BAYANGKANLAH kondisi berada di dalam kegelapan total dan dikelilingi air, hanya punya pijakan sempit yang itu pun basah, selebihnya dinding. Lalu, bayangkan juga, makanan yang ada cuma cemilan dalam jumlah terbatas, demikian pula air minumnya.
Dua belas remaja usia belasan tahun dan seorang asisten pelatih klub sepak bola kampung di Thailand berada pada posisi itu. Bukan simulasi, tapi terjebak dalam kenyataan. Dan, bukan cuma satu hari.
Mereka ada di dalam gua yang terendam air, bersama-sama selama sepuluh hari, sampai tim penyelamat pertama menemukan mereka pada Senin (2/7/2018).
Dari geger sekampung, senegara, sampai jadi sorotan dunia, peristiwa ini menghadirkan pula haru-biru sejak proses pencarian hingga proses evakuasi. Korban jiwa juga jatuh, bukan dari mereka yang terjebak di dalam gua melainkan penyelam yang berusaha mencari dan menyelamatkannya.
Lalu, ada asisten pelatih yang semula dihujat dan dicela karena dianggap ceroboh membawa serombongan remaja tanggung itu masuk ke dalam gua pada musim yang salah. Namun, belakangan situasi berbalik, dia dianggap sebagai "dewa" di balik kemampuan rombongan klub sepak bola kampung itu bertahan dalam kondisi ekstrem terjebak di dalam gua.
Tak kurang dari pesohor dunia teknologi, Elon Musk, datang ke Thailand untuk turun tangan dan memantau langsung proses evakuasi ini. Dia berada di sana, Senin (9/6/2018), setidaknya seperti terkabarkan dari cuitannya di Twitter. Bersamanya, dibawa serta purwarupa "kapal selam" seukuran pas bocah, untuk memudahkan evakuasi.
Just returned from Cave 3. Mini-sub is ready if needed. It is made of rocket parts & named Wild Boar after kids’ soccer team. Leaving here in case it may be useful in the future. Thailand is so beautiful. pic.twitter.com/EHNh8ydaTT
— Elon Musk (@elonmusk) July 9, 2018
Ini kisah dramatik sekaligus epik dari perbatasan Thailand-Myanmar. Aliran doa dari seluruh dunia mengalir untuk upaya penyelamatan dan tentu saja keselamatan mereka yang terjebak di dalam gua dan tim penyelamat.
Darinya, pelajaran untuk para penggemar aktivitas petualangan pun bisa belajar, mulai dari pengamanan (safety) hingga menghadapi kondisi yang bagi orang biasa gampang sekali menghadirkan kepanikan, yang—biasanya—bakal diikuti kecerobohan lalu rentan berakhir kehilangan.
SEMUA bermula pada Sabtu (23/6/2018). Pagi yang biasa di desa itu. Jadwal latihan rutin sepak bola buat anak-anak kampung yang jauh dari keriuhan kota, Mu Pa (Wild Boar).
Pelatih utama mereka berhalangan melatih pada pagi itu, sehingga Ekapol Chanthawong yang adalah asisten pelatih klub yang ada bersama belasan remaja ini.
Singkat cerita, jadwal latihan pada hari itu berakhir dengan tidak kunjung pulangnya semua anak-anak anggota klub dan asisten pelatih itu. Tak ada kabar. Tak ada pertanda.
Sehari, dua hari, sepekan, hari-hari berlalu tanpa ada secuil pun kabar. Hingga, sebuah sepeda dan sepasang sepatu bola di mulut gua Thum Luang di kawasan hutan Khun Nam Nang Non, Distrik Mae, Chiang Rai, Thailand, menjadi penanda pertama keberadaan mereka.
Itu sudah lebih dari sepekan sejak jadwal latihan pada Sabtu tersebut.
Namun, gua di kawasan pegunungan karst itu tergenang air berlumpur. Jalurnya pun berliku. Bagaimana mencari, memastikan kondisi, dan membawa keluar rombongan klub bola itu jadi tantangan.
Sudah begitu, kontur pijakan di dalam gua juga naik-turun, dengan sejumlah ruas jalur hanya berupa celah sempit yang bahkan tabung selam pun harus dilepas dari punggung penyelam untuk bisa dilintasi.
Grafis Reuters berikut ini memperlihatkan rute yang harus dilewati tim penyelamat, sekalipun upaya pengeringan gua juga sudah dilakukan. Tergambarkan sejumlah lokasi masih tergenang, termasuk di celah sempit.
Versi interaktifnya dapat dilihat di sini:
Versi utuh karya Reuters di atas dapat dilihat di link ini, menyertakan pula skala ruang di dalam gua terhadap manusia dewasa.
Sebelumnya, upaya pencarian ini sudah memakan korban. Penyelam profesional dengan sederet prestasi selam, Saman Gunan, meninggal dalam upaya menyusuri gua yang sedang tergenang air di musim moonsoon tersebut.
Pencarian baru membuahkan hasil setelah dua penyelam profesional dari Inggris turun tangan, Senin (2/7/2018), 10 hari anak-anak dan asisten pelatih berusia 25 tahun itu terjebak di dalam gua.
Kabar gembira pembawa harapan baik terutama bagi keluarga datang berupa foto yang memperlihatkan 12 remaja dan asisten pelatih klub itu dalam kondisi hidup.
HINGGA Selasa (10/7/2018) siang, delapan anak sudah dievakuasi dari gua. Dari semua yang terjebak di dalam gua, tim penyelamat menyebut kondisi asisten pelatih klub adalah yang paling lemah.
Asisten itu, Ekapol Chanthawong (25 tahun), kuat diduga paling sedikit makan dan minum dari perbekalan camilan yang mereka bawa.
Foto kondisi anak-anak dan asisten pelatih ini pun membalik persepsi orang pada Ekapol. Dari anggapan ceroboh membawa anak-anak ke dalam gua yang rawan terendam pada musim-musim pancaroba setempat, Ekapol belakangan dianggap sebagai kunci selamatnya seluruh anak-anak itu.
Kisah Ekapol pun mendunia. Dia adalah anak yatim sejak berumur 10 tahun. Sempat menjalani hidup sebagai biksu, Ekapol belakangan meninggalkan vihara demi merawat ibunya yang sakit sampai sang bunda meninggal.
Perjalanan hidup Ekapol ini yang kemudian dianggap penyelamat anak-anak selama di dalam gua.
Selain patut diduga bisa mencegah kepanikan dan pertengkaran terjadi di antara anak-anak itu selama kondisi sulit, Ekapol disebut mengajari anak-anak ini teknik meditasi untuk menjaga kondisi tubuh dan ketenangan jiwa selama berada di dalam gua.
Meski begitu, Ekapol dalam pesan tertulis dan video yang dititipkan kepada tim penyelamat menyatakan penyesalan dan permintaan maaf kepada para orangtua anak-anak latihnya.
Hingga Selasa (10/7/2018) siang, Ekapol masih berada di dalam gua. Rencananya, lima orang yang masih ada di gua akan segera dievakuasi.
"Pada hari ini, kami berencana untuk mengeluarkan empat remaja dan seorang pelatih mereka dari goa," kata Gubernur Chiang Rai sekaligus ketua tim penyelamat, Narongsak Osottanakorn, dalam konferensi pers, seperti dilansir AFP, Selasa.
Babak yang direncanakan sebagai yang terakhir ini melibatkan 19 penyelam. Selain empat remaja dan asisten pelatih itu, satu dokter dan tiga personel Royal Thai Navy yang tinggal di gua sejak proses evakuasi berlangsung, juga akan keluar.
"Kami harapkan demikian bila tak ada kondisi yang tak biasa...," kata Osottanakorn.
KISAH 12 remaja dan asisten pelatih klub bola yang terjebak di dalam gua di Thailand sejak Sabtu (23/6/2018) telah menjadi sorotan dunia.
Salah satu pertanyaan yang muncul dari kejadian ini adalah soal daya tahan manusia bila terjebak pada kondisi serupa.
Ahli biokimia dari Universitas Cagliari, Italia, menyebut, daya tahan manusia ini tergantung pada kondisi dan lokasi gua, serta—tentu saja—kondisi fisik manusianya.
Rinaldi menyatakan, ketersediaan oksigen di dalam gua yang tidak tergenang bukanlah persoalan.
"Ada banyak oksigen di gua, bahkan ratusan meter di bawah tanah," kata Rinaldi, seperti dikutip Live Science, Selasa (3/6/2018).
Yang menjadi tantangan, lanjut Rinaldi, adalah kualitas udara di dalam gua. Bila gua dalam kondisi kering, kata dia, akan ada banyak debu, yang itu dapat menjadi persoalan.
Di kawasan tropis, lanjut Rinaldi, kotoran hewan di dalam gua juga dapat menguarkan uap amonia dan menyebarkan spora jamur. Bila spora ini terhirup manusia, masalah pernapasan rentan terjadi.
Terkait pasokan makanan dan minuman, Rinaldi menyebut masalah utama manusia bukan pada makanan.
"Seseorang dengan kondisi kesehatan yang baik dapat bertahan berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan tanpa makanan," kata Rinaldi.
Tantangan ada pada ketersediaan air minum. Kelembaban udara di dalam gua yang sangat tinggi cenderung membuat orang enggan minum.
Padahal, badan butuh asupan harian air. Dehidrasi jadi ancaman besar dalam lingkungan tertutup seperti ini.
Bila air di dalam gua keruh, Rinaldi menyarankan upaya bertahan hidup di dalam gua dilakukan dengan menyaring air atau mencari rembesan air dari langit-langit dan dinding gua.
"Itu lebih bersih dan aman," kata Rinaldi.
Menurut Rinaldi, risiko besar terjebak dalam gua yang terendam banjir apalagi di kawasan tropis adalah suhu.
"Hipotermia adalah musuh yang berbahaya. Dalam kasus ini, kita sedang berhadapan dengan gua tropis yang suhunya di atas 20 derajat Celsius," terang Rinaldi.
Bila seseorang dapat selamat setelah terjebak lama di dalam gua, Rinaldi menyarankan ada pendampingan untuk mengatasi trauma.
Dia mengatakan, terjebak di dalam gua apalagi selama berhari-hari tanpa cukup makanan dan minuman merupakan pengalaman mengerikan bagi siapa pun. Bisa lolos dari kepanikan saat terjebak di dalam gua saja sudah merupakan hal luar biasa.
Baca juga: Kasus Gua Thailand, Begini Reaksi Tubuh Saat Terperangkap Gelap
EMPAT remaja telah dievakuasi dari dalam gua, Minggu (8/7/2018). Pada evakuasi kedua, Senin (9/7/2018), empat lagi remaja meninggalkan gua Thum Luang. Masih ada empat remaja lagi dan asisten pelatih klub bola di dalam gua, hingga Selasa (10/7/2018).
Proses penyelamatan memang makan waktu. Penyelam profesional saja butuh waktu antara sembilan sampai 11 jam untuk bolak-balik masuk dan keluar gua. Proses ini melibatkan tak kurang dari 1.000 personel, baik dari Thailand maupun luar negeri, termasuk penyelam profesional.
Sejumlah pilihan cara mengevakuasi 13 orang yang terjebak tersebut sempat dielaborasi. Ada pilihan mengajari para remaja dan pelatihnya itu menyelam. Ada pula rencana mengebor langit-langit gua dari permukaan gunung di atas gua.
Menyelam butuh kemampuan dan ketahanan fisik tertentu untuk bisa dilakukan dengan aman.
Pilihan pertama tidak dipilih karena mempertimbangkan kondisi fisik remaja dan pelatihnya. Menyelam butuh kemampuan dan ketahanan fisik tertentu untuk bisa dilakukan dengan aman, sekalipun sudah ada tabung oksigen dan pakaian selam.
Mengebor langit-langit gua juga gagal jadi pilihan. Tim eksplorasi lokasi yang tepat untuk pengeboran malah mengalami kecelakaan dan terluka.
Sejauh ini, informasi yang disampaikan kepada wartawan oleh tim penyelamat adalah para remaja yang sudah keluar dari gua itu dibawa di dalam semacam kantong kedap air beroksigen. Dua penyelam mengawal di depan dan di belakang kantong itu.
Tawaran teknologi "kapal selam" mini dari Elon Musk jadi tawaran baru untuk mempercepat evakuasi.
Sebelumnya, sempat pula muncul perencanaan evakuasi pengeluaran tim sepak bola tersebut baru dilakukan setelah musim hujan usai, yang itu diperkirakan baru pada Oktober 2018. Tim penyelamat hanya akan memastikan pasokan makanan dan minuman ke dalam gua.
Selama proses evakuasi, wartawan tak dapat mendekati lokasi gua. Kamera-kamera berteknologi lensa tele hanya dapat melihat dan merekam mobil ambulans dan helikopter medis yang bersiaga atau lalu lalang selama proses ini dari kejauhan.
Gambar-gambar dari dalam gua datang dari dokumentasi Angkatan Laut Thailand (Royal Thailand Navy) yang dibagikan berkala kepada wartawan.
Delapan remaja yang sudah keluar dari gua langsung dirawat di Rumah Sakit Chiang Rai Prachanukroh, meski disebut sebagian sudah diperbolehkan makan seperti kondisi normal. Jarak dari gua ke rumah sakit ini sekitar 70 kilometer.
Beragam ekspresi publik pun mencuat di media sosial dari berbagai belahan dunia, sebagai bentuk dukungan dan doa. Perupa India, Sudarsan Pattnaik, bahkan membuat diorama pasir untuk mendukung dan mendoakan upaya penyelamatan ini, seperti terlihat pada foto cover tulisan ini.
Doa dan harapan terus dipanjatkan, terutama oleh keluarga dan teman-teman para remaja anggota klub bola tersebut. Doa orang-orang yang peduli dari seluruh dunia menyertai....
Update: Akhirnya, Seluruh Tim Sepak Bola Remaja yang Terjebak di Goa Keluar
INDONESIA dan Thailand memiliki sejumlah situs gua dengan karakter serupa. Kecelakaan gua akibat air yang tiba-tiba memenuhi ruangan juga pernah terjadi di Indonesia.
Cahyo Rahmadi, penelusur sekaligus peneliti biologi gua dari LIPI, menyebut salah satu yang bisa dipelajari dari kasus di Thailand adalah mendesaknya early warning system atau sistem peringatan dini.
Bagi para penyuka aktivitas petualangan, terutama terkait gua, Cahyo memberikan sejumlah tips.
Menurut Cahyo, para penjelajah harus tahu pasti musim dan karakter area yang mau dijajaki saat penjelajahan.
"Kegiatan penelusuran gua itu kan kegiatan yang risikonya tinggi, jadi kalau misalnya kita dari sisi penelusur gua yang pertama harus disadari dan ditekankan adalah kita harus tahu musim," ujar Cahyo kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Senin (09/7/2018).
Menurut Cahyo, kecelakaan terkait penelusuran gua yang paling berbahaya adalah banjir.
"Di Indonesia sendiri sudah beberapa kali kejadian. Korban meninggal terjadi karena banjir di Tasikmalaya 7 orang, kemudian di Karawang 4 orang, dan di Gunung Kidul itu 3 orang," ungkap dia.
Musim peralihan—baik di wilayah dengan dua musim seperti di Indonesia maupun empat musim—adalah yang paling harus diwaspadai karena ketidakpastian cuaca.
Cahyo juga mengingatkan tentang pentingnya mengetahui karakteristik gua.
"Misalnya, yang di Thum Luang itu kan aliran sungai bawah tanah," sebut Cahyo. "Kita (Indonesia) juga punya banyak sungai-sungai bawah tanah yang ada di kawasan karst."
Dari pengalaman pribadinya, kondisi di mulut gua dan di dalam gua pun bisa berbeda. Meski di luar gua tidak hujan, ujar dia, tetap ada kemungkinan ruang di dalam gua dipenuhi air.
Doktor lulusan Jepang ini mencontohkan gua-gua di Gunung Kidul selama siklon Cempaka pada November 2017.
"Hampir semua gua di Gunung Kidul yang besar-besar kan penuh dengan air ketika terjadinya siklon Cempaka," kisah Cahyo. "Itu yang menjadi kendala, kita tidak tahu persis kapan air itu akan masuk dan menjadi banjir."
Di samping mengetahui musim dan karakteristik gua, Cahyo juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat.
"Perlu juga semacam kampanye untuk masyarakat," kata Cahyo.
Ketika akan ada orang berkegiatan di lingkungan gua, terutama masyarakat awam, Cahyo menekankan perlunya keharusan ada pendamping berpengalaman.