JEO - Tokoh

Rabu, 13 Juli 2022 | 06:40 WIB

 Wawancara khusus bersama Presiden Standupindo Adjis Doaibu 

PANGGUNG para komika-sebutan bagi aktor stand up comedy-kini bukan hanya tampil melucu seorang diri, tetapi juga telah merambah ke berbagai tempat di industri hiburan Tanah Air.

Sebut saja, mulai dari pembawa acara, aktor/aktris, konten kreator, sutradara, produser, penulis skenario, penulis buku/novel, hingga konsultan komedi. Kemampuan menyusun alur kisah sampai menyulut urat tawa penonton memuluskan mereka dalam menapaki sejumlah posisi itu.

Karya berkualitas yang berbanding lurus dengan popularitas serta keuntungan finansial yang direngkuh komika pendahulu membuat kita tersadar bahwa stand up comedy dapat menjadi jembatan ke kehidupan lebih baik. Persepsi inilah yang kemudian menarik segelintir orang berbondong-bondong terjun ke dalamnya.

Di berbagai daerah, komunitas pelawak tunggal bermunculan dan melahirkan bibit-bibit baru. Kompetisi yang mempertemukan sekaligus mengasah kemampuan mereka semakin marak digelar. Karakter yang dimainkan pun semakin beragam, menambah khazanah “spesies baru” lawak di Indonesia.

Maka, tidak heran bila dunia stand up comedy berkembang begitu pesat dalam satu dekade terakhir.

Namun, Presiden Standupindo Abdul Aziz Batubara atau yang memiliki nama panggung Adjis Doaibu menilai, perkembangan stand up comedy di Indonesia saat ini belum lah seberapa. Para komika justru baru meretas jalan ke arah kejayaan.

Profil Adjis Doaibu

Ting. Sebuah pesan singkat masuk ke tim JEO Kompas.com, Kamis, 7 Juli 2022 sekitar pukul 15.00 WIB. “Yuk, sekarang,” demikian isi pesan itu. Kami kemudian bergegas masuk  ke sebuah gedung bertuliskan, “Markas Comika” yang terletak di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bangunan tiga lantai berkelir putih itu merupakan kantor salah seorang komika senior, Pandji Pragiwaksono.

Tetapi, bukan Pandji yang mengirimkan pesan singkat itu, melainkan Presiden Standupindo Adjis Doaibu yang baru saja menunaikan shooting sebuah konten di sana. Meminjam sebuah ruangan terbuka di lantai tiga, Adjis menuturkan banyak hal kepada kami tentang seluk beluk perjalanan dunia stand up comedy di Indonesia dari perspektifnya.

Wawancara JEO Kompas.com dengan Presiden Standupindo Abdul Aziz Batubara di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, (7/7/2022).
KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO
Wawancara JEO Kompas.com dengan Presiden Standupindo Abdul Aziz Batubara di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, (7/7/2022).

 Merajai panggung hiburan 

Adjis mengakui, perkembangan dunia lawak tunggal di Tanah Air saat ini sangat pesat. Komika boleh dibilang mulai merajai sejumlah tempat di industri hiburan. Beberapa komika tidak hanya tampil melucu di atas panggung, tetapi banyak pula yang menjadi orang di balik layar sebuah produk audio visual.

Nyaris di setiap program hiburan di televisi terdapat sosok komika. Belum lagi di Youtube dan platform media sosial lainnya. Situasi tak jauh berbeda bila kita menengok industri film. Banyak komika yang turut andil di dalamnya.

Pencapaian ini, diakui Adjis, sudah ada di dalam bayangannya sejak menapaki karier sebagai komika pada 2011 silam.

“Sudah diprediksi dari dulu, memang bakal kejadian seperti sekarang,” ujar Adjis.

Keyakinan Adjis dahulu didasarkan pada satu hal, yakni komedi, apapun bentuknya, adalah jenis hiburan yang paling mudah dinikmati.

Bila mendengar lagu, mungkin kita harus terlebih dahulu hapal liriknya agar bisa menikmati. Sama halnya seperti menonton film di mana kepuasan baru didapat setelah menonton. Tetapi untuk sebuah komedi, audiens tak perlu serumit itu memosisikan diri.

Effort-nya lebih ringan ketika menikmati stand up comedy. Enggak perlu mikir, enggak perlu hapal,” ujar Adjis.

Perkembangan media sosial yang begitu pesat turut andil dalam memudahkan orang mengakses materi-materi stand up comedy sehingga jenis lawak itu melebur ke keseharian masyarakat.

Selain itu, ada satu faktor yang membuat jasa para komika “terpakai” di industri film dan televisi. Komika seringkali mendapati naskah yang datar, padahal berpotensi menuai komedi. Dengan kemampuannya, naskah pun seringkali diimprovisasi agar lebih lucu serta memikat penonton.

“Kan jadi memangkas uang produksi PH untuk nyari konsultan komedi,” kelakar Adjis.

Meski demikian, Adjis mengatakan, apa yang dicapai dunia stand up comedy Indonesia saat ini belumlah seberapa. Sebab, Indonesia sangat luas. Jaringan teknologi komunikasi juga belum merata. Apa yang populer di kota-kota besar belum tentu terjamah daerah lain.

Dibutuhkan waktu setidaknya 10 tahun lagi hingga jenis komedi ini mencapai masa kejayaan sebagaimana yang telah dicapai pelawak-pelawak angkatan terdahulu.

“Mungkin sekarang baru 40 persen lah. Kalau kita ke daerah, belum tentu mereka tahu stand up comedy itu apa. Tapi kalau ngomongin Wendi Cagur, mereka pasti tahu. Mungkin butuh satu dekade lagi agar stand up comedy bisa dikenal se-Indonesia,” ujar Adjis.

Presiden Standupindo Abdul Aziz Batubara.
KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO
Presiden Standupindo Abdul Aziz Batubara. 

 Tiga titik lompatan 

Berbicara stand up comedy saat ini tentu tidak lengkap bila tidak menyinggung perjalanannya pada masa lalu.

Adjis menuturkan, tanpa disadari, lawak tunggal sebagai bagian dari jenis komedi telah dilakoni para komedian terdahulu. Dalam pementasan lenong contohnya. Terdapat satu babak di mana salah satu lakon muncul seorang diri dan melakukan monolog berisi materi-materi lucu. 

Metode ini lalu diadaptasi pelawak generasi berikutnya. Contohnya Patrio dan Cagur. Mereka menyelipkan monolog dalam setiap pementasan. Tak jarang melibatkan penonton di dalamnya demi menghidupkan jalan cerita.

Tetapi, materi yang disampaikan para pelawak itu merupakan hasil konstruksi bersama seluruh anggota tim yang terlibat, baik pemain, maupun konseptor di balik layar. Demi mendukung keseluruhan cerita, diatur pula sejumlah propert di atas panggung. Bila kisah mengambil topik tukang ojek, maka properti yang digunakan adalah pangkalan ojek beserta motor, dan sejenisnya.

Inilah yang menurut Adjis membedakan jenis komedi terdahulu dengan stand up comedy yang ada kini.

Stand up comedy lebih ke menyuarakan keresahan si komedian. Bukan hasil kesepakatan tim produksi. Makanya kalau diperhatikan, stand up comedian mengawali materinya dengan, ‘gue enggak ngerti ya…’ atau ‘gue bingung deh…’. Itu adalah bentuk dari keresahan si komika yang dituturkan dalam teknik komedi,” tutur Adjis. 

“Dari sisi set panggung, stand up comedian juga enggak butuh properti. Dengan latar belakang tirai saja misalnya, dia sudah bisa berbicara banyak keresahan, mulai dari tentang kemiskinan, politik, agama, pendidikan, seks, apapun. Sederhana tetapi mengena,” lanjut dia.

Berbeda dengan Eropa dan Amerika Serikat di mana stand up comedy sudah bagian menjadi budaya populer sejak awal abad ke-18, Indonesia sendiri baru mengenal jenis lawakan ini sejak menjelang milenium kedua.

Sebuah tempat nongkrong yang terletak di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, bernama Comedy Cafe Indonesia, menjadi ikon eksistensi stand up comedy di Indonesia gelombang pertama.

Beberapa saat kemudian, stasiun televisi Metro TV menelurkan  program khusus bagi para komika generasi awal. Program itu bernama Stand Up Comedy Show. Komika dalam program itu, antara lain Sammy Notaslimboy, Soleh Solihun, Cak Lontong, Abdel Achrian, dan Mongol Stress. 

Di luar itu, sejumlah komika juga mulai memopulerkan stand up comedy, antara lain Taufik Savalas (almarhum), Kelik Pelipur Lara, dan Iwel Sastra. 

Perjalanan Stand Up Comedy di Indonesia

Kemudian, gelombang kedua terjadi pada sekitar 2011. Saat itu, stasiun televisi Kompas TV menjadi pelopor dengan menyelenggarakan kompetisi stand up comedy pertama di Indonesia. Pesohor stand up comedy dalam negeri, yakni Pandji Pragiwaksono dan Raditya Dika didaulat menjadi pembawa acara. Sementara, sosok yang menjadi juri adalah Butet Kertaradjasa, Indro Warkop, dan Astrid Tiar.

Dalam kompetisi itu, lahir komika-komika berbakat. Salah satunya adalah Ernest Prakasa yang kini sudah malang melintang sebagai aktor, penulis naskah, produser, dan sutradara film.

Pada tahun ini pula, Butet sebagai aktor sekaligus pemain teater senior sudah memprediksi bahwa “merekalah (komika) pemilik masa depan dunia lawak Indonesia.”

Adjis melanjutkan, kehadiran kompetisi di televisi ini menyumbang kontribusi bagi pesatnya perkembangan stand up comedy di Indonesia selain kompetisi yang digelar di platform digital. Kompetisi itu tidak hanya menjadi batu loncatan karier para komika, tetapi tanpa disadari turut memopulerkan jenis lawak tunggal ke penjuru Indonesia.

Buktinya, setiap kompetisi stand up comedy di televisi digelar, panggung-panggung open mic di sejumlah daerah pasti lebih ramai dibandingkan biasanya.

Komunitas stand up comedy se-Indonesia itu punya hari tertentu untuk open mic. Fun fact-nya, setiap ada kompetisi di TV, panggung-panggung open mic itu lebih ramai, baik penonton atau orang yang mencoba. Jadi TV memang diperlukan,” ujar Adjis.

Pada era ini pula, sejumlah pesohor stand up comedy Tanah Air membentuk wadah bagi para komika bernama Standupindo. Sejumlah tokoh menjadi founder dari “PSSI-nya” para komika di penjuru Indonesia itu, yakni Pandji Pragiwaksono, Ernest Prakasa, Raditya Dika, Ryan Adriandhy, dan Isman H. Suryaman.

Menurut catatan Standupindo hingga tahun 2021, total jumlah komunitas stand up comedy se-Indonesia sebanyak 130 dengan 300-an anggota.

Beragamnya komunitas stand up comedy itu, menurut Adjis, menjadi berkah tersendiri bagi industri hiburan di Tanah Air.

Stand up comedy ini kan besar di barat. Tetapi, ketika dibawa dan berkembang di Indonesia, banyak sekali adaptasi dengan kearifan lokal. Mulai dari sentuhan logat yang beragam, dan keresahan yang dibawa komika setiap daerah itu berbeda-beda. Inilah yang memperkaya dunia hiburan Indonesia,” lanjut Adjis.

Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) IX menggelar babak Eliminasi 2 pada Jumat (5/2/2021).
DOK. KOMPAS TV
Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) IX menggelar babak Eliminasi 2 pada Jumat (5/2/2021).

Gelombang stand up comedy belum berakhir sampai di situ. Menurut Adjis, meskipun setelah 2011 sudah banyak komika bermunculan dan mengisi dunia hiburan, tetapi belum banyak mendapatkan tempat di industri televisi dan film.

Para komika baru memulai gebrakan di industri itu sekitar tahun 2014. Saat itu, mulai muncul film-film yang diperankan oleh komika. Tak hanya itu, komika juga turut andil dalam proses produksinya. 

"Salah satunya Comic 8. Selain itu ada Malam Minggu Miko yang dibuat Raditya Dika. Ada juga series di Youtube yang dibuat Ernest,” papar Adjis.

Gebrakan para komika di industri televisi dan film tak bisa dilepaskan pula dari munculnya tim manajemen yang dikelola profesional. Sebut saja Haha Corp milik Ernest Prakasa, Comika milik Pandji Pragiwaksono, dan Majelis Lucu Indonesia (MLI)

 

 Mengolah keresahan politik 

Sebagaimana yang telah diketahui bersama, stand up comedy merupakan penyampaian keresahan yang dirasakan sendiri oleh komika. Selain tentang kehidupan sehari-hari, tak jarang mereka mengungkapkan keresahannya tentang situasi sosial politik Tanah Air. Terselip pula kritik di dalamnya.

Pada titik ini, Adjis menyadari bahwa stand up comedy rentan bersinggungan dengan kekuasaan yang boleh jadi berimplikasi pada hukum. Oleh sebab itu, ia menetapkan sejumlah prinsip dalam merancang materi stand up comedy-nya agar tidak terjerumus pada perkara hukum.

Pertama, ia menggali hal yang telah menjadi kesepakatan publik. Hal itu bisa ia dapat dari pengamatan di media sosial, berbincang dengan orang yang relevan, dan membaca artikel di media massa.

Salah satu contohnya adalah ketika ia diberi kesempatan me-roasting Menteri BUMN Erick Thohir. Roasting dalam dunia stand up comedy adalah bentuk mengejek atau meledek seseorang menggunakan teknik komedi. Hal itu dilakukan bukan untuk maksud negatif, melainkan sebagai bentuk penghormatan dalam kesetaraan.

Dalam roasting itu, berkali-kali Adjis melontarkan kalimat “bismillah, semoga menjadi komisaris.” Materi itu, sebut Adjis, sebenarnya menggambarkan  praktik “bagi-bagi kue” kekuasaan pascapemilu. Diketahui, Menteri BUMN adalah pejabat yang berwenang untuk memilih seseorang sebagai komisaris di BUMN.

“Itu kan sebenarnya satir bagi seseorang yang dekat dengan penguasa, lalu berharap mendapat timbal balik. Nah, di Twitter banyak yang begitu. Muji-muji pemerintah, lalu ditulis bismillah komisaris. Ini kan artinya orang-orang sudah sepakat,”ujar Adjis.

Dalam konteks ini, publik dinilai telah sepakat bahwa praktik “bagi-bagi kue” kekuasaan memang tengah terjadi. Adjis pun tak ragu lagi untuk mengangkatnya dalam balutan komedi.

Tangkapan layar momen Presiden Standupindo Abdul Aziz Batubara saat me-roasting Menteri BUMN Erick Thohir di salah satu stasiun televisi.
KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO
Tangkapan layar momen Presiden Standupindo Abdul Aziz Batubara saat me-roasting Menteri BUMN Erick Thohir di salah satu stasiun televisi.

Kedua, Adjis tak pernah menyusun materi stand up comedy dengan premis yang belum jelas. Ia memilih untuk memahami duduk persoalan terlebih dahulu sebelum menjadikannya sebagai premis dalam materi stand up comedy-nya.

Maka dari itu, ia seringkali membuang materinya ke tong sampah karena premis yang dipakai ternyata cacat logika atau ada penyanggahnya.

Ketiga, Adjis tidak pernah menyebutkan nama dan tempat untuk setiap materi stand up comedy yang ia tampilkan. Hal itu dilakukan demi meminimalisasi ketersinggungan yang berimplikasi pada hukum.

Meski begitu, tetap saja ada yang tersinggung seperti yang baru saja ia alami. Selepas tampil di acara Somasi milik Deddy Corbuzier, beberapa waktu lalu, Adjis mengaku ditelepon oleh seseorang. Orang itu protes dengan materi yang disampaikan Adjis.

“Dia bilang, walaupun kamu enggak nyebut nama saya, tapi kan orang-orang menganggapnya saya. Lalu gue jawab, ya jangan salahkan saya kalau begitu. Gue hanya menyampaikan keresahan tanpa menyebut nama. Perkara orang-orang berpersepsi Anda, itu haknya penonton,” ujar Adjis.

Ia menolak menyebutkan siapa orang yang meneleponnya.

Lebih jauh dari segala batas yang ia tetapkan itu, Adjis menekankan, tidak akan lepas tangan bila timbul implikasi hukum. Ia akan mempertanggungjawabkan materi yang dibawakannya. Ia menyadari, batas dan prinsip yang diterapkan hanya untuk meminimalisasi timbulnya perkara hukum, bukan menghilangkan sepenuhnya.

"Waktu bikin materi, rasa tanggung jawab itu sudah ada di gue. Karena respons orang nanti pasti akan berbeda-beda. Ada yang setuju, ada yang enggak," ujar Adjis. 

Ia menyadari, stand up comedy telah menjadi budaya populer di Indonesia. Oleh sebab itu, penting bagi para komika seperti dirinya untuk menetaskan karya yang orisinil, segar, kritis, tetapi tetap bertanggung jawab. Tidak hanya sekadar menyulut tawa.