Sosok-sosok dalam tulisan ini adalah gambaran tentang harapan. Kisah mereka memperlihatkan, tantangan hidup bukan sesuatu untuk dikeluhkan, justru jadi pelecut.
Akankah harapan mereka bersambut dan mewujud jadi hal baik yang sambung-bersambung? Saya dan Anda yang bisa menjawabnya, meski dari lingkungan kita sehari-hari.
HARAPAN. Arti kata ini tidak sekadar sesuatu yang kita harap atau inginkan terjadi pada masa depan.
Charles R Synder, psikolog di University of Kansas, mendefinisikan harapan sebagai refleksi kapasitas seseorang mempersepsikan tujuan (goal), memilih tindakan yang berdampak (agency), dan menentukan cara (pathways) untuk mewujudkan tujuan.
Harapan tidak berhubungan dengan tingkat kecerdasan (IQ) ataupun penghasilan seseorang.
Pilihan tindakan yang berdampak adalah kemampuan kita untuk membentuk hidup dan keyakinan kita bahwa kita dapat mewujudkan sesuatu. Motivasi tercakup di dalamnya.
Adapun pilihan jalan merupakan cara kita mencapai tujuan.
Dalam teori harapan, tujuan dapat berupa apa pun yang kita inginkan untuk terjadi, alami, buat, dapatkan, lakukan, atau jalani. Bentuknya berbeda bagi setiap orang.
Karenanya, tujuan dalam konteks harapan mungkin berarti upaya sepanjang hayat atau sebaliknya untuk jangka pendek saja. Tujuan pun bisa saja berupa hal-hal biasa.
Namun, mereka yang punya harapan tinggi akan cenderung menetapkan tujuan yang lebih luas dan lebih menantang dibanding capaian hidup sebelumnya.
Optimisme barulah separuh dari harapan.
Shane Lopez, peneliti dan penulis buku Making Hope Happen, menegaskan bahwa harapan tidak berhubungan dengan tingkat kecerdasan (IQ) ataupun penghasilan seseorang.
Dalam banyak hal, harapan dikaitkan pula dengan optimisme. Namun, Lopez menyebut optimisme barulah separuh dari harapan.
Bila optimisme merupakan perasaan umum bahwa hal-hal baik akan terjadi, harapan cenderung lebih fokus pada tujuan. Karenanya, harapan tidak semata menunggu tanpa upaya sekalipun berkeyakinan tentang hal baik.
Harapan adalah hal baik yang dilakukan, dalam situasi yang paling tidak menguntungkan sekalipun, demi mewujudkan hal baik yang lebih baik lagi.
Harapan adalah daya untuk memelihara hidup yang berakar pada relasi kita dengan masa depan.
Mengutip perkataan Synder, Lopez menyebut pula bahwa harapan adalah daya untuk memelihara hidup yang berakar pada relasi kita dengan masa depan.
"Persis seperti yang dilakukan oleh para leluhur kita, sekarang ini kita berpikir tentang berangkat dari posisi kita berada saat ini, katakanlah dari titik A, menuju ke posisi yang kita inginkan, katakanlah titik B," tulis Lopez.
Ketika seseorang kehilangan harapan, lanjut Lopez, ibarat kata dia telah kehilangan titik B yang hendak dituju itu.
"Butuh alternatif strategi bagi orang itu untuk mencapai titik B yang semula menjadi tujuan hidupnya. Atau, orang itu butuh titik B yang baru," kata Lopez.
JEO ini mengangkat kisah tiga sosok dan harapan hidupnya. Mereka adalah Thomas Sutana, Ruhandi, dan Yohana Marpaung.
Kisah mereka memperlihatkan tantangan hidup bukan sesuatu yang perlu dikeluhkan dan diratapi saja. Tantangan hidup justru jadi pelecut diri.
Bagi kita, semoga kisah-kisah ini juga memberi gambaran lebih nyata tentang harapan dan daya geraknya bagi seseorang dan lingkungannya.
Kisah mereka pun semoga menjadi gambaran tentang hal-hal baik yang ada dan terjadi di sekitar kita sehari-hari.
Selama hal baik masih ada dalam kehidupan, harapan itu ada. Karena bisa jadi, sejatinya harapan adalah hal-hal baik itu sendiri.
Artikel-artikel tentang hal-hal baik dalam keseharian kita semacam ini dapat disimak pula di Kompas.com dalam liputan khusus Melihat Harapan dalam Setiap Hal Baik.
GELOMBANG cobaan hidup tak membuat Thomas Sutana patah. Dari kehilangan istri tercinta sampai tak kesampaikan merampungkan sekolah untuk gelar doktor di bidang pendidikan tak menjadikan harapan Sutana pupus.
Pemberdayaan masyarakat jadi jalan yang dia pilih. Mewujudkan masyarakat yang sejahtera adalah harapannya. Biaya swadaya pun dilakoni demi menjadikan cita-citanya itu nyata.
Cobaan besar datang tak disangka berupa diagnosis kanker ovarium untuk istri Sutana, Rina Wiyati. Situasi ini membuat Sutana memutuskan berhenti menjadi guru di salah satu SMP swasta di kawasan Jakarta Selatan.
Bolak-balik izin untuk keperluan pengobatan Rina jadi dasar pengunduran diri Sutana. Dia tak enak hati dengan murid-muridnya bila sering tidak mengajar.
Setahun menjalani pengobatan, kata Sutana, istrinya disebut sembuh oleh dokter yang menangani. Rina bahkan bisa mengajar lagi di SMP swasta di kawasan Tangerang Selatan.
"Karena posisi saya sudah pensiun dini, saya mencoba mendaftar masuk ke S3 Teknologi Pendidikan di UNJ pada 2013," kata Sutana saat ditemui Kompas.com di kediamannya sekarang di Klaten, Jawa Tengah, Kamis (17/9/2020).
Meski sudah dibilang sembuh oleh dokter, istri Sutana masih tetap rutin menjalani perawatan. Di sela rutinitas ini Sutana menjalani kuliah teori doktoral.
Dia ingin sekolah menghasilkan lulusan yang mampu menghargai perbedaan.
Walau bolong-bolong ikut kelas tatap muka karena sering mendampingi sang istri, Sutana tetap mengerjakan semua tugas kuliah.
"Perkuliahannya itu selama satu tahun. Bisa saya atur meskipun saat itu juga masih tetap mengantarkan istri berobat ke rumah sakit," tutur Sutana.
Namun, semesta punya jalan cerita sendiri. Usai masa perkuliahan tatap muka Sutana, kondisi kesehatan Rina anjlok. Sel kanker aktif lagi, bahkan menyebar hingga ke otak.
Kesehatan sang istri terus menurun. Pada saat yang sama, proposal disertasi menanti untuk digarap Sutana.
"Disertasi sudah saya ajukan dan disetujui," kata Sutana.
Judul proposal disertasinya, Mendesain Pembelajaran Berbasis Multikultural. Disertasi itu dia ajukan dengan pemikiran bahwa Bangsa Indonesia sangat majemuk. Dia ingin sekolah menghasilkan lulusan yang mampu menghargai perbedaan.
Namun, pengobatan sang istri kali ini tak sesuai harapan. Rina meninggal.
"Saya sudah tidak bisa apa-apa lagi. Anak saya masih kecil. Kalau saya tinggal di Jakarta pasti kerepotan," ungkap Sutana.
Pulang kampung jadi pilihan. Delanggu, Klaten, jadi tujuan pulang. Ini adalah kampung halamannya dan tempat dia sekarang menetap.
Waktu itu, medio 2015, Sutana masih berharap bisa meneruskan kuliah doktoralnya. Terlebih lagi, dia tinggal menuntaskan penelitian.
"Saya alihkan ke Solo dan sekitarnya, objek penelitiannya, tidak di Jakarta," ujar dia.
Sayangnya, rencana itu tetap tak mudah. Anaknya yang masih kecil tak mau ditinggal di rumah sendirian selama dia melakukan penelitian. Dia juga masih harus bolak-balik ke Jakarta untuk bimbingan disertasinya.
Akhirnya, Sutana memilih tak menyelesaikan disertasi itu.
Sekolah doktoralnya memang tidak selesai. Dana yang Sutana alokasikan untuk penyelesaian sekolah dia alihkan untuk membuka bimbingan belajar bagi anak kurang mampu di sekitar tempat tinggalnya.
Itu pun, usia bimbingan belajar tersebut tak panjang, hanya sekitar tiga bulan. Lagi-lagi karena anaknya masih ingin ikut dengannya dalam segala aktivitas, sementara ekonomi juga tetap harus mendapat topangan.
Sutana memutar otak untuk mencari pekerjaan lain yang tak harus meninggalkan anaknya sendirian di rumah. Hasilnya, dia membuka jasa persewaan kursi dan tenda untuk acara seperti pernikahan.
Usaha ini berjalan bahkan Sutana bisa mengajak beberapa orang bekerja bersamanya. Tak berjarak lama, peluang lain juga datang, yaitu menjadi pendamping lokal desa (PLD). Peluang dia dapatkan pada kurun 2016.
"Saya dapat berita dari Jakarta ada lowongan pendamping lokal desa. PLD adalah pekerja kontrak di bawah Kementerian Desa," ungkap dia.
Sutana pun diterima sebagai PLD di Kecamatan Delanggu. Dia membawahi empat desa, yaitu Krecek, Sribit, Mendak, dan Banaran.
PLD bertugas meningkatkan pemberdayaan masyarakat di desa. Menurut Sutana, ada banyak anggaran di desa yang semestinya bisa dipakai untuk menyejahterakan masyarakat malah terlalu fokus dipakai untuk pembangunan infrastruktur.
"Dana desa yang dikucurkan setiap tahun sekitar Rp 800 juta hingga Rp 1 miliar. Hampir semua untuk pembangunan fisik," ungkap Sutana.
Sutana pun mencoba berkomunikasi dengan perangkat desa. Dia berharap ada sebagian dana desa yang dapat dialokasikan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Namun, upaya ini belum berbuah hasil.
Sutana tak patah arang. Tanpa meninggalkan tugas dan tanggung jawab sebagai PLD, Sutana secara mandiri bersama warga merintis dua kelompok pemberdayaan masyarakat. Ini mulai dia lakukan terutama ketika pandemi Covid-19 mulai meluas.
Kedua pemberdayaan itu berbasis pertanian. Yang satu menggunakan sarana budidaya cabai dengan nama Agro Makmur, satu lagi adalah budidaya pepaya dalam wadah bernama Agro Bulan Lestari.
Kelompok pemberdayaan masyarakat yang dirintis ini merupakan bagian dari cita-citanya untuk menyejahterakan masyarakat.
Adapun anggota kelompok pemberdayaan masyarakat ini sebagian besar adalah ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan di rumah.
Sutana mengatakan telah menyiapkan pemasaran hasil panen dari semua kelompok binaannya tersebut supaya tidak ada persaingan harga.
Sutana berharap dua kelompok pemberdayaan masyarakat yang dia rintis ini kelak menjadi percontohan bagi desa lain di Kabupaten Klaten.
"Harapan saya, dengan merintis ini, pola pikir masyarakat berubah. Pembangunan yang benar itu manusianya. Masyarakatnya dulu yang dibangun, bukan fisiknya dulu," cetus dia.
Ketika masyarakat telah terberdayakan, kata dia, pembangunan fisik seperti pengaspalan jalan adalah hal yang mudah.
"Kalau nanti banyak kelompok pemberdayaan, terus (masyarakat) makmur, mau mengaspal jalan mudah, tinggal iuran. Selama warga tidak mampu, warga pasti protes (kalau ada iuran untuk pembangunan)," sambungnya.
Sutana berharap dua kelompok pemberdayaan masyarakat yang dia rintis ini kelak menjadi percontohan bagi desa lain di Kabupaten Klaten. Dia pun berbagi impian, suatu hari masyarakat tidak sekadar memanen dan menjual pepaya dan cabai.
Dalam bayangannya, mereka juga akan mampu mengolah hasil panen dan menjadikannya produk bernilai tambah. Bersama itu semua, ada pula pembibitan untuk kebutuhan sendiri dan bibit yang dijual.
"Impian saya nanti ke sana," tutur alumnus pascasarjana Universitas PGRI Jakarta Selatan ini.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua kelompok Agro Makmur, Sartini (60), mengatakan, kelompoknya memiliki 12 anggota. Dia pun mengaku sangat terbantu dengan kelompok yang diinisiasi Sutana.
Menurut Sartini, menanam cabai tidaklah sulit. Hanya butuh empat bulan sampai lima bulan untuk panen.
"Kalau sudah panen dan berhasil seperti ini sangat membantu kami, karena bisa dijual," ujar warga Pucangan, Banaran, tersebut.
Sutana mendapatkan donasi dari sejumlah orang berbekal proposal yang dia susun.
Budidaya cabai sudah dimulai sejak April 2020. Kalau tak ada aral melintang, hari-hari ini kelompok tani Sutana dan warga akan panen perdana. Adapun budidaya pepaya baru sampai tahap persiapan dan menuju masa tanam.
Pembiayaan untuk inisiatif pemberdayaan ini tak sepenuhnya jadi beban di pundak Sutana. Memang, dia sempat pula menawarkan ratusan bukunya kepada kawan-kawan yang berminat.
"Enggak banyak kok tapi itu (nilainya), buat tambah-tambah saja," kata Sutana.
Selebihnya, Sutana mendapatkan donasi dari sejumlah orang berbekal proposal yang dia susun. Lahan yang dia pakai pun berstatus pinjaman.
Namun, Sutana menggarisbawahi, prinsip pemberdayaan ini adalah saling bantu, dimulai dari nol bersama warga yang mau bergabung.
Mau ikut turun tangan?
Praksis pertanian harus menyediakan produksi yang memadai agar memungkinkan petani untuk hidup dari tanah.
Ruhandi adalah Kepala Desa Warungbanten, salah satu desa di Kabupaten Lebak, Banten. Dalam bahasa setempat, jabatannya disebut sebagai jaro.
Tiga bulan mengikuti sekolah terbuka, guru-guru di situ ternyata mengamati semangat Ruhandi.
"Boleh sekolah. Tapi yang penting jujur dan (bertindak) benar."
Ia ingin tanah kelahirannya maju dan masyarakatnya sejahtera. Seperti halnya sepotong lirik lagu Indonesia Raya di atas, Ruhandi tak ingin pembangunan di desanya sebatas soal infrastruktur.
Ruhandi ingin membangun jiwa-jiwa masyarakat desa melalui literasi.
“Bagi saya tidak apa-apa orang-orang tidak merasa ada pembangunan fisik tapi manusianya berubah. Sumber daya manusianya yang disentuh,” ujar Ruhandi.
Literasi jadi pilihan Ruhandi untuk menyentuh jiwa warga desanya. Ini dia mulai sejak belum menjadi kepala desa.
Ruhandi sempat bekerja di Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Gaji dari pekerjaan inilah yang dia pakai jadi ongkos gerakan literasi. Sasarannya, anak-anak yang tak melanjutkan sekolah karena faktor biaya.
Begitu menjadi kepala desa, upayanya makin masif. Dia kumpulkan 25 pemuda untuk menjadi relawan. Mereka berkeliling mengumpulkan buku-buku yang tak terpakai.
Kemudian, dia membuat tempat bagi anak-anak berkumpul, bermain, dan belajar.
“Dulu saya tidak mengerti yang namanya TBM (Taman Bacaan Masyarakat) dan perpustakaan desa. Saya juga tidak mengerti apa itu literasi,” kata Ruhandi.
Bersamaan, dia dokumentasikan dan unggah kegiatan literasi yang berlangsung tiap akhir pekan itu ke media sosial. Dia ungkap juga gagasan-gagasannya soal membangun desa di situ.
Suatu ketika, unggahan Ruhandi mendapat respons dari sejumlah pegiat literasi di Banten. Pertemuan dan tukar pikiran pun lalu sering terjadi di antara mereka.
“Lalu mereka bikin kegiatan di sini, kirim buku dan menjelaskan apa itu TBM. Akhirnya, kita sepakati bikin TBM Kuli Maca, sekitar 2015,” tutur Ruhandi.
Upaya literasinya ini pun belakangan menggema hingga ke tingkat nasional. Pada 2020, Ruhandi terpilih sebagai salah satu penerima Apresiasi Ikon Prestasi Pancasila Tahun 2020 dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Literasi, bagi Ruhandi adalah syarat utama pengembangan masyarakat secara optimal. Dengan pendidikan, warga juga akan mampu meningkatkan perekonomian dengan tetap berpegang pada kearifan lokal.
Ia meyakini kegiatan literasi tidak sebatas pada membangkitkan minat baca, tapi juga usaha untuk memberdayakan masyarakat.
TBM Kuli Maca yang berdiri sejak 2015 pun tak lagi hanya menyasar anak-anak putus sekolah. Warga pun menjadikan tempat ini untuk diskusi dan menggali potensi desa.
Bacaan yang tersedia pun makin beragam, dari buku cerita anak, sastra, hingga soal pengembangan potensi pertanian. Buku-buku ini berasal dari aneka donasi.
Kemandirian pemenuhan pangan sekaligus kelestarian alam jadi tujuan akhir.
“Banyak yang bisa dilakukan dengan menggali potensi yang ada, karena selama ini kan potensi desa itu tidak pernah dipikirkan,” kata laki-laki kelahiran 7 Maret 1985 itu.
Ruhandi selalu mendorong warga untuk melestarikan pangan lokal dan pertanian alami serta menghindari penggunaan pupuk kimia. Kemandirian pemenuhan pangan sekaligus kelestarian alam jadi tujuan akhir.
Peternakan juga jadi perhatian Ruhandi. Sebelumnya, beternak tidak banyak jadi pilihan warga. Menurut dia, ini juga penting untuk mewujudkan kemandiran pangan di desanya.
Bila kemandiran pangan terwujud bersama alam yang terjaga, Ruhandi pun berharap suatu saat pembangunan di desanya akan diinisiasi sendiri oleh warga.
Harapan lebih lanjut, pembangunan berbekal kemandirian itu akan selalu selaras dengan tradisi leluhur dan kelestarian alam.
“Target saya, yang membangun (desa) bukan lagi pemerintah. Suatu hari nanti, kita sudah tidak lagi mengharapkan bantuan dari pemerintah, tapi orang Warungbanten yang sudah memikirkan sendiri, bagaimana cara membangun desanya,” ujar Ruhandi.
Konsep wisata yang dikembangkan para pemuda Warungbanten tampak tetap mengedepankan kelestarian alam dan kearifan lokal.
Mengutip pernyataan Mohammad Hatta, Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta. Tapi, Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.
Kompas.com mengenal Warungbanten dari interaksi di kegiatan literasi komunitas @moli_motorliterasi. Dalam interaksi ini, Jaro Ruhandi sempat mengutarakan pemetaan yang dia lakukan atas potensi desanya.
Pariwisata masuk dalam pemetaan Ruhandi. Saat Kompas.com ke sana, konsep wisata yang dikembangkan para pemuda Warungbanten tampak tetap mengedepankan kelestarian alam dan kearifan lokal.
Semoga harapan Ruhandi mewujud nyata dan terwariskan dari generasi ke generasi mendatang...
Karena, seperti kata Mohammad Hatta, Indonesia akan terang bukan karena obor di Jakarta melainkan karena lilin-lilin di desa.
YOHANA Pamella Berliana Marpaung. Perempuan ini memilih berjuang mengajar anak-anak rimba hutan pedalaman Jambi di masa pandemi Covid-19. Ini pilihan bebas, tidak ada yang mengharuskan dia begitu.
Itu pun, dia harus berhadapan dengan aneka tantangan, termasuk dari para Orang Rimba. Ikut berpindah-pindah di dalam hutan dia jalani juga dalam proses membantu pendidikan anak-anak Rimba ini.
Yohana memang berlatar staf pendidikan kelompok marginal di Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi. Ini lembaga non-profit yang berdiri sejak 27 Desember 1991.
Selama pandemi, pendidikan anak-anak dari suku Orang Rimba makin termarjinalkan. Tidak memungkinkan pendidikan mereka dilakukan menggunakan teknologi informasi.
“Sekolah tutup sampai waktu tak ditentukan. Anak-anak telantar tidak bisa belajar. Saya terpanggil untuk mendampingi mereka, mengajari mereka dari hutan ke hutan,” kata Yohana, Minggu (12/7/2020).
Yohana mulai menjalani aktivitas ke pedalamanan tersebut sejak April 2020. Awalnya, dia menuju rumah singgah KKI Warsi di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Jambi.
Namun, rupanya anak-anak dijemput orangtua mereka dan ikut masuk ke hutan selama sekolah tutup.
“Orangtua mereka menjemput, karena takut anaknya terserang virus corona,” kata Yohana
Meyakinkan kembali para orangtua untuk mengizinkan anak-anaknya kembali ke rumah singgah adalah strategi jemput bola Yohana.
Perjalanan jemput bola ini tidak mudah. Menggunakan sepeda motor, butuh waktu tujuh hingga delapan jam dari satu sudong Orang Rimba ke sudong lainnya. Sudong adalah tempat tinggal Orang Rimba—sebutan lain Suku Kubu untuk dirinya sendiri—di dalam hutan.
Proses meyakinkan para orangtua ini tidak mudah. Yohana harus menjelaskan dia punya surat dokter yang menyatakan dia bebas dari Covid-19. Riwayat perjalanannya pun diceritakan rinci.
Sudah begitu, dia tetap harus menjalani karantina ala Orang Rimba. Sebutannya besesandingon. Lalu, dia harus pula menerapkan sesalungun, istilah untuk jaga jarak menurut kearifan lokal.
Setelah melewati perjalanan panjang dan upaya meyakinkan para orangtua, Yohana baru bis bertemu dengan anak-anak. Mereka dia bawa ke rumah singgah KKI Warsi. Ada belasan anak bersamanya saat ditemui Kompas.com.
Untuk proses belajar, Yohana berinisiatif mendatangi kepala sekolah setempat untuk meminjam buku. Dia juga berkonsultasi tentang materi yang harus diajarkan selama sekolah tutup.
"Agar anak-anak tidak ketinggalan pelajaran,” kata Yohana.
Fokus pelajaran yang diberikan Yohana adalah membaca, menulis, dan berhitung. Dia menggunakan metode belajar sambil bermain. Artinya, tidak ada jadwal khusus, terlebih Anak Rimba tidak memahami konsep waktu seperti kita yang tidak tinggal di hutan.
"Kadang-kadang saat belajar di rimba, waktu gelap anak tidur. Tengah malam, mereka bangun minta belajar lagi. Kita yang sesuaikan keinginan mereka buat belajar," tutur Yohana memberikan gambaran.
Menurut Yohana, anak-anak ini sebenarnya punya semangat tinggi untuk belajar. Setelah belajar tengah malam dan tidur lagi selama empat hingga lima jam, mereka bangun untuk balajar lagi sampai matahari terbit.
Selain baca, tulis, dan hitung, anak-anak ini belajar juga membuat kerajinan tangan dan bercocok tanam. Dengan beragam tantangan, kurikulum yang mencakup pelajaran tematik juga tetap diberikan, bermodal buku pinjaman dari sekolah.
Selain mengajar di rumah singgah, Yohana juga mengajar anak-anak yang orangtuanya berpindah-pindah dari kebun sawit ke hutan kemudian ke kebun sawit lagi.
Kendati tidak menetap, perpindahan Orang Rimba masih bisa dijangkau, tetap dalam kawasan Bukit Duabelas, tepatnya Desa Bukit Suban.
Sebagian Orang Rimba masih memilih berpindah-pindah tempat. Salah satunya, kelompok Meriau.
Perpindahan lokasi berdiam adalah cara Orang Rimba bertahan dari virus. Dengan berpindah, peluang untuk bertemu dengan orang luar semakin sedikit.
Sebelum mendatangi rombongan Meriau, santer terdengar kabar Yohana akan ditolak. Orang Rimba melarang orang luar masuk ke lingkungan mereka.
Dalam perjalanan mencari kelompok Meriau, Yohana bertemu anak-anak dari rombongan itu yang sedang membrondol atau memungut buah sawit yang jatuh dari pohon atau dari mobil perusahaan saat panen.
Meski sudah kenal Yohana, anak-anak itu tetap kabur dan bersembunyi karena ketakutan. Tantangan lagi bagi Yohana untuk mengajak mereka belajar lagi.
“Kami andok, induk awok marah. Kami mau, tapi ibu kami marah,” kata Yohana menirukan kata Matam, salah satu anak Rimba yang dia temui itu.
Untuk meyakinkan rombongan Meriau, Yohana tinggal dan ikut berpindah bersama mereka. Tentu, awalnya dia ditolak dan dijauhi. Namun, melihat Yohana tetap bertahan selama sepekan, Orang Rimba pun luluh dan mengizinkan anak-anaknya belajar bersamanya.
Sama seperti proses belajar yang tak memungkinkan dilakukan dalam jaringan, ujian kenaikan kelas bagi anak Rimba juga harus dilakukan manual.
Yohana datang ke sekolah, mengambil soal ujian, lalu mendampingi anak-anak mengerjakan soal ujian, dan menyerahkan kembali lembar jawaban ke sekolah.
Kebanyakan anak-anak rimba di Bukit Duabelas terdaftar sebagai siswa di SDN 191 Air Panas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun.
“Anak-anak mau ujian, tetapi tidak boleh tatap muka di sekolah. Jadi kami minta tolong bapak ibu untuk mengambil soal anak-anak asuhnya agar bisa dikerjakan di rumah. Soal dijemput hari Senin 15 Juni pukul 09.00 di sekolah,” bunyi pesan dari Kepala Sekolah SD 191 yang masuk ke ponsel Yohana.
Meski ada beragam tantangan berat, harus pula bergelut dengan kesunyian hutan, tak ada sinyal seluler, bertemu satwa liar, dan menempuh perjalanan jauh, Yohana menyebut semua ini sebagai upaya mewujudkan mimpi.
"Ada kegelisahan di hati melihat kondisi mereka saat ini," kata Yohana.
Yohana mengaku punya impian mengajar di rimba sejak masih sekolah di SMA. Dia tertarik dengan Orang Rimba setelah membaca buku dan publikasi KKI Warsi di media sosial tentang suku ini.
Saat orang-orang sibuk dengan urusan teknologi terbaru, model rumah minimalis, lampu emergensi, atau ragam pilihan makanan, Yohana melihat masih ada saudara-saudara kita yang hidup seadanya di hutan dan tak jarang terancam kelaparan.
"Rumah (mereka) hanya dari kayu, terpal, tanpa dinding, makanan pada umumnya dimasak dengan cara merebus," lanjut Yohana.
Sebelum mengajar di rimba sejak November 2018, Yohana pernah menjadi peneliti independen. Keluar masuk hutan di Pulau Kalimantan dan di Nusa Tenggara Timur pernah dia lakoni.
Selain itu, Yohana juga sempat bekerja untuk Bank Dunia dan Kantor Staf Presiden. Namun, panggilan hatinya adalah mengajar anak-anak dari Orang Rimba.
Menurut Yohana, pemerintah masih kurang mempedulikan anak-anak dari suku termarjinal, terutama soal pendidikan. Padahal, kata dia, anak-anak Rimba pun cerdas. Namun, situasi membuat mereka cenderung pemalu dan minder sehingga potensinya tak keluar optimal saat mengikuti sekolah formal.
Ancaman kehidupan pun mengintai Orang Rimba seturut makin banyaknya hutan dibuka untuk kebun sawit. Lahan penghidupan semakin sempit dan mereka belum mampu beradaptasi dengan lingkungan yang mulai rusak.
Gaya hidup yang datang bersama pembukaan hutan sawit pun punya pengaruh ke Orang Rimba. Ponsel, misalnya, ingin dimiliki pula oleh Orang Rimba. Bedanya, ponsel bukan dipakai untuk komunikasi melainkan untuk memutar lagu saat di hutan.
Adakah yang lain tergerak juga seperti Yohana dan sejumlah kawan-kawannya?