JEO - Peristiwa

Kisah Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut, Berjuang Tanpa Surut

Minggu, 31 Desember 2023 | 07:20 WIB

SETAHUN sudah Revan Aji Pratama terbaring lemah di tempat tidur. Ia tidak bisa menggerakkan separuh tubuh bagian bawah.

Kondisi Revan tak kunjung membaik sejak ia mengonsumsi obat yang tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada Januari 2023.

Lubang di batang tenggorokan Revan masih menganga untuk membantunya bernapas.

“Masih lumpuh dan masih pakai trakeostomi buat napas dan masih pakai NGT (nasogastric tube) selang buat makan,” ujar Riyan Trinaji (29), ayah Revan, pada akhir Agustus 2023.

Saluran napas Revan dibuat melalui lubang di tenggorokan atau prosedur trakeostomi.

Sedangkan asupan makanan disalurkan melalui NGT berupa selang karet atau plastik yang elastis.

Benda itu dimasukkan ke hidung melalui kerongkongan hingga ke perut Revan.

Keluarga menanggung seluruh biaya pengobatan dan alat bantu agar Revan bertahan. Jaminan perawatan dari pemerintah bagi korban gagal ginjal akut seolah tak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Padahal, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah memberikan jaminan kepada korban hingga sembuh.

Bahkan, santunan materiel belum sampai ke keluarga Revan. Hingga November tahun ini, kata Riyan, proses pemberian bantuan baru pada tahap pendataan.

Akhir September lalu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Muhadjir Effendy menyatakan, Presiden Joko Widodo telah menyetujui pemberian bantuan uang tunai kepada korban.

Mekanisme pemberian melalui Kementerian Sosial yang didukung data dari Kementerian Kesehatan serta berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.

Ia menegaskan, pemberian santunan dasar kemanusiaan merupakan bentuk kehadiran dan kepedulian negara dalam kasus gagal ginjal akut. 

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga 26 September 2023, korban gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) mencapai 326 anak, baik yang telah disembuhkan maupun meninggal.

Data Korban GGAPA ini tersebar di 27 Provinsi dengan kasus tertinggi di DKI Jakarta.

Terkini, Kepolisian RI (Polri) menduga ada keterlibatan BPOM selaku regulator dalam peredaran obat yang menyebabkan gagal ginjal akut.

Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Brigjen Nunung Syaifuddin mengungkapkan, polisi terus mengusut keterlibatan BPOM ini.

Pertengahan Desember lalu, Nunung mengatakan, kasus tersebut sudah naik ke tahap penyidikan.

Riyan Trinaji (29), ayah dari Revan Aji Pratama, balita korban gagal ginjal akut, saat ditemui di rumahnya, Kemayoran, Jakarta Pusat, pada akhir Agustus 2023.
KOMPAS.com/Fika Nurul
Riyan Trinaji (29), ayah dari Revan Aji Pratama, balita korban gagal ginjal akut, saat ditemui di rumahnya, Kemayoran, Jakarta Pusat, pada akhir Agustus 2023.

Lubang di leher Revan

Pagi itu, Revan menangis tanpa suara. Ia meringis menahan sakit. Leher balita berusia dua tahun itu tampak berlubang, mengeluarkan bunyi seperti dengkuran orang dewasa.

Riyan Trinaji dan nenek Revan, Rusmini (53), seketika sibuk karena anak itu baru saja batuk.

Dengan hati-hati, Riyan dan Rusmini memasangkan satu ujung selang berukuran kecil pada lubang tabung trakea yang dipasang di batang tenggorokan Revan agar bisa bernapas.

Ujung lain selang itu dipasangkan pada mesin suction pump. Mesin itu bergetar, menyedot dahak di tenggorokan Revan.

Tindakan ini rutin dilakukan sekitar lima menit sekali ketika Revan kurang sehat, seperti menderita batuk.

Nangis begini, enggak ada suaranya,” kata Riyan, saat ditemui di rumahnya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (10/3/2023).

“Kakinya (tak bisa gerak). Tangan sedikit-sedikit masih bisa. Kaki doang yang belum bisa,” tutur Riyan.

Dalam beberapa bulan terakhir, Riyan selalu memangku Revan setiap hari. Namun, Ia tidak yakin anaknya itu bisa melihatnya.

Mata Revan terbuka, seperti sedang menatap langit-langit rumah kecilnya yang berada di dalam gang sempit, dekat Puskesmas Kebon Kosong II, Kemayoran.

Menurut Riyan, kadang Revan juga tidak mendengar ketika dipanggil.

“Kadang-kadang ini bocah dipanggil-panggil diam, tetapi kalau dipegang kaget. Jadi apa penglihatannya belum fokus atau bagaimana,” ujar dia.

Untuk anak seusianya, Revan seharusnya sudah bisa berjalan dan berlari. Namun, ia hanya terlentang di pangkuan bapaknya.

Kaki bocah itu kaku. Bahkan, tulang betis kirinya bengkok setelah dipasang infus oleh salah satu mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang praktik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

“Anak saya sekarang patah juga kakinya, sampai sekarang bengkok karena Revan itu pas zamannya ‘di-covid-in’ dia diinfus di dengkulnya ini,” kata Riyan.

Pada Mei 2022, setelah menerima imunisasi, badan Revan panas tinggi dan tidak kunjung turun.

Keesokan hari, Riyan dan istrinya membawa Revan ke RSUD Cibitung, Bekasi, untuk berobat. Ketika itu keluarga kecil Riyan masih menetap di Bekasi.

Sore harinya, pihak rumah sakit memerintahkan mereka pulang dan memberikan paracetamol sirup produksi PT Afi Farma.

Bukan sembuh yang didapat, panas Revan makin menjadi. Pada malam hari, suhu tubuhnya mencapai 40 derajat Celcius.

Riyan yang panik membawa anaknya ke Rumah Sakit Kartika Husada di Cibitung. Namun, dokter di rumah sakit itu belum menganggap Revan mengalami gejala serius.

“Katanya anak sampean (Anda) itu gemoy (berisi), enggak apa-apa, enggak bermasalah kok,” kata Riyan menirukan penuturan dokter.

Setelah minum obat itu, kondisinya memburuk dengan cepat. Hanya selang dua hari setelah meminum obat dari PT Afi Farma, badannya membengkak.

Pada malam berikutnya, kondisi Revan makin parah. Tak cuma bengkak, bocah itu sama sekali tidak buang air kecil.

“Dia enggak pipis langsung dia tuh. Pas sirupnya habis langsung badannya dia bengkak, enggak bisa pipis sama sekali,” ujar dia.

Riyan akhirnya meminta pihak RS Kartika Husada melakukan pemeriksaan laboratorium. 

Setelah hasil laboratorium keluar, pihak Kartika Husada mengusulkan agar Revan dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Saat itu, Revan disebut menderita gagal ginjal misterius. RSCM menjadi salah satu rumah sakit rujukan gagal ginjal akut.

Kemudian, pihak RSCM menyarankan Revan menjalani cuci darah.

Gejala gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI)

Sekitar awal Juni, setelah balita itu menjalani cuci darah hingga 9 kali, dokter menilai kondisinya membaik.

Setelah menjalani transfusi darah setengah kantong, Revan diminta pulang. Sebenarnya, Riyan tak percaya arahan dokter karena bocah itu masih muntah dan sesak napas.

Benar saja, hanya selang tiga jam setelah pulang ke rumah pukul 00.00 WIB, Revan kritis. Saat subuh, Riyan buru-buru membawa anaknya yang tidak sadarkan diri itu ke RSCM. 

“Langsung masuklah ke PICU (pediatric intensive care unit) selama 45 hari, enggak sadar 45 hari,” ucap Riyan.

Pada satu malam di bulan Juli, dokter memanggil Riyan dan mengabarkan bahwa detak jantung Revan semakin tipis.

Sekujur tubuh hingga kepalanya bengkak sampai matanya tak terlihat. Bocah itu tak merespons sama sekali.

Dokter RSCM menyebut Revan harus menjalani trakeostomi. Leher bocah itu mesti dilubangi pada dinding anterior trakea (batang tenggorokan) untuk mengatasi sumbatan jalan napas.

“Anak Bapak tidak bisa napas dan harus wajib per hari ini (tenggorokannya) dilubangi,” ujar dokter tersebut seperti disampaikan Riyan.

Dokter khawatir, terlalu lama menggunakan alat bantu pernapasan ventilator yang menyakitkan itu akan merusak pita suara anak.

Menurut dokter, tidak ada jalan lain bagi Revan.

Leher Revan pun dibedah, batang tenggorokannya dilubangi, dan dipasang kanul (tabung kecil) trakeostomi agar lubang di tenggorokannya tetap terbuka.

“Jadi dokter mutusin buat dilubangi,” kata Riyan.

Setelah menjalani tindakan trakeostomi, kondisi Revan membaik. Beberapa waktu kemudian ia dipindah ke ruang perawatan selama dua minggu.

Selanjutnya, ia diperbolehkan pulang pada akhir Juli dan menjalani rawat jalan.

Namun, derita belum usai. Ia harus kontrol pada delapan poli yang membuatnya harus setiap hari ke rumah sakit.

Pada satu waktu di bulan Agustus, badan Revan panas tinggi sehingga harus dibawa kembali ke RSCM.

“Panas tinggi, sampai trakeostominya keluar darah,” ucap Riyan.

Revan dinyatakan terpapar Covid-19. Petugas medis di RSCM memasangkan infus di lutut bocah itu.

Namun, bukannya membaik, menurut Riyan, kondisi anaknya semakin parah. Sebab, kaki Revan menjadi bengkok karena patah.

Salah seorang dokter kemudian menyebut tindakan pemasangan infus tersebut dilakukan mahasiswa yang sedang praktik.

“Jadi dia full (tidak bisa bergerak) kayak gini gara-gara disuntik begini, tadinya enggak kaku,” tutur Riyan.

“Karena ‘di-covid-in’, diisolasi, dimasukin infus jadi kayak begini, sekarang dia enggak bisa gerak sama sekali,” ujar dia.

 

Nestapa Kalandra

Kondisi serupa dialami Kalandra, buah hati Zaenudin (34) dan Tri Wulandari (34).

Pasangan itu masih ingat ketika anak mereka yang baru berusia 11 bulan mengalami dua kali hilang detak jantung dalam semalam di RSCM.

Perasaan Zaenudin dan Wulandari tak karuan, takut, dan menangisi kondisi anak ketiga mereka.

Tubuh Kalandra panas dingin, berkeringat, dan muntah cairan kuning. Selain itu, volume urine sangat berkurang.

Gejala ini muncul setelah Kalandra mengonsumsi satu setengah botol parasetamol produksi PT Afi Farma dari puskesmas.

Melihat gejala tidak wajar pada anaknya, Zaenudin dan istrinya membawa Kalandara ke RSUD Pasar Rebo untuk mendapatkan perawatan.

Dokter spesialis di rumah sakit itu kemudian menduga Kalandra terkena gagal ginjal akut misterius.

Ia menyarankan Zaenudin segera membawa anaknya ke RSCM karena RSUD Pasar Rebo tidak memiliki alat cuci darah untuk pasien anak.

Begitu mereka tiba di RSCM, dokter melontarkan kalimat yang mendobrak batinnya.

Menurut dokter, kondisi Kalandra pada malam itu masih bagus, tetapi keadaannya esok hari belum bisa diramalkan.

“Dokternya ngomong Kalandra sudah stadium 3 dan kondisinya sudah bukan kondisi biasa, sudah sakit berat dan kita enggak tahu bagaimana penanganannya karena memang obatnya belum ada,” kata Zaenudin, saat ditemui di rumahnya, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (25/1/2023).

Sama seperti kebanyakan korban gagal ginjal akut, Kalandra dirawat di ruang PICU. Namun, ia tidak langsung menjalani cuci darah seperti banyak pasien lainnya.

Menurut Zaenuddin, saat itu dokter RSCM menyebut kondisi Kalandra cenderung sehat dan segar. Dokter menyatakan tidak perlu buru-buru cuci darah.

“Karena yang kita lakuin ke anak-anak yang lain, cuci darah pun tetap, mereka pada berguguran semua,” kata Zaenuddin, menirukan penjelasan dokter.

Selain karena kondisi Kalandra yang menurut dokter cenderung lebih segar, ia juga akan menjadi pasien yang mencoba obat fomepizole dari Singapura.

Dokter memberikan Zaenudin dan istrinya edukasi terkait obat dari negeri tetangga tersebut. Sebagai orang awam, mereka pasrah. Setelah itu, obah disuntikkan ke tubuh Kalandra.

Saat tengah malam, Zaenudin yang sedang menunggu di ruang basement, dipanggil untuk naik ke lantai 4, tempat ruang PICU. Kemudian, ia mendapatkan kabar yang membuat air matanya menetes.

“Bahwasanya anak bapak lagi hilang jantung,” kata Zaenudin, menirukan petugas medis.

Dokter meminta Zaenudin menandatangani surat persetujuan tindakan untuk mengembalikan denyut jantung Kalandra.

Zaenudin lemas saat melihat anaknya ditangani perawat dan dokter. Beberapa waktu kemudian, dokter menyatakan Kalandra selamat.

Zaenudin bisa bernapas lega. Ia kembali turun ke basement tempat para keluarga pasien menunggu.

Namun, hanya berselang beberapa jam, tepatnya pukul 04.30 WIB pagi, dokter kembali memanggil Zaenudin ke lantai 4.

“Anak bapak hilang (detak) jantung lagi,” kata Zaenudin menirukan dokter. “Kami sudah semakin ngeri saja karena sudah dua kali hilang (detak) jantung itu,” ujar dia.

"Kami sudah semakin ngeri saja karena sudah dua kali hilang jantung."

Zaenudin bersyukur, nyawa Kalandra masih tertolong.

Setelah bocah itu kehilangan detak jantung dua kali, dokter RSCM buru-buru mengarahkan Kalandra untuk menjalani cuci darah dua kali.

Artinya, meski sudah mengonsumsi obat yang diimpor dari Singapura, Kalandra tetap harus menjalani cuci darah.

Namun, kondisi Kalandra tidak lantas membaik. Setelah menjalani cuci darah yang pertama, anak itu mulai kehilangan kesadaran.

Kondisi ini pun membuat Zaenudin dan istrinya kembali dibekap kengerian. “Ini anak enggak sadar di sana, enggak ada reaksi apa-apa,” kata Zaenuddin.

Selama beberapa minggu, kata Zaenuddin, mata Kalandra terbuka tetapi tidak berkedip.

Kondisi itu berlangsung lama hingga matanya mengering. Dokter RSCM pun menutup kelopak mata Kalandra dengan plester.

“Ditutup pakai plester biar enggak kering matanya, enggak melek terus. Memang dia itu sempat kering matanya,” ujar Zaenudin.

Kondisi Kalandra tidak sadarkan diri berlangsung selama sekitar satu bulan. Terlalu lama bocah itu tertidur di atas ranjang PICU dengan luka di bagian belakang kepalanya.

Menurut Zaenudin, karena begitu lamanya Kalandra terbaring di atas perlak atau underpad tanpa dibolak-balik, kulitnya lecet karena panas.

Bekas tidur panjang Kalandra pun menjadi luka berukuran cukup besar di bagian belakang kepalanya.

“Agak besar, agak bolong karena mungkin panas underpad itu, panas juga dia enggak dibolak-balik sampai itu lembek,” kata Zaenudin. “Lembek keluar cairan itu sempat bolong juga, sempat gede juga awalnya,” tambah dia.

Selama satu bulan, Zaenudin dan istrinya hanya bisa berdoa dan menangis. Mereka sama sekali tidak mengetahui apakah anaknya masih bisa selamat.

Sementara, mereka mendengar beberapa pasein gagal ginjal akut meninggal. Zaenudin masih ingat nama-nama anak yang dirawat dalam kurun waktu berdekatan dan tidak tertolong.

“Nana, Aisyah, Aizah, Aldiano, Rosalia. Lima-lah, (satu) angkatan lima orang yang meninggal,” ucap dia.

Selama tidak sadarkan diri, dokter memberikan beberapa kali obat penawar dari Singapura.

Menurut dia, obat tersebut bukan untuk menyembuhkan sakit yang diderita korban gagal ginjal akut, melainkan memberhentikan penyebaran racun dari obat sirop yang dicampur EG dan DeG.

Kata Zaenudin, tidak sedikit anak yang meninggal setelah mengonsumsi obat tersebut. Diduga racun dari obat sirop itu telah menyebar ke organ lainnya.

“Ada yang pendarahan di paru-paru. Jadi sebenarnya obatnya bukan untuk menyembuhkan juga,” kata dia.

Setelah tiga puluh hari tak sadarkan diri, napas Kalandra membaik dan tangannya bergerak. Zaenudin tidak tahu apakah anaknya kejang atau sadar.

Menurut dokter, perilaku Kalandra menunjukkan anak itu sedang melawan dan berusaha bangun.

“Jadi tangannya gerak-gerak saja. Awal pertama dia sadar dia dari situ, itu sudah sekitar satu bulanan.”

Setelah sadar, Kalandra dipindah ke ruang perawatan selama 10 hari. Karena kondisinya membaik, pihak RSCM membolehkan mereka pulang.

Balita korban obat sirop mengandung EG/DEG penyebab gagal ginjal akut (AKI), Kalandra (2,2 tahun), menangis di kediamannya, Rabu (25/1/2023). Orang tua Kalandra berusaha menenangkannya.
KOMPAS.com/Fika Nurul
Balita korban obat sirop mengandung EG/DEG penyebab gagal ginjal akut (AKI), Kalandra (2,2 tahun), menangis di kediamannya, Rabu (25/1/2023). Orang tua Kalandra berusaha menenangkannya.

Sistem imun melemah

Sejak terkena gagal ginjal akut, sistem imun Kalandra melemah. Anak itu menjadi mudah sakit.

Sebelum mengonsumsi parasetamol produksi PT Afi Farma, Kalandra tidak mudah tertular penyakit. Meski kakaknya mengalami demam, batuk, dan gejala lainnya, balita itu tetap sehat,

“Beda dengan sekarang, setelah kena penyakit gagal ginjal akut itu. Kalau sekarang abangnya sakit, sudah pasti dia cepat tertular,” kata Zaenudin.

Secara fisik, Zaenudin dan istrinya melihat anak mereka tampak biasa saja. Bentuk tubuh maupun warna kulit juga mereka anggap normal.

Namun, Zaenudin tidak mengetahui kondisi organ dalam anaknya. Perubahan yang kentara yaitu Kalandra mudah sakit, rewel, dan penakut.

Saat ditemui Kompas.com misalnya, Kalandra berkali-kali menangis di atas pangkuan ayahnya, wawancara pun tertunda. Saat digendong ibunya, bocah itu tampak sukar merasa tenang.

“Makanya setelah pulang dari RSCM pun sudah berapa kali dirawat juga karena dia panas tinggi,” kata dia.

Meski sudah pulang, Zaenudin dan istrinya masih harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani kontrol ke poli anak.

Selain itu, dalam waktu tiga bulan sekali, ginjal Kalandra harus diperiksa.

Meski sudah pulang dari rumah sakit, Zaenudin dan istrinya mengaku masih dibayangi ketakutan.

Sebab, mereka tidak mengetahui kondisi anaknya dalam waktu ke depan. Selain itu, karena tinggal di rumah, mereka tidak dipantau oleh tenaga medis.

“Pulang pun kalau kita dibilang senang, senang. Tapi ada rasa ketakutan ini bagaimana ke depannya,” kata dia.

 

Tak tertolong

Perasaan cemas Zaenudin dan Tri Wulandari meski anak mereka sudah boleh pulang bukan tanpa alasan.

Sebab, Rizki Fajar Pamungkas (11) yang sudah duduk di bangku kelas 6 SD meninggal dunia setelah diizinkan pulang dari rumah sakit.

Ayah Rizki, Julikus Prianto (58) mengungkapkan, Rizki sempat mengalami demam.

Kemudian ia dibawa ke klinik dan mendapatkan obat parasetamol sirup. Namun, selang beberapa waktu kemudian, bentuk tubuhnya berubah.

“Terjadi pembengkakan di pipi anak saya,” kata Julikus, saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (17/1/2023).

Julikus pun membawa anaknya ke puskesmas dan disarankan ke rumah sakit yang lebih memadai.

Rizki kemudian dibawa ke Rumah Sakit Harapan Jayakarta, Jakarta Timur dan menjalani dua kali tes urine. Anak itu didiagnosis terkena kelainan jantung.

Mendengar hal ini, Julikus segera mencari rumah sakit yang lebih baik. Akhirnya, Rizki dirawat di Rumah Sakit Hermina.

Pada masa awal pemeriksaan di rumah sakit itu, Rizki tetap boleh sekolah dengan catatan tidak boleh lelah. Keluarga Julikus pun menunjukkan beberapa foto Rizki di sekolah saat itu.

“Masih tetap sekolah dengan catatan anak ini enggak boleh capek. Ini anak sudah kelas 6 SD,” ujar Julikus.

Namun, pada salah satu hari Rizki mengalami sesak napas. Ia pun dirawat di IGD Rumah Sakit Hermina sebelum akhirnya masuk ke ruang perawatan.

“Empat hari di sana, itu hari kedua atau ketiga baru dikasih tahu bahwa Rizki kena gagal ginjal akut,” tutur Julikus.

Julikus kaget betul mendengar anaknya terkena penyakit yang masih misterius. Kala itu, ia menyesal karena telah membuang obat sirop yang dikonsumsi anaknya.

Pasalnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan beberapa merek parasetamol tercermar EG dan DeG.

“Ada rasa penyesalan juga kita buang-buangin obat itu karena kita tidak bisa memakai bukti itu,” kata dia.

Rizki kemudian dirujuk ke RSCM dan langsung ditangani dokter ICU di lantai 4. Resume medis di rumah sakit itu menyatakan bahwa anak itu memang menderita gagal ginjal akut.

Selama tiga hari dirawat di ICU, Rizki menjalani cuci darah. Namun, anak itu berontak, mencabut selang-selang medis hingga darahnya mengucur dan pingsan.

Julikus kemudian meminta pihak rumah sakit mengikat anaknya.

“Ya kami menangis menunggu di sana. Akhirnya diadakan pemasangan kembali, setelah pemasangan kembali saya minta diikat,” tutur Julikus.

"Empat hari di sana, hari kedua atau ketiga baru dikasih tahu bahwa Rizki kena gagal ginjal akut."

Setelah cuci darah dua hingga tiga kali, kondisi Rizki membaik. Anak itu dipindah ke ruang perawatan di lantai 7 selama dua malam sebelum akhirnya diperbolehkan pulang.

Meski sudah kembali ke rumah, Rizki masih harus menjalani cuci darah satu minggu sekali. Kendati kondisinya membaik, Julikus tidak yakin betul dengan kondisi fisik anaknya.

Selang empat hari setelah menjalani cuci darah pertama, Rizki kembali mengalami sesak napas dan diare.

Julikus menghubungi dokter dan disarankan agar anaknya mengonsumsi obat diare.

Namun, diare itu belum juga sembuh hingga hari berikutnya. Wajah Rizki pucat dan napasnya sesak. Ia pun kembali dibawa ke klinik.

Karena fasilitas kesehatan tidak memadai, Julikus disarankan membawa anaknya ke rumah sakit.

Keluarganya memilih rumah sakit terdekat, RS Persahabatan dan langsung ditangani di IGD. Pihak rumah sakit menyatakan Rizki sudah ditangani lebih dari satu dokter spesialis.

“Tiba-tiba, sekitar setengah jam kemudian, Rizki dianggap koma. Lho kok sudah ketolong, koma,” kata Julikus heran.

Kondisi Rizki memburuk. Saat masa koma, detak jantungnya berhenti. Ia pun ditangani dengan intensif hingga dinyatakan meninggal dunia.

“Hampir 10 atau 15 menit, Rizki dinyatakan meninggal dunia di IGD RS Persahabatan,” kata Julikus.

Derita anak pengidap gagal ginjal akibat obat yang tercemar EG dan DEG tak sampai di situ. Beberapa anak yang selamat dari maut, pulang ke rumah dengan kondisi yang tidak sehat.

Mereka harus rutin diperiksa ke fasilitas kesehatan yang memakan biaya tak sedikit.

Riyan Trinaji misalnya, harus membawa Revan kontrol di RSCM selama 12 kali dalam satu bulan.

Anak itu harus menjalani pemeriksaan di delapan poli, termasuk gizi, telinga, hidung dan tenggorokan (THT), serta bronkoskopi.

“Ibaratnya kalau kita nurutin, setiap hari (ke rumah sakit),” ujar Riyan.

Saat tiba di rumah sakit pun mereka tidak langsung ditangani. Ia dan Revan harus mengantre selama berjam-jam.

Sepulang kontrol, mereka harus menebus obat-obatan yang tidak ditanggung BPJS. Keluarga Revan juga harus mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk membeli kebutuhan medis.

Untuk obat syaraf Revan misalnya, harga satu strip obat yang harus ditebus bisa mencapai Rp 180.000 untuk 10 butir.

Dalam satu hari, Revan mengonsumsi satu tablet. Kita kalau beli kita kalau sekali ambil ratusan butir,” kata Riyan.

Belum lagi biaya transportasi dari rumah mereka ke rumah sakit yang juga mereka tanggung sendiri.

Riyan juga harus membeli sendiri mesin suction pump yang digunakan untuk menyedot lendir seharga Rp 2 juta, NGT atau kabel yang masuk ke perut melalui hidung, kateter, lubang tabung trakea, tabung oksigen, dan peralatan lainnya.

Di luar mesin, Riyan memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 6 juta per bulan.

“Ongkos sekali berangkat kontrol pekgo (Rp 150.000), seminggu tiga kali sudah ketahuan kan. Alat-alat ini (suction pump), susunya-lah, plus minus Rp 6 jutaan,” ujar Riyan.

Pengalaman senada diungkapkan Zaenudin. Meski tidak harus mengeluarkan ongkos sebesar Riyan, ia tetap harus merogoh saku lebih dalam.

Meski kondisi Kalandra jauh lebih baik dari Revan, anak itu tetap harus menjalani beberapa kali kontrol ke poli anak.

“Tiga bulan sekali harus dicek lagi ginjalnya, terkait ginjal ya kondisinya benar-benar membaik atau bagaimana,” ujar Zaenudin.

 

Pilihan sulit

Setelah anaknya keracunan obat sirup, Riyan dihadapkan pada pilihan dan kondisi sulit. Karena Revan tidak bisa ditinggal, Ia memutuskan berhenti bekerja.

Sang buah hati hanya bisa berbaring, tidak bisa bicara, dan dahak harus disedot setiap beberapa menit.

Riyan dan istrinya pun tak mungkin membayar pengasuh karena hanya bekerja dengan gaji setara upah minimum regional (UMR).

Ia memahami, merawat Revan nyaris 24 jam sehari merupakan tugas berat dan bikin stres.  Sedangkan, tempatnya bekerja berada di Tambun, Bekasi, Jawa Barat.

Sejak Revan sakit, mereka memutuskan pindah ke rumah orangtua di Kemayoran.

“Karena dulu PR-nya Revan banyak banget, karena istri saya juga kerjanya lebih dekat, saya ngalahin,” ujar dia.

Keluarga Riyan bukan dari kalangan berada. Rumah orangtuanya hanya berukuran sekitar 8x6 meter, terdiri dari dua lantai.

Kediaman mereka baru bisa ditemukan setelah melewati gang sempit dan lembab sepanjang ratusan meter.

Saat ini, rumah tangga Riyan hanya ditopang dari pendapatan istrinya. Mereka harus memutar otak karena biaya rawat jalan Revan yang besar.

“Gali lubang tutup lubang. Kerja kan UMR bagaimana, ibaratnya gali lubang tutup lubang,” kata Riyan.

Sebagaimana Riyan, kondisi ekonomi Zaenudin pun terdampak. Saat Kalandra dirawat intensif di RSCM, ia berhenti bekerja.

Setiap hari, suami istri itu menunggu perkembangan anaknya dengan cemas di basement RSCM.

“Saya mengandalkan dari keluarga ada yang ngasih, ada teman, kadang kita pinjam ke teman. Karena sebulan kita enggak kerja, kita mutusin nunggu anak di RSCM,” ujar Zaenudin.

Setelah Kalandra pulang dan Zaenudin bisa kembali bekerja, ia harus menutup utang ke kolega dan keluarganya.

“Karena selama sebulan setengah bukan uang yang sedikit selama menunggu di sana,” kata dia.

Sebagian keluarga korban hadir saat sidang gugatan class action gagal ginjal akut pada anak yang berujung ditunda untuk kedua kalinya, Selasa (7/2/2023). (KOMPAS.com/XENA OLIVIA)
Xena Olivia
Sebagian keluarga korban hadir saat sidang gugatan class action gagal ginjal akut pada anak yang berujung ditunda untuk kedua kalinya, Selasa (7/2/2023). (KOMPAS.com/XENA OLIVIA).

Gugatan class action

Sementara, Riyan, Zaenudin, Julikus dan keluarga korban lainnya mengajukan gugatan perdata perwakilan kelompok atau class action di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Mereka mendesak 10 pihak bertanggung jawab dalam kasus gagal ginjal akut.

Para pihak tergugat, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industry, PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, PT Megasetia Agung Kimia, dan PT Chemical Samudera.

Ada pula BPOM, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Keuangan.

Selain menuntut transparansi mengenai persoalan obat sirup beracun yang terkesan ditutup-tutupi, mereka juga meminta ganti rugi materil dan imateril senilai miliaran rupiah.

Untuk korban meninggal dunia, para tergugat diminta membayar ganti rugi lebih dari Rp 3 miliar sementara korban rawat jalan Rp 2 miliar.

Riyan mengatakan, pihaknya tidak menampik soal kebutuhan bantuan dari pemerintah.

Biaya yang dikeluarkan selama rawat jalan Revan tidak sedikit. Pun ketika ia dan istrinya pada akhirnya memutuskan kembali memiliki anak.

Jika kondisi Revan terus dirawat jalan hingga dewasa, keluarga harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar.

“Saya bukannya munafik, kayak Revan ini kan selama orangtuanya masih sehat. Kalau Revan-nya amit-amit sampai dewasa kayak begini apa enggak butuh biaya lagi?” ucap Riyan.

Karena itu, Riyan meminta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menekankan kepada pihak rumah sakit agar lebih serius mengobati Revan.

Sementara, Zaenudin mendesak para tergugat untuk bertanggung jawab atas peredaran obat sirop beracun.

Keluarga korban gagal ginjal akut sangat menyesalkan Kementerian Kesehatan, BPOM, sejumlah perusahaan farmasi dan distributor bahan baku obat yang bahkan tidak meminta maaf.

“Jadi pihak-pihak terkait yang sekarang digugat itu enggak pernah ada, enggak pernah datang, walaupun sekadar untuk minta maaf,” ujar Zaenudin.

Sampai saat ditemui Kompas.com pada akhir Januari, Zaenudin menuturkan, belum ada pihak pemerintah yang datang menjenguk, baik ke rumah maupun rumah sakit.

Selain itu, ia juga belum pernah menerima bantuan dari pemerintah.

“Dia enggak mau, enggak pernah melihat, dia hanya kasih statement mungkin di luar, dia enggak lihat langsung kondisi di RSCM seperti apa, itu yang bikin orangtua marah,” ujar dia.

Dalam perjalanannya, beberapa merek obat dinyatakan aman, tetapi berubah menjadi tidak aman sehingga rilis BPOM obat aman ini dilakukan berkali-kali dan bertahap.

BPOM juga meminta perusahaan farmasi menguji sendiri obat sirop masing-masing kemudian hasilnya dilaporkan ke BPOM untuk diteliti kembali.

Melalui situs resmi, BPOM merilis daftar obat sirop yang aman digunakan anak berdasarkan pengujian-pengujian tersebut.

Meski sejumlah perusahaan yang terlibat dimintai pertanggungjawaban hukum, penderitaan korban gagal ginjal tak selesai sampai di situ.

Seperti yang diutarakan orangtua Revan, mereka harus membayar iuran rutin BPJS. Selain itu, ada obat-obatan di luar tanggungan BPJS yang harus mereka tebus.

Belum lagi mengeluarkan uang untuk membeli alat-alat kesehatan seperti NGT. “Kalau BPJS kan memang tiap bulan kita iuran, itu bukan bantuan pemerintah,” kata Riyan.

Riyan dan istrinya, Resti, tak sepakat dengan klaim Menkes yang menyebut pemerintah memberi jaminan perawatan kesehatan hingga sembuh.

Sementara, Resti menyebutkan, sejak Revan menderita lumpuh gara-gara obat beracun, tindakan pemerintah belum berubah.

Sebagai pasien yang menjadi korban atas dugaan kelalaian pemerintah, BPOM, dan kejahatan perusahaan farmasi, mereka merasa tidak diprioritaskan.

Ketika datang untuk terapi di RSCM misalnya, tak jarang Revan mendapat jatah waktu di belakang. 

Meskipun sudah tiba di rumah sakit pukul 08.00 WIB, anak yang lumpuh dan lehernya berlubang itu tetap harus menunggu hingga lewat tengah hari.

“Datang jam 9 jam 8 sampai sana kan, nanti jam 1 baru dipegang,” kata Resti.

Belum lagi soal alat kesehatan seperti NGT yang cukup sulit didapatkan.

Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jakarta, Narila Mutia Nasir, menanggapi persoalan itu.

Ia mengatakan, pemerintah harus memahami bahwa kasus gagal ginjal akut pada anak memiliki dampak jangka panjang, terutama bagi mereka yang masih hidup dan menanggung risiko.

Tidak dimungkiri, konsumsi senyawa kimia akan berdampak sistemik pada tubuh korban. Terlebih, korban didominasi anak-anak berusia 1-5 tahun yang dalam masa perkembangan organ tubuh, termasuk otak.

Pemerintah seharusnya tak hanya berperan dalam jangka pendek untuk lolos dari krisis, tetapi juga memantau dan memberikan bantuan, bahkan kompensasi jika diperlukan.

"Kalau kemudian apakah harus ada kompensasi, itu bisa saja dalam bentuk kompensasi atau dalam bentuk jaminan. Secara etik itu harus ada jaminan, kalau korban membutuhkan pelayanan kesehatan untuk menjamin status kesehatan," kata Narila, saat dihubungi, Rabu (23/8/2023).

Ilustrasi etilen glikol, fungsi etilen glikol, etilen glikol berbahaya. Ethylene glycol atau etilen glikol adalah zat kimia yang bisa berbahaya jika digunakan dengan cara tidak tepat, keracunan etilen glikol. Ditemukan dalam tubuh pasien, diduga jadi penyebab gagal ginjal akut misterius pada anak.
Shutterstock/sulit.photos
Ilustrasi etilen glikol, fungsi etilen glikol, etilen glikol berbahaya. Ethylene glycol atau etilen glikol adalah zat kimia yang bisa berbahaya jika digunakan dengan cara tidak tepat, keracunan etilen glikol. Ditemukan dalam tubuh pasien, diduga jadi penyebab gagal ginjal akut misterius pada anak.

Dosen Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyampaikan, peran serta pemerintah diperlukan mengingat kasus gagal ginjal terjadi karena kelalaian otoritas.

Otoritas bertanggung jawab penuh atas peredaran obat dan makanan, lewat serangkaian tes maupun aturan baku yang patut dipatuhi semua pihak.

"Sebenarnya harusnya ditanggung. Jadi jangan sampai mereka yang korban sudah jatuh, tertimpa tangga (pula)," tutur Narila.

Selain memberi bantuan, pemerintah perlu memantau ratusan korban gagal ginjal yang masih selamat.

Pemantauan ini berguna untuk evaluasi lanjutan, terkait perbaikan pemenuhan hak korban terhadap akses kesehatan.

Di sisi lain, agar kasus tidak terulang, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah mitigasi. Di level otoritas, mitigasi dilakukan dengan memperketat pengawasan peredaran obat.

BPOM harus memastikan sampel-sampel yang telah teruji aman diedarkan. Sementara, edukasi tentang konsumsi dan penggunaan obat harus digencarkan kepada masyarakat.

Masyarakat perlu diimbau agar tidak membeli dan mengonsumsi obat sembarangan, dengan cara membeli di apotek resmi.

"Pengetahuan tentang dosis juga penting, berapa intake yang akan masuk. Ini juga secara umum perlu edukasi yang mudah dimengerti oleh masyarakat," kata dia.