KRISIS lahan pemakaman membayangi Ibu Kota. Dalam sehari, setidaknya 100 jenazah dimakamkan. Artinya, diperlukan 100 petak makam per hari.
Saat ini, 100 petak makam per hari itu pun tak mudah untuk didapat, apalagi di lokasi strategis. Bahkan, ketersediaan lahan makam yang ada di DKI Jakarta diperkirakan hanya mencukupi untuk 1,5 tahun ke depan, dengan kondisi sekarang.
Sistem informasi online untuk pemakaman juga belum banyak membantu warga yang hendak mengebumikan kerabat. Duka keluarga masih rentan pula disisipi kerepotan mencari tanah makam.
Kompas.com menelusuri data dan kondisi areal pemakaman di DKI Jakarta, termasuk tantangan dan alternatif solusinya. Seperti apa?
BERDASARKAN hitung-hitungan pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, satu petak makam membutuhkan lahan seluas 5,5 meter persegi.
Rinciannya, 1,5 meter x 2,5 meter (3,75 meter persegi) untuk petak makam, sisanya untuk sarana prasarana seperti jalan di kiri dan kanannya.
Dengan rata-rata kebutuhan 100 petak makam per hari dan luas setiap areal tersebut, lahan makam yang dibutuhkan dalam satu tahun atau 365 hari di DKI Jakarta berkisar 200.750 meter persegi atau 20,075 hektar.
Luas lahan makam yang dibutuhkan dalam satu tahun sekitar 20,075 hektar.
"Lahan makam yang dibutuhkan itu bisa mencapai 20 hektar per tahun, sementara lahan yang sudah siap pakai itu 31,4 hektar. Berarti, 31,4 hektar dibagi 20 hektar, cuma 1,5 tahun lagi sudah akan krisis," ujar Nirwono kepada Kompas.com.
Data terakhir yang dimiliki Nirwono, lahan pemakaman yang sudah dibebaskan Dinas Kehutanan DKI Jakarta seluas 598,5 hektar. Dari luas tersebut, 385,5 hektar sudah dipakai, sementara 31,4 hektar siap pakai, dan sisanya belum siap pakai.
Lahan belum siap pakai adalah lahan yang sudah dibebaskan tetapi masih perlu pematangan, salah satunya dengan diuruk. Banyak lahan yang dibebaskan untuk pemakaman semula adalah rawa-rawa, tanah yang kondisinya berair, bekas sawah, atau banyak ditumbuhi tumbuhan liar.
Kepala Seksi Pelayanan dan Perpetakan Makam Dinas Kehutanan DKI Jakarta Ricky Putra menyampaikan, Pemprov DKI Jakarta sejak era Gubernur Ali Sadikin menargetkan ada 794,83 hektar lahan makam hingga 2035.
Dari target itu, sebut Ricky, Dinas Kehutanan DKI sudah membebaskan 611,59 hektar lahan hingga akhir 2017. Berarti, ada 183,24 hektar yang belum dibebaskan.
Dari 611,59 hektar lahan makam yang sudah dibebaskan, 60 persen di antaranya atau 365,13 hektar sudah dipakai. Adapun lahan yang siap pakai seluas 38,3 hektar dan sisanya, 208,16 hektar, belum siap pakai.
Sebagaimana hitungan Nirwono, Ricky mengakui lahan makam seluas 38,3 hektar yang berstatus siap pakai tersebut bisa habis pada 2019, mengingat kebutuhan sekitar 100 petak makam setiap harinya.
"Memang kalau ketersediaan seperti itu bisa bertahan sampai 2019, yang 38,3 hektarnya itu, kalau benar-benar dipakai," kata Ricky.
SUASANA duka pastilah melingkupi keluarga yang kerabatnya baru saja meninggal. Sudah begitu, pencarian lahan makam juga tak mudah, sekalipun DKI Jakarta telah memiliki sistem layanan online untuk pemakaman.
Cerita salah satu warga bernama Lasti Kurnia ini salah satu contohnya. Saat sang ayah berpulang, medio Februari 2018, dia mengakses laman pertamananpemakaman.jakarta.go.id untuk mengecek ketersediaan petak makam di Jakarta.
Saat mengklik bagian ketersediaan petak makam di laman itu, Lasti dihadapkan pada daftar nama-nama TPU dengan banyak kotak oranye yang sama sekali tak ia pahami.
"Kami itu cari TPU Joglo, TPU Tegal Alur, itu dia ada berupa kotak, ada angkanya, tapi itu enggak ada keterangan apa-apa," kata Lasti saat bertutur kepada Kompas.com.
Ada tiga angka di dalam satu kotak, yakni angka di bagian atas, angka penunjuk harga di bawahnya, dan satu angka lagi di bagian bawah kotak.
Hal lain yang membingungkan Lasti, kotak-kotak itu tidak bisa diklik lagi. Lasti dan keluarganya pun tetap harus datang langsung ke TPU untuk memastikan ketersediaan lahan dan kondisi petak makam yang kosong.
Sistem online tersebut memang baru menginformasikan jumlah ketersediaan petak makam di TPU-TPU di Jakarta.
"Prosesnya jadinya manual, datang ke satu TPU, ngelihat lahannya. Kami merasa malam itu tuh tidak bisa memanfaatkan website itu karena tidak bisa mengklik apa-apa," ujar dia.
Setelah berkeliling ke sejumlah TPU, Lasti dan keluarga tidak menemukan petak makam yang sesuai keinginan mereka. Akhirnya, mereka memutuskan membeli lahan makam di kompleks pemakaman swasta.
Saat ditanya tentang kesulitan tersebut, Ricky menjelaskan, sistem online tersebut memang baru menginformasikan jumlah ketersediaan petak makam di TPU-TPU di Jakarta.
Dia menyampaikan, angka paling atas dalam kotak merupakan jumlah ketersediaan petak makam, angka di bawahnya merupakan harga retribusi makam tersebut, dan angka paling bawah sebagai penanda blad (blok) di suatu TPU.
Namun, lanjut Ricky, masyarakat tetap harus datang ke TPU untuk mengecek kondisi petak makam yang tersedia itu.
"Di sistem itu ada (tersedia) perpetakannya, tapi untuk memastikan masyarakat enggak kaget lokasinya, misalnya ternyata lokasinya di pojok, itu memang harus dicek dulu," kata Ricky.
Selain itu, Ricky mengakui jumlah ketersediaan petak makam bisa saja tidak sama dengan yang sebenarnya di lapangan. Sebab, perubahan data itu bisa cepat dan pengelola TPU belum sempat memperbarui data di website.
"Bisa saja kan (petak makam yang tersedia) sudah dipakai, ternyata belum ke-update. Karena yang update kan dari TPU-nya sama PTSP," tutur Ricky.
Kepala TPU Menteng Pulo Edi Nurzaman dan Kepala TPU Jeruk Purut GH Achyanto menyampaikan hal serupa.
Warga hanya bisa mendapatkan informasi valid soal petak makam dengan datang langsung ke TPU. Mereka menyebut data ketersediaan lahan makam pada laman itu tidak akurat.
Sementara itu, Nirwono Joga menilai sistem online terkait lahan makam ini belum tuntas. Salah satu penyebab utamanya karena pemakaman di Jakarta semrawut.
"Selama kurang lebih dari lima tahun kemarin yang sempat saya dampingi, untuk membuat (data) makam online, persoalan paling mendasar itu adalah ternyata pemakaman kita penataannya itu sangat semrawut," ujar Nirwono.
Nirwono banyak menemukan kondisi lahan yang seharusnya jalan justru digali untuk petak makam. Selain itu, dia melihat jarak antar-makam juga berdempetan, bahkan tidak berjarak.
Hal itu membuat sistem online tidak bisa memberikan informasi akurat soal kondisi setiap petak makam di TPU-TPU di Jakarta.
Dinas Kehutanan DKI, kata Nirwono, perlu melakukan reformasi manajemen pemakaman untuk merealisasikan sistem online pemakaman DKI.
"Di e-online umpamanya kita milih TPU Jeruk Purut, saya mengecek umpamanya di Blok A Nomor 10, apakah itu masih kosong atau tidak, itu hanya bisa dibuatkan sistem seperti itu kalau sistem pemakaman kita di lapangan itu teratur," kata Nirwono.
Ricky mengakui adanya kesemrawutan penataan makam di banyak TPU. Menurut Ricky, kesemrawutan itu sudah terjadi sejak lahan makam belum dikelola Dinas Kehutanan, yakni saat masih berstatus tanah wakaf milik warga.
"Memang sudah existing-nya itu. Kondisinya di awal waktu dulu tanah wakaf seperti itu. Sebelum masuk (dikelola) pemda, waktu tanah wakaf, udah padat," ucap dia.
Ricky menyebut penataan petak makam yang teratur dapat ditemukan di TPU-TPU yang memang sejak masih lahan kosong sudah dikelola oleh Dinas Kehutanan, contohnya yakni di sebagian wilayah TPU Tanah Kusir dan TPU Jeruk Purut.
JUMLAH lahan untuk pemakaman terbatas. Upaya pembebasan lahan juga tak mudah, itu pun masih butuh proses lanjutan agar siap jadi tanah makam. Sudah begitu, warga juga cenderung memilih lokasi strategis untuk mengebumikan kerabatnya.
Dari data dan pengalaman jajaran Dinas Kehutanan DKI Jakarta yang mengurusi pemakaman—sempat bernaung dalam nama Dinas Pertamanan dan Pemakaman—kebanyakan warga memang punya kecenderungan itu. Pilihannya, tempat pemakaman umum (TPU) dekat dengan tempat tinggal keluarga atau berada di tengah kota.
Beberapa TPU yang banyak diminati adalah Karet Bivak di Jakarta Pusat; Utan Kayu dan Pondok Kelapa di Jakarta Timur; serta Menteng Pulo di Jakarta Selatan. Di lahan-lahan ini nyaris tidak ada lagi lahan makam yang kosong.
"Sudah semua penuh di Menteng Pulo. Cuma di antara ini ada yang (IPTM-nya) enggak diperpanjang, yang kedaluwarsa," ujar Kepala TPU Menteng Pulo Edi Nurzaman kepada Kompas.com, sebagai salah satu konfirmasinya.
Kalaupun masih ada jenazah bisa dikebumikan di situ, lanjut Edi, biasanya menggunakan lahan yang izin penggunaan tanah makam (IPTM)-nya kedaluwarsa setelah tiga tahun tidak diperpanjang.
Menggunakan IPTM kedaluwarsa merupakan salah satu alternatif mendapatkan lahan makam di DKI Jakarta. Walaupun, kata Ricky, sebenarnya saat ini masih ada TPU dengan lahan kosong yang bukan "bekas" makam orang lain.
Hanya saja, imbuh Ricky, lokasi lahan makam kosong yang siap pakai tersebut memang biasanya di pinggir kota.
"Di pinggir-pinggir, Pondok Ranggon, Tegal Alur, itu masih ada lahan-lahan tersedia, tapi kan warga mikirnya kejauhan," kata Ricky.
Bila penggunaan ITPM kedaluwarsa atau TPU di pinggiran kota masih tidak sesuai dengan keinginan keluarga, ada satu alternatif yang juga bisa dipakai. Alternatif itu adalah mekanisme makam tumpang.
Makam tumpang berarti ada beberapa jenazah yang dikebumikan dalam satu petak makam yang sama. Syaratnya, jenazah-jenazah itu harus memiliki ikatan keluarga.
Lalu, petak makam dapat ditumpang saat jenazah sebelumnya sudah dimakamkan minimal tiga tahun. Semua ketentuan tentang makam tumpang diatur dalam Perda Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pemakaman.
"(Makam tumpang) itu sangat membantu (menjadi solusi) keterbatasan lahan," ujar Ricky.
Dengan alternatif ini, Ricky yakin pada 2019 tidak akan terjadi krisis lahan makam. Tentu, itu bila masyarakat bersedia menggunakan opsi makam tumpang.
"Lahan yang sampai 2019 itu, yang 38,3 hektar itu, masih aman dong kalau masyarakat itu sadar bahwa (jenazah) ditumpang saja dengan (makam) keluarganya," ujar Ricky.
Meski ada sejumlah alternatif solusi, Dinas Kehutanan DKI Jakarta masih memiliki pekerjaan rumah (PR) membebaskan 183,24 hektar lahan lagi untuk pemakaman, sesuai target sampai 2035.
Menurut Ricky, instansinya mematok target tahunan pembebasan 10 hektar lahan untuk makam. Namun, target itu tak mudah dicapai. Ada sejumlah tantangan tersendiri dalam pemenuhan target ini.
Misalnya, Dinas Kehutanan harus memastikan lahan yang akan dibebaskan bukanlah lahan sengketa. Dalam banyak kasus, Ricky menyebut ada saja ahli waris yang tidak setuju menjual lahan milik keluarga.
Dinas Kehutanan pun tidak berani membeli lahan apabila salah satu ahli waris tidak bersedia melepas lahan tersebut. Sebab, itu berisiko menjadi lahan sengketa di kemudian hari.
"(Pembebasan lahan) lama, kami kan harus lebih jeli untuk membeli. Jangan tiba-tiba kami sudah beli, ternyata sengketa, pusing deh. Makanya dari kami lebih berhati-hati," kata Ricky.
Contoh kasus sulitnya pembebasan lahan antara lain terjadi di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan.
Kepala TPU Jeruk Purut GH Achyanto menyampaikan, ada lahan seluas lebih kurang 2.400 meter persegi yang belum dibebaskan, padahal lokasinya ada di tengah-tengah lahan yang sudah dibebaskan.
Meski sudah bertahun-tahun diupayakan, ada ahli waris lahan itu masih berselisih.
"Di sini (tengah-tengah) masih ada sengketa, punya warga, tetapi ada di antara lahan kami. Pemprov maunya ini dibebasin. Cuma untuk bebasin ini, sudah bertahun-tahun ahli warisnya ini masih ribut, belum ada kesepakatan," tutur Yanto.
Pemprov DKI berharap, warga bersedia melepas tanah mereka yang berada di zona makam berdasarkan rencana detail tata ruang (RDTR) DKI Jakarta. Terlebih lagi, warga tak akan bisa mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) di atas lahan yang masuk ke dalam zona makam.
Karenanya, bila tanah warga memang berada di zona makam, sebaiknya warga menjual lahan itu kepada Pemprov DKI Jakarta. Caranya, warga tinggal bersurat ke Gubernur DKI Jakarta dan menyatakan menjual lahan untuk areal pemakaman.
Lahan sudah dibebaskan, persoalan tidak serta-merta selesai. Kerap kali, lahan tersebut membutuhkan pematangan terlebih dahulu sebelum dapat difungsikan sebagai tanah makam.
Merujuk data Dinas Kehutanan DKI Jakarta per akhir 2017, masih ada 208,16 hektar lahan belum siap pakai yang harus dimatangkan agar bisa digunakan sebagai lahan makam, sekalipun sudah dibebaskan.
Salah satu proses pematangan lahan makam yang masih terus berlangsung sekarang ada di TPU Tegal Alur di Jakarta Barat. Di situ, Dinas Kehutanan DKI Jakarta bekerja sama dengan PT MRT Jakarta tengah menguruk lahan makam.
Tanah hasil kerukan PT MRT dialihkan untuk menguruk tanah merah di TPU Tegal Alur.
"Yang penting enggak ada sengketa, enggak ada masyarakat yang ngeklaim, pematangan berjalan," kata Ricky.
Namun, proses pematangan lahan makam tak selalu berjalan mulus. Lamanya proses pembebasan lahan di TPU Jeruk Purut, misalnya, telah membuat pematangan lahan di sekelilingnya yang sudah dibebaskan tertunda. Areal itu pun mangkrak.
Yanto menyampaikan, Pemprov DKI tidak akan mematangkan lahan yang sudah dibebaskan ketika di tengahnya masih ada lahan yang belum bebas.
"Pemprov enggak mungkin ngerjain (pematangan) separuh-separuh," kata dia.
Nirwono Joga berpendapat, proses pematangan lahan makam memang kerap butuh waktu lama, apalagi di bagian utara Jakarta. Kondisi tanah di sana cenderung berair apabila digali.
"Daerah bagian utara, itu kan sebenarnya kalau kita gali biasa, itu enggak nyampe 1,5 sampai 2 meter sudah kena air. Oleh karena itu perlu pematangan seperti pengurukan lebih tinggi, nunggu tanahnya turun dulu sampai bener-bener padat, baru dapat digunakan. Itu kan perlu waktu," ucapnya.
Dari sejumlah data dan gambaran di atas, krisis atau tidak soal lahan pemakaman di DKI Jakarta bukanlah perspektif tunggal. Namun, kehabisan lahan makam juga jelas bakal jadi persoalan serius, baik bagi sudut pandang budaya, agama, administrasi negara, maupun kesehatan lingkungan.
Layanan informasi mengenai lahan makam juga semestinya terus mendapat pembenahan. Dalam suasana duka, tambahan kerepotan untuk mendapat informasi dan pelayanan terkait pemakaman pasti menjadi hal terakhir yang dikehendaki setiap orang.
Membayangkan diri sendiri yang kesulitan mencari lahan untuk mengebumikan orang-orang terdekat dan terkasih barangkali bisa jadi penggambaran yang lebih kena di hati.
Tentu, bagi pemiliknya, tanah selamanya adalah aset penting dengan nilai yang dalam sejarah manusia tak pernah susut. Lahan untuk peruntukan makam bukanlah perkecualian. Pelepasan hak atas tanah dengan nilai jual yang adil dan proses transparan—termasuk soal zonasi dan nilai jual—bisa jadi merupakan solusi.
Lagi-lagi, perspektif yang digunakan tak akan pernah bisa tunggal. Namun, setidaknya, setiap orang pasti akan mati dan sampai saat ini pemakaman masih menjadi pilihan paling banyak sebagai tempat peristirahatan terakhir manusia.
Pada titik itu, haruskah lahan untuk makam menjadi persoalan?