Kampung Bebas Asap Rokok (KBAR) bermekaran di Solo, Jawa Tengah. Cakruk jadi salah satu sarana. KBAR turut jadi jalan untuk mewujudkan kota ramah anak.
SUDAH 13 tahun Wati Supendi (41 tahun) membuka usaha warung kelontong di depan rumahnya, di RT 004/RW 029 Kelurahan Mojosongo, Jebres, Solo, Jawa Tengah. Sejak 2010 itu pula, ibu dua anak ini menjajakan rokok dari berbagai merek.
Namun, pada Juli 2019, Wati memutuskan “putar arah” tak lagi menjual produk tembakau tersebut. Ia rela melepaskan keuntungan yang bisa diperoleh dari penjualan rokok,.
Ini terjadi setelah RW 029 tempat dia tinggal mendeklarasikan diri menjadi Kampung Bebas Asap Rokok (KBAR).
Wati menuturkan, berjualan rokok memang menguntungkan. Sebab, rokok termasuk barang dagangan yang paling laku di warung kelontongnya.
Dulu, ia mengaku rata-rata bisa dengan mudah menjual 10-15 bungkus rokok per hari. Tak hanya menjual rokok per bungkus, Wati juga menjajakan setiap batang rokok secara ketengan atau eceran.
Dengan menjual ketengan, orang hanya butuh uang sedikit untuk membeli rokok, termasuk anak-anak. Sebagai penjual, ia pun dapat mengais untung lebih besar.
Gambarannya, jika rokok dibeli langsung sebungkus, Wati akan memperoleh laba sekitar Rp 1.000. Lain cerita ketika rokok dibeli eceran, untungnya bisa mencapai Rp 3.000-Rp 7.000 per bungkus.
Namun, ia pada akhirnya lebih memilih untuk mengesampingkan hal tersebut demi ikut berperan dalam mendukung kesehatan masyarakat.
Setelah terpilih menjadi pengurus KBAR RW 029 pada 2018 dan terlibat dalam berbagai program di masyarakat, ia jadi semakin yakin tidak cukup hanya membatasi penjualan rokok kepada anak-anak.
“Hati saya memberontak. Saya merasa ada yang kurang. Saya tahu bahaya rokok, tetapi saya malah masih menjualnya," kata Wati saat ditemui Kompas.com di warungnya, Jumat (6/10/2023).
Pada akhirnya, lanjut Wati, dia mantap memutuskan berhenti menjual rokok pada 2019. Wati meyakini paparan asap rokok dapat mengakibatkan tingginya angka kesakitan terutama pada penyakit katastropik, seperti jantung koroner, paru-paru, ginjal, kanker, dan hipertensi.
Ia paham penyakit itu bukan hanya mengancam para perokok aktif, melainkan juga perokok pasif, yang biasanya adalah perempuan dan anak-anak.
Sementara, kebanyakan pembeli rokok di warungnya ketika itu adalah tetangga yang sudah ia anggap sebagai saudara terdekat. Ia tak mau merugikan mereka lagi baik dari segi kesehatan maupun ekonomi.
“Karena yang saya lihat, rokok ini punya efek kecanduan berbahaya. Pikiran saya saat itu dihantui kekhawatiran ada orangtua yang lebih memilih membeli rokok ketimbang makanan bergizi untuk anak-anak,” ucapnya.
Menurut Wati, lebih kurang setahun setelah KBAR ditetapkan, semua dari 19 pemilik warung atau toko di RW 029 mulai merealisasikan komitmen tak lagi melayani penjualan rokok kepada anak-anak di bawah 18 tahun.
KBAR tak pernah memaksa para pedagang untuk berhenti berjualan rokok.
Sebagian besar pedagang bahkan pada gilirannya menolak kerja sama perpanjangan pemasangan iklan rokok yang bernilai ratusan ribu rupiah, dan memilih menggantinya dengan spanduk dari tim KBAR bertuliskan “Toko Ini TIDAK MENJUAL Rokok pada ANAK”.
Tim KBAR tak pernah memaksa para pedagang untuk berhenti berjualan rokok. Keputusan tersebut diserahkan kepada masing-masing penjual.
Kewenangan pengurus hanya sampai pada tahap mendorong pemilik warung berkomitmen untuk tidak mengiklankan rokok dan tidak menjual rokok kepada anak dengan tujuan menekan jumlah perokok pemula.
Namun, Wati memilih “lebih”. Ia menjadi satu-satunya pedagang yang berhenti berjualan rokok baik untuk anak-anak di bawah umur maupun masyarakat umum.
Wati mengaku tak keberatan dengan keputusan para pedagang lain. Sebab, ia paham bahwa berhenti menjual rokok bukanlah perkara yang mudah.
Nyatanya, ia sendiri butuh waktu setahun untuk sampai ke tahap itu, terhitung sejak KBAR lahir dan ia jadi pengurus.
Wati berpendapat, keputusan untuk berhenti menjual rokok memang sebaiknya datang dari dalam hati atau kemauan si pedagang sendiri biar berkelanjutan.
Meski demikian, setidaknya ia berbagi pengalaman bahwa ternyata berhenti berjualan rokok tidak semenakutkan yang dibayangkan sebelumnya.
Di awal, ia memang mengalami kerugian lumayan, bisa sampai Rp 150.000-Rp 300.000 per hari. Namun, Wati bersaksi, tidak butuh waktu lama untuk omzetnya dapat kembali naik, yakni hanya dalam kurun 1-2 bulan.
Setelah rokok tak lagi dijual di warungnya, ia melihat banyak barang dagangan lain yang jadi tambah laris, mulai dari beras, gula, minyak, sabun, hingga bumbu dapur. Dia pun mencermati, ada lebih banyak tetangga yang menjadi pelanggan di warungnya.
Wati meyakini hal itu bisa terjadi karena mereka kian menaruh simpati kepadanya yang telah memutuskan berhenti jualan rokok.
Wati mencontohkan, sekarang ada beberapa tetangga yang rela menunggunya pulang untuk membeli sesuatu di warung. Padahal, mereka bisa dengan mudah pergi ke toko lain yang menjual barang serupa.
“Saya kan terkadang harus pergi ke puskesmas atau melaksanakan kegiatan di tempat lain. Kalau warung tutup, mereka itu chat, beri kabar mau beli sesuatu nanti. Sebelumnya, tidak pernah ada yang begini,” ucap perempuan yang aktif juga di kegiatan Posyandu RW 029 itu.
Kini, rak kaca di warung Wati bersih dari rokok. Berbagai jenis alat tulis kantor (ATK) dan perlengkapan P3K sudah menggantikan keberadaannya.
SETELAH berhenti berjualan rokok, Wati merasa jadi lebih leluasa untuk bersuara. Ia ingin mendorong semua warga RW 029 mendukung program Kampung Bebas Asap Rokok (KBAR).
Wati pun bercerita jika suaminya adalah perokok aktif. Sang suami bahkan masih merokok sampai sekarang meski Wati telah ditunjuk menjadi kader KBAR dan memilih berhenti berjualan rokok.
Walau begitu, Wati memastikan, suaminya berkomitmen tidak lagi merokok seenaknya.
Menurut Wati, KBAR tidak bertujuan melarang setiap warga merokok atau membuat orang berhenti merokok, tetapi lebih mengarahkan mereka agar tidak merokok di sembarang tempat.
Meski demikian, Wati mengaku tetap saja mencoba berdiskusi dengan sang suami untuk memintanya berhenti merokok. Namun, efek kecanduan rokok nyata adanya. Suaminya tak bisa langsung berhenti merokok.
Ia pun bersyukur dengan adanya KBAR, intensitas merokok suaminya jadi terus berkurang. Sebab, sang suami jadi kian sering terpapar informasi dan program lain terkait upaya pengendalian konsumsi rokok di kampung.
“Semisal, sesuai kesepakatan warga kan kalau mau merokok semuanya harus pergi di cakruk atau saung rokok yang jauh dari permukiman. Terkadang karena dirasa jauh atau tidak ada teman, suami saya jadi enggan ke sana. Akhirnya ya batal merokok,” ujarnya girang.
KBAR bisa dimaknai sebagai jalan tengah bagi upaya mengatasi keterpaparan asap rokok.
Diwawancarai terpisah, Koordinator penyuluh KBAR RW 029, Sri Wahyuni (54), memberi pandangan bahwa KBAR bisa dimaknai sebagai jalan tengah bagi upaya mengatasi keterpaparan asap rokok. Caranya, mengisolasi para perokok agar tidak merokok di sembarang tempat.
Dengan KBAR, diharapkan keterpaparan asap dari perokok aktif bisa dikendalikan.
Selain itu, KBAR punya semangat mencegah munculnya perokok pemula terutama dari kalangan anak-anak. Para generasi penerus ini diupayakan jangan sampai coba-coba merokok karena melihat kebiasaan orangtua.
Yuni, begitu Sri Wahyuni akrab disapa, merupakan salah satu inisiator penetapan RW 029 menjadi KBAR. Ketika muncul gagasan pembentukan KBAR dari Puskesmas Sibela, perempuan yang telah mendedikasikan diri menjadi kader kesehatan sejak 1990 itu langsung menyambutnya.
Dia bercerita, ketika wacana pembentukan KBAR ini mulai digulirkan ke masyarakat, tak semua warga langsung menerima.
Namun, kata Yuni, kebanyakan warga yang bersikap kontra itu hanya salah sangka. Mereka keburu khawatir akan muncul aturan baru larangan merokok di RW 029. Padahal, sedari awal KBAR tidak ingin dibuat seperti itu.
“Kalau bicara tantangan saat merintis KBAR ini, ada banyak. Tokoh masyarakat di sini kan rata-rata merokok. Jadi sempat terjadi pergolakan," tutur perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai Kepala TK Berita Hidup Mojosongo ini.
Ibarat kata, lanjut Yuni, beradu argumen soal KBAR pernah jadi makanan sehari-hari yang harus dihadapi para pegiat KBAR di pertemuan warga. Setelah terus dilaksanakan sosialisasi, Yuni bersyukur akhirnya warga bisa bersepakat KBAR dapat ditetapkan pada 2018.
Tim inisiator bersama para kader kesehatan RW 029 dan petugas kesehatan UPT Puskesmas Sibela saat itu berupaya memberikan pemahaman tentang bahaya rokok dan mendorong setiap warga untuk bisa saling menghormati.
Beradu argumen soal KBAR pernah jadi makanan sehari-hari yang harus dihadapi para pegiat KBAR di pertemuan warga.
Dalam hal ini, warga yang merokok diarahkan jangan sampai mengganggu atau merugikan yang tidak merokok. Sebaliknya, warga yang tidak merokok dapat memberikan kesempatan kepada mereka yang merokok selama dilakukan di tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Yuni menjelaskan, sosialisasi dan penggalangan komitmen kala itu dilakukan dengan beragam cara, termasuk membuat forum khusus pengenalan KBAR, hadir dalam pertemuan atau kegiatan rutin warga, dan bahkan door to door.
“Dulu saya ya ditentang, ditertawakan, dan bahkan dimusuhi. Kepada warga ini, cara meyakinkannya (akan pentingnya KBAR) ya berbeda-beda. Yang jelas, kita harus kreatif dan tidak gampang menyerah,” ujarnya.
Setelah melalui tahap deklarasi, warga RW 029 Mojosongo menapakkan kaki ke tahap implementasi dan pengembangan KBAR.
Yuni menuturkan, sudah ada banyak program yang dibikin oleh warga RW 029 dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan melalui KBAR. Program-program itu dibuat berdasarkan kesepakatan bersama.
Pertama, warga bergotong royong menyiapkan saung rokok dan cakruk untuk mendukung rumah sehat tanpa rokok. Tempat khusus merokok ini disyaratkan berada jauh dari permukiman dan terbuka tanpa dinding.
“Sekarang kami punya delapan saung rokok. Jadi warga tidak dilarang merokok, tapi diarahkan untuk melakukannya tidak di dalam atau dekat rumah,” jelas Yuni.
Ia menyampaikan, pengurus KBAR RW 029 juga telah bersama-sama dengan warga mengembangkan media informasi yang dimaksudkan untuk mengurangi jumlah perokok dan menekan timbulnya perokok pemula. Bentuknya beragam, mulai dari stiker, spanduk, hingga mural.
Berdasarkan pantauan, beberapa stiker yang telah tertempel di rumah-rumah warga RW 029 antara lain berisi tulisan, “Rumah Ini Bebas Asap Rokok”, “Kami Cinta Udara Bersih dan Segar”, dan “Dengan Segala Hormat, Mohon untuk Tidak Merokok di Lingkungan Rumah Kami”.
Sejumlah spanduk yang terpasang di tempat-tempat terbuka juga menampilkan pesan senada. Misalnya, ada spanduk bertuliskan penegasan “Selamat Datang di Kampung Bebas Asap Rokok” di gapura masuk RW 029.
Di spanduk tersebut, terdapat pula seruan komitmen “Aku Bangga Rumahku Tanpa Asap Rokok” dan pesan kesehatan “Jadikan rumah kita bebas asap rokok agar anggota keluarga kita terhindar dari racun rokok”.
Berbagai saung rokok dan cakruk yang tersebar di empat RT di RW 029 juga terlihat tidak luput dari pemasangan spanduk edukasi. Spanduk di sana berwujud sama, berisi tiga poin “Peraturan Saung Rokok” yang diharapkan bisa diperhatikan warga saat hendak merokok.
Penyediaan spanduk di saung rokok dan cakruk itu merupakan hasil kerja sama antara pengurus KBAR RW 029 dan Puskesmas Sibela.
“Kami jelas tidak bisa berjalan sendiri dalam mewujudkan KBAR ini. Kami harus membangun jejaring yang kuat,” jelas Yuni.
Sebelumnya, tim dan kader KBAR RW 029 juga pernah dibantu tim dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo dalam penyediaan ruang terbuka hijau dan saung rokok. Ada beberapa jenis tanaman disediakan, seperti lidah mertua yang konon bisa menyerap polutan asap rokok.
Yuni menyampaikan, tim dan kader KBAR RW 029 pun sangat terbantu dengan kehadiran LSM Yayasan Kepedulian untuk Anak (Kakak) mulai 2019.
Menurut dia, Yayasan Kakak telah memberikan banyak dukungan, mulai dari penguatan isu pengendalian rokok kepada kader dan warga, pengembangan media informasi, hingga pendampingan pendataan.
Semua lapisan masyarakat dilibatkan untuk mendukung keberlangsungan KBAR.
Yuni memastikan, kegiatan sosialisasi tentang bahaya merokok masih terus diadakan di RW 029 meski kampung ini telah ditetapkan sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Alasannya, tak lain agar para warga menjadi lebih sadar akan risiko merokok.
Dengan ini, peluang mereka untuk tidak mencoba atau menghindari rokok diharapkan menjadi lebih besar pula, terutama di kalangan remaja. Semua lapisan masyarakat dilibatkan untuk mendukung keberlangsungan KBAR, mulai dari kelompok ibu-ibu, bapak-bapak, pemuda, hingga anak-anak.
"Kami berharap setiap warga dapat menjalankan fungsi monitoring dan penegakan aturan KBAR,” jelas dia.
Di samping mengadakan sosialsiasi dan mengembangkan media informasi, tim dan kader KBAR juga punya agenda rutin pendataan perokok. Yuni pun menunjukkan dokumen berisi nama para kepala keluarga di RW 029 yang memiliki anggota keluarga perokok.
Dalam data tabel itu, tercantum informasi mengenai jumlah anggota keluarga yang masih merokok berdasarkan klasifikasi usia di bawah 18 tahun atau di atasnya. Selain itu, ada informasi warga yang masih dan tidak merokok di dalam rumah, serta rata-rata jumlah rokok yang dikonsumsi per hari.
Ia menilai pendataan ini penting dilakukan untuk mengetahui capaian atau dampak KBAR. Yuni gembira, dari hasil pendataan yang pernah dilakukan, terjadi penurunan baik dari jumlah perokok maupun jumlah konsumsi rokok di RW 029.
Misalnya, pada 2019, tercatat ada 216 warga yang merokok. Dari jumlah itu, 2 orang berusia di bawah 18 tahun dan 214 yang lain berusia di atas 18 tahun. Angka ini turun menjadi 209 pada 2021, yaitu 2 orang berusia di bawah 18 tahun dan 207 di atas 18 tahun.
Soal jumlah konsumsi rokok, pada 2019 terdata rata-rata warga perokok mengonsumsi 2.081 batang per hari. Jumlah ini turun pada 2021 menjadi 1.646 batang per hari.
Semua warung terdata tak lagi menjual rokok kepada anak-anak.
Tim dan kader KBAR RW 029 juga telah mendata keberadaan warung yang menjual atau mengiklankan rokok. Yuni membenarkan baru ada satu warung yang benar-benar memutuskan berhenti berjualan rokok setelah diadakan deklarasi KBAR.
Meski demikian, ia sudah senang karena semua warung terdata tak lagi menjual rokok kepada anak-anak. Sebelumnya, pada 2019, tercatat masih ada delapan toko yang melayani pembelian rokok kepada anak-anak.
Sebagai upaya tambahan dalam menekan jumlah perokok pemula, Yuni menuturkan, tim dan kader KBAR juga telah bergerak membersihkan iklan dan promosi rokok yang dipasang di berbagai titik.
“Ya mudah-mudahan ke depan KBAR kami menjadi semakin baik. Kami akan terus bergerak untuk mewujudkan kesehatan bersama,” tuturnya.
Ia pun pernah menginisiasi kegiatan anak-anak di RW 029 Mojosongo untuk membuat surat yang ditujukan kepada ayah masing-masing.
Anak-anak yang memiliki ayah perokok dipersilakan membuat surat berisi ungkapan permohonan dari lubuk hati agar sang ayah berhenti merokok atau setidaknya tidak melakukannya di dalam rumah.
Adapun anak-anak yang orang tuanya tidak merokok atau sudah tidak merokok lagi, dipersilakan untuk membuat surat berisi apresiasi karena telah melindungi keluarga dari bahaya kesehatan akibat rokok.
“Kegiatan ini diharapkan juga akan membuat anak-anak menjadi paham bahwa penting bagi mereka dan keluarganya jauh dari rokok,” jelasnya.
Yuni menyampaikan, aturan main tentang KBAR di wilayah RW 029 kini telah secara resmi didokumentasikan atau dibukukan.
Sebagai tindak lanjut dari terbitnya surat keputusan (SK) KBAR RW 029 dari Lurah Mojosongo pada Februari 2021, keempat ketua RT di RW 029 telah membuat surat edaran (SE) untuk warga masing-masing.
SE tersebut berisi imbauan yang sama, meminta semua warga mematuhi enam aturan dalam rangka mendukung implementasi KBAR.
Keenam aturan itu, yakni tidak merokok di dalam rumah, tidak menyediakan asbak di dalam rumah, tidak merokok di pertemuan warga, tidak membuang puntung rokok di sembarang tempat, mereokok di tempat yang telah disediakan—yaitu di saung rokok—, dan bagi yang mempunyai kios atau toko tidak boleh menjual rokok kepada anak-anak.
“Di tempat kami sudah dikembangkan aturan sesuai kesepakatan, saya ulangi lagi, sesuai kesepakatan warga. Jadi sekarang dalam forum pertemuan, misalnya, warga sudah paham tidak boleh lagi merokok. Kalau ada yang merokok, warga lain akan mengingatkan,” ucapnya.
KBAR RW 029 telah berhasil memperoleh apresiasi Kampung Keren Tanpa Rokok Award 2022.
Dalam perjalannya, Yuni pun beryukur, program KBAR RW 029 ternyata menginspirasi juga pihak luar. Warga beberapa kali mendapat kunjungan studi perwakilan warga atau pejabat dari daerah lain. Ini termasuk rombongan Asosisoasi Dinas Kesehatan (Adinkes) se-Indonesia.
Sementara, ia senang KBAR RW 029 telah berhasil memperoleh apresiasi Kampung Keren Tanpa Rokok Award 2022. Penghargaan itu diberikan atas penilaian Adinkes, Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Quit Tobacco Indonesia, FAKTA, dan Yayasan Kakak.
“Kami sebelumnya tidak pernah menyangka akan mendapatkan penghargaan semacam itu karena niat awal kami memang tulus hanya ingin mengajak warga untuk saling melindungi dari bahaya rokok,” tutur Yuni.
DI SOLO, kini ada satu kelurahan yang semua RW-nya sudah mendeklarasikan diri menjadi KBAR. Kelurahan itu yakni Laweyan di Kecamatan Laweyan.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Laweyan, Permono Adiprasetio, menyebut hal itu bisa terjadi karena multifaktor.
Pertama, tak bisa dipungkiri bahwa Laweyan termasuk kelurahan kecil yang hanya memiliki tiga RW. Dengan demikian, tantangannya bisa jadi lebih ringan dibandingkan dengan kelurahan lain yang punya belasan atau puluhan RW ketika ingin membuat semua wilayah jadi KBAR.
Meski begitu, ia merasa pembentukan KBAR tetap saja akan sulit jika tidak mendapat dukungan dari warga, terutama para ketua RT atau ketua RW.
Di sini, Pras bersyukur, ketika petugas kesehatan dari Pukesmas Pajang untuk kali pertama menyosialisasikan program KBAR, para ketua RT/RW maupun tokoh masyarakat di Laweyan langsung menyambut baik gagasan tersebut. Beberapa dari mereka padahal perokok.
Menurut dia, sikap para ketua RT/RW ini penting dalam menentukan keberhasilan program KBAR. Karena bagaimanapun, mereka adalah para pemimpin di wilayah yang dianggap sebagai panutan oleh para warganya.
Ketika mereka tidak mendukung KBAR, misalnya tidak setuju dengan rancangan aturan tidak boleh lagi merokok di dalam atau dekat rumah, para warganya dikhawatirkan akan ikut bersikap demikian.
“Saya kan memetakan di awal, dari 13 ketua RT/RW di Laweyan, empat di antaranya adalah perokok. Jadi luar biasa sekali, teman-teman yang masih merokok ini saat itu juga menyatakan dukungan,” jelas Pras yang menjadi tokoh inisiator pembentukan KBAR di Laweyan.
Pembentukan KBAR di tiga RW di Laweyan tidak terjadi dalam satu waktu. Deklarasi KBAR pertama dilakukan oleh warga RW 002 pada 2018, lalu disusul warga RW 001 pada 2019, dan terakhir warga RW 003 pada 2020.
Pras mengatakan, secara umum bentuk program dan aturan yang disepakti warga di tiga KBAR di Laweyan tidak jauh berbeda satu dengan yang lain.
Untuk program, di antaranya yakni penyediaan tempat khusus merokok (saung rokok), penyelenggaraan sosialisasi bahaya merokok, pengembangan media informasi atau edukasi, pendekatan kepada pemilik warung atau toko untuk tidak menjual rokok ke anak, pendataan jumlah perokok, serta pembersihan iklan dan promosi rokok di lingkungan.
Sementara, untuk aturan, warga antara lain bersepakat untuk menerapkan “smoking area”, tidak membuang puntung rokok sembarangan, tidak merokok di depan ibu hamil, balita, dan anak anak, serta tidak menyuruh anak usia di bawah 18 tahun untuk membeli rokok.
Di samping itu, warga setuju untuk adanya penyisipan “training terapi merokok” di pertemuan RT/RW; tidak merokok saat pertemuan RT/RW; tidak menyediakan asbak saat pertemuan RT/RW; dan menyediakan permen sebagai pengganti rokok di forum tersebut.
“Sedari awal, kami menekankan KBAR ini bukan untuk memaksa warga berhenti merokok, melainkan hanya ingin mengatur aktivitas itu demi kebaikan bersama,” jelasnya.
Saat ditanya tentang bentuk sanksi bagi pelanggar aturan KBAR di Laweyan, Pras menyebut, hanya berupa pembinaan. Para pengurus KBAR ogah menerapkan denda karena khawatir yang muncul di dalam benak warga adalah keterpaksaan, bukan kesadaran untuk mendukung KBAR.
“Misalnya, di RW 001 muncul laporan adanya pelanggaran merokok di dekat rumah. Itu nanti satgas bisa memberikan edukasi. Yang datang, bisa juga dari personel linmas, babinkamtimbas, atau babisnsa. Walau hanya edukasi ringan, saya rasa itu sudah bermakna,” ucapnya.
Sama seperti KBAR RW 029 Mojosongo, KBAR Laweyan juga pernah menerima kunjungan studi dari pihak luar. Itu termasuk kehadiran perwakilan warga dan pejabat pemerintah dari Tegal, Pekalongan, dan Banyumas belum lama ini.
Sementara itu, Lurah Laweyan, Agus Wahyu Purnomo Anwar, mengaku sudah tidak lagi merokok berkat KBAR.
Sebelumnya, ia padahal seorang perokok berat. Agus rata-rata bisa menghabiskan 1-2 bungkus rokok per hari. Tapi kemudian, kehadiran program KBAR di Laweyan mengubah kebiasaannya itu. Ia menegaskan tak mau lagi merokok sejak akhir September lalu.
Ia berhenti setelah program KBAR secara tidak langsung menuntut dirinya lebih banyak bicara tentang larangan merokok di forum-forum masyarakat. Di samping itu, Agus melihat, KBAR telah membuat semakin banyak wargan yang kian sadar akan bahaya terpapar asap rokok.
Ia lalu merasa janggal jika terus menjadi perokok aktif. Agus takut bakal menjadi pembenaran atau contoh buruk bagi warga untuk merokok.
“Bagaimana bisa saya bicara ke warga, ‘Anda akan berhasil dan lebih sehat tanpa merokok’, tetapi sehabis itu saya merokok. Lama-kelamaan di hati enggak enak. Aneh rasanya. Saya bilang ‘dilarang merokok’, tapi saya sendiri merokok,” ucapnya miris mengingat masa lalu.
Ia pun menyesal dulu sering merokok di sembarang tempat, termasuk di dalam kantor kelurahan yang jelas-jelas adalah kawasan tanpa rokok (KTR).
Agus bercerita, ketika keinginannya untuk berhenti merokok muncul lebih kurang setahun lalu, ia tak bisa serta-merta mewujudkannya. Ia mengalami sendiri kesulitan untuk seketika lepas dari aktivitas merokok.
Yang ia rasakan, ada dorongan yang sangat kuat dari dalam dirinya untuk kembali merokok lagi dan lagi. Agus menduga hal itu bisa terjadi karena efek candu nikotin dari rokok.
Ia lalu mencoba berhenti merokok secara bertahap dengan cara mengurangi jumlah konsusminya. Dari tadinya 1-2 bungkus per hari, beranjak ke maksimal 1 bungkus per hari, 5 batang per hari, dan akhirnya tuntas.
“Sungguh sangat berat untuk berhenti merokok. Di luar, juga ada banyak godaan dari teman-teman. Tapi, saya bilang, ini layak untuk diperjuangkan,” tuturnya saat diwawancari Kompas.com, Jumat (3/11/2023).
Setelah sekitar sebulan berhenti merokok, ia pun mengaku merasa lebih bugar.
“Secara badan, saya bilang jadi lebih enak sih. Saya enggak tahu kenapa. Tapi, jujur bangun pagi jadi lebih enak sekarang. Bersama pasangan saya juga jadi lebih percaya diri. Bau mulut mulai hilang. Bercengkrama dengan anak-anak pun jadi terasa lebih nyaman,” ucapnya.
Terkait dengan keputusan berhenti merokok, Agus mengaku sudah mengumumkannya ke mana-mana. Ia melakukan hal itu dengan maksud komitmenya bisa kian terjaga. Apabila sewaktu-waktu ingin merokok lagi, Agus berharap ada orang lain yang akan mengingatkan atau menegurnya.
Di samping itu, ia memiliki tujuan “terselubung” ingin mengajak orang lain untuk ikut berhenti merokok.
“Ternyata untuk berhenti merokok, kita itu harus deklarasi. Jangan cuma berniat di hati. Lebih baik diungkapkan ke publik, ke semua orang yang kita kenal. Kalau saya, terutama ya ke teman-teman lurah dan staf di kantor. Ini juga sebagai ajakan untuk meneladani warga,” tuturnya.
SUBKOORDINATOR Promosi Advokasi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat DKK Solo, Riyani Wahyu Utami, menceritakan sejarah munculnya KBAR di Kota Bengawan.
Ia adalah sosok pemrakarsa program ini ketika masih menjadi petugas promosi kesehatan di Pukesmas Sibela.
Ririn merintis KBAR pada 2015 dengan tujuan melindungi masyarakat dari bahaya paparan asap rokok.
Kala itu, Puskesmas Sibela memilih RW 019 di Mojosongo, Jebres sebagai lokasi pilot project pembentukan KBAR. Di sana, ia memulai upaya dengan merekrut warga menjadi kader anti asap rokok (KAAR).
Mereka kemudian diajak untuk mengikuti pelatihan tentang berbagai hal, mulai dari edukasi bahaya asap rokok, peran sebagai peer educator, hingga strategi mencapai rumah dan kampung bebas asap rokok.
Begitu pelatihan tuntas, Puskesmas giliran mengadakan focus group discussion (FDG) dengan target membuat peraturan lokal KBAR. Dalam tahap ini, tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan, dan mantan perokok di RW 019 turut dilibatkan untuk dimintai pandangan.
Setelah draf aturan tersusun, barulah Puskesmas mengorganisir forum penggalangan komitmen di tingkat RW sebagai tahap akhir menuju deklarasi.
Menurut Ririn, butuh waktu lebih kurang setahun hingga akhirnya KBAR pertama di Solo lahir sejak dirintis. Itu terjadi pada Januari 2016.
Ia pun sangat bersyukur seiring berjalannya waktu, KBAR RW 019 Mojosongo dianggap berdampak terhadap masyarakat dan bisa direplikasi.
DKK lalu pada 2017 mulai mengerahkan 17 Puskesmas di Solo untuk merintis pembentukan KBAR-KBAR baru di wilayah binaan masing-masing. Dari situlah KBAR mulai tumbuh dan bermerkaran di Kota Solo.
“Setelah melihat ada best practice di Mojosongo, Dinas Kesehatan kala itu punya gagasan mendorong petugas promosi kesehatan di setiap puskesmas untuk mencoba juga mengembangkan KBAR,” jelas Ririn saat ditemui Kompas.com di ruang kerjanya pada Jumat (6/10/2023).
DKK mencatat hingga September 2023, ada 100 RW di Solo yang telah mendeklarasikan diri menjadi KBAR. Ririn menganggap capaian itu sudah lumayan mengingat rokok masih terus menuai pro-kontra di masyarakat.
Ia pun sangat mengapresiasi setiap warga yang telah dengan sadar terlibat dalam program KBAR untuk saling melindungi satu sama lain dari bahaya asap rokok.
Ririn pun memastikan dalam pembentukan dan pengembangan KBAR, Pemerintah Kota (Pemkot) hanya bertindak sebagai fasilitator. Sedari awal program KBAR telah dikonsep dengan pendekatan partisipatif yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama.
Jadi, wargalah yang dipersilakan untuk membuat dan menyepakati aturan KBAR, serta mereka juga yang akan melaksanakan dan memantaunya.
Oleh sebab itu, aturan maupun program di sebuah KBAR bisa jadi ditemukan berbeda dengan KBAR lain karena menyesuaikan dengan kesepakatan lokal.
Menurut Ririn, kondisi itu lebih mungkin terjadi pada KBAR yang dirancang dan dideklarasikan sebelum tahun 2020. Sebab, saat itu DKK belum memiliki acuan tentang standar pembentukan KBAR di Solo.
“Untuk tahun 2016-2019, memang sangat mungkin KBAR A mengembangkan program begini, sementara KBAR B, C, D, dan lainnya begitu. Tapi, intinya tetap sama. Di situ pasti ada kesepakatan tidak merokok di dalam rumah, hanya boleh di tempat khusus,” jelasnya.
Baru pada 2021, DKK merilis “8 Strategi Model KBAR” untuk menjadi acuan pengembangan dan mempermudah replikasi KBAR di semua wilayah.
Ririn menceritakan, DKK menyusun strategi tersebut dengan dibantu oleh Yayasan Kakak setelah mereka ikut mendampingi delapan KBAR di Solo sejak 2019.
“Dari Yayasan Kakak memotret, dari kami juga memotret. Terus kami diskusi dan muncul pemikiran perlunya dibuat indikator yang paten tentang bentuk KBAR. Setelah coba merancang, kami kumpulkan teman-teman petugas promosi kesehatan se-Solo. Kami diskusi dan akhirnya dapat delapan indikator pengembangan KBAR itu,” terangnya.
Ia pun optimistis jumlah KBAR di Solo akan terus bertambah ke depan. DKK bahkan mengharapkan suatu saat nanti semua RW bisa menjadi KBAR.
Menurut dia, DKK tidak bisa memastikan hal tersebut karena Pemkot memang hingga kini tidak mewajibkan pembentukan KBAR di tingkat RW. Pemkot sifatnya hanya mengimbau dengan harapan warga bisa sepenuh hati dalam melaksankan dan merawat program tersebut.
Dari sisi regulasi, sebagai bentuk keseriusan Pemkot dalam mendukung KBAR, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka salah satunya telah menerbitkan SE tentang Optimalisasi Implementasi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) di Kota Solo pada Desember 2022.
Dalam SE tersebut, tertuang imbauan kepada lurah untuk mengembangkan KBAR di setiap RW.
Ririn pun mempersilakan warga Solo yang punya keinginan atau semangat membangun KBAR jangan sungkan untuk segera saja berbincang dengan Pemerintah Kelurahan masing-masing maupun Puskesmas terdekat.
“Kami sangat mengapresiasi setiap pergerakan dari warga. Kami tentu siap diajak berkerja sama dalam mewujudkan lingkungan yang lebih sehat,” ucap dia.
Pada gilirannya, Ririn mengatakan, program KBAR sejalan dengan tujuan Perda Nomor 9 Tahun 2019 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
KBAR bahkan menawarkan “aturan tambahan” berupa larangan merokok di rumah dan pemasangan iklan rokok hingga di kampung-kampung.
Padahal intensitas warga berada di rumah rata-rata jauh lebih lama daripada di luar rumah, termasuk di tempat-tempat yang telah ditetapkan sebagai KTR.
Dalam Perda Nomor 9 Tahun 2019, KTR didefinisikan sebagai ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau.
KTR di Solo teridirid ari fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum (termasuk hotel, restoran, rumah makan, terminal, stasiun, pusat perbelanjaan, bioskop), dan tempat lain (halte, taman rekreasi, sarana dan prasarana olahraga).
“Orang akan berada di KTR berapa lama sih? Misalnya, di fasyankes, sekolah, atau tempat ibadah, kurang lebih 1-2 jam ya? Kan paling lama berada di rumah, bisa 10-12 jam sehari. Apalagi ibu rumah tangga dan anak balita, bisa 24 jam di rumah. Kalau si bapak merokok, kemudian dia pergi bekerja. Asap rokok yang dia tinggalkan tetap menempel di sprei, korden, dan lain-lain. (KBAR) Ini yang sedang kami dorong agar rumah-rumah bebas asap rokok,” jelasnya.
Meski demikian, ia memastikan bahwa Pemkot tetap akan terus mengoptimalkan implementasi Perda KTR.
Ririn mengakui, Pemkot masih menemukan sejumlah pelanggaran terkait Perda KTR di lapangan. Misalnya, di beberapa taman masih ditemukan puntung rokok. Padahal, ruang terbuka hijau itu seharusnya bebas dari asap rokok seperti yang diatur dalam Perda KTR.
Ia pun berharap dengan hadirnya KBAR, pelanggaran di KTR dapat ditekan pula karena membuat kian banyak warga sadar akan bahaya asap rokok.
Pada kenyataannya, Ririn bungah, dari hasil pendataan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Kota Solo oleh para kader PHBS di Posyandu tingkat RW, DKK mendapati persentase capaian keluarga (KK) bebas asap rokok terus meningkat sejak KBAR terbentuk.
Detailnya, pada 2016 persentase masih berada di angka 54,04 persen. Selanjutnya, berturut-turut naik menjadi 54,45 persen pada 2017, 55,1 persen pada 2018, 56,7 persen pada 2019, 61,70 pada 2020, 61,71 persen pada 2021, dan 62,92 persen pada 2022.
Saat disinggung, Ririn mengaku mendukung gagasan pengaturan produk tembakau dan rokok elektronik yang tertuang di dalam draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.
Ia melihat, ada beberapa aturan di RPP Kesehatan yang dapat membantu, mempermudah, maupun memperkuat upaya pemerintah daerah dalam pengendalian konsumsi rokok di masyarakat.
Ririn mencontohkan, di situ telah diusulkan aturan yang dengan tegas melarang setiap orang menjual produk tembakau dan rokok elektronik pada anak di bawah usia 18 tahun dan perempuan hamil, serta secara eceran.
Di Perda KTR, aturan semacam itu hanya berlaku di wilayah yang telah ditetapkan sebagai KTR.
“Di Solo, KBAR sebenarnya sudah mengarah ke pelarangan itu. Tapi, bisa dibilang baru sebatas imbauan atau ajakan. Jika RPP Kesehatan disahkan, jadi akan lain. Kami bisa mendorong penegakan lebih kuat,” jelasnya.
Di samping itu, Ririn setuju dengan usulan RPP Kesehatan bahwa setiap kemasan rokok wajib dilengkapi dengan sejumlah pernyataan peringatan.
Itu termasuk, “dilarang menjual atau memberi kepada anak berusia di bawah 18 tahun dan perempuan hamil”, “mengandung nikotin, tar, dan/atau zat lainnya”, “tidak ada batas aman”, maupun “mengandung lebih dari 7.000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 69 zat penyebab kanker”.
Sebab, hal tersebut bisa juga membantu masyarakat, terutama para orang tua dalam memberikan edukasi kepada anak-anak tentang bahaya rokok.
Ia menekankan bahwa nilai-nilai keteladanan sangat dijunjung tinggi dalam pengembangan program KBAR di Kota Bengawan. Para orang tua diingatkan lagi bahwa mereka adalah sosok teladan bagi anak-anak.
Ririn menyampaikan, sebuah KBAR pernah melakukan survei kecil-kecilan. Mereka bertanya kepada anak-anak tentang pengalaman merokok. Beberapa di antara mereka nyatanya mengaku pernah mencoba merokok bahkan pertama kali dilakukan saat masih duduk di bangku TK.
Menurut dia, sebagian anak-anak mengaku merokok karena melihat orang tua mereka.
Ririn berpendapat, siapa saja kiranya penting memahami bahwa setiap anak akan melihat apa pun yang orangtua lakukan sebagai hal yang baik, meski sebenarnya buruk. Oleh sebab itu, para orangtua perlu lebih waspada.
“Demikian juga dengan rokok yang berbahaya bagi kesehatan. Si bapak merokok, ya si anak melihatnya itu baik. Jadi mari kita melindungi semua anak. Bapak merokok silakan, tapi di saung rokok. Si anak jadi tak pernah melihatnya, tak punya role model untuk merokok,” pesan dia.
WALI KOTA Solo, Gibran Rakabuming Raka, mengatakan pengembangan KBAR menjadi bagian dari upaya Pemkot dalam mewujudkan Solo Kota Layak Anak (KLA).
Untuk diketahui, Solo hingga kini belum berhasil meraih predikat KLA Paripurna. Tahun ini adalah kali keenam Solo memperoleh KLA peringkat Utama, atau setingkat di bawah KLA.
“Ini sesuai program Pemkot yakni (menjadikan Solo) sebagai Kota Layak Anak. Ya kami ingin mencetak generasi yang kuat, kokoh, cerdas, dan sehat,” ucapnya saat diwawancarai pada Jumat (3/11/2023).
Menurut Gibran, program KBAR dapat meningkatkan peran serta masyarakat Solo dalam pencegahan dan pengendalian bahaya asap rokok.
Ia pun berharap RW yang sudah mendeklarasikan diri menjadi KBAR dapat ditiru oleh warga RW lain di seluruh wilayah Solo.
“Untuk kampung-kampung lain nanti kami sosialisasikan dulu,” jelas dia.
Gibran sendiri pernah hadir dalam acara Deklarasi dan Festival Model Kampung Bebas Asap Rokok yang digelar di RW 009 Mojosongo pada 24 Maret 2021.
Saat menyambangi pojok stand KBAR kala itu, ia sempat menuliskan seruan, “Solo bebas rokok. Sebarkan program ini ke seluruh pelosok Indonesia,” lengkap dengan nama terang dan tanda tangannya. Foto kehadiran Gibran itu disimpan oleh sejumlah pengurus KBAR di Mojosongo.
Saat dimintai pendapat, Direktur Yayasan Kakak, Shoim Sahriyati, sangat mengapresiasi gagasan DKK Solo dalam mengembangkan KBAR.
Ia meyakini, program ini akan berdampak baik dalam meningkatkan persentase keluarga tidak merokok hingga mencegah munculnya perokok pemula dari kalangan anak-anak.
Berangkat dari keyakinan itu pula, Yayasan Kakak, yang bergerak di isu perlindungan anak, akhirnya memutuskan untuk terlibat dalam penguatan dan pendampingan delapan KBAR di Solo sejak empat tahun lalu.
Shoim menyebut KBAR sebagai program yang mendorong partisipasi masyarakat di tingkat bawah dalam upaya pengendalian konsumsi rokok.
Dia menyampaikan, banyak survei atau penelitian mungkin mendapati kebanyakan anak-anak pernah merokok karena pengaruh teman.
Pun dengan hasil survei yang pernah dilakukan Yayasan Kakak pada 2022. Dalam survei terhadap 400 anak di Solo, Sragen, Sukoharjo, dan Karanganyar itu, ditemukan 60,8 persen anak merokok karena pengaruh teman.
Meski demikian, Shoim meyakini, ketika anak-anak ini sudah dibekali benteng pemahaman yang kuat dari lingkungan rumah akan bahaya rokok, mereka menjadi tak mudah terpengaruh oleh teman atau orang lain.
Realitasnya, dalam survei itu, Yayasan Kakak menemukan 74,5 persen anak menyampaikan mereka mempunyai anggota keluarga yang merokok. Sebagain besar menyebut orang yang merokok di rumah adalah sang ayah.
Sementara, sebagian besar atau 52,9 persen responden mengaku merasa terpengaruh untuk merokok dari anggota keluarga yang merokok, sedangkan sisanya dari teman dan lingkungan.
“Program KBAR ini penting dikembangkan untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak dari asap rokok,” jelas dia.
Wakil Ketua DPRD Solo, Sugeng Riyanto, juga mendukung pengembangan program KBAR di seluruh wilayah Kota Solo untuk mendorong lebih banyak masyarakat sadar akan bahaya paparan asap rokok.
Ia pun meminta kepada Pemkot untuk menggencarkan sosialsiasi tentang program ini ke wilayah-wilayah.
Politikus PKS itu berpendapat, deklarasi KBAR sebaiknya tidak diwajibkan oleh Pemkot untuk dilakukan di setiap RW.
Menurut dia, KBAR akan lebih baik lahir atas inisiatif atau kesadaran penuh dari warga sendiri dengan harapan lebih mungkin berkelanjutan dan berdampak lebih besar.
“Saya sendiri sangat mendukung dan salut terhadap warga yang telah penuh dengan kesadaran menjadikan kampungnya bebas asap rokok sekarang. Karena terkadang, yang saya lihat itu, di masyarakat ada keengganan untuk menghadapi konflik terkait pro-kontra merokok,” jelas Sugeng.
Total: 104 KBAR