Kecanduan game bukan lagi prediksi di tengah makin dalamnya penetrasi gadget, terutama ponsel pintar dan tablet.
Seperti apa pengalaman mereka yang pernah berada di pusaran masalah ini? Seperti apa pula pencegahan kecanduan ini dan penanganannya bila telah telanjur terjadi?
WAJAH Sri Lestari tertekuk saat menceritakan kondisi putra semata wayangnya, Alfitra, yang dia anggap sudah kecanduan main game. Afit, panggilan Alfitra, adalah mahasiswa di sebuah universitas di Purwokterto, Jawa Tengah.
Menurut Sri, prestasi akademik Afit memburuk dalam beberapa waktu terakhir. Aktivitasnya hanya bermain game dan sering melalaikan kegiatan lain, bahkan hal dasar seperti mandi dan makan.
“Sampai malas mandi, badannya bau, malas sikat gigi. Papanya sampai beliin sabun yang sekalian bisa buat keramas juga,” kata Sri saat berbincang dengan Kompas Lifestyle, beberapa waktu lalu.
Karena khawatir, Sri dan suaminya hampir setiap sebulan sekali mengunjungi Afit di Purwokerto. Dari situ dia mendapati, kerap kali anaknya tak lagi punya baju bersih karena malas mencuci.
Kamarnya pun berantakan. Sang ibu juga yang selalu menggantikan seprai tempat tidur Afit serta menyapu atau mengepel lantai kamar kos setiap berkunjung.
Sri mengaku khawatir karena Afit lebih memprioritaskan membeli kuota internet untuk pemainan game online ketimbang makan.
Beberapa perubahan perilaku juga dialami oleh Afit. Misalnya, melawan ketika disuruh melakukan kegiatan lain, termasuk beribadah. Padahal, menurut dia, kebiasaan itu sebelumnya tak pernah dilakukan Afit.
“Lalu saya konsul dengan bapaknya. Ini kayaknya sudah kecanduan banget karena rawat diri sendiri saja sudah enggak bisa. Kami kan khawatir masa depan dia,” ucap Sri.
Beruntung, suami Sri adalah pegawai di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bagian perizinan kesehatan sehingga mudah mencari informasi soal pengobatan.
Dari kolega dokter, orangtua Afit mendapat rekomendasi untuk berkonsultasi dengan praktisi adiksi, dr Kristiana Siste Kurniasanti, SpKJ (K), dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Sri mengaku lega ketika dr Siste mengatakan bahwa adiksi yang dialami putranya belum parah. Sebelumnya, dia sudah sempat berpikir untuk memindahkan kuliah Afit ke Jakarta agar aktivitasnya lebih mudah dikontrol.
Terlebih lagi, Sri mendapatkan informasi bahwa kategori kecanduan yang sudah berat bisa mempengaruhi seseorang sedahsyat narkoba.
Dari tiga pertemuan bersama dr Siste, Afit diminta mengikuti serangkaian tes kemudian melakukan sesi tanya-jawab. Sesudah itu akan ada satu lagi tes final untuk memastikan perlu atau tidaknya pemberian obat.
Tulisan ini tak hanya tentang Afit. Ada banyak kasus serupa terjadi dan ternyata tak pandang usia, dari anak-anak hingga usia dewasa. Bukan berarti pula tak ada upaya untuk mencegah dan mengatasinya.
JEO Kompas.com ini akan mengurai fenomena kecanduan gadget, termasuk game online, dengan kasus Afit sebagai kisah pembuka.
Berlanjut, artikel akan membahas gejala, penanganan, pencegahan, dan upaya penyusunan regulasi untuk mengantisipasi sisi gelap pemanfaatan teknologi ini pada masa mendatang.
Seperti apakah itu?
KASUS Afit bermula dari coba-coba. Saat SMA, dia mengaku mulai bermain Mobile Legends karena coba-coba. Namun, ia mengaku keasyikan dan pada akhirnya keterusan.
Afit sempat berkeinginan untuk serius menekuni game dan mengikuti turnamen yang ada. Namun, karena game tersebut dimainkan secara tim, faktor kecocokan waktu menjadi kesulitan untuk mewujudkan keinginan itu.
Dari sejumlah pertemuan yang sudah dilakukannya dengan dr Siste, Afit menunjukkan usahanya untuk berubah dari kebiasaan main game yang membuat banyak aktivitas lainnya terbengkalai.
Terlebih lagi, ibu Afit pernah bercerita bahwa kuliah putranya saat ini adalah double degree dengan universitas mitra di luar negeri. Bahkan, kata sang ibu, Afit ingin sekali melanjutkan sekolah ke Jepang.
Afit adalah satu dari sejumlah pasien yang ditangani di klinik adiksi perilaku RSCM, Jakarta. Klinik ini baru dibuka sejak Mei 2018 serta merupakan klinik pertama dan satu-satunya di Indonesia untuk masalah adiksi perilaku.
Dr Siste adalah Kepala Departmen Medik Kesehatan Jiwa RSCM-FKUI, yang salah satunya membawahi klinik ini. Dia pun menyebut, kecanduan gawai termasuk ke dalam kecanduan non-zat atau kecanduan perilaku.
Kecanduan perilaku akan berdampak besar terhadap sisi kognitif seseorang. Adapun gangguan kognitif akan memengaruhi mulai dari kemampuan intelektual seseorang, tingkat perhatian, atensi, kemampuan membuat keputusan, daya ingat, hingga kapasitas membuat perencanaan.
“Artinya, semua keputusan dalam hidup dia tidak terencana dengan baik, impulsif, dia bisa membuat keputusan yang tidak masuk akal dalam kehidupannya. Pada akhirnya akan mengganggu fungsi dia,” ujar Siste.
Kecanduan gawai pun dibagi menjadi beberapa kategori. Misalnya, adiksi gawai, judi online, media sosial, dan tontonan porno.
Kecanduan gawai pun dibagi menjadi beberapa kategori. Misalnya, adiksi gawai, judi online, media sosial, dan tontonan porno.
Dalam konteks media sosial, adiksi bisa sangat memengaruhi kepercayaan diri seseorang. Sudah begitu, kata Siste, ciri khas remaja dan dewasa muda antara lain sangat suka dengan perhatian untuk rasa percaya dirinya.
“Ketika likes sedikit, mereka merasa frustrasi dan merasa ada yang salah dengan diri mereka, apakah (itu) kurang cantik, atau hidung kurang mancung. Jadi ada perasaan tidak nyaman ketika orang lain tidak menyukai apa yang mereka posting, (ini) jadi sebagai tempat pelampiasan emosi juga mencari perhatian,” tuturnya.
Menurut Siste, pasien di klinik baru ini terus berdatangan meski jumlahnya belum banyak. Dia pun berencana terus mempromosikan keberadaan klinik tersebut, agar masyarakat tahu mengenai kecanduan perilaku dan bahwa itu dapat ditangani.
Riset yang pernah dia lakukan terhadap 57 mahasiswa pun mendapati para respondennya rentan mengalami kecanduan gawai, salah satu jenis kecanduan perilaku itu.
Game ditengarai menjadi jenis kecanduan perilaku yang paling banyak terjadi, terutama tipe online dengan multipemain seperti Mobile Legends dan PUBG. Permainan ini cenderung disukai karena melibatkan relasi dengan orang lain serta bisa menjadi pelampiasan stres.
KLINIK adiksi perilaku RSCM, Jakarta, memang relatif baru, sehingga Siste mengaku belum bisa memberikan angka jumlah pasien yang pasti.
“Jumlah (pasien) belum dihitung secara riil. Kalau anak mungkin sudah mencapai 20 orang. Tapi dewasa muda saat ini yang rutin berobat di Poliklinik Madya dan Kencana RSCM sekitar 10 orang,” kata Siste.
Saat ini, mayoritas pasien yang datang ke klinik dengan masalah adiksi perilaku cenderung mengarah pada adiksi game.
Adiksi ini memang sudah mendapatkan perhatian dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) beberapa waktu lalu telah menetapkan kecanduan bermain game sebagai salah satu gangguan mental dan disebut dengan istilah gaming disorder.
Menurut Siste, pasien yang menjalani perawatan karena masalah adiksi perilaku lainnya masih jarang. Namun, lanjut dia, kesadaran masyarakat untuk berkonsultasi terkait jenis adiksi perilaku juga masih rendah, termasuk untuk kasus adiksi penggunaan media sosial.
Penggunaan media sosial yang mengarah ke adiksi perilaku, kata Siste, cenderung dialami perempuan. Penelitian yang pernah dia lakukan menunjukkan, banyak perempuan yang menjadikan media sosial sebagai sarana komunikasi sekaligus untuk membangun citra diri.
Mereka merasa kepercayaan dirinya meningkat ketika foto yang diunggah ke media sosial disukai oleh banyak orang. Kemudian, tak sedikit yang kemudian kecewa atau sedih ketika likes yang didapatkan sedikit.
“Tapi yang datang berobat tentang itu belum. Justru belum sadar karena reaksi itu dianggap biasa,” ucap dia.
Kasus lain kecanduan gadget ditemukan pada dua anak di Bondowoso pada awal 2018. Kedua anak tersebut dirawat di Poli Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah Koesnadi Bondowoso, Jawa Timur, karena menunjukkan gelagat seperti layaknya orang yang kecanduan narkotika.
Salah satunya bahkan membentur-benturkan kepalanya ke dinding ketika sangat ingin menggunakan gawai namun tak diizinkan oleh orangtuanya.
Praktisi Kesehatan Jiwa dari Universitas Atma Jaya, dr Eva Suryani, SpKJ, membagi konsekuensi adiksi perilaku menjadi dua, yakni fisik dan non-fisik.
Konsekuensi fisik dari seseorang yang terus-menerus main dengan gawainya tanpa kenal waktu, antara lain mengalami obesitas, cedera akibat terlalu lama menggunakan gawai seperti carpal tunnel syndrome, gangguan tidur berakibat kurangnya konsentrasi, serta pola makan yang berantakan.
Sementara itu, konsekuensi non-fisik lebih mengarah pada emosional seseorang. Misalnya, memburuknya relasi dengan orang-orang sekitar, menurunnya tingkat kesantunan, hingga etos belajar yang rendah.
Pada kasus kecanduan gawai di Bondowoso, korban bahkan menjadi agresif dengan marah-marah dan membenturkan kepala ke dinding.
“Kalau sudah sampai adiksi, dia akan melakukan segala cara. Itu dampaknya bahkan bisa ke hukum karena melakukan tindak kriminal tertentu,” kata Eva.
PENGGUNAAN teknologi termasuk gawai, kata Eva, sebetulnya tetap harus diliha sebagai inovasi positif yang membantu kehidupan sehari-hari manusia. Karena itu, gawai tidak bisa dilihat semata sebagai sumber masalah.
“Kita juga jangan overdiagnosis karena smartphone pun membantu kita semua. Ada fungsi positif tapi bagaimana caranya agar kita bijaksana, itu yang penting,” kata Eva.
Tingkat kecanduan gawai saat ini sudah bisa diukur. Salah satunya, menggunakan internet addiction test (IAT) dari Kimberly Young.
Dalam tes ini, seseorang yang diindikasikan mengalami kecanduan gawai akan diminta mengisi kuesioner untuk menentukan gejala kecanduannya tergolong ringan, sedang, atau berat.
Menurut Siste, dia dan timnya di RSCM sekarang juga tengah mengembangkan kuesioner sejenis versi Indonesia untuk mengukur tingkat adiksi internet pada remaja.
Adapun kecanduan gawai memiliki sejumlah gejala, antara lain:
ADIKSI perilaku dapat diatasi dengan fokus perawatan kepada upaya perbaikan perilaku. Salah satunya, sebut Siste, bisa menggunakan cognitive behavioral therapy atau memakai multifunctional interviewing.
Tujuan terapi adalah mengubah motivasi seseorang yang terlanjur mengalami kecanduan.
“Yang awalnya merasa tidak ada masalah, (setelah terapi diharapkan) dia mulai berpikir untuk memperbaiki perilakunya,” kata Siste.
Selain itu, terapi kelompok juga bisa dilakukan, terutama dinilai efektif untuk kelompok usia remaja dan dewasa muda. Dibuat kelompok terdiri atas 8-10 orang.
Mereka kemudian diminta berdiskusi membahas alasan di balik hobi yang membuat mereka kecanduan. Harapannya, timbul kesadaran bahwa hobi yang mereka lakukan ternyata perwujudan lari dari kenyataan.
Jenis pengobatan berikutnya adalah untuk mereka yang pada saat bersamaan juga didapati mengalami gangguan jiwa lain.
Eva mencontohkan, salah satu pasiennya yang kecanduan game ternyata sudah lebih dulu mengalami attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan perhatian.
Artinya, pasien tersebut mengalami komorbiditas atau menderita lebih dari satu penyakit. Sebagai bagian dari pengobatan, Eva memberikan obat untuk gangguan atensinya.
“Dengan adanya komorbid ini, penanganannya selain mendapatkan obat golongan untuk atensinya, terus dia mendapatkan obat golongan mood stabilizer,” kata Eva.
Kasus kecanduan gawai berawal dari penggunaan gadget yang terlalu berlebihan dan tidak dibarengi sikap bijak. Buktinya, banyak orang memaksimalkan fungsi gawai tetapi tak lalu semuanya mengalami kecanduan.
Karena itu, fenomena kecanduan gawai adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk dicegah.
PEMERINTAH rupanya juga menyadari betul kerawanan kecanduan gawai yang dialami banyak anak-anak di tanah air. Bahkan, kecanduan gawai dianggap sebagai salah satu hal yang berpotensi menghambat perkembangan anak menuju puncak bonus demografi pada 2030.
“Bonus demografi bisa kehilangan momentum kalau kemudian permasalahan terkait anak yang menyebabkan penurunan kualitas hidup anak tidak bisa tertangani dengan baik,” kata Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu.
Kecanduan gawai dianggap sebagai salah satu hal yang berpotensi menghambat perkembangan anak menuju puncak bonus demografi pada 2030.
Dalam sebuah acara yang dihadiri ratusan anak pada Juli 2018, Menteri PPPA Yohana Yembise pun mengaku sedih bahwa perhatian anak-anak di ruangan tersebut bukan pada dirinya atau pembicara lain, melainkan ke layar ponsel masing-masing.
Ia menambahkan, otak anak sebetulnya masih sangat bagus dan memiliki daya nalar kuat. Namun, penggunaan gawai yang berlebihan akan memberi dampak buruk bagi anak.
Ganguan itu mulai dari berkurangnya konsentrasi, gangguan perkembangan psikomotorik, menurunnya daya memori dan berpikir, lemahnya daya pikir analitis dan kritis, hingga gangguan fisik seperti rusaknya retina mata.
Empat kementerian kini tengah menggodok regulasi pembatasan penggunaan gawai, yakni Kementerian PPPA, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama.
Rencananya, regulasi akan berbentuk peraturan menteri bersama. Pribudiarta menjelaskan, untuk jangka panjang substansi regulasi akan masuk ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) Perlindungan Khusus, yang merupakan amanah Pasal 59 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pasal tersebut merinci tentang kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah serta lembaga Negara lainnya terhadap perlindungan anak. Pada Pasal 59A dijabarkan lebih rinci mengenai upaya yang dilakukan terkait “Perlindungan Khusus” tersebut.
Kasus kecanduan gawai, kata Pribudiarta, ditengarai sebagai sebuah fenomena gunung es. Saat ini mungkin baru beberapa kasus yang muncul di permukaan. Namun, pada kenyataannya, potensi kasus sebetulnya sangat besar.
“Kalau datanya, bisa data gunung es karena banyak yang tidak terlihat di permukaan, tapi yang pergi ke unit layanan sekarang sudah banyak. Publik juga jadi tahu bahwa ini penyakit,” ujarnya.
Namun, Pribudiarta belum dapat memastikan apakah regulasi tersebut nantinya ditujukan untuk melakukan pembatasan penggunaan gawai lewat ranah pendidikan atau melalui bentuk lain. Saat ini kajian awal dimulai dari membandingkan praktik di negara-negara lain.
Menurut dia, fenomena ini harus dilihat dari berbagai perspektif sehingga empat kementerian bisa mengambil kesimpulan awal untuk memberlakukan pembatasan tertentu.
“Eksekusi juga tidak mungkin hanya dilaksanakan empat kementerian. Semua harus terlibat,” ujar dia.
Pembatasan penggunaan gawai oleh anak ternyata memang sudah diberlakukan di beberapa negara. Siste mencontohkan Korea Selatan.
Di negara itu, ujar Siste, berlaku pembatasan penggunaan internet pada malam hari bagi anak-anak berusia di bawah 18 tahun.
Pemerintah setempat juga bekerja sama dengan perusahaan game agar kata kunci (password) permainan yang dimainkan anak dapat diketahui orangtua bahkan hanya dimiliki orangtua. Tujuannya tentu saja untuk mengontrol waktu anak bermain game.
“Jadi (anak bermain game) berada di bawah supervisi orangtua. Di China juga sudah berlaku,” ujar Siste.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menilai penggunaan gawai oleh anak memang perlu diatur. Ketua KPAI Susanto menyebutkan setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, dari segi usia. Menurut dia, perlu ada rentang usia tertentu yang diperbolehkan menggunakan gawai.
Selain itu, gawai menurutnya tak boleh diberikan secara otonom kepada anak tetapi menjadi milik keluarga. Dengan begitu, keluarga bisa lebih leluasa memantau dan melihat pergerakan anak ketika menggunakan gawai.
Orangtua juga perlu mengetahui semua password akun yang digunakan anak.
Kedua, pola pencegahan perlu diatur secara lebih komprehensif.
Terakhir, perlunya menegaskan peran institusi pendidikan dalam masalah pengaturan penggunaan gawai. Misalnya, dengan menentukan durasi penggunaan gawai pada jam sekolah sehingga konsentrasi anak tak terpecah saat belajar.
“Dengan begitu, masyarakat paling tidak memiliki acuan. Sekarang kan tidak ada acuan,” ucapnya.
Semoga....