Salah satu permasalahan krusial dari tema debat terakhir Pilpres 2019 yang menjadi perhatian—lantaran berpengaruh terhadap ketahanan perekonomian Indonesia—adalah defisit neraca perdagangan.
DEBAT kelima Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan diselenggarakan pada Sabtu (13/4/2019) malam. Tema yang akan diusung pada debat pemungkas tersebut adalah ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi, serta perdagangan dan industri.
Salah satu permasalahan krusial dari tema ini yang menjadi perhatian—lantaran berpengaruh terhadap ketahanan perekonomian Indonesia—adalah defisit neraca perdagangan.
Pada 2018, Indonesia mencetak rekor defisit neraca perdagangan terbesar sejak 1975, yaitu sebesar 8,57 miliar dollar AS.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, setidaknya Indonesia telah mengalami enam kali defisit neraca perdagangan sejak merdeka, yaitu pada 1945, 1975, 2012, 2013, 2014, dan 2018.
Pada 2018, Indonesia mencetak rekor defisit neraca perdagangan terbesar sejak 1975, yaitu sebesar 8,57 miliar dollar AS.
Besarnya defisit neraca perdagangan pada 2018 disebabkan dari angka impor yang mencapai 188,63 miliar dollar AS sementara angka ekspor hanya 180,06 miliar dollar AS.
Baca juga: Rekor Terburuk, Defisit Perdagangan RI 8,57 Miliar Dollar AS di 2018
Nilai ekspor Indonesia pada 2018 hanya naik tipis 6,65 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sementara impor melonjak tajam sebesar 20,15 persen.
Defisit neraca perdagangan pun masih berlanjut pada 2019, pada Januari 2019, BPS melaporkan defisit neraca perdagangan sebesar 1,16 miliar dollar AS. Secara historis, defisit tersebut adalah yang terdalam sejak 2014.
Baca juga: Januari 2019, Neraca Perdagangan RI Defisit 1,16 Miliar Dollar AS
Pada Februari 2019, kinerja perdagangan dalam negeri mencatatkan surplus 0,33 miliar dollar AS. Namun, surplus ini lebih disebabkan oleh penurunan tajam nilai impor.
Kinerja impor senilai 12,2 miliar dollar AS pada bulan ini turun 18,61 persen dibandingkan Januari 2019 dan lebih rendah 13,98 persen dibandingkan capaian pada Februari 2018.
Adapun kinerja ekspor Februari 2019 senilai 12,53 miliar dollar AS justru menurun 10,03 persen dibandingkan Januari 2019 dan lebih rendah 11,33 persen dibanding capaian pada Februari 2018.
Baca juga: Defisit Neraca Perdagangan Jeblok di 2018, Bagaimana 2019?
KETERGANTUNGAN pada komoditas mentah sebagai penyumbang ekspor terbesar Indonesia, telah lama jadi sorotan. Masalahnya, situasi pasar internasional tak lagi menguntungkan bagi Indonesia bila terus saja seperti ini.
Direktur Riset Centre of Reform on Economics (CORE) Pieter Abdullah mengatakan, dengan peran industri manufaktur dalam negeri terus menurun serta harga komoditas yang menjadi andalan Indonesia untuk ekspor juga berlanjut turun, Indonesia tidak bisa terus-menerus mengandalkan ekspor komoditas.
"Kita tidak bisa terus menerus bergantung pada ekspor komoditas khususnya tambang dan perkebunan," kata Pieter
"Kita tidak bisa terus menerus bergantung pada ekspor komoditas khususnya tambang dan perkebunan."
- Pieter Abdullah, Direktur Riset CORE Indonesia.
Merujuk data BPS, anjloknya nilai ekspor pada Januari 2019 pun disebabkan oleh harga komoditas yang terus merosot. Harga batubara, misalnya, turun dari 96,6 dollar AS per metrik ton menjadi 95,24 dollar AS per metrik ton.
Nilai ekspor pertambangan mengalami kemerosotan terbesar, disusul oleh nilai ekspor pertanian.
Jika dirinci, ekspor pertambangan mengalami penurunan 18,76 persen menjadi 1,8 miliar dollar AS dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, nilai ekspor pertambangan pada Januari 2019 merosot lebih dalam, yaitu sebesar 20,8 persen.
Adapun untuk pertanian, kinerja ekspor pada Januari 2019 turun 17,4 persen menjadi 230 juta dollar AS.
Ekspor industri pengolahan mengalami penurunan 7,71 persen dibandingkan bulan Januari 2019 menjadi 9,41 miliar dollar AS. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu turun 8,06 persen.
Ketiadaan insentif untuk pengusaha pengolah bahan baku dan barang modal menjadi barang setengah jadi adalah salah satu alasan pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri di bawah 5 persen.
Kemudian untuk ekspor migas mencapai 1,09 miliar dollar AS, turun 11,85 persen jika dibandingkan bulan lalu atau 21,75 persen jika dibandingkan dengan Februari 2018.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, masih kurangnya kontribusi barang-barang bernilai tambah terhadap ekspor dalam negeri lantaran belum ada insentif yang diberikan kepada pengusaha dalam negeri dengan orientasi ekspor bernilai tambah.
"Pemerintah melalui paket kebijakannya kemarin, itu isinya bagus cuma lebih ke arah menarik investasi asing, masuknya investasi baru. Sementara (buat) pengusaha baru, belum ada insentif yang diberikan ke arah sana," ujar Bhima.
Ketiadaan insentif untuk pengusaha pengolah bahan baku dan barang modal menjadi barang setengah jadi adalah salah satu alasan pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri di bawah 5 persen.
TIM sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berlaga di Pemilu 2019 sama-sama punya pendapat soal ketergantungan ekspor Indonesia ke komoditas mentah ini.
Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dradjad H Wibowo mengatakan, penguatan industri hilir menjadi salah satu hal yang memang harus diperhatikan.
Industri pengolahan dalam negeri yang cenderung mandek, kata dia, menjadi permasalahan utama penyebab komoditas mentah masih menjadi andalan ekspor dalam negeri.
"Orang sering menyalahkan kita terlalu mengandalkan komoditas, tapi keunggulan kita memang ada di komoditas. Kita kelapa sawit unggul, karena hasil minyak per hektare kita dibanding minyak nabati Amerika Serikat dan Eropa itu jauh lebih besar. Hutan tanaman kita unggul karena dalam lima sampai enam tahun kita bisa produksi. Cuma, yang jadi masalah, produksi berhenti di CPO dan pulp and paper," papar Drajad.
Di dalam visi-misinya, Prabowo-Sandi pun memaparkan akan membangun industri hulu dan industri manufaktur nasional berbahan baku lokal guna memberikan nilai tambah bagi komoditas dalam negeri, mendorong berkembangnya industri rakyat, serta menyokong penyerapan angkatan kerja.
Sementara itu, anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Johnny G Plate menyampaikan, salah satu upaya yang akan dilakukan untuk meningkatkan kinerja ekspor adalah dengan membuka peluang penanaman modal asing (foreign direct investment) untuk memroduksi berbagai macam produk manufaktur.
Johnny mengklaim keberadaan online single submission (OSS) bisa mempermudah dan mendorong masuknya investasi di dalam negeri.
"Agar bisa menghasilkan produk nilai tambah tinggi dan bisa diekspor dengan harga lebih kompetitif sehingga tidak lagi hanya bergantung pada produk komoditas," ujar Johnny.
KEDUA pasangan calon kerap kali menggembar-gemborkan pengendalian impor sebagai salah satu program yang akan dilakukan bila menjabat untuk lima tahun mendatang.
Namun, kedua pasangan capres dinilai belum memberikan implementasi teknis dari bentuk pengendalian impor yang akan dilakukan.
Kedua pasangan capres dinilai belum memberikan implementasi teknis dari bentuk pengendalian impor yang akan dilakukan.
"Contohnya, impor barang modal kita kan besar, jadi harus mendorong substitusi bahan baku impor, dispesifikkan ada insentif untuk yang bisa produksi bahan baku, bisa dengan PPh (pajak penghasilan) dikurangi, atau PPn (Pajak Pertambahan Nilai) dikurangi," ujar Bhima Yudhistira dari Indef.
Dengan demikian, lanjut dia, akan banyak investasi baru yang tak hanya bermain di industri hilir saja tetapi juga di pengolahan bahan baku dan barang setengah jadi.
Selain itu, berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah juga perlu dikaji ulang, apakah proporsi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sudah cukup besar sehingga bisa menekan tingginya impor barang modal dan bahan baku.
"Di proyek-proyek pemerintah nyatanya juga kecil TKDN, bisa di bawah 40 persen TKDN, ini kan penting, impelentasinya juga harus di-enforce dong khususnya ke proyek-proyek infrastruktur," ujar dia.
Johnny G Plate, anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, mengungkapkan, besarnya impor barang modal dan bahan baku yang cukup tinggi sepanjang 2018 adalah untuk kepentingan produksi dalam negeri, sebagai strategi pembangunan jangka panjang pemerintah.
"Impor produk bahan baku ya kita memang kalau masih butuh impor bahan baku dan permesinan kita harus impor," ujar Johnny.
Sementara dari kubu Prabowo-Sandi, Drajad H Wibowo menilai, upaya pemerintah yang sejak September 2018 menerapkan pengendalian impor melalui pembatasan 1.147 barang konsumsi tak memberikan dampak yang signifikan terhadap impor dalam negeri.
"Kami tidak akan melakukan cara seperti itu, karena sudah diperkirakan akan gagal. Jadi kami akan menggunakan kebijakan tarif kuota itu hanya untuk komoditas tertentu, mungkin hanya satu dua yang betul-betul terpaksa harus dilakukan," ujar Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga ini tanpa merinci lebih lanjut.
KEDUA pasangan calon dinilai masih semata terjebak dalam retorika politis pengendalian impor dan peningkatan kinerja ekspor, tanpa pernah memaparkan secara rinci apa yang akan dilakukan.
Kedua pasangan calon masih terjebak dalam retorika politis pengendalian impor dan peningkatan kinerja ekspor tanpa pernah memaparkan secara rinci apa yang akan dilakukan.
Direktur Riset Centre of Reform on Economics (CORE) Pieter Abdullah mengatakan, kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden masih begitu parsial dan bahkan terkadang kontradiktif dalam menyampaikan visi dan misi mereka mengenai perekonomian, utamanya perdagangan.
Piter mencontohkan, untuk bisa memacu ekspor, kedua pasangan calon harus memiliki strategi dan peta yang jelas mengenai arah pembangunan industri dalam negeri.
Pasalnya, selama belasan tahun Indonesia sudah mengalami penurunan industri manufaktur.
"Untuk mendorong ekspor kita harus membangun industri yg berdaya saing ditopang oleh inovasi hasil riset. Membangun industri ini harus direncanakan secara holistik mulai dari industri hulu sampai ke industri hilir. Dengan perencanaan yg holistik tersebut kita bisa mengurangi ketergantungan impor bahan baku sekaligus bisa mendorong ekspor," ujar dia.
Hal senada diungkapkan Bhima Yudhistira dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Menurut dia, kedua pasangan calon kerap mengeluarkan jargon-jargon yang bersifat politis tanpa adanya visi-misi ekonomi yang bersifat lebih empiris.
Padahal, kata Bhima, seharusnya impor bisa dikendalikan salah satunya dengan pengelolaan konversi minyak ke gas yang lebih terstruktur.
Selain itu, diversifikasi pasar ekspor juga penting untuk dilakukan. Sebab, selama ini 25 persen ekspor Indonesia masih bergantung pada pasar China dan Amerika Serikat yang notabene saat ini tengah terlibat konflik.
"Dulu Pak Jokowi waktu awal terpilih presiden ngumpulin duta besar (dubes), jadi dubes punya fungsi diplomasi ekonomi, membuka pasar-pasar baru. Nah sekarang enggak pernah terdengar lagi. Padahal, fungsi membuka pasar baru di diplomat kita yang ditempatkan di sana untuk mencari infromasi, menjadi fasilitator," ujar dia.
Apakah debat terakhir menuju Pemilu Presiden 2019 mampu menghadirkan perdebatan dan gambaran langkah konkret dari pasangan Jokowi-Maruf Amin dan Prabowo-Sandiaga terkait tantangan neraca perdagangan ini? Akankah Pilpres 2019 menghadirkan harapan untuk memperbaiki neraca perdagangan Indonesia? Semoga...