menyampaikan) bisa datang tapi menyusul, kata mba Puan," tutur Erico.
Terbukti, Joko Widodo pun hadir di arena, ketika Hanifan sedang bertanding di tengah babak terakhir laga Hanifan. Momentum politik di depan matras arena pencak silat Asian Games 2018 itu pun terjadilah.
"Ini luar biasa," kata Erico.
Lewat siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menyatakan, laga final pencak silat Asian Games 2018 pada Rabu adalah kejutan sekaligus gambaran nyata bahwa olahraga untuk nama baik bangsa telah menyatukan para pemimpin.
"Politik menjadi sejuk. Apa pun yang namanya perjuangan membawa nama harum bangsa Indonesia tidak membedakan suku, agama, warna kulit, status sosial, maupun gender. Untuk keharuman bangsa semua pimpinan nasional bersatu, apa pun partai dan calon presidennya," ujar Hasto.
Olahraga, kata Hasto, mengajarkan sportivitas, kejujuran, unjuk prestasi, dan ketaatan pada aturan main.
"Inilah semangat olahraga yang seharusnya merasuk dalam politik. Politik pun harus mengejar prestasi melalui gagasan-gagasan terbaik terbaik untuk Indonesia Raya," tegas dia.
Siapa pun yang melakukan kecurangan, kampanye hitam, dan ujaran kebencian—termasuk lewat hoaks—sama saja mematikan keadaban bangsa. Praktik semacam itu, kata Hasto, layak dihukum oleh "wasit politik", yang itu adalah rakyat Indonesia.
"Politik olahraga itulah yang seharusnya menjadi cermin dalam jagad politik Indonesia yang sering kali diwarnai kepentingan sempit kekuasaan yang menghalalkan segala cara,” kata Hasto.
Akankah adem politik ini berlanjut dan mewujud nyata pada keseharian dan kontestasi politik? Hanya kita, seluruh bangsa Indonesia, yang bisa dan akan menjawabnya....