JEO - Peristiwa

Kesuraman Industri Penerbangan dan Potensi Leisure Economy

Jumat, 8 Oktober 2021 | 09:06 WIB

INDUSTRI penerbangan global memasuki masa suram pada September 2001. 

Penyebabnya adalah serangan teroris ke menara kembar World Trade Center (WTC) New York City. Para teroris yang berafiliasi dengan Al Qaeda membajak pesawat terbang komersial dan menabrakkannya ke gedung 110 lantai itu.

Peristiwa yang dikenal dunia sebagai ‘selasa kelabu’ itu menewaskan sedikitnya 3.000 orang.

Serangan itu berefek domino bagi dunia penerbangan. Banyak orang jadi takut naik pesawat. Jumlah penumpang anjlok signifikan.

Foto Gedung WTC yang terbakar setelah ditabrak pesawat United Airlines Flight 175 yang dibajak dalam rute dari Boston, saat serangan 11 September 2001 terjadi di New York City, Amerika Serikat.
GETTY IMAGES NORTH AMERICA/SPENCER PLATT via AFP
Foto Gedung WTC yang terbakar setelah ditabrak pesawat United Airlines Flight 175 yang dibajak dalam rute dari Boston, saat serangan 11 September 2001 terjadi di New York City, Amerika Serikat.

Situasi itu memaksa perusahaan maskapai penerbangan melakukan pengiritan. Mereka memilih tidak menyewa pesawat terlalu banyak ke lessor atau perusahaan yang menyewakan pesawat terbang.

Pihak lessor pun kesulitan mendapatkan klien sampai-sampai mereka menyewakan pesawat dengan harga murah.

Tetapi, siapa sangka periode suram ini justru menjadi momentum perubahan wajah industri penerbangan global.

Motornya adalah sejumlah pebisnis yang jeli menangkap peluang. Mereka justru nekat memilih terjun ke industri penerbangan yang tengah lesu.

Mereka menyewa pesawat dari lessor dengan harga diskon. Dari pesawat itu, mereka kemudian mendirikan perusahaan maskapai penerbangan baru dengan menawarkan tarif murah bagi para pelancong.

Dari sinilah kita mengenal apa yang disebut sebagai maskapai penerbangan bertarif murah alias low cost carrier (LCC).

Kehadiran LCC sedikit banyak menggairahkan industri penerbangan yang sedang terpuruk kala itu. Orang-orang yang tadinya takut naik pesawat jadi mendapat penawaran menarik untuk kembali terbang berpetualang.

Pasar juga meluas. Orang yang tadinya tidak pernah naik pesawat karena tiketnya yang mahal jadi memiliki kesempatan untuk menikmati transportasi yang hingga saat ini diklaim paling aman dan efisien itu.

Uang pada industri ini pun kembali berputar. Tak jadi soal meskipun margin keuntungan semakin kecil.

Baca juga: Maskapai Bertarif Murah Bukan Berarti Seenaknya

Beberapa perusahaan maskapai penerbangan LCC yang lahir dari masa suram industri aviasi ini mungkin akrab di telinga kita.

Beberapa di antaranya adalah AirAsia yang merupakan milik pengusaha asal Malaysia Tony Fernandes. Slogannya adalah ‘Semua Bisa Naik Pesawat’. Selanjutnya, ada Lion Air yang merupakan milik pengusaha asal Indonesia, Rusdi Kirana.

Khusus di Indonesia, kemunculan LCC melengkapi ekosistem leisure economy yang mulai nge-tren dilakukan kaum muda setelah tahun 2010-an.

Leisure economy secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan konsumsi yang berorientasi pada sensasi pengalaman dan kesenangan tetapi menghasilkan nilai tambah ekonomi. Contohnya travelling, staycation, berkemah, mencicipi kuliner di daerah tertentu, menikmati pemandangan alam, menikmati film atau konser musik dan sebagainya.

Ditilik dari penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) di atas, terlihat bahwa jumlah perjalanan dan total pengeluaran traveller meningkat setiap tahunnya. Khususnya sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia.

Selain untuk biaya angkutan, pengeluaran terbesar mereka juga dialokasikan untuk makanan, belanja dan hiburan. 

Indonesia sangat berpotensi mengeruk keuntungan optimal dari peningkatan tren ini. Mengingat kekayaan alam dan budaya yang amat heterogen.

Kehadiran penerbangan murah menjadi salah satu penunjang kegiatan itu. Salah duanya tentu munculnya aplikasi pembelian tiket online dan aplikasi pembelian hotel online.

Perusahaan maskapai penerbangan bertarif murah pun tentunya mencatatkan keuntungan dari tren ini.

 

20 tahun tragedi WTC berlalu, industri penerbangan kembali terperosok pada situasi suram. Dunia dilanda pandemi virus SARS-CoV-2 dan salah satu kunci meminimalisasi penularannya adalah membatasi tatap muka antarmanusia.

Praktis, negara-negara menutup diri. Mobilitas warga negaranya, baik di dalam negara maupun dengan negara lain, terpaksa dibatasi.

Tren leisure economy sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, surut. Orang-orang lebih banyak beraktivitas di rumah dan enggan untuk pergi jauh-jauh apabila tidak ada kepentingan yang urgent. Sulit memprediksi apakah tren tersebut akan kembali lagi atau tidak.

Perusahaan maskapai penerbangan yang bisnisnya bergantung pada mobilitas orang otomatis merugi.

Dapat dipastikan, seluruh perusahaan maskapai penerbangan mencatatkan loss alias merugi pada rentang 2020-2021. Termasuk perusahaan yang dikenal memiliki pondasi finansial yang kuat dari pemegang sahamnya.

Pertanyaannya kini adalah, bagaimana bisnis perusahaan maskapai penerbangan bisa kembali bangkit?

Rupanya perusahaan maskapai penerbangan putar otak mencari celah dari situasi yang sama sekali tidak menguntungkan ini. Kata kuncinya adalah transformasi bisnis.

Sebagian dari mereka ada yang tetap setia di jalan bisnis aviasi, hanya saja menggarap segmentasi yang berbeda dibandingkan sebelumnya.

Baca juga: Kreasi Bisnis Maskapai Saat Pandemi Corona, Buka Restoran Hingga Jual Kambing Aqiqah 

Ada pula maskapai yang memilih menjalankan bisnis sedikit berbeda dibandingkan bisnis yang selama ini dijalankan. Bisnis yang berbeda itu, yakni ritel hingga gaya hidup.

Simak ulasannya berikut ini…

Ilustrasi maskapai penerbangan.
UNSPLASH/Mitsuo Komoriya
Ilustrasi maskapai penerbangan.

Bisnis kargo

Kargo merupakan bisnis penerbangan yang belakangan ini naik pamor dan menjadi tumpuan banyak perusahaan maskapai penerbangan. Ketika jumlah penumpang anjlok, bisnis kargo ini mampu menjaga cashflow perusahaan aviasi tetap berputar.

Apalagi, mengutip catatan perusahaan konsultan McKinsey (2021), perjalanan wisata diprediksi baru pulih pada 2024. Itu pun baru 80 persen dari kondisi sebelum pandemi. Karenanya, terlalu riskan apabila maskapai tetap menyandarkan bisnisnya pada penerbangan penumpang.

Di sisi lain, saat pandemi, e-commerce menjadi banyak pilihan masyarakat untuk membeli berbagai barang kebutuhan. Hal ini membuat bisnis kargo yang dijalankan berbagai maskapai mengalami peningkatan.

Baca juga: Kargo Udara, Masa Depan Bisnis Penerbangan Nasional

Dalam konteks Indonesia, Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja dalam artikelnya di Kompas.com mengungkapkan, bisnis kargo udara di Tanah Air tahan banting dari pandemi. Sebabnya ada beberapa hal.

“Penerbangan menjadi salah satu pilihan kuat karena kondisi geografis Indonesia yang kepulauan. Ini karena penerbangan mempunyai beberapa kelebihan dibanding transportasi lain, seperti misalnya kecepatan, keselamatan dan keamanan, serta sanggup menghadapi berbagai cuaca,” tulis dia.

Pesawat kargo yang dioperasikan anak usaha AirAsia Teleport
dok AirAsia
Pesawat kargo yang dioperasikan anak usaha AirAsia Teleport

Penerbangan carter

Sejumlah maskapai berjadwal membuka bisnis penerbangan carter untuk membantu uang tetap berputar.

Sementara di sisi lain, konsumen papan atas banyak memilih penerbangan dengan menggunakan pesawat carter atau private jet karena dinilai lebih aman dan terhindar dari kontak dengan orang lain.

Hal ini membuat bisnis penerbangan carter menemukan pasarnya, terutama di masa pandemi. Layanan ini dipilih karena konsumen mendapatkan layanan premium, yang meliputi penjemputan di lokasi yang ditentukan, terbang tanpa bercampur dengan orang lain, dan sampai di bandara khusus untuk layanan private.

Di Indonesia, tren ini juga muncul seiring dengan banyaknya orang-orang super-kaya menggunakan layanan jet pribadi.

Baca Juga: Tren Masa Pandemi, Orang Super-Kaya Pilih Sewa Pesawat Pribadi

Direktur PT Indojet Sarana Aviasi Stefanus Gandi menyampaikan, sebelum pandemi Covid-19, permintaan sewa jet pribadi dalam sebulan hanya empat hingga enam perjalanan dalam negeri. Namun, sejak pandemi, sepanjang tahun 2020, permintaan sewa jet pribadi tumbuh menjadi sebanyak delapan hingga 12 perjalanan dalam negeri.

Ilustrasi layanan private jet
shutterstock
Ilustrasi layanan private jet

Bisnis lifestyle

Rendahnya penumpang yang bepergian menyebabkan perusahaan maskapai penerbangan melakukan upaya apapun agar bertahan. Berbagai maskapai mencoba menawarkan experience terkait dengan layanan penerbangan.

Sejumlah maskapai menawarkan makan yang dipadukan dengan pengalaman terbang. Seperti yang dilakukan Singapore Airlines, maskapai tersebut menawarkan sensasi makan dalam kabin pesawat.

Sementara itu Maskapai Thai Airways menjual inflight meal kepada konsumen. Tentunya, masakan tersebut diracik oleh chef dari maskapai miik Kerajaan Thailand itu.

Ilustrasi restoran di kabin pesawat.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Ilustrasi restoran di kabin pesawat.

Wajah Terbaru Maskapai di Indonesia

Di Indonesia, berbagai perusahaan maskapai penerbangan tak mau ketinggalan menjajal berbagai bisnis baru, bahkan di luar aviasi.

Terobosan bisnis yang terbilang nekat itu dilakukan demi bisa bertahan di tengah tekanan pandemi Covid-19.

Berbagai sektor di luar aviasi mulai dijajal. Mulai dari fokus menggarap penerbangan kargo, carter, lifestyle, hingga e-commerce.

 

Garuda Indonesia

Garuda Indonesia menjadi salah satu maskapai di Indonesia yang terdampak pandemi. Kinerja keuangan yang seret membuat maskapai pelat merah ini terus menumpuk utang.

Berdasarkan catatan Kementerian BUMN, beban biaya Garuda Indonesia mencapai 150 juta dollar AS per bulan, namun pendapatan yang dimiliki hanya 50 juta dollar AS.

Artinya, perusahaan merugi 100 juta dollar AS setiap bulannya.

Buruknya keuangan perusahaan tak lepas dari rendahnya penerbangan penumpang, sedangkan ratusan pesawat yang tak beroperasi harus tetap dibayarkan sewanya kepada lessor.

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, pada penerbangan berjadwal rute domestik di 2020, Garuda Indonesia dan anak usahanya, Citilink, hanya berhasil mengangkut 10,04 juta penumpang dengan pangsa pasar 28,3 persen.

Pangsa pasar mereka turun dibandingkan dari 2019 yang sebesar 34,5 persen.

Alhasil, Garuda Indonesia melaporkan kinerja keuangan yang merugi di sepanjang 2020. Maskapai milik negara itu, membukukan rugi bersih 2,44 miliar dollar AS, naik 61,74 persen dari 2019 yang tercatat rugi 38,93 juta dollar AS.

Baca Juga: Sederet Penyebab Krisis Keuangan Garuda Indonesia

Pandemi yang masih berlanjut di 2021, seiring dengan pembatasan mobilitas masyarakat, membuat Garuda Indonesia melanjutkan kerugian.

Hingga Juni 2021, maskapai ini merugi 898,66 juta dollar AS, naik 26,29 persen dibandingkan pada akhir Juni 2020 yang rugi 728,14 juta dollar AS.

Pengurangan karyawan, pemotongan gaji, hingga pengurangan pesawat menjadi strategi perusahaan untuk mengurangi beban operasional.

Penerbangan kargo di Bandara Internasional Kertajati, Jawa Barat, resmi beroperasi setelah Pemprov Jabar resmi meneken naskah kerja sama dengan PT Garuda Indonesia. Prosesi itu ditandai penerbangan kargo dengan pesawat Garuda Indonesia menuju Bandara Internasional Hang Nadim, Batam, Selasa (23/2/2021).
Humas Pemprov Jabar
Penerbangan kargo di Bandara Internasional Kertajati, Jawa Barat, resmi beroperasi setelah Pemprov Jabar resmi meneken naskah kerja sama dengan PT Garuda Indonesia. Prosesi itu ditandai penerbangan kargo dengan pesawat Garuda Indonesia menuju Bandara Internasional Hang Nadim, Batam, Selasa (23/2/2021).

Kini dari sebanyak 142 pesawat, Garuda Indonesia hanya beroperasi dengan 53 pesawat. Sebagian besar pesawat telah dikembalikan ke lessor.

Setelahnya, Garuda Indonesia mengalihkan fokus ke lini bisnis kargo, yakni dengan membuka carter kargo dan meluncurkan KirimAja, layanan pengiriman barang berbasis aplikasi digital.

Tak hanya itu, maskapai ini juga mendorong pengembangan GarudaShop, platform berbasis website yang menjual produk jaket hingga tas berlogo Garuda Indonesia, sekaligus menjual produk kosmetik, parfum, fesyen, kesehatan, hingga mainan anak.


Lion Air

Rendahnya penerbangan penumpang akibat pandemi juga dirasakan oleh Lion Air Group, meski sejumlah kalangan menyebut maskapai ini lebih berdaya tahan dibanding lainnya. Hal itu seiring dengan pangsa pasarnya di penerbangan domestik menjadi yang terbesar.

Data Kementerian Perhubungan mencatat, Lion Air, Batik Air, dan Wings Air berhasil mengangkut 21,48 juta penumpang atau memiliki pangsa pasar 60,6 persen. Angka ini adalah rute domestik akumulatif sepanjang tahun 2020.

Meski menjadi maskapai dengan pangsa pasar terbesar, capaian jumlah penumpang tersebut anjlok hingga 46,2 persen dibandingkan tahun 2019.

Namun, setidaknya Lior Air Group berhasil meyakinkan masyarakat untuk menggunakan layanan mereka. 

Dampak pandemi juga terlihat dari keputusan perseroan pada Juli 2020 lalu yang sempat memangkas karyawan, serta memotong gaji seluruh karyawan dan manajemen. Pengurangan pekerja sekitar 25 persen-35 persen dari total 23.000 karyawan. 

Baca Juga: Usai Rumahkan Pegawai, Kini Lion Air Pulangkan 6 Pesawat ke Lessor

Kendati demikian, masih di bulan yang sama, maskapai milik Rusdi Kirana ini kembali merekrut 2.600 karyawannya yang sempat tak diperpanjang kontrak.

Menariknya, Lion Air kembali menambah dua pesawat berbadan lebar (wide body) pada Januari 2021 lalu yakni Airbus 330-900NEO.

Hingga Februari 2021, secara kumulatif Lion Air Grup memiliki 283 pesawat.

Petugas kebersihan bandara bersiap sebelum memasuki pesawat Lion Air Boeing 737-800 untuk melakukan sterilisasi di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten (17/3/2020). Lion Air Grup melakukan sterilisasi pesawat sebagai langkah pencegahan dalam menghadapi wabah penyakit akibat virus Covid-19.
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG
Petugas kebersihan bandara bersiap sebelum memasuki pesawat Lion Air Boeing 737-800 untuk melakukan sterilisasi di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten (17/3/2020). Lion Air Grup melakukan sterilisasi pesawat sebagai langkah pencegahan dalam menghadapi wabah penyakit akibat virus Covid-19.

Tentu tak seluruhnya pesawat itu dioperasikan mengingat kondisi industri penerbangan di masa pandemi. Lion Air Group rata-rata mengoperasikan 10 persen-15 persen dari kapasitas normal sebelum pandemi.   

Lion Air menjadi maskapai yang tetap berupaya bertahan dengan fokus pada bisnis aviasi. Maskapai ini memperkuat pangsa pasarnya dengan menawarkan sejumlah promo tarif tiket, serta menawarkan layanan tes antigen dan RT-PCR dengan harga yang lebih murah dari pasaran.

Selain berupaya mempertahankan penerbangan penumpang, Lion Air juga memperkuat lini bisnis kargonya melalui carter kargo dan Lion Parcel untuk menjaga kontinuitas perusahaan. Kinerja Lion Parcel sendiri naik 30 persen di kuartal I-2021.

 

Air Asia

Air Asia menjadi maskapai asing yang membuka penerbangan domestik di Indonesia. Maskapai asal Malaysia yang dimiliki Tony Fernandes ini tak lepas dari dampak negatif pandemi, namun terbilang upayanya cukup inovatif untuk bisa bertahan.

Kinerja keuangan Air Asia Indonesia sepanjang 2020 merugi Rp 2,75 triliun, kian mendalam dari kerugian di 2019 yang sebesar Rp 157,47 miliar. Raport merah ini berlanjut hingga di Juni 2021 perseroan membukukan rugi Rp 1,16 triliun, lebih tinggi dari kerugian di Juni 2020 yang sebesar Rp 909 miliar. 

Baca Juga: AirAsia Indonesia Hentikan Penerbangan Berjadwal hingga 30 September 2021

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, pada penerbangan berjadwal rute domestik di sepanjang 2020, AirAsia Indonesia berhasil mengangkut 1,1 juta penumpang atau pangsa pasarnya sebesar 3,1 persen.

Berbagai upaya dilakukan AirAsia untuk bisnisnya bisa berkelanjutan, mulai dari fokus pada lini bisnis kargo hingga merambah lini bisnis di luar aviasi.

Maskapai ini punya platform digital airasia.com, aplikasi super (super apps) yang mencakup online travel agent (OTA), e-commerce, hingga finansial teknologi (fintech).

AirAsia meluncurkan lini bisnis terbarunya di bidang e-commerce, airasia beauty.
DOK AIRASIA
AirAsia meluncurkan lini bisnis terbarunya di bidang e-commerce, airasia beauty.

Khusus di Indonesia, super apps dengan target memenuhi kebutuhan perjalanan dan gaya hidup sehari-hari tersebut, menawarkan layanan penerbangan, hotel, penjualan produk kecantikan hingga fesyen, asuransi, dan layanan konsultasi konsumsi makanan dengan ahli diet profesional.

Dalam pengantaran produk yang dijual melalui super apps, AirAsia mengandalkan lini usaha logistiknya, Teleport.

Sementara, untuk layanan asuransi, AirAsia tak hanya berkutat di asuransi perjalanan penerbangan, namun juga di asuransi jiwa syariah, asuransi gadget, asuransi bermain golf, asuranasi barang belanjaan, hingga asuransi bermain di fasilitas ski.


Super Air Jet

Hal yang menarik di industri penerbangan nasional adalah, ketika maskapai eksisting berlomba-lomba untuk mempertahankan bisnisnya agar tidak kolaps di tengah tekanan pandemi, justru Indonesia kedatangan maskapai baru, Super Air Jet.

Maskapai yang dibakarkan merupakan besutan Pendiri Lion Air Rusdi Kirana ini, memiliki konsep berbiaya rendah atau low cost carrier (LCC) yang pasarnya fokus kepada kalangan muda atau milenial.

Super Air Jet sudah mengantongi Sertifikat Operator Penerbangan (Air Operator Certificate/AOC) nomor 121-060, serta mengantongi Surat Izin Usaha Angkutan Udara Berjadwal (SIUAU-NB) dengan Nomor SIUAU/NB-036 dari Kementerian Perhubungan.

Baca Juga: Coba Penerbangan Perdana Super Air Jet Jakarta-Palembang, Seperti Apa Rasanya?

Maskapai dengan kode penerbangan IU dari IATA tersebut, melakukan penerbangan perdana pada 6 Agustus lalu. Pada tahap awal Super Air Jet beroperasi dengan tiga pesawat Airbus 320-200 berkapasitas 180 kursi kelas ekonomi.

Penampakan maskapai baru Super Air Jet yang segera lepas landas perdana dalam waktu dekat.
dok. Super Air Jet
Penampakan maskapai baru Super Air Jet yang segera lepas landas perdana dalam waktu dekat.

Hingga kini Super Air Jet telah melayani penerbangan dari enam bandara yakni Bandara Internasional Soekarno Hatta (Tangerang), Bandara Internasional Kualanamu (Medan), Bandara Internasional Hang Nadim (Batam).

Kemudian Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang), Bandara Internasional Minangkabau (Padang), dan Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II (Pekanbaru).

Saat ini, rute penerbangan Super Air Jet memang masih seputar Pulau Jawa dan Sumatera. Selain fokus merintis pembukaan rute-rute baru di domestik, maskapai ini belum merambah lini bisnis lainnya.

Quality Leisure Economy jadi Solusi? 

Kegigihan perusahaan-perusahaan maskapai penerbangan itu bertahan dari dampak pandemi Covid-19 patut diacungi jempol. Sebab, ada ribuan tenaga kerja di sana yang juga tengah berjuang menghidupi keluarga.

Namun sayangnya terobosan bisnis itu belum mencatatkan keuntungan, setidaknya hingga artikel ini ditayangkan.

Bisnis-bisnis baru yang mereka tekuni hanya seperti plester luka. Tak menyembuhkan, hanya menutupi untuk sementara waktu. Tak ada jaminan pula akan sembuh, atau justru semakin parah.

Lantas, adakah jalan lain?

Mari pertama-tama kita mulai dari membaca kondisi psikologis masyarakat terlebih dahulu. Barangkali ada jawabannya. 

Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sekitar 19 bulan ini membuat masyarakat lelah. Bahkan tak jarang berujung frustasi. Fenomena ini dijuluki para pakar sebagai ‘kelelahan menghadapi wabah’ alias pandemic fatigue.

Kelelahan psikologis itu mendorong orang untuk melakukan hal-hal yang selama pandemi jadi sasaran pembatasan. Salah satunya adalah bepergian.

Survei Penelitian dan Pengembangan Kompas (Litbang Kompas) terhadap 1.200 orang pada Juli-Agustus 2020 menunjukkan, 38,5 persen responden menyatakan masih ingin berwisata.

“Ini jumlah yang cukup besar dan menurut kami ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Bisa dibayangkan, pandemi memaksa kita bekerja di rumah, untuk tetap stay di rumah dan itu menyebabkan stress. Wajar bila orang ingin berwisata,” ujar perwakilan tim Litbang Kompas, Nila Kirana.

Dari temuan ini, sekilas ada titik terang bagi kebangkitan industri penerbangan.

Boleh jadi leisure economy yang sempat menjadi kunci sukses industri aviasi bisa bangkit kembali. Boleh jadi pula pandemi Covid-19 bukanlah akhir dari tren leisure economy.

Bagaimanapun, demand orang untuk selalu bepergian akan tetap ada dan leisure economy kemungkinan kembali jadi tren, namun diikuti oleh berbagai standard baru yang berbeda dari waktu sebelumnya.

Sebagaimana yang tertuang dalam riset yang dirilis oleh UN ESCAP, sebuah komisi PBB yang fokus pada kerja sama ekonomi dan sosial negara-negara kawasan Asia dan Pasifik. Riset itu menunjukkan berbagai negara kemungkinan akan menerapkan standard kesehatan bagi wisatawan asing yang ingin masuk.

Artinya, turis tak cukup hanya bawa uang sebagaimana yang terjadi di waktu-waktu sebelumnya. Lebih dari itu, mereka harus dalam kondisi sehat saat masuk ke sebuah negara.

Baca juga: Pandemi Covid-19, Akhir dari Tren Leisure Economy?

Berbagai kemungkinan ini sekaligus akan membuka opportunity baru bagi berbagai penyedia jasa layanan kesehatan untuk memberikan sertifikasi sehat yang berstandar internasional.

Ya, prediksi soal bangkitnya leisure economy akan sangat mungkin diikuti oleh bergeliatnya industri layanan kesehatan yang embedded dengan industri pariwisata.

Di sisi lain, kebiasaan setiap orang di masa pandemi juga akan menuntut pengelola wisata dan pemilik properti penunjang industri ini untuk lebih memerhatikan aspek kebersihan dan kesehatan. Tanpa memberi perhatian pada masalah kesehatan, siap-siap ditinggal pengunjung.  

Pada titik ini, artinya bukan tidak mungkin leisure economy versi kenormalan baru menjadi titik cerah bagi dunia penerbangan. Mungkin lebih pas bila kita menyebutnya sebagai quality leisure economy.

Foto dirilis Minggu (4/7/2021), memperlihatkan wisatawan menaiki sekoci untuk menuju Pulau Kelor, Nusa Tenggara Timur. Pandemi Covid-19 yang menghantam sektor pariwisata, membuat pemerintah terus melakukan penataan di kawasan Labuan Bajo dengan harapan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan pariwisata yang menurun saat ini.
ANTARA FOTO/RIVAN AWAL LINGGA
Foto dirilis Minggu (4/7/2021), memperlihatkan wisatawan menaiki sekoci untuk menuju Pulau Kelor, Nusa Tenggara Timur. Pandemi Covid-19 yang menghantam sektor pariwisata, membuat pemerintah terus melakukan penataan di kawasan Labuan Bajo dengan harapan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan pariwisata yang menurun saat ini.