JEO - Insight

Kisah Sepiring Nasi dan Pelestari Beras Lokal di Jawa...

Selasa, 5 Desember 2023 | 21:37 WIB

Varietas beras lokal sempat menjadi “raja” di piring-piring masyarakat Indonesia. Namun, posisinya digantikan oleh beras varietas unggul yang dikenalkan di era Revolusi Hijau pada periode 1960-an.

Petani pelestari muncul dan berupaya mengembalikan kejayaan varietas beras lokal. Harapan untuk menjadikan beras lokal kembali menjadi raja pun bergeliat.

 

BAGI Gunarto kecil, tidak ada yang lebih dirindukan sepulang dari sekolah selain menikmati nasi pulen panas di rumah, meski dengan lauk seadanya.

Gunarto kini berusia 64 tahun. Namun, masih lekat dalam ingatan warga Pakembinangun, Sleman, Yogyakarta ini akan aroma dan rasa nasi yang begitu dia nikmati saat bocah.

"Dulu makan nasi pakai garam saja rasanya enak sekali. Sekarang makan nasi pakai tempe kok kurang enak. Mana kedelai yang dipakai untuk bikin tempe kedelai impor lagi," kata Gunarto, dengan sedikit seloroh.

Semasa kecil, Gunarto mengenal berbagai jenis padi yang tumbuh subur di desanya, yang terletak di kaki Gunung Merapi. Ada beras dengan nama Genjah Rante, 1001, Merning, Jeliteng, Jogelo, dan banyak lagi.

Meski banyak jenisnya, Gunarto bisa membedakan rasa dan aroma nasi yang ia konsumsi. Ia juga hapal morfologi padi serta kelebihan dan kekurangan masing-masing varietas padi.

Akan tetapi, nikmatnya nasi yang dulu dia rasakan memang hanya bisa dia ingat di kenangan. Sekarang, sulit menemukan rasa nasi seperti yang dulu bisa dinikmati, karena berubahnya varietas padi masa kini.


Raja yang tersisih

Ilustrasi sawah.
PIXABAY/PEXELS
Ilustrasi sawah.

Varietas beras lokal memang sempat menjadi “raja” di piring-piring masyarakat Indonesia. Namun, posisinya lalu digantikan oleh beras varietas unggul yang dikenalkan di era Revolusi Hijau, periode 1960-an.

Revolusi Hijau membuat semua petani menanam varietas padi yang seragam. Akibatnya, varietas padi lokal semakin tersisih.

Jika sebelumnya ada sekitar 8000 varietas padi lokal, kini hanya ratusan saja yang masih bisa dilacak jenisnya. Dari jumlah itu, bisa dihitung jari padi varietas lokal yang masih dibudidayakan hingga kini.

Di pelosok Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebagian petani masih bertahan menanam varietas padi lokal ini. Banyak tantangannya, termasuk sulitnya mencari pasar yang mau menerima produknya. Namun, mereka bertahan agar generasi berikut masih bisa menikmati rasa dan aroma beras lokal.

Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Padjadjaran Johan Iskandar, dalam makalah berjudul “Etnobiologi dan Keragaman Budaya di Indonesia” (2016) menuliskan, tercatat lebih dari 8000 varietas padi lokal yang dibudayakan petani tradisional.

Para petani itu membudidayakan padi lokal berlandaskan pengetahuan etnobiologi hasil pewarisan secara turun temurun.

Pada akhir 1960-an, tulis Johan dalam makalah yang tayang di jurnal antropologi Umbara, keteraturan pola tanam padi sawah mengalami perubahan drastis karena diperkenalkannya berbagai varietas benih padi melalui program Revolusi Hijau.

Padi lokal pun mulai hilang...

Gunarto bercerita, beras-beras lokal di kampungnya lama-lama hilang saat petani dijanjikan produktivitas tinggi lewat benih padi unggul, berikut pupuknya.

Petani tertarik menanam benih varietas unggul karena masa tanam lebih pendek sehingga hasilnya lebih banyak. Padi varietas unggul bisa panen setahun tiga kali sementara padi varietas lokal paling setahun  hanya dua kali.

Kristamtini, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional berkisah soal sulitnya mengumpulkan benih-benih padi lokal di Yogyakarta.

Sejak 2014, Kristamtini melakukan eksplorasi dan identifikasi padi lokal di Yogyakarta dan mengumpulkan lebih dari 100 benih padi lokal. Dari jumlah itu, ada 80-an benih yang masih bisa tumbuh. Sisanya, benih-benih itu mati saat coba ditanam kembali.

“Saya mendatangi petani-petani untuk menanyakan apakah masih ada benih-benih padi lokal. Banyak yang sudah rusak karena lama disimpan di gudang, bahkan ada yang sisa dimakan tikus,” ucap Kristamtini.

Kristamtini, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional
KOMPAS.com/KHAIRINA
Kristamtini, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional

Menurut dia, beberapa benih lokal di Yogyakarta yang masih bertahan dan ditanam petani seperti Segreng Handayani, Sembada Merah, Sembada Hitam, Menor, dan Mentik Susu sudah didaftarkan sehingga menjadi kekayaan lokal daerah tersebut.

Misalnya, Segreng Handayani adalah kekayaan lokal daerah Gunungkidul. Sementara, Sembada menjadi milik Sleman.

Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/Pert/SR.120 tentang Syarat Penamaan dan Tata Cara Pendaftaran Varietas Tanaman, pengertian varietas lokal adalah varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun temurun oleh petani serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai oleh negara.

Pendaftarannya dilakukan oleh bupati/wali kota/gubernur yang bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan masyarajat pemilik varietas lokal di wilayahnya untuk memberikan nama varietas lokal berdasarkan persyaratan penamaan.

“Selain didaftarkan kepemilikannya, juga dilanjutkan dengan pelepasan agar kita bisa memproduksi benihnya dan dijual secara komersial berlabel,” kata Kristamtini.

Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan, benih padi lokal yang dikoleksi AB2TI jumlahnya ada 600-an.

Kehilangan sebagian besar benih padi lokal pada masa Revolusi Hijau, menurut Dwi, adalah kehilangan keanekaragaman genetika terbesar.

***

JEO- Gunarto (64), warga Pakembinangun, Sleman, Yogyakarta setia menanam beras lokal sembada hitam dan sembada merah
KOMPAS.com/KHAIRINA
JEO- Gunarto (64), warga Pakembinangun, Sleman, Yogyakarta setia menanam beras lokal sembada hitam dan sembada merah

 

Pelestari beras lokal

Di tengah gempuran beras varietas unggul, Gunarto dengan sadar menanam beras varietas lokal. Dia tidak mau beras lokal yang dari kecil ia nikmati dan rasanya pun lebih enak itu lama-lama punah dan tidak dikenal generasi berikutnya.

Apalagi, dia melihat tanah yang ditanami beras varietas unggul yang setahun bisa panen tiga kali lama-lama kekurangan unsur hara. Sebab, tanah terlalu jenuh dengan pupuk kimia.

Dia menggambarkan, belut sekarang sudah susah ditemukan di sawah yang diberi pupuk kimia dan pestisida. Padahal, sejak dulu, jamak sawah jadi tempat hidup belut.

Tak hanya di Sleman, para pelestari beras lokal juga bisa ditemukan di Padukuhan Tambak, Kalurahan Melikan, Kapanewon Rongkop, Gunungkidul.

Akhir Oktober lalu, para petani sudah mulai melakukan tradisi ngawu-awu atau bertanam padi sebelum turun hujan. Benih padi ditanam di tanah dan petani tinggal menunggu hujan turun untuk mengairi sawah mereka.

Petani di Rongkop memang mengandalkan hujan sebagai satu-satunya sumber pengairan untuk sawah mereka.

Ilustrasi sawah.
DOK. Humas Kementan
Ilustrasi sawah.

Lalu, kapan saat yang tepat untuk menanam padi?

Selain mengandalkan prakiraan cuaca dari Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), petani juga mengandalkan pranata mangsa atau kalender agraris menurut suku Jawa.

"Kami memadukan prakiraan BMKG dan pranata mangsa. Biasanya benar 75 persen,” ucap Giyarto, Ketua Kelompok Tani Ngudi Raharjo.

Beras merah jenis Segreng Handayani adalah benih lokal yang bisa tumbuh di lahan kering seperti di Gunungkidul.

“Selain padi, kami juga menanam ubi kayu dan jagung di sela-sela tanam padi,” ucap Giyarto.

Melestarikan beras lokal juga menjadi keinginan Eksan Hartanto (32) sehingga membuatnya rela pulang kampung dan meninggalkan industri di Kota Batam.

Eksan, pemuda asli Delanggu, Klaten ini tak rela beras Rojolele yang namanya sudah dikenal seantero negeri itu banyak dipalsukan.

“Jadi kalau beli beras Rojolele, itu hanya karungnya saja yang tulisannya Rojolele, tetapi isinya sudah diganti beras lain,” ujar Eksan.

Dia pun kembali menanam Rojolele jenis Srinuk. Namun, berbeda dengan benih Rojolele yang dikenal turun temurun dulu, benih Rojolele ini mengalami rekayasa sehingga memiliki waktu panen lebih pendek dan produktivitasnya lebih tinggi.

Rojolele aslinya baru bisa panen setelah 155 hari. Namun, Rojolele Srinuk bisa dipanen setelah 105 hari. Keunggulan lainnya, Rojolele Srinuk lebih pendek, tingginya hanya 110 sentimeter sehingga lebih tahan rebah dibandingkan induknya yang tingginya sampai 150 sentimeter.

 

Data dari ISN-Lab menunjukkan, perubahan iklim berpengaruh terhadap hasil pertanian. Varietas lokal dapat menjadi salah satu alternatif adaptasi terhadap perubahan iklim.

Beberapa varietas padi lokal di Yogyakarta di antaranya Menthik, Menthik Susu, Merah, dan Cempo Hitam, dengan hasil produksi 4--10.75 ton per hektar.

JEO-beras mentik susu
KOMPAS.com/KHAIRINA
JEO-beras mentik susu

 ***

 

Ilustrasi padi.
Dok. PEXELS/icon0.com
Ilustrasi padi.

Keunggulan padi lokal

Bagi Gunarto, padi lokal memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan padi varietas unggul. Karena padi lokal lebih irit pupuk kimia, petani tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk membeli pupuk.

Gunarto juga menggunakan pupuk kandang dari kotoran sapi yang ia pelihara sendiri. Pupuk itu ia taruh di pinggir sawah dan ditabur setelah kering.

Padi lokal juga lebih tahan hama dibandingkan varietas padi unggul. Selama menanam varietas padi lokal seperti sembada hitam dan sembada merah, Gunarto tidak pernah mengalami serangan hama. Padahal, dia tidak pernah menyemprot tanaman padi dengan pestisida.

“Satu-satunya hama burung pipit. Kalau enggak ditunggu seharian, habis padi saya dimakan burung,” ujar Gunarto yang sejak 1995 konsisten menanam benih padi lokal.

Beras Sembada merah
 
Beras Sembada merah

Cerita yang sama juga dilontarkan oleh Giyarto dan rekan-rekannya yang tergabung dalam Kelompok Tani Ngudi Raharjo, Rongkop, Gunungkidul. Padi Segreng yang mereka tanam tidak disukai wereng sehingga petani tidak repot menyemprotnya dengan pestisida.

Terkait kemarau panjang tahun ini, Gunarto bersyukur lahannya aman dari kekeringan dan gagal panen. Per 1000 meter lahan, ia bisa panen 4-6 kuintal gabah.

Demikian juga petani di Rongkop, Gunungkidul yang tak terlalu terpengaruh perubahan iklim. Setiap hektar, mereka bisa panen 3,9 ton gabah.

 

Dalam data “Pemodelan Krisis Air di Pulau Jawa dan Bali Dampak Perubahan Iklim” yang dimuat oleh ISN-Lab, perubahan iklim menyebabkan perubahan terhadap anomali cuaca, termasuk frekuensi terjadinya El Nino.

Hal ini menyebabkan menurunnya curah hujan di Indonesia yang berdampak pada kekeringan dan krisis air. Hasil perhitungan model memperkirakan sebagian besar provinsi di Pulau Jawa dan Bali akan mengalami krisis air pada periode tahun 2021-2025.

Andreas Dwi, yang juga guru besar di Institut Pertanian Bogor (IPB) mengakui beras varietas lokal memang lebih adaptif terhadap kondisi-kondisi di daerah itu. Itu sebabnya, dalam kondisi perubahan iklim, beras lokal tidak banyak terdampak.

Beras Sembada hitam
 
Beras Sembada hitam


Harga jual tinggi

Keuntungan lain menanam padi lokal, tentu saja harga jual gabah dan beras yang jauh lebih tinggi dibandingkan padi varietas unggul.

Harga gabah kering panen (GKP) tidak mengikuti harga pembelian yang ditetapkan pemerintah. Petani bisa menentukan sendiri harga gabah, tergantung permintaan pasar.

Sebagai gambaran, harga GKP Segreng sekitar Rp 8.300 per kilogram. Harga itu relatif stabil. Sementara, harga beras Sembada hitam kini Rp 22.000 per kilogram, dan beras Sembada merah Rp 15.000 per kilogram, di atas harga beras pada umumnya.

Demikian juga harga beras Rojolele. Menurut Eksan, di pasaran harga beras Rojolele kini Rp 17.000 per kilogram.

Harga beras lokal yang tinggi membuat petani sejahtera. Apalagi, biaya yang dibutuhkan untuk mengolah sawah yang ditanami benih padi lokal lebih rendah dibandingkan benih padi unggul.

Suswaningsih, Koordinator Penyuluh Badan Penyuluh Pertanian Kabupaten Rongkop Gunungkidul mengatakan, petani di Rongkop minimal memiliki simpanan gabah lima karung untuk persediaan di rumah.

Kebanyakan petani menyimpan gabah dan baru menggiling serta menjualnya setelah padi yang ditanam di musim kedua siap panen.

“Tanah di Rongkop juga cocok untuk jagung dan ubi kayu sehingga selain menanam padi, petani juga menanam jagung dan ubi kayu,” ujar Sus.

Tak hanya bertanam padi, ubi kayu, dan jagung, petani juga kebanyakan memiliki sapi. Kotorannya digunakan sebagai pupuk kandang dan sapinya biasanya dijual saat Idul Adha.

Itu sebabnya, meskipun memiliki tanah yang kering dan tak ada sumber air, petani di Rongkop rata-rata sejahtera.

Di seluruh Gunungkidul ada 2510 hektr di 8 desa yang ditanami padi merah. Sus, bersama tiga penyuluh pertanian lainnya dan satu pengamat hama bertanggung jawab untuk memberikan penyuluhan kepada 144 kelompok tani.

Sejauh ini, kata Sus, 1 hektar lahan mampu menghasilkan 3,9 ton gabah.


Cari pasar

Para petani padi lokal umumnya memiliki konsumen tersendiri, ini berbeda dengan petani lainnya yang hasil panennya cepat diserap pasar.

Beras Sembada hitam dan sembada merah, misalnya, dijual hingga ke Jakarta, Bali, bahkan Amerika Serikat (AS). Peminatnya adalah masyarakat yang peduli kesehatan.

Ini karena beras hitam memiliki beta karoten, antosianin, dan zat besi cukup tinggi. Kandungan asam folatnya juga lebih tinggi dari beras putih. Beras hitam dan beras merah memperlambat berkurangnya daya ingat.

"Banyak yang membeli beras dari kami lalu diberi merek sendiri dan dikirimkan ke berbagai daerah,” ujar Gunarto.

Pria itu juga membeli beras Sembada hitam dan merah dari petani lain, agar petani semakin bergairah menanam padi lokal.

Sementara, Eksan dan petani lain memilih menjual sendiri beras Rojolele kepada mitra. Dengan begitu, ia memperpendek rantai distribusi sehingga petani mendapat untung lebih banyak.

“Selama ini petani kalau panen kan diambil sama tengkulak, baru ke pedagang dan sebagainya, rantainya terlalu panjang, petani dapat berapa,” ucapnya.

Sementara, beras Segreng Handayani sudah memiliki pasarnya sendiri. Beras merah ini bahkan diminati hingga ke luar Jawa.

Menanam dan melestarikan beras lokal, seperti yang dilakukan Gunarto, Eksan, dan petani lainnya memang bukan pilihan yang populer dan tidak semua petani mau melakukannya.

Menurut Andreas Dwi, pelestarian beras varietas lokal tidak bisa sepenuhnya diserahkan ke petani. Pemerintah harus turun tangan melestarikan dan menumbuhkan kembali beras lokal.

Entah kapan beras lokal kembali jadi raja di piring-piring masyarakat Indonesia…

***

Tulisan ini merupakan hasil dari program fellowship Peliputan Berbasis Sains yang diselenggarakan ISN Lab by SISJ dan didukung Google News Initiative