JEO - News

Medali
Asian Games 2018
dan
Kisah Perjuangan untuk Meraihnya

Kamis, 13 September 2018 | 11:44 WIB

Asian Games 2018 menorehkan sejumlah prestasi dan kebanggan bagi bangsa Indonesia. Tak hanya itu, para atlet yang berjuang pun menjadi pahlawan dan idola baru di masyarakat. Simak perjuangan sejumlah atlet ini meraih dan mewujudkan mimpi meraih medali di Asian Games 2018.

 

HAJATAN Asian Games 2018 purna sudah. Tak hanya mendapat sanjung puji dari dalam dan luar negeri untuk penyelenggaraannya, Indonesia juga mencatatkan raihan prestasi dari keikutsertaannya, melampaui target perolehan medali dan peringkat dalam klasemen negara-negara peserta Asian Games 2018.

Para peraih medali emas untuk Indonesia di Asian Games 2018 - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Dari target masuk 10 besar, para atlet membuktikan mereka dapat memberikan yang lebih baik. Hasil akhir klasemen menempatkan Indonesia di peringkat ke-4 dengan total perolehan 98 medali, baik emas, perak, maupun perunggu. 

Di balik setiap data dan angka, kisah yang selalu menarik hati adalah tentang para manusianya, tak terkecuali para atlet penyumbang medali bagi Indonesia. Berikut ini kisah sebagian dari mereka, yang ternyata tak selalu berisi cerita gilang-gemilang penuh kemudahan hingga dapat mengharumkan nama bangsa dan negara.

Untuk memudahkan navigasi, JEO ini menggunakan urutan kisah:

Harapannya, semangat-semangat bergelora dari seluruh anak bangsa untuk memajukan bangsa dan negara pun terus terpantik dan menyala, seturut sepenggal cerita dari kisah-kisah ini. Siapa kita? Indonesia!!

  JAFRO MEGAWANTO  
Dari Paraboy
Jadi Atlet Paralayang


JAFRO
Megawanto merupakan atlet paralayang Indonesia yang menyumbangkan dua medali emas untuk nomor perorangan dan beregu, serta medali perunggu untuk nomor lintas alam beregu.

Tak ayal, bonusnya merupakan yang paling besar di antara para atlet peraih medali di Asian Games.

Prestasi Jafro mencuri perhatian publik lantaran Presiden Joko Widodo sampai memujinya lewat akun terverifikasi di Facebook, sesaat setelah Jafro menerima emas pertama.

Warga Kota Malang, Jawa Timur, sontak menyambut Jafro bak pahlawan. Padahal, olahraga paralayang sebelumnya kurang dikenal masyarakat Indonesia.

Profil Jafro Megawanto - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Yang tak banyak orang tahu, karier Jafro sebagai atlet berawal dari menjadi paraboy atau tukang lipat parasut. Dia menjalani itu sejak duduk kelas V SD. Keluarga Jafro juga tak ada yang berlatar belakang atlet. 

Upah sekali melipat parasut yang didapat Jafro adalah Rp 5.000. Padahal, untuk menuju venue pendaratan dia harus membayar ojek Rp 15.000.

Nasib Jafro berubah saat SMP. Dia mendapat tawaran menjadi atlet paralayang. Yang menawarinya adalah Yosi Pasha, Manajer Komunitas Paralayang Ayokitakemon.

"Melihat senior menjadi atlet, bisa mengharumkan nama daerah, nama Indonesia, saya jadi termotivasi..."

~Jafro Megawanto~

Tawaran itu tidak dia sia-siakan. Bergabung di komunitas itu, dia menjalani pendidikan, mulai dari belajar terjun hingga akhirnya memiliki lisensi sebagai atlet paralayang.

Ayah dan ibu Jafro  yang bekerja sebagai petani sempat kesulitan membiayai latihannya yang bisa mencapai Rp 60.000 sekali latihan. Namun, karena tekad kuat Jafro, ayah ibunya kemudian selalu mengupayakan ongkos latihan putranya tersebut.

Pada 2011, Jafro mulai menuai prestasi dengan menjadi juara 3 Yunior Batu Open Paragliding. Prestasinya sebagai atlet paralayang terus menanjak. Berbagai kejuaraan, baik nasional maupun internasional ia ikuti dan menangi.

Pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX Jawa Barat tahun 2016, Jafro meraih medali emas dan kemudian dipanggil Pelatnas untuk menghadapi Asian Games. Salah satu lompatan kariernya yakni saat Jafro meraih emas di gelaran Asian Games 2018.

Atlet kelahiran 18 Maret 1996 yang kini berusia 22 tahun itu kini terus menjalani latihan untuk menatap kejuaraan-kejuaraan bergengsi lain yang masih menghadang. Terjun dari ketinggian dengan parasut menjadi bagian tak terpisahkan dalam hari-harinya.

 Biodata:

 

 DEFIA ROSMANIAR 
Sempat Dilarang Ibu karena Menekuni Olahraga "Laki-laki"

 

DEFIA Rosmaniar merupakan atlet spesial lantaran menjadi penyumbang emas pertama bagi Indonesia dalam Asian Games 2018 dari cabang olahraga taekwondo.

Raihan medali emas itu ia dapat setelah memenangi nomor poomsae individu putri, di Plenary Hall Jakarta Convention Centre, Minggu (19/8/2018) dengan mengalahkan taekwondoin Iran, Marjan Salahshouri.

Atas pencapaiannya tersebut, mahasiswi semester lima Fakultas Ilmu Olahraga, Universitas Negeri Jakarta ini dihujani pujian. Presiden Joko Widodo yang menyaksikan pertandingan itu pun dibuat kaget dan bangga.

Profil Defia Rosmaniar - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Usai berlaga dalam Asian Games 2018, Defia akan kembali fokus berlatih untuk mengikuti Pekan Olahraga Daerah (Porda) mewakili Kota Bogor.

Sebelum meraih emas di Asian Games, ketangguhan Defia sudah teruji pada Kejuaraan Asia Taekwondo yang dikutinya pada bulan Mei 2018 di Vietnam.

Baca juga: Profil Defia Rosmaniar, Peraih Medali Emas Pertama Indonesia

Ia berhasil meraih medali emas di nomor individual poomsae putri dan medali perunggu bersama Muhammad Abdurrahman Wahyu di nomor pair poomsae. Tak lama berselang, Defia juga mencatatkan prestasi di ajang Korea Open

Siapa sangka, atlet kelahiran Bogor, 25 Mei 1995 ini awalnya kurang menyukai olahraga asal negeri ginseng ini. Ibunya juga kurang mendukung lantaran olahraga bela diri ini identik dengan olahraga laki-laki.

"Motivasi saya hanya berpikir bisa, bisa, bisa..."

~Defia Rosmaniar~

Hanya saja, sang kakak sepupu kemudian memperkenalkan olehraga ini ke Defia saat ia duduk di bangku SMP dan lama-lama gadis berhijab ini menyukainya. Debutnya di Indonesia Open pada 2012 membuka hati sang ibu untuk kemudian merestui kariernya menjadi atlet, apalagi Defia kemudian dipanggil masuk pelatnas.

Ada satu cerita sedih yang mengiringi langkahnya menyabet emas di ajang Asian Games, yakni kepergian sang ayah secara mendadak saat Defia harus menjalani pemusatan latihan di Korea Selatan. Padahal pemusatan latihan itu berjalan 15 Maret-11 Agustus 2018.

Dikabarkan, sang ayah meninggal pada Kamis, 19 April 2018, sementara di Korea Selatan Defia tidak bisa membeli tiket pulang ke Indonesia secara dadakan. Alhasil, Defia baru berhasil pulang pada Jumat tengah malam dan mengunjungi makam ayahnya pada Sabtu. Kemudian pada Minggu dia kembali ke tempat latihannya di Korea.

Kepada media, Defia mengakui latihannya di Korea merupakan yang terberat karena harus jauh dari segalanya. Ditambah dengan kehilangan sang ayah, menjadi motivasi Defia meraih sukses. Tidak heran jika emas kemenangannya juga ia dedikasikan untuk sang ayah tercinta, serta untuk membalas kepercayaan ibunya.

Biodata:

 EKO YULI IRAWAN 
Penggembala Kambing yang Jadi Raja Angkat Besi 

 

NAMA Eko Yuli Irawan tidaklah asing bagi penggemar olahraga angkat besi di Tanah Air. Ia pun dijuluki raja angkat besi Indonesia lewat konsistensinya menorehkan prestasi di ajang-ajang bergengsi olahraga tingkat dunia.

Sejak Olimpiade Beijing pada 2008, Eko Yuli "rajin" mempersembahkan medali buat Indonesia. Pada Olimpiade 2008, Eko Yuli yang turun di kelas 56 kg meraih medali perunggu.

Kemudian pada Olimpiade London 2012 Eko Yuli naik kelas. Tampil di kelas 62 kg, lifter kelahiran 24 Juli 1989 itu mencatat total angkatan 317 kg dan berhak meraih medali perunggu.

Berlanjut pada Olimpiade Rio 2016 Eko Yuli mempersembahkan medali perak di kelas 62 kg dengan total angkatan 312 kg.

Profil Eko Yuli Irawan - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Atas prestasi-prestasinya tersebut tidak heran jika Presiden Joko Widodo menonton khusus penampilannya saat berjuang mendapatkan emas kelima untuk Indonesia pada ajang Asian Games 2018.

Menurut Presiden, sudah sepantasnya Eko Yuli meraih medali emas karena sejak awal sudah percaya diri.

"Anak-anak muda daripada nongkrong, tawuran, merokok, ikut latihan olahraga saja, masa mudanya terselamatkan..."

~Eko Yuli Irawan~

Usia Eko Yuli sebagai atlet sendiri sudah tidak muda. Sehingga untuk menghadapi Asian Games 2018 dia melakukan persiapan ekstra seperti diet ketat untuk menurunkan berat badannya ke 62 kg. Dia juga mendapatkan jadwal latihan untuk meningkatkan tekniknya.

Pria kelahiran Lampung, 24 Juli 1989 ini mengatakan bahwa ia berkenalan dengan angkat besi sejak usia 12 tahun. Eko Yuli bukan berasal dari keluarga atlet yang dapat menjadi role model.

Eko Yuli adalah anak sulung seorang tukang becak bernama Saman. Ibunya, Wastiah, adalah penjual sayur. Adapun Eko Yuli sejak SD sudah sering jadi penggembala kambing.

Nasibnya berubah saat suatu hari dia melihat latihan angkat besi sebuah klub di daerahnya. Karena Eko Yuli terlihat tertarik menjajal mengangkat barbel, pelatih klub tersebut mengajaknya ikut berlatih.

Menjelang remaja, Eko Yuli bercita-cita masuk sekolah sepak bola, namun terbentur biaya. Saat itu saja, uang SPP Eko Yuli juga banyak menunggak.

Ayah ibunya juga sempat melarang dia berlatih angkat besi lantaran waktunya habis untuk berlatih. Sebaliknya, jika dia menggembala kambing dia bisa meringankan pengeluaran keluarga dari kegiatan tersebut.

Namun, semangat baja anak pertama dari tiga bersaudara ini meruntuhkan pendapat orangtuanya dan berbuah manis, salah satunya perolehan medali pada Asian Games 2018.

Biodata: 

  LENA & LENI  
Pernah Jadi
Buruh Cuci dan Pemulung

 

KISAH si kembar Lena dan Leni, dua gadis asal Indramayu, Jawa Barat ini menjadi atlet sepak takraw juga patut disimak. 

Melalui kariernya sebagai atlet, duo kembar ini mampu meneruskan pendidikan, hingga memberangkatkan haji orangtuanya.

Terakhir, mereka bersama timnas sepak takraw putri berhasil mempersembahkan medali perunggu di ajang Asian Games 2018.

Profil Lena dan Leni - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Lena dan Leni merupakan anak pasangan Surtina yang bekerja sebagai buruh tani, serta Toniah yang adalah ibu rumah tangga. Ekonomi keluarga mereka bisa dibilang susah. 

Untuk membantu keluarganya, si kembar yang lahir pada 7 Juni 1989 ini harus ikut membantu ayahnya di sawah. Pernah pula mereka menjadi buruh cuci bahkan jadi pemulung. Mereka kadang memulung sepatu untuk dapat bersepatu ke sekolah. 

"Kehidupan ini keras tapi jangan gampang menyerah dengan keadaan. Allah tidak akan mengubah jika kita tidak mengubahnya sendiri. Semua butuh proses, perjuangan dan doa. Yakinlah Allah akan memberi jalan kepada hambanya yang mau berusaha dan berdoa..."

~Lena dan Leni~

Untuk melanjutkan sekolah ke SMP, keduanya bahkan sempat ditawari jadi TKW, namun mereka menolak. Pekerjaan menjadi buruh cuci dilakoni hingga 2006. Keduanya jadi buruh cuci di kantin sekolahnya.

Niat mereka sebenarnya ingin meneruskan sekolah ke bangku SMA, apa daya tidak ada biaya. Beruntung, ada teman mereka yang memberi informasi bahwa mereka bisa bersekolah gratis di SMA bila jadi atlet sepak takraw.

Saran itu pun mereka jajal. Kebetulan, Lena dan Leni memang suka olahraga. Setelah mendapatkan beasiswa untuk sekolah gratis, mereka berdua digembleng jadi atlet sepak takraw.

Gemblengan membuahkan hasil setahun berikutnya, yaitu ketika Lena dan Leni menyabet juara di ajang Pekan Olahraga Pelajar se-Jawa Barat, juara di Pekan Olahraga Daerah, kemudian juara di Kejurnas. Mereka akhirnya ditarik masuk Pelatnas pada 2007.

Keduanya juga mencicipi bangku kuliah dan mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Wiraloda Indramayu pada 2009. Kuliah tersebut mereka tamatkan pada 2016.

Pada Asian Games 2014 di Incheon, Korsel, si kembar meraih perunggu dan bisa memberangkatkan haji orangtuanya. Menyusul kemudian pada turnamen King's Cup 2016, keduanya berhasil membawa pulang emas.

Pada SEA Games 2017 di Malaysia, mereka mengalami kejadian pahit yakni merasa dicurangi wasit. Timnas sepak takraw putri pun melakukan walkout, walau tetap menyabet medali perak.

Selepas Asian Games 2018, si kembar yang sudah bekerja di sebuah BUMD ini berencana untuk pensiun, menikah dan berwiraswasta. Hingga saat ini pengalaman mereka jadi buruh cuci dan pemulung menjadi pengalaman berharga dalam hidup mereka untuk selalu rendah hati, serta untuk terus maju dan berjuang.

Biodata:  

 

 TIARA ANDINI PRASTIKA 
Juara dalam Cedera

 

ATLET balap sepeda gunung downhill putri, Tiara Andini Prastika, menjadi penyumbang medali emas ketiga bagi Indonesia di ajang Asian Games 2018. Adapun medali emas keempat Indonesia dipersembahkan rekannya sesama pebalab sepeda Khoiful Mukhib.

Satu hal yang membedakan Tiara dengan atlet Indonesia lain yang mencetak emas di Asian Games 2018 ini adalah bahwa dia menorehkan sejarah baru untuk cabang olahraganya.

Medali emas yang dia persembahkan merupakan yang pertama didapat Indonesia dari cabang olahraga ini di sepanjang sejarah pesta olahraga multievent antarnegara Asia.

Profil Tiara Andini Prastika - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Tiara menjadi yang tercepat dengan waktu 2 menit 33,056 detik, unggul jauh atas atlet Thailand, Vipavee Deekaballes dan atlet Indonesia lainnya, Nining Porwaningsih. Dia unggul jauh dengan selisih lebih dari 9,608 detik atas dua atlet lainnya.

Perjuangan Tiara meraih emas ini tidak mudah lantaran sebenarnya dia dibalut cedera sejak Kejuaraan Asia 2017 dan saat pemusatan latihan di Malang, sebelum Asian Games. 

Baca juga: Mengenal Sosok Tiara Andini Prastika, Pencetak Rekor Cabor Downhill

Seperti dikutip dari harian Kompas, Tiara sempat mengalami cedera jari telunjuk tangan kanan saat berlaga dalam Kejuaraan Asia 2017. Meski kondisi tidak sepenuhnya maksimal, dia sanggup mengalahkan lawannya dari Thailand, Vipavee Deekaballes, dalam kejuaraan itu.

"Kerja keras, latihan terus-menerus, yakin menjadi yang tercepat..."

~Tiara Andini Prastika~

Kemudian pada Maret 2018, saat pemusatan latihan di Malang, Jawa Timur, dia kembali mengalami insiden kecelakaan hingga jari tangannya patah.

Namun, semangatnya yang kuat dan dukungan keluarga membuatnya lepas dari tekanan cedera. Sebelum bertanding, Tiara mengatakan tetap menjaga kondisi dirinya dan ia mengaku lebih mudah menguasai medan dikarenakan Indonesia menjadi tuan rumah.

"Kondisi cedera saya masih sama, cuma saya sekarang lebih menjaga. Setiap latihan, saya enggak bisa push, tergantung kondisi tangan. Untuk penguasaan trek, kita sebagai tuan rumah lebih diuntungkan karena sudah hafal treknya," ungkap Tiara, seperti dikutip dari harian Kompas, Sabtu (11/8/2018).

Dia juga mengatakan bahwa dia bisa tampil maksimal karena dukungan asuransi kesehatan yang didapatkannya sebagai atlet yang bertanding di Asian Games 2018.

Sebelumnya, dia tidak bisa all-out untuk menunjukkan kemampuannya karena takut jika terjadi insiden kecelakaan yang bisa merenggut kariernya sebagai atlet.

Dengan bonus yang dikantonginya, Tiara berencana membagi bonusnya tersebut untuk keluarganya, terutama untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Dia juga akan menggunakan bonus itu untuk menyembuhkan cederanya agar kondisinya fit saat berlaga di SEA Games 2019 di Filipina.

Biodata:

 

 

 ARIES SUSANTI RAHAYU 
Anak Mantan TKI yang Hobi Panjat Pohon

 

NAMA Aries Susanti Rahayu menjadi terkenal ketika gadis asal Grobogan, Jawa Tengah, tersebut menjadi juara dunia di lomba kategori Speed Climbing Performa pada Kejuaraan Dunia Panjat Tebing - IFSC World Cup 2018 di Chongqing, China.

Video-nya "merayap" di dinding bak spiderman viral beredar. Masyarakat pun menyambut haru sang juara dunia yang ternyata anak dari keluarga sederhana di desa. Ayahnya adalah seorang petani dan ibunya pun mantan TKI.

Menurut penuturan sang ibu, Aries Susanti Rahayu atau kerap disapa Ayu ini memang suka berolahraga. Saat kecil, jika teman-teman perempuannya suka bermain boneka, Ayu kecil malah berlarian dan memanjat pohon kelapa atau pohon alpukat.

Profil Aries Susanti Rahayu - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Karena hobinya tersebut, di bangku SD Ayu menekuni olahraga lari, bahkan memenangkan berbagai kejuaraan. Orangtuanya sangat mendukung kegiatan anaknya dalam berolahraga.

Baca juga: Kisah "Spiderman" Cantik Asal Grobogan yang Harumkan Nama Indonesia (1)

Kemudian, baru saat SMP, gurunya mengarahkannya ke panjat tebing yang kemudian ternyata berhasil mengantarkannya meraih juara nasional hingga internasional. Sang ibu berkisah, anak gadisnya itu hingga kuliah di Universitas Muhammadiyah Semarang di Jateng, masih sering berlari.

"Saat ini panjat tebing adalah jalan hidup saya. Dan cita-cita saya hanya ingin membahagiakan ayah dan ibu..."

~Aries Susanti Rahayu~

Uang kuliah Ayu juga didapat dari hasil jerih payahnya sendiri. Bahkan, dari bonus yang dia dapat, Ayu bisa memperbaiki rumah sederhana orangtuanya yang berukuran 9x11 meter.

Untuk mencapai emas di Asian Games, ada banyak halangan yang harus dihadapi Ayu, termasuk mengorbankan cita-citanya menjadi polisi. Sebab, saat ada kejuaraan, dia harus berlatih dan saat ini usianya sudah lewat untuk dapat mengikuti seleksi Polri.

Hambatan lainnya adalah dia jarang pulang ke rumah untuk berkumpul dengan keluarga lantaran harus mengikuti Pelatnas di Yogyakarta. Tak ayal, saat menerima medali emas Asian Games, Ayu sembari menangis mengatakan permohonan maaf kepada orangtuanya karena jarang pulang.

Selain meraih emas di nomor perorangan, Aries Susanti Rahayu juga meraih emas di nomor beregu. Hasil itu menempatkannya menjadi atlet penerima bonus terbesar kedua dari pemerintah setelah atlet paralayang Jafro Megawanto.

Sukses meraih dua medali emas Asian Games 2018 dari cabang panjat tebing tidak membuat Aries Susanti Rahayu puas.

Ayu menargetkan dapat menembus skuad untuk Olimpiade 2020 mendatang, di Tokyo, Jepang. Untuk itu, Ayu akan menambah porsi latihan agar dapat memberi yang terbaik untuk Indonesia.

 Biodata:

 LALU MUHAMMAD ZOHRI 
Langkah Panjang dari NTB

 

SEPERTI halnya Aries Susanti Rahayu, Lalu Muhammad Zohri juga mencuri perhatian publik setelah video kemenangannya di laga internasional viral beredar.

Zohri, pemuda 18 tahun asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini memenangi Kejuaraan Dunia Lari 100 Meter Putra U-20 atau IAAF World U20 Championships di Tampere, Finlandia, pada Juli 2018.

Baca juga: Lalu Muhammad Zohri, Debutan Pelari Pengganti yang Jadi Juara Dunia U-20

Rakyat Indonesia terutama rakyat NTB sangat bangga pada putra asli daerah yang berasal dari keluarga sangat sederhana. Sebab, baru pertama kali Indonesia menyabet juara dunia di segmen olahraga ini.

Capaian tersebut membuat anak bungsu dari empat bersaudara ini pun digadang menorehkan prestasi di ajang atletik di Asian Games 2018. Perjuangannya diganjar medali perak untuk estafet 4x100 meter di ajang Asian Games 2018.

Profil Lalu Muhammad Zohri - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Medali perak ini adalah medali Indonesia yang pertama setelah 52 tahun untuk nomor estafet 4x100 meter di Asian Games. Sebelumnya, Indonesia mendapatkan medali untuk nomor tersebut adalah pada Asian Games 1966 di Bangkok, Thailand.

Karenanya, prestasi Zohri bersama tim estafet 4x100 meter putra Indonesia yang terdiri dari Fadlin, Lalu Muhammad Zohri, Eko Rimbawan, dan Bayu Kertanegara meraih medali perak pada Asian Games 2018 merupakan sejarah tersendiri.

Perjuangan Zohri bukanlah hal yang mudah. Selain soal perjalanan berlikunya sampai bisa mewakili Indonesia, Zohri juga harus berlaga di Asian Games 2018 tak lama setelah gempa bumi meluluhlantakkan kampung halamannya, di Karang Pasor, Lombok Utara, NTB. 

"Semangat latihan, tidak pantang menyerah, dan tidak cepat mengeluh..."

~Lalu Muhammad Zohri~

Seperti dituturkan sang kakak, Baiq Fadila, Zohri menjadi atlet lari sejak masuk SMP. Baiq dan Zohri merupakan yatim piatu sehingga mereka hidup kekurangan.

Selama bersekolah, Zohri kerap tak memakai sepatu dan selalu berjalan kaki, padahal jarak sekolah dari rumahnya sekitar 3 kilometer. Hingga setahun sebelum berlaga di kejuaraan dunia di Finlandia, Zohri meminta dibelikan sepatu seharga Rp 400.000 ke sang kakak.

Saat kembali ke Indonesia dan masuk Pelatnas, Zohri sadar bahwa perjuangannya tidak akan mudah. Di Finlandia, dia mencatatkan waktu 10,18 detik sementara peraih emas di lari 100 meter pada Asian Games sebelumnya mencatatkan waktu 9,93 detik.

Di Asian Games 2018, lawan-lawan yang dihadapinya juga merupakan naturalisasi dari Afrika, sehingga akan jadi lawan berat.

Zohri mengakui dia masih butuh waktu 1-2 tahun untuk sampai ke catatan waktu di bawah 10 detik. Untuk itu, pada Asian Games 2018, PB PASI tidak memberinya target tertentu, tapi diminta fokus menatap Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang.

Terkait gempa Lombok, juga menjadi tantangan tersendiri bagi Zohri untuk berprestasi di Asian Games 2018. Bencana tersebut sempat menyurutkan semangatnya karena "kepikiran" nasib keluarga dan kampung halamannya. 

Baca juga: Doa dan Solidaritas untuk Korban Gempa Lombok

Hingga akhir laga Asian Games 2018, Zohri belum pulang ke Lombok semenjak memenangi Kejuaraan Dunia di Finlandia. Beruntung, keluarganya terus memberikan semangat agar dia terus berjuang di Asian Games 2018, walau mereka dalam keadaan mengungsi.

Biodata: