AWAL Februari 2022, seorang sumber anonim mengungkap praktik jual beli tempat di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Cipinang, Jakarta Timur.
Berkomunikasi dengan jurnalis menggunakan WhatsApp, ia mengaku berinisial WC, seorang narapidana yang mendekam di Lapas tersebut.
Entah apa tujuannya, WC membeberkan biaya yang mesti dikeluarkan oleh narapidana untuk mendapatkan fasilitas.
Bak sebuah hotel, semakin mahal kocek yang dirogoh, semakin bagus fasilitas yang didapat. Begitu pula sebaliknya.
“Istilahnya, kita beli tempat. Kalau tidur di lorong dekat pot dengan alas kardus, Rp 30.000 per satu minggu,” ujar WC.
Sejumlah foto turut dikirimkan. Foto-foto itu menggambarkan narapidana yang tidur beralas kardus di lorong sel.
Sementara itu, untuk tempat tidur di sel tersendiri, harganya semakin mahal. Rentang nominalnya dari Rp 5 hingga Rp 25 juta per bulan, tergantung pada kelengkapan fasilitas di dalamnya.
“Biasanya mereka yang dapat kamar itu bandar narkoba besar,” tutur WC.
Lantas, kepada siapa uang itu diserahkan?
“Nanti duitnya diserahkan ke sipir,” jawab WC.
Saat ditanya kembali apakah ada oknum petinggi di Lapas yang turut menikmati uang haram tersebut, WC menjawabnya dengan emoticon senyum.
Ia melanjutkan, jual-beli tempat di dalam Lapas tak terelakkan bagi narapidana. Mereka yang tak sanggup mengeluarkan biaya rutin, terpaksa harus tidur di dalam sel yang sudah penuh dengan manusia lain.
Ada yang sampai tidur secara bergantian karena tak ada tempat. Tak sedikit pula yang tidur dalam posisi duduk dengan kaki terlipat.
“Jadi, mau enggak mau, kami harus bayar buat tidur. Minta duit ke keluarga untuk dikirim ke sini. Kalau enggak punya duit, ya susah,” ujar WC.
Atas sejumlah informasi yang telanjur menjadi obyek pemberitaan media itu, Kepala Lapas Kelas I Cipinang, Tonny Nainggolan melakukan penelusuran.
“Kami tidak menemukan obyek dan orang di dalam foto tersebut," ujar Tonny saat ditemui di area Lapas Kelas I Cipinang, 4 Februari 2022, sehari usai berita itu muncul.
Pihaknya telah mengklarifikasi seluruh narapidana di Lapas Kelas I Cipinang. Narapidana yang tampak di dalam foto-foto tidak ditemukan.
Sekalipun foto itu benar, Tonny berdalih momen tersebut diambil gambarnya bukan dalam waktu dekat, melainkan beberapa tahun silam.
"Narapidana di masing-masing tipe 3, tipe 5, maupun tipe 7 dari lantai 1 sampai 3, juga tidak ada yang mengenal orang tersebut. Artinya kami berkesimpulan foto tersebut tidak (berasal dari) Lapas Kelas I Cipinang. Dan orang yang dimaksud dalam foto tersebut, kalaupun ada, mungkin bukan sekarang. Mungkin zaman dulu," ujar Tonny.
Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) DKI Jakarta, Ibnu Chuldun, menambahkan, seluruh narapidana di Kelas I Cipinang disediakan matras untuk tidur, bukan kardus.
Terlebih, ia menyebutkan, narapidana tidak perlu membayar sepeser pun untuk tempat tidur.
”Tidak ada pungutan biaya apa pun untuk alas tidur karena petugas kami telah menyediakan matras,“ ujar Ibnu.
Setelah klarifikasi dari dua pejabat terkait, informasi tentang praktik jual beli tempat di dalam Lapas tak berlanjut. Menguap begitu saja.
Sekitar sepekan kemudian, tepatnya 8 Februari 2022, informasi serupa kembali mencuat ke publik.
Kali ini, informasi bukan datang dari sumber anonim. Melainkan dari narapidana Lapas Kelas I Tangerang, Banten, bernama Ryan Santoso.
Diketahui, kebakaran hebat melanda Lapas tempat ia mendekam, Rabu, 8 September 2021. Sebanyak 48 narapidana tewas terpanggang dalam peristiwa nahas itu.
Musibah itu diseret ke ranah hukum. Pengadilan menggelar sidang untuk mencari pihak yang bertanggung jawab.
Ryan dihadirkan dalam persidangan kasus kebakaran Lapas tersebut sebagai saksi. Sidang digelar secara virtual.
Informasi tentang praktik jual beli tempat di dalam Lapas, tak sengaja terungkap. Semuanya berawal dari pertanyaan majelis hakim kepada Ryan soal sudah berapa lama Ryan mendekam di Lapas tersebut.
Ryan menjawab, tiga bulan. Ia juga menyampaikan, tidur di dalam aula Blok C2.
Majelis hakim yang mengetahui Ryan tidak tidur di dalam sel, melanjutkan pertanyaan. Mengapa Ryan tidur di aula, tidak di dalam sel?
Ryan menjawab, “itu enggak bisa, Pak. (Di dalam sel) sudah ada penghuninya juga”.
Jawaban Ryan pun memancing pertanyaan hakim tentang mekanisme narapidana bisa tidur di dalam sel tersendiri atau di aula.
"(Narapidana) yang (tidur) di kamar prosesnya gimana?" tanya hakim.
Ryan menjawab, narapidana yang tidur di kamar Blok C2 membayar seharga Rp 1 hingga Rp 2 juta.
“(Bayaran itu) seterusnya sampai pulang. Sekali bayar saja," tutur Ryan.
Sementara, dirinya yang tidur di dalam aula bukan tanpa merogoh kocek. Ia mengaku, harus membayar Rp 5.000 per pekan.
Uang itu disebutnya sebagai uang kebersihan. Meski, yang membersihkan aula itu tetaplah narapidana sendiri.
Ryan mengaku tak tahu perbedaan fasilitas yang didapat di kamar dan aula Blok C2. Sebab, pintu kamar di Blok C2 ditutup rapat menggunakan triplek.
Bertepatan dengan momen tanya jawab itu, jaringan internet antara PN Tangerang dan Lapas Kelas I Tangerang tiba-tiba terputus.
Jaringan kembali normal beberapa waktu kemudian. Tetapi, pihak yang mengajukan pertanyaan kepada Ryan bukan lagi majelis hakim, melainkan jaksa penuntut umum (JPU).
Di luar persidangan, Kepala Lapas I Tangerang Asep Sunandar mengatakan pungutan tempat tidur sebagaimana yang diungkap Ryan bukan dilakukan pihak sipir. Ia justru menuding, pungutan itu dilakukan oleh sesama narapidana.
“Kalau pun umpamanya mungkin ada oknum-oknum di antara mereka (narapidana) ingin menambah menu makan, jajan, segala macam, itu kami tidak tahu. Ada iuran-iuran mungkin di antara mereka, sering kali kami temukan di beberapa lapas seperti itu," ujar Asep, 9 Februari 2022.
Meski demikian, Asep tidak sepenuhnya membantah ada praktik jual beli tempat di dalam Lapas.
Ia mengatakan, kemungkinan praktik tersebut ada sebelum dirinya menjadi Kepala Lapas di sana.
"Mungkin dulu, ya, mungkin (ada praktik jual beli kamar). Karena kan bicara itu (praktik jual beli kamar) dalam persidangan, itu kan terkait dengan kejadian sebelumnya (kebakaran Lapas Kelas I Tangerang),” kata Asep.
Informasi tentang jual beli lapak di dalam jeruji besi di atas membawa tim JEO Kompas.com menemui mantan narapidana salah satu rumah tahanan di DKI Jakarta. Sebut saja Z.
Ia menolak menyebut identitas asli, inisial asli, atau di mana rumah tahanan yang dimaksud. Sebab, mantan narapidana kasus narkotika itu hingga saat ini masih terlibat dalam sindikat peredaran barang haram.
Z mengaku, pernah dipenjara selama dua tahun tiga bulan pada 2015. Ia ditempatkan di sebuah rumah tahanan di Ibu Kota.
Sebagai kaki tangan jaringan narkotika skala nasional, Z mendapat perlakuan khusus ketika tiba.
"Saya langsung dijemput, dan (diantar) sampai di kamar," ucap Z.
Z menempati sebuah kamar berukuran 5x5 meter dengan dua lantai. Ada dua tahanan lain yang turut mendekam di dalamnya.
Selain tempat tidur dan toilet, kamar tersebut dilengkapi kulkas, pendingin ruangan portabel, televisi, dan Playstation.
Atas seluruh fasilitas itu, sang bos yang merupakan gembong narkotika kelas kakap dan juga tengah ditahan di Lapas lain mesti membayar Rp 5 juta per tiga bulan kepada sipir.
Z melanjutkan, tahanan lain juga harus merogoh kocek hanya untuk bisa tidur dengan ruang leluasa.
Selain jual beli lapak, Z mengungkapkan, rumah tahanan tempat ia mendekam merupakan 'surga' bagi orang-orang seperti dirinya.
Ia dan rekan sesama tahanan leluasa mengonsumsi narkotika, minuman keras, dan berjudi.
"Ada kasirnya. Kita orang beli, pakai (mengonsumsi) di dalam dengan pintu ketutup, dengan penjaga di depan," tutur Z.
Beberapa kali sipir berbeda datang ke dalam sel untuk minta jatah. Mereka masing-masing mendapatkan uang mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 200.000.
Dengan begitu, semua praktik peredaran narkotika hingga perjudian dalam rutan, aman.
“Kami mau dugem ya dugem. Kami mau konsumsi, ya kami konsumsi di tempat,” ucap Z yang mengaku masih mengendalikan jaringan narkotika saat masa penahanan.
Bahkan, Z mengeklaim, situasi ini atas sepengetahuan kepala rumah tahanan.
Sipir memainkan peranan penting dari praktik kotor ini.
Tetapi, sipir salah satu Lapas yang dihubungi tim JEO Kompas.com mengungkap penyebab, mengapa mereka sampai rela menggadaikan integritas, menjadi antek penjahat.
Muaranya adalah persoalan kesejahteraan.
Ia memaparkan, kebanyakan sipir berstatus golongan II. Dalam rekrutmen CPNS, golongan II adalah PNS yang berasal dari kualifikasi pendidikan SMA atau Diploma 3.
"Rata-rata gajinya Rp 5 jutaan. Gaji pokoknya Rp 2 jutaan, sisanya tunjangan. Apalagi banyak yang sudah berkeluarga," ujar sipir yang enggan menyebutkan identitasnya.
Bahkan, ketika sang sipir sudah melaksanakan penyetaraan ijazah sehingga golongannya naik, gaji per bulan yang diterima dinilai masih pas-pasan.
"Golongan IIIa itu sekitar Rp 7 juta. Kecuali dia ada jabatan tertentu ya. Kalau ada jabatan, ya ada tunjangan jabatan," lanjut dia.
Dalam kondisi demikian, menjadi sipir yang berintegritas di tengah godaan mendapat uang dengan mudah menjadi sulit diimplementasikan.
Terangnya praktik kotor di dalam Lapas/Rutan sebenarnya sudah menjadi rahasia umum.
Secara terbuka, lima lembaga negara pernah merilis laporan tentang sejumlah pelanggaran di dalam Lapas/Rutan pada 2020.
Kelimanya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Perempuan, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman RI, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Jual beli lapak adalah salah satu pelanggaran yang ditemukan, meski tak ditulis secara rinci.
"Minimnya penghasilan menjadi alasan para petugas di Lapas/Rutan menerima suap dari narapidana untuk mendapatkan fasilitas. Rendahnya gaji tak boleh menjadi alasan pembenar untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum dan etika".
"Untuk itu, Kementerian Hukum dan HAM, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan harus segera mencari solusi untuk meningkatkan integritas tata kelola pemasyarakatan, salah satunya dengan meningkatkan gaji dan fasilitas petugas Lapas/Rutan di seluruh Indonesia," demikian tulis laporan tersebut.
Temuan itu didapatkan setelah tim melakukan investigasi ke tujuh Lapas/Rutan. Di antaranya yakni Lapas Khusus Kelas 2A Gunung Sindur dan Lapas Kelas 1 Depok.
Salah seorang anggota tim investigasi ini menyebut, praktik jual beli lapak sebenarnya nyaris terjadi di seluruh Lapas/Rutan di Indonesia. Khususnya di tempat koruptor mendekam.
Selain jual beli lapak, tim juga menemukan sejumlah persoalan lain di dalam Lapas/Rutan. Mulai dari jaminan kesehatan bagi warga binaan yang tidak merata, hingga praktik intimidasi.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengungkapkan, praktik jual beli lapak di dalam Lapas/Rutan merupakan dampak dari kelebihan kapasitas penghuni.
Merujuk laporan World Prison Brief, Indonesia menempati urutan 21 negara dengan jumlah narapidana/tahanan terpadat bila dibandingkan dengan kapasitas Lapas/Rutan-nya di dunia. Urutan pertama hingga ketiga yakni Kongo, Haiti dan Guetamala.
Kondisi penjara yang penuh dan sesak membuat hak dasar narapidana/tahanan, tempat tidur salah satunya, menjadi diperdagangkan.
Overcrowded juga disebut menjadi sumber masalah lain dalam Lapas/Rutan.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napiputulu mengungkapkan, sebenarnya pemerintah punya banyak momentum untuk membenahi persoalan penjara. Salah satunya ketika kebakaran Lapas Kelas I Tangerang yang mengakibatkan 48 warga binaan meninggal dunia.
“Langkah-langkah penyelesaian overcrowding dengan momentum-momentum tersebut telah direkomendasikan, baik langkah langsung yang dapat dilakukan oleh eksekutif jajaran Kementerian Hukum dan HAM, hingga langkah jangka menengah melibatkan DPR RI,” ujar Erasmus.
Jika pemerintah benar-benar serius mengatasi permasalahan overcrowding rutan dan lapas, ada banyak hal yang bisa dilakukan segera.
“Undang-Undang Narkotika yang merupakan masalah utama selama ini, jelas membutuhkan perhatian lebih,” kata dia.
Indonesia sendiri telah merilis program asimilasi dan integrasi bagi sekitar 35.000 warga binaan pada saat awal pandemi Covid-19 melanda.
Meski demikian, program itu belum menjadi solusi kelebihan kapasitas penjara lantaran arus penghukuman orang, terutama kasus narkotika, sangat signifikan.
ICRJ memiliki lima saran untuk mengurangi beban rutan/lapas di Indonesia.
Pertama, amnesti/grasi massal bagi pengguna narkotika untuk kepentingan sendiri yang terjerat UU Narkotika berbasis penilaian Kesehatan. Sebab, jumlah pengguna narkotika (per data 6 Februari 2022) mencapai 103.081 orang.
Kedua, kebijakan presiden menyerukan polisi dan jaksa agar tidak melakukan penahanan rutan untuk pengguna narkotika/tindak pidana ekspresi, misalnya penghinaan.
“Alternatif penahanan non-rutan dapat digunakan seperti tahanan rumah dan kota. Pemerintah juga dapat mendorong penggunaan mekanisme jaminan yang sudah diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana),” ujar Erasmus.
Ketiga, untuk kasus penggunaan narkotika yang tidak membutuhkan rehabilitasi medis di lembaga, presiden dapat menyerukan pada jaksa untuk menuntut dengan rehabilitasi rawat jalan, mendayagunakan peran puskesmas tanpa perlu memindahkan dari Rutan/Lapas ke pusat rehabilitasi.
Keempat, masih untuk kasus penggunaan narkotika, presiden dapat menyerukan jaksa untuk menuntut menggunakan Pasal 14a dan c KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tentang pidana bersyarat dengan masa percobaan untuk pengguna narkotika, atau syarat rehabilitasi jalan ataupun inap berdasarkan kebutuhan.
Kelima, untuk tindak pidana paling banyak lainnya semisal pencurian dan penganiyaan (tidak untuk kekerasan seksual), dilakukan pendekatan penanganan kasus dengan pengarusutamaan peran korban (restorative justice), dengan mengutamakan penggunaan ganti kerugian pada korban yang selaras dengan pertanggungjawaban pelaku.
“Bisa dengan memperbanyak penggunaan Pasal 14c KUHP tentang pidana bersyarat berupa penggantian kerugian dengan masa percobaan,” kata Erasmus.
Sementara di level legislatif, lanjut Erasmus, pemerintah bersama dengan DPR perlu merevisi UU Narkotika dengan menjamin dekriminalisasi bagi pengguna narkotika.
“Pendekatan kesehatan berupa rehabilitasi dapat diberikan kepada yang membutuhkan intervensi atas dasar asesmen kesehatan. Dalam draf RUU Narkotika rehabilitasi justru menjadi kewenangan polisi dan BNN, harusnya intervensi dilakukan berbasis Kesehatan. Berikan kewenangan assesmen dekriminalisasi pada pihak Kesehatan. Indonesia memiliki puskesmas sebagai sistem yang sudah mapan,” kata Erasmus.
Kedua, RKUHP harus mengarusutamakan pidana non-pemenjaraan. Per data 6 Februari 2022, masih ada 66 persen ancaman pidana RKUHP diancam dengan pidana penjara
“Masih ada muatan overkriminalisasi. Tindak pidana tanpa korban (victimless crime), pidana yang menyerang ruang privat dan ekspresi warga negara tidak seharusnya diatur dengan pendekatan penjara,” ujar Erasmus.
Ketiga, merevisi KUHAP dengan menjamin mekanisme uji dan kontrol serta pembatasan kewenangan penahanan oleh aparat penegak hukum. Penahanan harus diputuskan oleh hakim bukan aparat penegak hukum.
Berikutnya, perbanyak alternatif penahanan non-lembaga (seperti tahanan kota dan rumah) dan mengefektifkan penangguhan penahanan.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah mengungkapkan kekhawatirannya apabila persoalan kelebihan kapasitas penjara tidak kunjung diselesaikan.
Ia khawatir, situasi itu akan menghilangkan fungsi lembaga pemasyarakatan sebagai tempat melaksanakan pembinaan (berdasar UU Nomor 12 Tahun 1995).
“Mereka kalau kebanyakan sudah masuk di situ kerena perilakunya yang jahat, keluar dari situ tetap aja jahat. Nah ini artinya saat mereka ada di lapas itu bukan memperbaiki perilakunya, tetapi kadang-kadang lebih buruk lagi perilakunya,” ujar Trubus.