Sekitar 33.000 warga masih tinggal di 699 unit hunian sementara di Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong. Bagi sebagian penyintas korban bencana gempa dan likuifaksi di Sulawesi Tengah ini, huntara sudah serasa neraka.
BUNGA, nama samaran. Gadis 16 tahun yang baru mekar. Tubuhnya sedang terbentuk, beberapa bagian sudah merekah.
Meski belum mekar benar, ia telah nampak memikat. Namun, ia pun tak menyadarinya sampai peristiwa bejat pada suatu sore itu.
“Waktu itu aku lagi mandi,” ujar dia kepada Kompas.com, pertengahan Agustus 2019.
Bunga bertutur, ketika ia menuju ke kamar mandi, tak ada yang terlihat mencurigakan. Di sekitar kamar mandi juga tak ada orang lain.
Karena itu, tanpa sungkan, di dalam kamar mandi ia menanggalkan pakaiannya. Lalu, byur...byur...byur..., ia mandi dengan bebasnya.
Namun, betapa kagetnya ia ketika menunduk. Di bawah bilik pembatas kamar mandi, yang terangkat dari lantai cukup tinggi, ia melihat sebuah cermin kecil dan jari-jari tangan.
Ia diintip!
“Aku langsung teriak dan keluar kamar mandi dengan ketakutan,” kata dia.
Belakangan ketahuan, yang mengintip Bunga adalah tetangganya sesama penghuni hunian sementara (huntara).
Inilah satu kisah dari huntara para pengungsi korban gempa dan likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah. Bunga bukan pula satu-satunya yang mengalami peristiwa serupa.
Anda dapat melompat ke bagian yang dikehendaki dengan mengklik menu di atas.
PELECEHAN. Itu satu jenis kekerasan yang membayangi para pengungsi korban bencana, terutama perempuan. Masih ada juga kasus lain, bahkan berisiko nyawa.
Direktur LIBU Perempuan, Dewi Rana Amir, mengungkapkan, dari 14 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan ke lembaganya antara Januari hingga Juli 2019, separuhnya adalah pelecehan.
Beberapa kasus itu modusnya macam-macam. Dari memakai cermin seperti dialami Bunga, sampai melubangi dinding kamar mandi. Yang lebih canggih, pelaku merekam para korban.
"(Kasus perekaman), korbannya seorang ibu muda yang sedang mandi. Yang memvideoakan anak SMA," kata Koordinator LIBU Maya Shafira.
Pemerintah mendirikan huntara sebagai rumah sementara untuk para penyintas bencana alam yang meluluhlantakkan sejumlah wilayah di Provinsi Sulawesi Tengah pada 28 September 2018.
Pemerintah mendirikan 699 huntara di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong. Tiap unit huntara itu terdiri dari sejumlah blok.
Satu blok huntara memiliki beberapa bilik, biasanya 12, mirip bedeng. Biliknya rata-rata berukuran 3 meter x 4 meter. Satu bilik diperuntukkan bagi satu kepala keluarga.
Terdata hingga akhir September 2019, ada sebanyak 8.808 kepala keluarga dengan sekitar 33.092 jiwa tinggal di penampungan ini.
Para penyintas tinggal di huntara sampai hunian tetap (huntap) selesai dibangun. Huntap merupakan rumah pengganti atas tempat tinggal yang hilang akibat bencana.
Diperkirakan, para penyintas di Sulawesi Tengah ini akan tinggal di huntara selama dua tahun, bisa juga lebih lama lagi.
Namun, bagi Vindy (40 tahun), belum setahun tinggal di huntara, hidupnya nyaris tamat.
Gara-gara urusan sepele, soal lampu, ibu tiga anak ini pada Juni 2019 dihajar suami sirinya, Hikam (30 tahun) sampai babak belur.
Menurut Vindy, suaminya itu sudah main kasar kepadanya sejak sebelum bencana.
“Sejak menikah 2017,” ujar dia.
Namun, setelah mereka tinggal di huntara, kekasarannya menjadi-jadi. Serasa hidup di neraka saja jadinya.
Puncaknya pada Juni 2019. Waktu itu kakaknya datang berkunjung. Vindy amat menghormati kakaknya ini.
“Saya ini cuma dikasih makan sama kakakku, (karena) suamiku tidak bekerja.”
Untuk menyenangkan kakaknya, dia menyalakan lampu. Namun, suaminya yang sedang tidur minta lampu itu dimatikan kembali sambil marah-marah.
“Akhirnya kakakku so bamarah. Dia pukul paituaku (suami),” katanya.
Akibat keributan itu, Hakim hengkang ke rumah orang tuanya di Mamboro. Selang beberapa hari, Vindy mendatangi rumah mertuanya untuk berdamai. Yang terjadi, di sana ia malah dianiaya suaminya.
“Dia pukul saya dari belakang dan saya pun terjatuh. Kemudian dia injak lagi saya sambil mengatakan ‘sudah begini kau injak-injak harga diriku’. Begitu dia bilang,” ujarnya.
Dengan berat hati Vindy melaporkan penganiayaan itu ke polisi. Karena keduanya menikah secara agama, tidak ada buku nikah, suaminya dilaporkan untuk pasal tindak penganiayaan.
Seperti kasus pelecehan di kamar mandi, kasus kekerasan terhadap perempuan rupanya juga menjadi wabah di huntara.
Data yang dihimpun Kompas.com menunjukkan, sepanjang Januari-Juli 2019, tercatat 134 laporan masalah perempuan dan anak.
Ini baru kasus yang dilaporkan ke LIBU Perempuan dan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST).
LIBU dan KPKP-ST adalah lembaga swadaya masyarakat yang melakukan advokasi terhadap penyintas perempuan dan anak di wilayah terdampak bencana di Palu dan sekitarnya.
Dari 134 laporan itu, sebanyak 68 laporan—14 masuk ke LIBU, 54 ke KPKP-ST--terkait tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tapi itu diyakini bukan angka sebenarnya.
“Kasusnya banyak terjadi, tapi tak dilaporkan. Ini seperti fenomena gunung es,” kata Direktur LIBU Perempuan, Dewi Rana Amir.
Di antara laporan kekerasan yang diterima LIBU, empat berupa kasus percobaan perkosaan, dua kasus akibat perselingkuhan, dan dua kasus penelantaran anak dan istri.
Ada pula satu kasus pelecehan seksual oleh oknum kepala sekolah. Perkara ini diselesaikan lewat proses mediasi dengan lembaga adat.
Ada juga satu kasus hubungan sedaran (inses) yang dilakukan seorang paman terhadap keponakannya.
Adapun laporan kasus terkait perempuan dan anak yang diterima KPKP-ST di antaranya tiga kasus perkosaan, empat kasus hamil di luar nikah, empat kasus perselingkuhan, dan empat kasus pemukulan anak.
Lembaga advokasi lainnya, Jejaring Mitra Kemanusiaan (JMK)-Oxfam, juga mencatat sejumlah kasus pemerkosaan, penelantaran, KDRT, dan perceraian.
“(Ini) sudah dilaporkan ke polisi. Prosesnya sementara berjalan. Jumlahnya sekitar 15 kasus yang dilaporkan,” kata Nining Rahayu, JMK Partnership Management dan Direktur LBH Apik.
JMK-Oxfam memantau 33 lokasi pengungsian di 30 desa. Lembaga ini menengarai, para penyintas perempuan itu bahkan banyak yang tak sadar telah menjadi korban kekerasan.
Maspa, Officer Gender JMK-Oxfam, punya ceritanya. Ia mengungkapkan, sekarang banyak perempuan yang menggerakkan ekonomi keluarga dari huntara. Dengan berjualan kue, misalnya.
“Ketika kami menanyakan uang hasil menjual kue itu untuk apa, jawabannya untuk makan dan untuk beli rokok suami,” ujar Maspa.
Menurut Maspa, perempuan bekerja yang hasilnya malah dipakai membelikan rokok suami yang tidak bekerja, sebenarnya sudah masuk kategori kekerasan.
Kasus semacam ini, menurut Maspa, banyak ditemukan di sejumlah titik pengungsian seperti di Buluri dan Langaleso.
Masih ada kasus lain yang memprihatinkan LIBU, yaitu pernikahan anak. Lembaga ini mencatat setidaknya ada 11 kasus ini di beberapa titik pengungsian.
“Yang terbanyak berada di titik pengungsian Petobo,” kata Dewi.
Menurut data terakhir yang masuk ke Tenda Ramah Perempuan yang dikelola LIBU, di Petobo ada lima kasus pernikahan anak, di Pantoloan tiga kasus, Jono Oge dua kasus, dan di Balaroa satu kasus.
Faktor penyebab pernikahan anak ini macam-macam. Salah satunya, pertimbangan ekonomi.
“Beberapa di antara anak-anak itu menikah dengan pria berumur, selebihnya menikah dengan pasangan yang juga berusia muda, antara 17-18 tahun,” kata Dewi.
Faktor penyebab pernikahan anak ini macam-macam. Salah satunya, pertimbangan ekonomi.
Misalnya, anak perempuan yang kedua orangtuanya meninggal dalam bencana didorong kerabatnya untuk menikah dengan lelaki yang istrinya meninggal karena bencana yang sama.
Dengan pernikahan itu, ujar Dewi, otomatis beban kerabat yang menanggung anak itu berkurang.
Yang memprihatinkan, ada juga kasus pernikahan anak karena hamil di luar nikah.
Narkoba. Ini satu lagi masalah di huntara, dari kasus pemakaian sampai peredaran. Lagi-lagi, kekerasan pun menyambangi perempuan dan anak karena masalah ini.
Volunter LIBU Perempuan, Nawira Wakid, mengungkapkan, diduga ada sejumlah anak di sebuah huntara di kota Palu yang menjadi kurir narkoba sekaligus menjadi pemakai.
“Informasi ini kami dapat dari cerita para ibu di huntara yang mengatakan ‘si itu pakai narkoba, si ini dijadikan kurir’,” kata Nawira.
Bahkan, lanjut Nawira, ada dugaan kasus peredaran obat-obatan terlarang tersebut melibatkan satu keluarga.
Di salah satu huntara, narkoba bahkan sudah meninggalkan jejak pada Lani (bukan nama sebenarnya).
Ia diamuk suaminya yang sedang berada di bawah pengaruh narkoba, gara-gara meminta uang untuk membeli susu anak mereka.
“Suaminya tidak kasih. Malah dia dipukul dan diusir oleh suaminya,” kata Nawira.
Belakangan, kata Nawira, suami Lani sudah ditangkap polisi atas kasus narkoba.
Menurut Dewi, ada banyak faktor yang menyebabkan kekerasan gampang meletup di huntara. Pusat masalahnya, sebut dia, kemiskinan.
“Kehilangan pekerjaan, kehilangan harta benda, menyebabkan banyak penyintas gampang tersulut emosi,” ujarnya.
Catatan kekerasan KPKP-ST menunjukkan jenis kekerasan pada perempuan dan anak di huntara-huntara itu berubah seiring waktu.
Menurut Ketua KPKP-ST Soraya Sultan, kasus yang paling menonjol di fase pemulihan saat ini adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“KDRT kini sudah mulai naik ratingnya dibanding pelecehan seksual. Dulu, awal bencana pelecehan seksual rating-nya di posisi pertama. Tapi sekarang terbalik.”
Soraya menduga, penyebabnya karena kian banyaknya pengungsi yang mengalami stres, baik karena belum mendapat pekerjaan maupun belum mendapat huntap, sementara bantuan logistik sudah tidak ada.
“Itu berpengaruh semua,” kata Soraya.
Apa pun penyebab kekerasan itu, menurut Maya Shafira, perempuan dan anak yang menjadi korban utamanya.
“Kekerasan terhadap perempuan dan anak terus saja mengintai, di mana saja berada, dalam situasi yang serba sulit sekali pun,” kata Maya.
Untuk memberikan tempat perlindungan kepada perempuan dan anak-anak di pengungsian, LIBU dan KPKP-ST bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulawesi Tengah, mendirikan 12 Tenda Ramah Perempuan (TRP).
Lokasi TRP ini dipilih berdasarkan data kasus kekerasan perempuan dan anak. Enam TRP dikelola LIBU, enam yang dikelola KPKP-ST.
Anda dapat melompat ke bagian yang dikehendaki dengan mengklik menu di atas.
PENGAMATAN lapangan Kompas.com terhadap 50 perempuan yang tinggal di empat titik huntara, yakni Balaroa, Petobo, Jono Oge, dan Potoya, mendapati pernyataan bahwa kondisi huntara tidak ramah bagi perempuan.
Salah satu yang paling mereka sorot adalah soal kamar mandi.
Menurut mereka, sungguh pun bilik kamar mandi untuk lelaki dan perempuan sudah dipisah, kedua bilik itu letaknya bersisian. Sebutan populernya, kamar mandi gandeng.
Kelima puluh perempuan ini mengatakan, kamar mandi gandeng membuat mereka rentan menjadi korban pelecehan seksual. Salah satu dari mereka bahkan mengaku selalu was-was ketika menggunakan kamar mandi di pengungsian.
“Dinding kamar mandi yang terbuat dari seng sudah banyak lubang. Sudah kami tutup dengan sabun bekas, besoknya masuk kamar mandi sudah ada lubang yang baru,” ujar dia yang tinggal di huntara Sigi.
Toilet gandeng di huntara menempatkan perempuan pada posisi sangat rentan dari tindakan asusila.
Satu perempuan lain mengatakan, pintu kamar mandi di huntaranya bahkan sudah rusak. Ada pula dari mereka yang mengeluhkan jarak dari bilik ke kamar mandi yang agak jauh.
“Jadi tidak aman kalau kami mandi,” kata dia.
Hanya pada malam hari saat diantar suami ke kamar mandi, perempuan ini mengaku merasa agak aman.
JMK-Oxfam yang memantau 33 titik pengungsian di 30 desa menguatkan temuan pengamatan lapangan ini.
Nining Rahayu, JMK Partnership Management dan Direktur LBH Apik, mengatakan, toilet gandeng di huntara menempatkan perempuan pada posisi sangat rentan dari tindakan asusila.
“Meski kami belum memiliki datanya, kasus pengintipan banyak sekali kami temukan di lapangan,” ujar Nining. .
Untuk mengurangi kasus pelecehan di area paling pribadi ini, JMK-Oxfam mengampanyekan gerakan anti-kamar mandi gandeng.
“Kami coba buat toiletnya terpisah atau berlawanan arah. Minimal toilet ini harus berlawanan arah, karena kalau berdampingan pelaku bisa beralasan ‘ah saya mau ke wc’, padahal ia datang untuk mengintip,” ujar Nining Rahayu.
JMK-Oxfam juga tengah mengampanyekan desain kamar mandi yang ramah bagi orang lanjut usia (lansia) dan penyandang disabilitas.
Banyak toilet juga membutuhkan penerangan mandiri
Saat ini di seluruh huntara yang berjumlah 699 unit baru ada 342 latrine atau wc inklusi yang dirancang ramah perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
Banyak toilet juga membutuhkan penerangan mandiri. Sejumlah lokasi pengungsi jauh dari jangakauan listrik.
Untuk itu, JMK-Oxfam mengampanyekan pula pemasangan panel surya yang mengonversi cahaya matahari menjadi tenaga listrik untuk penerangan di toilet.
“Saat ini solar panel baru terpasang di 25 titik di huntara kcamatan Balaesang Tanjung dan Sirenja, Kabupaten Donggala,” ujar Ichan, Protection Officer JMK-Oxfam.
Ichan mengatakan, pengadaan solar panel ini sedang digeber.
“Rencananya ada 11 titik lagi di Kabupaten Sigi yang akan kami pasang,” ujar dia saat dijumpai Kompas.com pada medio September 2019.
“Biar anak-anak dan perempuan yang mau ke toilet lebih aman kalau ada penerangannya,” imbuh Ichan.
Menurut Kepala Balai Prasarana Permukiman Provinsi Sulawesi Tengah Ferdy Kana Lo, kamar mandi huntara yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebenarnya sudah berbasis gender.
Dia merinci, setiap huntara yang masing-masing blok memiliki 12 bilik itu terdapat dapur umum, kamar mandi, dan toilet.
“Kalau kemudian terjadi pengintipan di kamar mandi, ya yang harus dibenahi adalah niat orang yang mengintip itu," ujar dia.
Namun Fredy mengakui perlu ada pengaturan soal kamar mandi ini.
“Misalnya, kamar mandi Blok 1 ditulisi (khusus) ‘Wanita’ dan Blok 2 kamar mandinya ditulisi (khusus) ‘Pria’,” kata dia.
Anda dapat melompat ke bagian yang dikehendaki dengan mengklik menu di atas.
==
Ikuti juga pemberitaan Kompas.com terkait para penyintas bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia dalam liputan khusus Bencana Belum Usai.
Ini merupakan bagian dari liputan bersama Kompas.com, harian Kompas, Kompas TV, dan Kontan bertema besar Voice for Voiceless.