NURLAIA tertegun menatap foto buah hatinya yang kini telah tiada.
Muhammad Alfian (6), anak bungsunya, merupakan seorang joki cilik.
Dia meninggal dunia usai terjatuh dari punggung kuda pada sesi latihan untuk persiapan ajang pacuan kuda, Rabu (9/3/2022).
Sepeninggal sang buah hati, rasa sesal terus berkecamuk di hati Nurlaila. Mengapa sejak awal ia tidak melarang Alfian menjadi joki cilik bila berakhir tragis begini.
"Kalau joki (cilik) jatuh dan terluka hanya sebatas diobati begitu saja, kalau mati tidak ada yang tanggung jawab," ujar dia lirih saat ditemui di kediamannya, Dusun Godo, Desa Dadi Bou, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima.
Nurlaila bercerita, Alfian menjadi joki cilik atas kemauan pribadinya.
Ketertarikan Alfian muncul karena terbiasa menunggang kuda setiap kali sang ayah dan kakak-kakaknya melatih kuda di pantai dan arena pacuan.
Semua kakak Alfian adalah joki kuda. Dua kakak Alfian bahkan menjadi joki di usia sangat muda, yakni 9 tahun dan 10 tahun.
"Satu waktu (Alfian) dinaikkan ke kuda, kemudian dia dilatih untuk persiapan lomba. Karena melihat semua kakaknya joki, kami juga tidak melarang, itu atas kemauan sendiri, termasuk tiga kakaknya ini," kenang Nurlaila.
Sayang, belum sempat prestasi diraih sebagaimana yang dicita-citakan, Alfian sudah pergi dari dunia ini.
Matanya berkaca-kaca ketika mengenang kembali saat putranya jatuh dari kuda dan meninggal dunia saat berlatih di arena pacuan Desa Panda, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima, NTB.
Dia berharap tak ada Alfian-Alfian lainnya. Nurlaila ingin penggunaan joki cilik dalam pacuan kuda dihapus.
"Enggak usah kita ikut keinginan pemilik kuda, (biasanya) mereka yang minta joki cilik ini," tandas dia.
Tak hanya Muhammad Alfian, banyak joki cilik yang tewas selama tradisi pacuan kuda empat tahun terakhir di Kabupaten Bima.
Tahun 2019 lalu, insiden serupa juga dialami oleh M. Salsabila Putra di arena pacuan kuda Sambi Na'e Kota Bima.
Bocah tersebut tewas akibat luka serius pada bagian kepala setelah jatuh terinjak kuda yang dia tungganggi dalam ajang perebutan Piala Wali Kota Bima.
Joki kuda bisa ditemukan di beberapa wilayah di Nusa Tenggara Barat dan tak lepas dari tradisi asimilasi pacuan kuda yang dibawa oleh Belanda.
Kepala Museum Kebudayaan Samparaja Bima Dewi Ratna Muclisa Mandyara menjelaskan, masyarakat Suku Mbojo di Pulau Sumbawa, NTB secara historis memang gemar berkuda.
Namun dalam literatur Bima, naskah kuno, catatan Belanda, hingga dokumen Sultan Muhammad Salahuddin tak dijumpai perihal pacuan kuda.
Sebab pada masa kesultanan, kuda dimanfaatkan sebagai alat transportasi untuk mengangkut hasil bumi.
Kuda juga dipakai menjadi kendaraan perang Istana Bima.
Budaya berkuda masuk ke Nusantara lantaran dibawa oleh Belanda. Konon, putra bangsawan yang mahir berkuda akan populer dan menjadi incaran putri bangsawan Eropa.
Budaya itu diterima baik oleh masyarakat. Salah satu buktinya perayaan pacuan kuda di Mangge Maci, Bima di hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina tahun 1925.
Sejak saat itu pacuan kuda dengan joki dewasa menjadi sebuah tradisi baru di Bima.
"Fotonya ada di Museum Asi Mbojo dan Museum Samparaja sebagai bukti," kata Dewi Ratna.
Pacuan kuda dengan joki dewasa berkembang dan terhenti saat kekuasaan Jepang.
Budaya itu berlanjut usai Kemerdekaan RI dan wafatnya Sultan Muhammad Salahuddin.
Di masa tersebut, joki kuda paling kecil berusia remaja atau setinggi telinga orang dewasa.
Namun lambat laun, mulai 1970, joki pacuan kuda menjadi lebih muda dengan ketinggian badan di bawah bahu orang dewasa.
Diduga, joki cilik dipakai agar kuda lebih lincah sehingga melesat lebih kencang dan keluar sebagai pemenang.
Dewi menegaskan, apa pun alasannya, pacuan kuda dengan joki cilik bukan tradisi masyarakat Suku Mbojo.
"Joki dewasa dan remaja itu yang terjadi zaman dulu. Joki cilik ini justru baru dan dibuat para penggemar pacuan kuda," kata dia.
Budayawan Bima Fahrurizki menjelaskan, pacuan kuda dengan joki cilik adalah budaya asimilasi atau budaya yang keasliannya telah dirusak.
Menurutnya saat perayaan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmin, joki yang dipakai adalah usia dewasa atau yang telah terlatih.
Mereka bahkan diambil dari pasukan berkuda kesultanan Bima, yakni pasukan Ananggiri Jara Mbojo.
"Tahun 1942 oleh Jepang pacuan kuda itu dihentikan karena ada perjudian. Pada tahun 1947 diadakan lagi, jokinya masih remaja," katanya.
"Kemudian sekitar tahun 1960 dan 1970 jokinya usia anak tapi sekarang joki cilik. Jadi yang mengatakan joki cilik itu tradisi, itu bukan, itu salah dan kekeliruan kita," lanjut dia.
Fahrurizki mengungkapkan, tradisi masyarakat Suku Mbojo hanyalah berkuda.
Dalam falsafah hidup masyarakat Bima ada istilah daha mataho (pedang yang baik untuk bertani dan sebagainya), tana mataho (tanah yang baik untuk bercocok tanam).
Kemudian wei mataho (istri yang baik), dan jara mataho (kuda yang baik sebagai alat transportasi).
"Adapun yang mengatakan (pacuan kuda joki cilik) itu tradisi, ya tradisi tapi sejak kapan. Itulah makanya saya katakan budaya asimilasi, budaya yang dirusak pakem atau keasliannya," ujar Fahrurizki.
"Belanda saja mengadakan pacuan kuda tidak 'sebejat' orang sekarang, dulu Belanda masih menggunakan orang-orang dewasa jadi masih punya etika atau adab mereka," lanjut dia.
Fahrurizki menegaskan, pacuan kuda menggunakan joki cilik selain keluar dari tradisi leluhur masyarakat Bima, juga bagian dari praktik eksploitasi anak.
Dia mendorong pemerintah daerah menekan penyelenggara pacuan kuda agar mengikuti aturan yang dikeluarkan Pordasi, termasuk dalam hal penentuan kriteria joki.
"Pemerintah harus menggunakan standar Pordasi kalau memang ada di dalam naungan Pordasi, di sana ada diatur soal joki dewasa," ungkap dia.
Sementara, Dosen Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) sekaligus sutradara film dokumenter Joki Kecil Yuli Andari Merdikaningtyas bercerita bagaimana joki cilik di Pulau Sumbawa berawal.
Sebelum turnamen seperti sekarang ini, awalnya dulu pacuan kuda dilakukan kelompok-kelompok petani, yang ingin menguji kekuatan kudanya.
Mereka juga ingin juga menguji nyali anak laki-laki dengan melatihnya menunggang kuda.
Kuda pacuan sudah ada sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, tidak hanya di Pulau Sumbawa tetapi turnamen seperti itu juga ada di Kalimantan, Jawa dan Sumatera.
"Banyak foto Sultan Kaharuddin III Sumbawa yang sedang berada di arena pacuan kuda," kata Andari, demikian dia akrab disapa.
Mereka bahkan menjadwalkan kapan turnamen dilaksanakan.
Setelah masa panen biasanya para petani merayakan dengan pertandingan pacuan kuda.
Ia mengungkapkan, setiap kecamatan di Sumbawa memiliki Kerato (arena pacuan kuda).
"Karena ada duit pascapanen diselenggarakan kompetisi habis panen dengan pertandingan kuda," sebut Andari.
Dahulu, anak-anak yang berani menunggang kuda menjadi representasi keberanian anak laki-laki menantang alam.
"Riset pertama saya pada tahun 2005 saat proses pembuatan film Joki Kecil, saat itu ketika bersinggungan dengan pendidikan dan manusia modern mainset kita harus disesuaikan dengan perkembangan zaman," kata dia.
“Saat penelitian saya tahun 2005, masih ada pacuan kuda saat anak ini sekolah, joki ini akhirnya bolos sekolah sehingga muncul stigma pada diri joki ini adalah anak bandel, malas, sering tidak sekolah, dan lainnya. Mereka lebih mementingkan pacuan daripada sekolahnya,” lanjut Andari.
Andari menjelaskan, ajang pacuan kuda dengan joki cilik rentan eksploitasi.
"Saya sendiri turun ke lapangan, rentan memang," ujar dia.
Di sisi lain, menurutnya, joki cilik ini menjadi tulang punggung keluarga.
“Ada joki cilik dari Bima, bisa menabung untuk kakaknya hingga melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sampai lulus di universitas,” kata dia.
Dalam tradisi orang Sumbawa sambung Andari, anak itu luar biasa membantu orangtuanya. Nilai seorang anak ketika membantu secara ekonomi dianggap sangat mulia.
Dari perspektif masyarakat pedesaan, anak joki kecil ini berprestasi dan membantu orangtuanya. Jadi, anak-anak joki cilik bangga akan prestasi itu.
"Tidak hanya laki-laki yang berperan di arena pacuan kuda tapi juga perempuan," ujar dia.
Dukungan keluarga bisa disebut bagian dari kolektivitas dari kacamata lokalitas, semua berperan dalam lingkaran itu.
"Momen yang ditunggu oleh keluarga baik joki, pemilik kuda, perawat kuda, maupun sandro (dukun)," papar dia.
Ibu sang joki cilik atau pemilik kuda juga berperan menyiapkan pembekalan saat para joki cilik bermalam di tenda, satu Minggu lebih selama pertandingan itu.
“Ketika saya turun ke lapangan, saya ingin sadarkan orang, bahwa ada yang seperti itu di pacuan kuda. Anak joki ini meski pakai jimat ketika jatuh tetap sakit. Mereka ingin bermain juga usai menaiki kuda di pertandingan. Ada regulasi yang harus diubah agar lebih ramah anak (joki cilik),” jelas Andari.
“Kita mesti berikan pengertian kepada keluarga bahwa anak ini butuh ruang untuk belajar dan bermain, Jadi jangan hanya didorong untuk latihan saja, sementara sang joki kecil ini juga butuh ruang untuk belajar sambil bermain," kata dia.
Dalam menangani persoalan joki cilik, pemerintah daerah terkesan lembek.
Medio 2022, pada ajang Motor Cross Grand Prix (MXGP) justru muncul adegan seorang joki cilik menunggang kuda besar.
Bahkan dalam iklan tersebut turut tampil Gubernur NTB Zulkieflimansyah mengendarai motor cross beradu kecepatan dengan joki cilik.
Kemunculan iklan tersebut dikecam keras oleh aktivias peduli anak dan Koalisi Antijoki Cilik.
"Kami sangat menyayangkan munculnya joki cilik. Jujur saja ini suatu hal yang sangat memalukan. Sudah sangat jelas sesuai statmen Kementerian PPA, KPAI dan Kemenkumham NTB ini adalah pelanggaran HAM," ujar Ketua Koalisi Anti-Joki Cilik Yan Mangandar saat itu.
Pada 11 Oktober 2022, seorang joki cilik di Bima NTB jatuh dari kuda milik Gubernur NTB dalam perlombaan Wali Kota Bima Cup 2022 di arena pacuan kuda Panda, Kabupaten Bima, NTB.
Menurut Yan, hal itu sangat menyakiti perasaan banyak orang.
"Kuda yang ditunggangi anak itu adalah James Bond, kuda milik Gubernur NTB Zulkieflimansyah dan itu viral di arena pacuan kuda Panda, Kabupaten Bima," ujar dia.
Sementara itu dalam pernyataan terbarunya, Gubernur NTB Zulkieflimansyah membenarkan bahwa penggunaan joki cilik dalam pacuan kuda tengah menuai sorotan banyak pihak terutama pemerhati anak.
Namun dia mengatakan, penggunaan joki cilik tidak bisa langsung dihapuskan seketika.
"Seiring dengan besar kuda, nanti joki itu akan semakin besar, tapi enggak bisa (dihapus) drastis langsung berubah, perlahan-lahan saja," kata dia.
Zul memastikan, tidak ada joki cilik yang digunakan dalam pacuan kuda dalam ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) dengan NTB sebagai tuan rumahnya.
"Kita akan menjadi tuan rumah PON 2028. Di PON nanti tidak ada lagi joki cilik," kata Zul yang mengaku memiliki 300 ekor kuda tersebut, Selasa (18/10/2022).