JEO - Peristiwa

Menemui Mama-mama Penjaga Laut dari Papua

Selasa, 24 Oktober 2023 | 15:56 WIB

Papua memiliki banyak perempuan yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian laut, dan mereka adalah para mama-mama penjaga laut yang disebut Joom Jak Sasi. Berikut kisah mereka.

***

MASYARAKAT Pulau Misool, Raja Ampat, Papua Barat Daya lama dikenal memiliki kearifan lokal untuk melestarikan dan memanfaatkan lingkungan laut.

Mereka menghidupkan tradisi Sasi, larangan mengambil sumber daya alam laut dalam waktu tertentu agar stoknya terjaga.

Namun, yang mungkin jarang diketahui, upaya melaksanaan tradisi tersebut secara disiplin kini ternyata dipimpin oleh perempuan lokal, mama-mama Papua.

Saya bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) pada 18-20 Oktober 2023 lalu menemui mama-mama hebat tersebut di Misool.

Kunjungan saya bertepatan dengan pembukaan Sasi, tanda musim pelarangan tangkap telah berakhir.

Senja di Misool Utara, Raka Ampat, Papua Barat. Foto diambil dari dermaga di daerah pada Rabu (18/10/2023).
KOMPAS.COM/ FARID ASSIFA
Senja di Misool Utara, Raka Ampat, Papua Barat. Foto diambil dari dermaga di daerah pada Rabu (18/10/2023).

Perjalanan menuju Misool

Rombongan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan jurnalis disambut tarian khas Papua di Kampung Aduwei, Misool Utara, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Selasa (17/10/2023).
KOMPAS.COM/ FARID ASSIFA
Rombongan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan jurnalis disambut tarian khas Papua di Kampung Aduwei, Misool Utara, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Selasa (17/10/2023).

Pulau Misool berada di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Akses terbaik dari Jakarta ke salah satu pulau terluar itu adalah melalui Sorong, Papua Barat. Perjalanan dari Sorong ke Misool paling praktis adalah dengan speedboat, memakan waktu enam jam.

Perjalanan total hampir 12 jam tanpa menghitung transit, dan saya menempuhnya bersama rekan jurnalis, staf YKAN, tamu dari luar negeri, serta penyelam dari Aida International.

Dari Sorong, kami berangkat menuju Misool pada 18 Oktober 2023 pukul 9 WIT.
Saat itu, cuaca cukup cerah. Speedboat meluncur dengan lancar ke wilayah yang memiliki alam eksotis tersebut.

Di separuh perjalanan, laju speedboat sempat terganggu oleh guncangan karena gelombang setinggi sekitar setengah meter.

"Ini tidak seberapa. Sehari sebelumnya, gelombang mencapai 2 meter, sehingga laju speedboat seperti sedang surfing (berselancar). Semua penumpang tegang," kata Hans Agung Pasak, salah satu staf YKAN di Sorong yang ikut mendampingi perjalanan.

Sehari sebelumnya, sejumlah perwakilan YKAN memang sudah pergi lebih dahulu menuju Misool. Salah satunya adalah Manajer Program Kelautan YKAN, Hilda Lionata beserta staf lainnya dan Master Instructor Aida International Hendra Irwansya.

Setelah melewati babak menegangkan itu, rombongan akhirnya sampai ke dermaga kecil (jetty) di Pulau Misool Utara. Rasa lelah dan sedikit ketegangan terbayarkan sudah oleh sambutan hangat penuh keramahan masyarakat Misool Utara.

Rombongan disambut tokoh adat dan masyarakat Misool Utara dengan tari-tarian khas Papua mengikuti irama gendang. "Halo selamat datang di Misool Utara bapak-bapak ibu-ibu," sambut mereka dengan senyum ramah.

Adab masyarakat Papua di Misool ini memang mengesankan. Setiap bertemu, mereka selalu bertegur sapa sambil tersenyum, baik orang dewasa maupun anak-anak.

Adapun Misool Utara dihuni 74 kepala keluarga dengan total penduduk 279 jiwa. Mereka berumukim di pinggir pantai. Kehidupan mereka sangat tergantung pada alam.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, masyarakat Misool Utara bertani dan melaut. Hasil tani berupa rica, ubi, singkong dan sayur-sayuran dijual ke sebuah perusahaan seafood yang masih berada di kawasan itu.

"Hasil tani dijual ke perusahaan sekitar sini. Ada yang menampung. Rata-rata setiap panen tiga bulan sekali petani mendapat Rp 1 juta," kata Kepala Kampung Aduwei, Abraham Botot.

Mama yang masuk kelompok Jom Jak Sasi pimpinan Ribka Botot bersiap untuk menyelam pada Buka Sasi perdana di Misool Utara, Raja Ampat, Papu Barat Daya, Kamis (19/10/2023).
KOMPAS.COM/ FARID ASSIFA
Mama yang masuk kelompok Jom Jak Sasi pimpinan Ribka Botot bersiap untuk menyelam pada Buka Sasi perdana di Misool Utara, Raja Ampat, Papu Barat Daya, Kamis (19/10/2023).

Meski berada di pulau terluar, namun tata ruang wilayahnya tersusun rapi. Jalan kampung dicor meski sebagian terkelupas. Rumah berderet rapi dengan jarak cukup renggang.

Sebagian besar konstruksinya berdinding tembok sederhana dan sisanya semi permanen. Jumlah total rumah di permukiman Misool Utara sebanyak 62 unit.

Untuk kelistrikan, mereka mendapat pasokan dari pembangkit listrik tenaga surya oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Mereka juga mendapat akses internet karena di sana sudah tersedia menara dari perusahaan provider BUMN melalui program Bakti Negeri.

Karena listrik bersumber dari matahari, maka ketika cuaca mendung dan beban pemakaian tinggi, listrik sering mati. Hal itu berpengaruh pula pada akses internet sehingga layanan sering hilang.

"Biasanya kalau ada banyak pendatang pemakaian listrik tinggi. Kan ada yang mengecas laptop, handphone. Jadi listrik sering mati," kata Balief Wainsaf, petugas Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat.

Mama-mama tangguh, menjaga laut tetap teduh

Tetua dadat Karel Fatot saat membaca doa untuk membuka plang Sasi di kawasan pantai Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Kamis (19/10/2023).
KOMPAS.COM/ FARID ASSIFA
Tetua dadat Karel Fatot saat membaca doa untuk membuka plang Sasi di kawasan pantai Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Kamis (19/10/2023).

Penerapan Sasi terhadap sejumlah kawasan laut awalnya dilakukan oleh kelompok laki-laki melalui pendampingan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Pada 2018, pendampingan mulai menyasar kelompok perempuan.

Kelompok perempuan penjaga laut pertama yang muncul di Kampung Kapatcol, Distrik Misool Utara. Kelompok ini dipimpin oleh Mama Almina Kacili. Ia adalah perempuan adat pertama dalam sejarah Papua yang mendapat otoritas untuk mengelola lokasi Sasi.

Setelahnya, kelompok perempuan penjaga laut terus bermunculan. Di Aduwei, ada kelompok yang dipimpin Ribka Botot. Ia dipercaya oleh marga Elwod untuk mengelola wilayah Sasi.

Di Aduwei ini total ada lima marga antara lain Elwod, Fatot, Botot, Keiy dan Haiy. Marga yang sudah memberlakukan aturan Sasi adalah marga Elwod, Fatot dan Botot. Fatot dan Botot merupakan kelompok Sasi yang dipimpin laki-laki.

Penyerahan kekuasaan wilayah Sasi di Aduwei kepada tokoh perempuan itu merupakan replikasi dari Kelompok Waifuna di Kapatcol. Kelompok Sasi ini bernama Jook Jak Sasi, bermakna para penjaga pesisir dan laut.

Kelompok ini beranggotakan 60 orang, terdiri dari ibu rumah tangga dan remaja putri Kampung Aduwei.

Kelompok yang dipimpin Rifka Batot ini dipercaya mengelola wilayah Sasi sebanyak 265,55 hektar, terbentang dari Tanjung Hanta hingga Muara Ful (Joomsip).

Setahun lalu, kelompok ini sudah memberlakukan Sasi atau larangan mengambil ikan taripang dan lobster.

Mulai 19 Oktober 2023 kemarin, mereka membuka Sasi. Pembukaan Sasi ini dilakukan dengan upacara adat yang bercampur dengan agama. Dimulai dari ibadah di gereja setempat yang kemudian dilanjutkan dengan molo (menyelam) untuk menangkap ikan taripang dan lobster.

Mama Almina Kacili

Mama Almina Kacili, pemimpin kelompok Sasi di Kapatcol dan Waifuna, Misool Selatan, Raja Ampat, Papua Barat Daya.
KOMPAS.COM/ FARID ASSIFA
Mama Almina Kacili, pemimpin kelompok Sasi di Kapatcol dan Waifuna, Misool Selatan, Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Meski usianya sudah tidak muda lagi, Mama Almina Kacili masih tampak kuat dan semangat dalam menjaga laut. Selain di Kapatcol, perempuan yang dilahirkan di Pasakiri 15 April 1962 silam itu kini juga memimpin Waifuna, Misool Selatan.

Ia tertarik menjadi memimpin kelompok Sasi Perempuan karena merasa memiliki hak untuk menjaga alam.

“Kita ini biar orang tua, tapi punya hak. Kalau bukan mama-mama, siapa lagi yang menjaga laut,” tegasnya saat diwawancara Kompas.com di Aduwei, Rabu (18/10/2023).

Menurut Mama Almina, ia dan masyarakat Kapatcol menghidupkan kembali Sasi juga karena keprihatinan terhadap cara penangkapan ikan di pesisir sana. Dahulu, masyarakat terbiasa menangkap ikan dengan bom atau akar pohon beracun sehingga berakibat kerusakan.

"Biota laut yang kecil ikut mati. Terumbu karang rusak," kata dia.

Mama Almina bersama masyarakat adat di Kapatcol melakukan musyawarah dan membentuk kelompok perempuan yang menjaga laut dengan menerapkan aturan laut pada 2018.

Setelah kelompok itu terbentuk, Mama Almina didapuk menjadi ketua. Kemudian, anggota kelompok itu kembali berembuk untuk menentukan sekrteris dan bendahara.

Setelah dibentuk, kelompok Almina melakukan Sasi untuk ikan jenis teripang, tetapi belum berhasil. Akhirnya, mereka berusaha menerapkan Sasi di kawasan lain dan berhasil hingga sekarang.

Menurut Mama Almina, Sasi diberlakukan tergantung kebutuhan masyarakat. Ada yang enam bulan hingga setahun.

"Kalau misalnya ada kebutuhan dalam jangka waktu dekat, maka Sasi diberlakukan selama enam bulan. Namun ada pula yang satu tahun setelah masyarakat merasakan manfaat yang besar dari Sasi ini," ucapnya.

“Kalau ada kebutuhan mendesak. Kita mau buka Sasi bantu ibu teman kami yang membutuhkan kehidupan itu,” tutur Almina.

Terkait hasil dari tangkapan ikan lobster dan taripang setelah Sasi dibuka (panen), Mama Almina mengatakan diputuskan berdasarkan kesepekatan bersama dalam rapat. Adapun alokasinya antara lain 10 persen untuk gereja, 40 persen untuk adat dan sisanya, 50 persen untuk anggota kelompok.

"Dananya dipakai untuk bantu orang sakit, membiaya sekolah atau kuliah. Sekarang ini malah ada dua orang yang hendak wisuda. Namun karena Sasi belum dibuka, akhirnya kami menggunakan dana dari Tabanas (tabungan kas kelompok)," kata dia.

Setelah memimpin kelompok Perempuan Penjaga Laut, Mama Almina merasa benar-benar memiliki samudra untuk dijaga. Selain itu, ia juga sering diundang ke mana-mana, bahkan sampai ke luar negeri. Ia mengucapkan syukur berkat berorganiSasi bisa bepergian sampai ke luar negeri.

"Dengan Sasi kami bisa lihat Jakarta, bahkan sampai ke Australia. Sasi ini juga membuat ibu-ibu menjadi pribumi di tanah Misool. Melestarikan alam,” ucapnya.

Mama Almina mengatakan, Sasi sebenarnya adalah hukum adat yang turun temurun dari leluhurnya sejak dahulu kala. Sebenarnya, kata Almina, leluhurnya sudah memberlakukan Sasi ke semua wilayah di Misool. Namun kemudian, ada kelonggaran aturan agar Sasi diterapkan di wilayah tertentu.

"Sudah lama sebenarnya Misool diberlakukan oleh leluhur kami. Namun sekarang kami sepakati Sasi diterapkan di wilayah tertentu," kata Almina saat acara penyambutan jajaran YKAN serta sejumah tamu undangan lainnya di aula Kampung Adewi, Misool Utara, Rabu (18/10/2023).

Mama Ribka Botot

Mama Ribka Botot, pemimpin Joom Jak Sasi, kelompok perempuan pertama yang mendapat otoritas untuk melakukan Sasi di tiga lokasi di Misool Utara, Raja Ampat, Papua Barat Daya.
KOMPAS.COM/ FARID ASSIFA
Mama Ribka Botot, pemimpin Joom Jak Sasi, kelompok perempuan pertama yang mendapat otoritas untuk melakukan Sasi di tiga lokasi di Misool Utara, Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Upaya menjaga sumber daya laut dengan Sasi di Kapatcol juga menginspirasi masyarakat kampung sekitarnya, Aduwei.

Melalui pendampingan yang dilakukan YKAN, masyarakat Aduwei juga membentuk kelompok perempuan penjaga laut yang bernama Joom Jak Sasi yang artinya perempuan penjaga laut. Mereka juga dipimpin seorang perempuan bernama Ribka Botot.

Ribka yang dilahirkan di Aduwei, 1 Maret 1973, mengaku awalnya tidak bersedia didapuk sebagai ketua kelompok karena tidak tahu apa-apa dan tidak bisa berbicara di depan umum.

Namun setelah mendapat saran dari Mama Almina dan YKAN, akhirnya Ribka pun bersedia memimpin kelompok perempuan untuk melaksanakan Sasi.

Setelah menjadi ketua Joom Jak Sasi, Ribka mengaku mendapat banyak hikmah dan pengetahuan berorganiSasi.

"Jadi ketua kelompok, mama tahu apa itu monitoring, tahu cara mengukur teripang dan menyelam," kata Mama Ribka.

Adapun yang dimaksud monitoring itu adalah pengawasan yang dilakukan anggota kelompok terhadap tiga lokasi Sasi yang dikelola mereka, yang terbentang dari Tanjung Hanta sampai Muara Ful.

Mama Ribka mengaku, setelah menjadi ketua, dia juga sering dibawa ke mana-mana menjadi narasumber untuk kisah-kisah inspiratif.

"Mama bisa tinggal di hotel. Mama yang tidak tahu, jadi tahu. Mama bisa ke Sorong dan tinggal di hotel. Mama juga pergi ke Jakarta dan Samarinda. Mama merasa bangga,” kata Mama Rifka.

“Karena mau belajar. Jadi dari (menjadi) ke kelompok itu, Mama tahu cara buka pintu hotel. Dari situ Mama belajar, begini masuk dan keluarnya. Memang namanya pengalaman. Yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak bisa, jadi bisa,” seloroh Mama Rifka disambut gelak tawa saat briefing di aula.

Sasi untuk menjawab tekanan lingkungan

Masyarakat Misool Utara, Raja Ampat, Papua Barat Daya, saat tiba ke kawasan Buka Sasi dengan menumpangi long boat, Kamis (19/10/2023).
KOMPAS.COM/ FARID ASSIFA
Masyarakat Misool Utara, Raja Ampat, Papua Barat Daya, saat tiba ke kawasan Buka Sasi dengan menumpangi long boat, Kamis (19/10/2023).

Pada 2009, riset Gerard Allen (Western Australian Museum) dan MV Erdmann (Conservation International) yang dikutip dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), menunjukkan bahwa Raja Ampat memiliki kekayaan laut yang terdiri dari 1.437 spesies ikan, 699 moluska, dan 553 spesies karang keras.

Keanekaragaman hayati itu perlu dilindungi demi menjaga keberlanjutan (sustainability). Sasi menjadi salah satu pendekatan konservasi berbasis sosial-budaya yang efektif. Warga setempat percaya, pelanggar aturan adat tersebut akan mendapat hukuman langsung dari Sang Pencipta.

Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Herlina Hartarto mengatakan, Sasi awalnya diterapkan untuk melindungi hutan dari kerusakan akibat ketamakan manusia.

Akan tetapi, saat ini aturan adat Sasi bergeser ke laut demi melindungi biota dari eksploitasi berlebihan dan merusak.

"Saat ini mulai ada tanda-tanda ‘tekanan’. Penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan bom ikan. Untuk mencegah dampak lebih parah, kami mendorong masyarakat di Misool untuk menerapkan sasi di laut,” kata Herlina kepada Kompas.com di Kampung Aduwei, Rabu (18/10/2023).

Menurut Herlina, Sasi diterapkan pada jenis ikan tertentu dalam waktu tertentu. Misalnya, selama setahun atau enam bulan, masyarakat dilarang menangkap teripang dan lobster. Bagi pelanggarnya akan mendapat hukuman alam.

“Kami menjaga laut dengan menggunakan pendekatan kearifan lokal. Dan itu salah satu ciri khas YKAN (Yayasan Konservasi Alam Nusantara),” lanjut Herlina.

Mama Almina meyakini bahwa Sasi ini benar-benar memiliki konsekuensi hukum supranatural bagi pelanggarnya. Ia pun menceritakan sebuah pengalaman Ketika ada warga yang melanggar aturan Sasi.

"Setelah menjual ikannya, tiba-tiba dia sakit. Perutnya bengkak lalu meninggal,” kata Mama Almina.

Mama Almina pun tak segan memarahi dan mengusir orang yang mencoba untuk melanggar Sasi. Biasanya, kata dia, mereka yang melanggar Sasi adalah warga luar Misool.

Mama Rifka, pemimpin kelompok Perempuan Jom Sak Sasi (Mama Penjaga Laut) di Kampung Aduwei, Misool Utara, mengatakan, semua anggotanya memiliki jadwal rutin untuk melakukan patroli saat Sasi diberlakukan. Monitoring itu dilakukan untuk menjaga orang melanggar aturan Sasi.

"Mama juga pernah mengusir orang yang melanggar Sasi dan itu dari luar. Sekarang sudah tidak ada lagi,” kata dia.

Proses Pembukaan Sasi

Masyarakat Kampung Audwei mencopot plang Lokasi Sasi sebagai tanda buka Sasi di Misool Utara, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Rabu (24/10/2023).
KOMPAS.com/FARID ASSIFA
Masyarakat Kampung Audwei mencopot plang Lokasi Sasi sebagai tanda buka Sasi di Misool Utara, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Rabu (24/10/2023).

Kampung Aduwei memliki tiga Kawasan Sasi yang membentang dari dari Tanjung Hanta sampai Muara Ful (Joomsip). Jenis ikan yang diberlakukan Sasi itu adalah teripang dan lobster.

Pada Kamis (19/10/2023), mereka mulai membuka Sasi untuk pertama kalinya dengan diawali upacara adat dan keagamaan.

Upacara diawali dengan berdoa bersama di gereja Kampung Aduwei. Sekitar satu jam kemudian, mereka berangkat menuju tiga Kawasan Sasi di sepanjang Pantai Misool Utara dengan menumpangi long boat untuk mencopot plang Sasi.

Pencopotan plang Sasi diawali dengan doa yang dipimpin tetua adat Karel Fatot. Doa dilantunkan dengan Bahasa daerah setempat. Setelah itu, plang Sasi dicopot dengan digergaji. Proses serupa juga dilakukan di dua kawasan Sasi lainnya.

Setelah beres mencopot plang Sasi, kegiatan dilanjutkan dengan menyelam. Sebagai simbol mulai diperbolehkan menyelam untuk menangkap teripang dan lobster, seorang anak dari suku adat melompat dari long boat untuk menceburkan diri ke laut kemudian dilanjutkan dengan mama-mama penyelam.

Mama-mama penyelam

Salah satu mama anggota Jom Sak Sasi saat menunjukkan teripang hasil tangkapan dengan cara menyelam (molo) di lepas pantai Misool Utara, Raja Ampat, Papua Barat, Kamis (18/10/2023). Foto: Farid Assifa
 
Salah satu mama anggota Jom Sak Sasi saat menunjukkan teripang hasil tangkapan dengan cara menyelam (molo) di lepas pantai Misool Utara, Raja Ampat, Papua Barat, Kamis (18/10/2023). Foto: Farid Assifa

Kelompok Sasi dari kalangan mama di Misool memiliki anggota yang pandai menyelam. Hampir semua anggotanya diharuskan memiliki kemampuan untuk menyelam. Sebab, menyelam itu penting untuk menangkap teripang dan lobster di laut.

Menyelam adalah cara menangkap ikan yang sangat ramah lingkungan karena tidak akan merusak biota laut lain.

Para mama Misool mendapat pelatihan menyelam dari organisasi nirlaba penyelam bebas (free dive) Aida International yang bermitra dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

Selain mendapat pelatihan, mereka juga memperoleh bantuan alat menyelam dari lembaga swada masyarkat (LSM) tersebut.

Master Instructor Aida International, Hendra Iriansya mengatakan, pihaknya melatih mama-mama Misool untuk menyelam kurang lebih tiga hari.

Para mama ini tampaknya begitu mudah menyerap teknik menyelam. Sehingga dalam jangka waktu tiga hari itu, mereka sudah bisa terjun untuk menangkap lobster dan teripang di Pantai dengan kedalaman sekitar 3 meter.

“Kesulitan awalnya adalah saat menukikkan tubuh ke dasar laut,” kata Hendra.

Kompas.com ikut menyaksikan bagaimana mama-mama Misool Utara menyelam saat menyelam mencari teripang dan lobster di sepanjang pantai daerah mereka. Betty dan Ance, misalnya, dua perempuan muda tidak ragu untuk menceburkan diri ke laut, lalu menyelam.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah mendapatkan teripang lalu dikumpulka dalam sebuah wadah yang bisa mengapung di air. Sebelum dijual, teripang itu diolah terlebih dahulu dengan cara direbus lalu dijemur. Lokasi pengolahannya pun terpisah cukup jauh dari permukiman.

Meningkatkan ekonomi masyarakat

Tradisi Sasi bukan hanya untuk melestarikan ekosistem, tetapi juga bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Misalnya, hasil penerapan Sasi yang dilakukan kelompok perempuan di Kapatcol dan Waifuna, Misool Selatan, yang dipimpin Mama Almina Kacili.

Berdasarkan data Yayasan Konservasi Alam Laut (YKAN), pada 2018, pembukaan Sasi selama 14 hari, kelompok ini bisa memperoleh pendapatan Rp 12.950.000 dari penjualan lobster, teripang dan teripang lola.

Anak-anak Kampung Aduwei, Misool Utara, Raja Ampat. Foto diambil pada 17 Oktober 2023
KOMPAS.com/FARID ASSIFA
Anak-anak Kampung Aduwei, Misool Utara, Raja Ampat. Foto diambil pada 17 Oktober 2023

Kemudian pada 2019, pembukaan Sasi selama 6 hari, mereka mendapatkan Rp 8.925.000 dari penjualan produk laut serupa.

Pada 2020, pembukaan Sasi 4 hari, pendapatan Rp 7.132.000 dan tahun 2021 dengan pembukaan Sasi selama 3 hari, kelompok mama ini mendapat Rp 3.505.000 dari penjualan lobster, teripang dan teripang lola. Yang dimaksud dengan pembukaan Sasi itu adalah panen produk laut dari hari sejak Sasi (larangan) dibuka.

Hasil sasi ini bisa membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Bahkan, menurut Mama Almina, dari hasil Sasi ini, bisa membantu menguliahkan anak ke perguruan tinggi di Sorong sampai wisuda.