JEO - Insight

Senin, 24 Februari 2020 | 20:15 WIB

 SERI KEBENCANAAN 

 

LAGU PELANGI
SAMPAI LEGENDA
NYI RORO KIDUL
DEMI MITIGASI BENCANA

Mengenalkan dan mengajarkan mitigasi bencana sejak dini kepada murid di sekolah bisa jadi adalah peluang kita untuk meminimalkan korban dan kerusakan setiap kali bencana terjadi. Nyanyian dengan nada yang familiar, misalnya, bisa jadi cara.

Meskipun, mitigasi seharusnya menjangkau semua orang dan kalangan lewat segala ragam cara yang dimungkinkan.

Legenda rakyat pun sejatinya banyak menyisipkan pesan mitigasi. Sayangnya, kisah yang hampir seluruhnya disampaikan turun-temurun secara lisan ini cenderung dilupakan, tidak dimaknai dengan tepat, bahkan dianggap sebagian kalangan sebagai mistik belaka.

CERIA, bocah-bocah SD Inpres Watunonju, Sigi, Sulawesi Tengah, berdiri dan memeragakan koreografi kelas mereka. Semuanya bernyanyi serempak nan lantang.

Lagu pertama menyadur nada “Pelangi” ciptaan AT Mahmud.

Kalau ada gempa, lindungi kepala. Jika ada gempa, jauhilah kaca. Jangan lupa doa, siaplah antre. Berlari, keluar, kumpul di lapangan, ”suara mereka berdendang.

Lagu lagu beralih. Kali ini meminjam nada “Naik Becak” karangan Ibu Sud.

Bumi bentuknya bulat, terdapat lempeng bumi. Jika lempeng bertumbuk, terjadi gempa bumi. Sekolahku bergoyang, aku langsung berlutut. Berlindung, bertahan, sambil berpegangan.” 

Lagu-lagu ini tak pernah didengar telinga anak-anak itu sebelum gempa bumi meluluhlantakkan Sulawesi Tengah pada 28 September 2018.

Sekarang, mau tidak mau, pengetahuan soal mitigasi gempa bumi yang sudah langganan menggoyang wilayah Palu, Sigi, dan Donggala mesti ditransfer pula kepada anak-anak.

Mitigasi gempa - (ARSIP KOMPAS/THOMDEAN)

Bagaimana pun, anak-anak juga harus berlatih menyelamatkan diri ketika gempa terjadi.

"Anak-anak juga harus terlatih kesiapsiagaan, sehingga mereka bisa menyelamatkan diri sendiri. Bagaimana mau menyelamatkan teman jika tidak bisa menyelamatkan diri sendiri?” ujar relawan LSM Wahana Visi Indonesia, Elsy Tepare, saat dijumpai Kompas.com, Rabu (25/9/2019).

Elsy dan LSM Wahana Visi Indonesia sejak Juli 2019 bekerja sama dengan sekolah untuk menyemai pengetahuan mitigasi bencana pada anak-anak.

Lagu dianggap jadi media yang paling efektif.

Lagu dianggap jadi media yang paling efektif. Sebab, lagu sanggup menarik perhatian para siswa dan mudah dihafal.

Mereka lalu melengkapinya dengan koreografi. Tujuannya bukan estetika. 

Koreografi ini tak lain adalah gerakan-gerakan dalam prosedur keselamatan ketika gempa mengguncang.

Karenanya, gerakan yang diperagakan pada beberapa penggal lirik adalah anak-anak itu bernyanyi girang sambil bersembunyi di kolong meja.

arrow-left
arrow-right
MITIGASI BENCANA

MITIGASI BENCANA

Murid SD Inpres Watunonju, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mempraktikkan simulasi mitigasi gempa bumi di sekolah mereka. Pendidikan mitigasi ditempuh melalui media lagu dan koreografi. Sekolah aman bencana itu kini memiliki tim siaga bencana guna mengantisipasi dampak manakala gempa bumi sewaktu-waktu mengguncang Sigi lagi. Gambar diambil pada 25 September 2019. - (KOMPAS.com/VITORIO MANTALEAN)

1/7

 

 

2/7

 

 

3/7

 

 

4/7

 

 

5/7

 

 

6/7

 

 

7/7

Masa sulit

Riang anak-anak SDN Inpres Watunonju bukan muncul tiba-tiba. Mereka adalah para penyintas yang selamat dari perangkap masa suram pascagempa.

Jelas bukan perkara mudah buat kembali mengakrabi buku pelajaran dengan kepala disumpal trauma, hanya selang tiga pekan setelah rumah mereka luluh lantak oleh gempa.

Anak-anak ini sempat pula mengalami belajar di dalam tenda terpal di lapangan. 

“Lama sekali baru kondusif. Setelah gempa, kami belajar di tenda di lapangan itu,. Tenda itu jaraknya hanya satu jengkal dari kepala," kata guru kelas 1 SD Watunonju, Milda Djalil. 

Milda lalu bertutur tentang sekolah di bawah atap tenda tersebut. 

"Tenda hanya ada tiga, kami bagi empat kelas di dalam. Papan tulis cuma dua. Satu papan kita bagi setengah-setengah untuk kelas 1 dan kelas 2.  Satu lagi dibagi dua untuk kelas 3 dan kelas 4," tutur dia.

Empat gedung SD ini roboh dihajar gempa. Anak-anak pun masih mengingat rasanya belajar di dalam tenda lapangan. 

“Panas sekali! Meja itu miring jadi goyang-goyang!” kata Aulia, Amira, Andika, dan beberapa anak saling menimpali mengenai kondisi belajar di tenda kala itu.

Selama sembilan bulan gedung sekolah dipugar, anak-anak belajar di tenda.

Selama sembilan bulan gedung sekolah dipugar, anak-anak belajar di tenda. Waktu belajar hanya tiga jam dengan satu mata pelajaran.

Jangankan anak-anak, para guru pun merasakan beratnya mengajar di tenda. 

“Kami mengajar ala kadarnya saja yang ada di kepala. Sudah tidak ada semangat belajar mereka,” kenang Milda.

Tak betah berpanas-panasan di tenda, kadang mereka minggat ke ruangan kelas yang belum dipugar.

Kronologi Gempa dan Tsunami di Palu dan Donggala pada 28 September 2018 - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Bila keinginan buang air mulai menggedor-gedor perut, anak-anak lari ke sawah atau mencari selokan sebab toilet sekolah hancur-lebur.

“Masuk ke ruangan saja kita takut, untuk mencari buku pun susah. Anak-anak (belajar) belum pakai buku,” tambah dia.

Buku semua terhambur di sisa ruang kelas yang ada. Kalau ada gempa satu kali, lanjut Milda, semua takut bangunan rubuh karena dinding terbelah semua.

"(Dari) retaknya (dindin) sudah kelihatan matahari dari luar," ujar Milda.

Wajar jika anak-anak kemudian kesulitan menghadapi ulangan. Malah, guru-guru ikut membantu mereka mengingat ulang materi ajar.

Sudah begitu pun, nilai ulangan mereka tetap merosot, kalau bukan dibilang terjun bebas.

“Mereka sudah lupa. Pasti. Waktu ulangan, mereka bilang, ‘Saya su tidak ingat Ibu Guru’. Jadi saya hanya berikan penjelasan, beri contoh, sampai kira-kira mereka ingat lagi,” kata Milda.

Tim siaga bencana

Murid SD Inpres Watunonju mungkin tak mengalami nasib segetir sekolah-sekolah lain di daerah sekitarnya yang rata dengan tanah usai dihajar gempa.

Kepala SD Inpres Watunonju, Gisman, juga mengatakan bahwa tidak ada korban jiwa ketika gempa bumi melanda sekolah mereka.

Likuefaksi yang melumat Dusun Jono Oge—terpaut tak sampai tiga kilometer dari sekolah ini—tak sampai menelan Watunonju.

SD Inpres Watunonju dicanangkan jadi sekolah aman gempa.

Namun, hal tersebut jelas bukan pembenaran untuk lalai terhadap potensi gempa serupa.

Kini, SD Inpres Watunonju dicanangkan jadi sekolah aman gempa.

Beberapa gedung baru yang dibangun oleh Wahana Visi Indonesia berbahan papan ringan sehingga tak akan parah melukai murid andai rubuh oleh gempa. Papan penunjuk arah evakuasi serta titik kumpul juga dibuat.

Di samping itu, lembaga ini bersama sekolah turut menyiapkan tim siaga bencana gempa yang terdiri dari berbagai unsur.

Sebab, pada dasarnya, memang tiada jaminan bila sekolah mereka akan sanggup berdiri tegak ketika gempa yang sudah langganan mengguncang kembali datang sewaktu-waktu.

“Timnya terdiri dari guru, kepala sekolah, siswa. Bahkan penjaga kantin kami masukkan. Kita tidak tahu kapan bencana gempa terjadi. Siapa tahu gempa terjadi saat anak-anak makan, mereka juga bisa tangani,” ujar Gisman.

Dua puluh murid jadi bagian dari tim siaga bencana ini. Mereka terbagi jadi kelompok pertolongan pertama, kelompok evakuasi, dan kelompok peringatan dini seandainya gempa mendera.

“Kalau saya tim evakuasi, tidak boleh takut lihat darah, harus berani!” kata salah satu murid, Wahyu, dengan bangga.

Relawan Wahana Visi Indonesia, Elsy Tapere menyebut, 20 murid ini akan menjadi tutor bagi teman-teman sebayanya. Mereka dilatih agar tidak hanya menelan mentah-mentah pendidikan mitigasi gempa dari pengajar. Mereka menjelma jadi pengajar itu sendiri.

Lagu-lagu pendidikan mitigasi gempa tadi, kata Elsy, kini melekat kuat di benak semua murid berkat mereka.

Bocah-bocah ini yang mendesak para guru agar mengawali pelajaran dengan bernyanyi lagu mitigasi gempa.

Malah, dalam beberapa kesempatan, bocah-bocah ini yang mendesak para guru agar mengawali pelajaran dengan bernyanyi lagu mitigasi gempa.

“Kita laksanakan simulasi sudah ada perubahan, anak-anak sudah serius. Di luar, materi kesiapsiagaan bencana itu masih digodok di dinas pendidikan. Mereka masih persiapkan seperti apa. Karena Palu zona merah, potensi gempa di semua lokasi,” ujar Elsy.

Akan tetapi, Elsy tak menampik jika keadaan kala simulasi sungguh berbeda dengan ketika gempa datang sungguhan. Bahkan, saat simulasi saja, beberapa murid yang masih belia  tetap ketakutan. Mereka terbayang betapa mencekamnya ketika setahun lalu didera gempa.

“Kalau simulasi itu kita kan pakai suara di-download. Ada suara gemuruh keras, mereka takut sekali. Apalagi anak-anak kelas 1. Begitu simulasi, mukanya sudah takut, karena saat gempa tahun lalu mereka masih TK,” jelas Elsy.

Milda pun mengakui hal yang sama. Ia melihat sendiri betapa ketakutannya para murid saat simulasi gempa dilakukan.

“Mereka teriak waktu suara keras diputar, ‘Ibu guru, suara apa itu! Kami tidak berani keluar’. Ada lagi kalau ada bunyi (sirene) ambulans, ‘Ibu guru ada mayat!’. Mereka masih takut semua. Itu masih sampai sekarang,” kata Milda.

Gempa Palu, Sigi, dan Donggala sudah berlalu. Namun, upaya untuk mengantisipasi musibah serupa kini jadi tantangan ke depan. 

Anak-anak SD Inpres Watunonju jadi tunas baru sebagai bagian dari upaya mitigasi. Mari berharap, tunas-tunas itu tumbuh di tanah yang gembur dan cuaca mendukung.

MITIGASI SEJAK DINI

KEBUTUHAN mitigasi bencana sejak dini meluas seturut beragam bencana yang berentet menerpa Indonesia. Menghidupkan ulang legenda rakyat dengan konteks yang disesuaikan dengan zaman kekinian, mengapa tidak?

Sekolah adalah sarana yang paling dekat untuk mitigasi sejak dini, apa pun medium yang digunakan untuk meneruskan beragam kearifan lokal dan ilmu pengetahuan terkini terkait mitigasi.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB .

SPAB merupakan singkatan dari Satuan Pendidikan Aman Bencana. Tujuannya, memberi perlindungan dan keselamatan bagi murid, guru, dan para pekerja di lembaga pendidikan untuk masalah keselamatan.

Meskipun, itu juga bukan inisiatif kali pertama di Indonesia. 

Tim kesehatan dari Palang Merah Remaja SMP Negeri 1 Banda Aceh, Kamis (17/12/2015), memberikan pertolongan pertama kepada siswa lainnya yang pingsan dalam latihan mitigasi bencana gempa dan tsunami. Sekolah tersebut ditetapkan sebagai sekolah percontohan siaga bencana.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Tim kesehatan dari Palang Merah Remaja SMP Negeri 1 Banda Aceh, Kamis (17/12/2015), memberikan pertolongan pertama kepada siswa lainnya yang pingsan dalam latihan mitigasi bencana gempa dan tsunami. Sekolah tersebut ditetapkan sebagai sekolah percontohan siaga bencana.

Badan Nasional Penanggulanggan Bencana (BNPB) bersama Kemendikbud menerbitkan pula Buku Pembelajaran SPAB. Judul yang dipajang di sampul adalah "Jangan Panik! Beragam Cerita Praktik Baik Kebiasaan" .

Sampul Buku Pembelajaran SPAB - Jangan Panik! Beragam Cerita Praktik Kebencanaan - (TANGKAP LAYAR SITUS BNPB)

Buku tersebut dapat diunduh gratis antara lain melalui situs BNPB di tautan ini

Praktik jamak

Mitigasi bencana ada beragam cara. Sistem Peringatan dini adalah satu hal.

Namun, membangun pengetahuan dan kebiasaan untuk merespons tanda alam juga merupakan hal yang penting sekaligus mendasar.

Di negara-negara rawan bencana, praktik ini sudah baku menjadi sistem. Jepang, misalnya.

 

Secara rutin, simulasi gempa—sebagai bencana yang teramat sering terjadi di sana—dilakukan di sekolah dan atau melibatkan anak-anak. 

Saat gempa benar-benar terjadi, pada umumnya orang Jepang sudah tahu apa yang harus dilakukan pada saat itu. 

Simulator untuk gempa dengan beragam kekuatan terjadi juga terus dikembangkan.

Tujuannya, lagi-lagi, meminimalkan korban dan kerusakan, termasuk mengembangkan beragam teknologi terapan — bahan khusus dan model bangunan yang tepat —untuk keseharian.

Ini semua dilakukan simultan dengan seluruh upaya mitigasi dan penanganan bencana oleh seluruh elemen masyarakat dan aparatur negara. 

Video dari Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR) ini menggenapi gambarannya dalam skala lebih luas:

 

Bagaimana Indonesia?  

Sejatinya, Indonesia juga punya penyelidikan panjang mitigasi. Bedanya, mitigasi itu melibatkan banyak kisah-kisah legenda dan disampaikan melalui penuturan lisan saja. Tujuannya tetap sama, menekan risiko saat terjadi bencana.

Menjadi masalah adalah ketika cerita-cerita bermuatan mitigasi itu tak lagi dituturkan. Atau, cerita turun-temurun itu tidak lagi mendapatkan konteksnya dan tinggal menjadi legenda bahkan mitos. 

Makin rumit saat cerita-cerita dianggap karangan bahkan berkonotasi mistik sehingga diabaikan oleh sebagian masyarakat karena beragam alasan. Legenda Nyi Roro Kidul, misalnya.

Belakangan, para pakar menduga, kisah tersebut merupakan cara pemimpin pada saat itu menjaga rakyatnya dari ancaman tsunami. Setidaknya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah berusaha menelisik ulang dan mengungkap dugaan itu.

Penelusuran mereka dapat disimak dalam video dokumenter berikut ini:

Kisah Nyi Roro Kidul yang diduga merupakan cara Panembahan Senopati memperingatkan warganya tentang ancaman bencana dari laut selatan ini bukan satu-satunya hikayat dengan tujuan yang diduga sama di Indonesia. 

Smonge di Simeleu, Nanggroe Aceh Darussalam; lalu galoro atau galodo di Padang, Sumatera Barat; atau gergasi di Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam; adalah cerita-cerita serupa. 

Baca juga: "Sepatan" Lembu Sura dan Runtuhnya Majapahit, Mitos dan Sains Gunung Kelud...

Semua kisah itu pun tak berdiri sendiri tanpa jejak lain yang dapat ditelusuri melalui sains. Meskipun tidak semuanya sudah dapat dibuktikan korelasi, bukti-bukti pada hari ini menguatkan jejak tsunami besar pada masa lampau di daerah-daerah dengan kisah-kisah itu.

Nah, tantangan sekarang adalah menghadirkan ulang literasi untuk mitigasi bencana yang bisa diterima luas masyarakat. Bisa saja bentuknya sederhana.

Sejumlah anak menyimak dongeng tentang pengetahuan bencana alam di stan Sadagori Response Team saat digelar Festival Anak Bertanya 2016 di Sasana Budaya Ganesha, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat, Minggu (29/5/2015). Metode dongeng interaktif mengenai pengetahuan bencana alam beserta upaya penanganannya ini menjadi salah satu media penyampaian yang efektif untuk mitigasi bencana kepada anak-anak sejak dini. Upaya menumbuhkan kesadaran mitigasi bencana melalui dongeng yang diwariskan leluhur dan budaya lisan masyarakat Simeulue di Aceh telah terbukti mampu meminimalkan jumlah korban dalam bencana tsunami pada tahun 2004.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sejumlah anak menyimak dongeng tentang pengetahuan bencana alam di stan Sadagori Response Team saat digelar Festival Anak Bertanya 2016 di Sasana Budaya Ganesha, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat, Minggu (29/5/2015). Metode dongeng interaktif mengenai pengetahuan bencana alam beserta upaya penanganannya ini menjadi salah satu media penyampaian yang efektif untuk mitigasi bencana kepada anak-anak sejak dini. Upaya menumbuhkan kesadaran mitigasi bencana melalui dongeng yang diwariskan leluhur dan budaya lisan masyarakat Simeulue di Aceh telah terbukti mampu meminimalkan jumlah korban dalam bencana tsunami pada tahun 2004.

Lagu yang diajarkan pada anak-anak di Sigi pada awal tulisan ini, bisa pula cerita seperti hikayat-hikayat lama kita, atau modifikasi dongeng berisi pesan tentang alam dan risiko bencana, semua itu adalah cara.

Apa pun bentuk cara itu, yang harus dituju adalah membuat semua orang Indonesia paham bahwa kita hidup di negeri dengan banyak potensi bencana alam. 

Pemahaman akan alam, hidup selaras dengan alam, dan paham setiap langkah yang harus dilakukan saat bencana terjadi, semestinya jadi perhatian setiap orang Indonesia pada hari ini.

Langkah berikutnya, tentu saja, bertindak. Melakukan banyak hal untuk meminimalkan risiko bencana. Mulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat dalam keseharian kita.

arrow-left
arrow-right
Sekolah Siaga Bencana di Klaten, Jawa Tengah

Sekolah Siaga Bencana di Klaten, Jawa Tengah

Pelajar mengikuti kegiatan simulasi bencana gempa bumi di SMA Negeri 1 Karanganom yang dicanangkan sebagai salah satu sekolah siaga bencana di Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Kamis (22/1/2015). Badan Penanggulangan Bencana Daerah Klaten tahun ini menargetkan pembentukan 40 sekolah siaga bencana di kabupaten itu untuk meningkatkan pemahaman pelajar terhadap mitigasi bencana. - (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)

1/5
Robotik untuk mitigasi bencana

Robotik untuk mitigasi bencana

Mahasiswa teknik elektronika memperlihatkan hexacopter yang dikembangkan sebagai robot pemadam api saat dipamerkan pada Robo Vaganza 2016 di Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (18/5/2016). Teknologi robotik mulai dikembangkan menjadi alat mitigasi dan menanggulangi bencana. - (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

2/5
Mitigasi Kebakaran Gambut

Mitigasi Kebakaran Gambut

Abdul Manan, petani sagu di Desa Sungai Tohor, Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Selasa (27/10/2015), menunjukkan sekat kanal sederhana yang terbuat dari papan kayu. Sekat kanal menjaga rawa gambut tetap basah sehingga menghindarkan desa itu dari bahaya kebakaran yang sebelumnya selalu terjadi saat musim kemarau. - (KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR)

3/5
Jala Cegah Longsor di Cilacap

Jala Cegah Longsor di Cilacap

Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah Cilacap, Jawa Tengah, bersama warga, Selasa (17/11), memasang anyaman serabut kelapa (webbing jute) untuk menahan bukit rawan longsor di Dusun Ciakar, Desa Pengadegan, Kecamatan Majenang, Cilacap. Anyaman serabut yang dibuat industri rumahan di Cilacap itu merupakan teknologi sederhana mitigasi bencana yang ramah lingkungan. - (KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSO)

4/5
Edukasi Bencana di Ciliwung

Edukasi Bencana di Ciliwung

Sejumlah anak sekolah dasar mengikuti edukasi bencana di tepi Sungai Ciliwung, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Minggu (8/5/2016). Edukasi itu dilakukan untuk memperingati ulang tahun ke-2 Forum Pengurangan Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim DKI Jakarta. - (KOMPAS/HARIS PRAHARA)

5/5

 

↵ Kembali ke awal...