JEO - News

Lawan Stigma,
Mau Rangkul Anak dengan HIV/AIDS?

Selasa, 23 Juli 2019 | 12:31 WIB

Eksperimen sosial dan pemberitaan perlakuan diskrimatif terhadap anak dengan HIV/AIDS tak selalu selaras. Manakah yang akan menjadi rujukan bagi Anda untuk menyikapi ADHA?

DATA Kementerian Kesehatan per akhir 2018 mendapati temuan kasus baru dengan 1.447 ADHA usia 0-14 tahun yang positif HIV dan 324 positif AIDS.

Lalu, ada temuan kasus baru 1.434 ADHA usia 15-19 tahun positif HIV dan 288 ADHA usia ini yang positif AIDS.

Sebarannya pun tak hanya terbatas di area tertentu, tapi merata di semua provinsi di negeri ini. (Lihat infografik di bawah ini):

 

 

Menteri Kesehatan Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek menyebut, angka ini pun bisa jadi masih merupakan puncak gunung es semata. Ada stigma masyarakat yang membuat pelacakan kasus baru HIV/AIDS menjadi semakin sulit. 

Baca juga: ADHA, Menantang Arus Deras Stigma HIV/AIDS 

Padahal, semakin tersembunyi kasus HIV/AIDS, makin rentan pula penyebarannya meluas tak terkendali.

Keengganan memeriksakan diri dan henti obat, merupakan dua di antara dampak langsung dari stigma atas HIV/AIDS yang justru berisiko membuat virus tersebut menyebar diam-diam.

Ketidakpahaman atas HIV/AIDS yang berujung pada ketakutan berlebihan, bisa dituding berada di balik stigma luas ini. Namanya juga takut, bukan?

Kabar baiknya, jajak pendapat Litbang Kompas mendapati banyak responden yang mengaku bersikap menerima kehadiran anak dengan HIV/AIDS (ADHA) di sekitarnya.

Meskipun, tingkat pengetahuan dan pemahaman atas HIV/AIDS terlihat masih butuh banyak pembenahan, sebagaimana terungkap dalam catatan hasil riset tersebut yang dimuat di laman Kompas.id.

Baca juga di Kompas.id: Edukasi untuk Akhiri Diskriminasi terhadap ADHA dan ODHA

Stigma yang melekat kepada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan anak dengan HIV/AIDS (ADHA) pun tak terlepas dari pemahaman mayoritas responden dalam riset di atas. Ketidakkonsistenan pun tersirat di dalamnya.

Misal, hanya kisaran 4 persen responden yang menyebut anak HIV/AIDS mendapati penularan virus ini dari ibunya. Padahal, saat ditanya apakah tahu bahwa ibu hamil dengan HIV/AIDS dapat menularkan virus tersebut kepada bayinya, lebih dari 81 persen responden mengaku tahu.

Padahal, temuan kasus-kasus terbaru mendapati bahwa penularan dari ibu dan anak inilah yang kerap terjadi. Setidaknya, ini yang disadari pula oleh Kementerian Kesehatan sebagai upaya menekan seoptimal mungkin pertambahan kasus baru HIV positif.

"Kami menganjurkan para ibu hamil untuk juga memeriksakan diri untuk HIV. Namun, kami tak bisa memaksa, karena itu juga terkait dengan stigma bila kemudian nanti kedapatan positif HIV," ujar Nila. 

Baca juga: ADHA, Menantang Arus Deras Stigma HIV/AIDS

Menurut Nila, 7.000 puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia sudah dapat melakukan pemeriksaan HIV. Bila ada yang ditemukan positif HIV, obat untuk dikonsumsi setiap hari dapat diperoleh juga melalui puskesmas ini.

 

 

 APA KATA MEREKA? 

Ilustrasi HIV/AIDS
SHUTTERSTOCK/TUPUNGATO
Ilustrasi HIV/AIDS

JAJAK pendapat dengan responden dari 16 kota telah dihimpun datanya oleh Litbang Kompas pada akhir Juni 2019. Mereka dikontak melalui telepon.

Lalu, bagaimana dengan kalangan awam yang selintas lewat dijumpai dalam keseharian menyikapi fenomena ADHA ini?

Kompas.com mengulik di area DKI Jakarta, untuk mendapatkan suara masyarakat terkait pemahaman dan respons mereka soal anak-anak dengan HIV/AIDS. Berikut ini sejumlah cerita yang ditemui Kompas.com dari perjumpaan di jalanan.

Karena pengalaman

Aji (35 tahun) mengaku akan bersikap biasa saja jika ada anak dengan HIV/aids di sekitarnya. Ia justru akan prihatin terhadap anak itu.

"Karena pasti berat buat dia untuk menerima penyakit yang bukan disebabkan oleh dia, biasanya karena turunan orangtua," ujar Aji, Kamis (18/7/2019).

Sebagai orangtua, Aji juga mengaku tidak akan membatasi pertemanan anaknya dengan ADHA. Sebab, ia tahu HIV/AIDS hanya menular lewat hubungan seksual dan jarum suntik, bukan lewat bermain bersama laiknya anak-anak.

Bahkan, jika anak dengan HIV/AIDS itu merupakan kerabat atau saudaranya, Aji akan membantu anak itu berobat. Tak tanggung-tanggung, dia berjanji akan ikut bersuara menerangkan duduk perkara ADHA bila memungkinkan, di lingkungan terdekatnya. 

"Kalau ada kesempatan, maksudnya sedang terlibat obrolan sama tetangga atau teman dan kemudian ada membahas soal itu, saya akan speak up. Tapi kalau merencanakan untuk menyebarkan literasi, enggak, karena sekarang sumber informasi banyak," ungkap dia.

Sikap Aji terhadap orang dan anak dengan HIV/AIDS bukan tanpa alasan. Aji menceritakan kembali memori 10 tahun lalu saat ia diberi tahu bahwa teman satu band-nya terkena HIV/AIDS.

Ilustrasi Anak dengan HIV/AIDS (ADHA)
SHUTTERSTOCK/HONEYRIKO
Ilustrasi Anak dengan HIV/AIDS (ADHA)

Saat itu, Aji tetap berinteraksi dengan temannya itu seperti biasa. Mereka tetap "nge-band" bersama.

Suatu ketika, kondisi kesehatan temannya menurun karena HIV/AIDS. Aji dan beberapa temannya yang lain langsung membawa orang tersebut berobat.

"Dia tinggal sendiri, nyokapnya meninggal, adik-adiknya sudah nikah dan pindah rumah, bokapnya nikah lagi dan kerja di Kalimantan. Waktu kondisi dia drop, saya sama beberapa teman yang bawa dia ke rumah sakit," kata Aji.

Tak hanya itu, Aji dan beberapa temannya juga mencoba menggalang dana saat temannya yang ODHA butuh biaya untuk berobat.

Temannya itu akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan berobat jalan.

"Setelah pulang (dari rumah sakit), kita serahin pengobatan ke keluarganya, tapi kita terap support untuk dana dan moril sih," ujar Aji.

Namun, temannya itu meninggal pada Agustus 2009.

Baca juga: Masih Minim, Dana untuk Cegah Anak Kena HIV/AIDS

Tak hanya Aji, Feni (31) juga memiliki teman dengan HIV/AIDS. Namun, Feni terakhir kali bertemu temannya sebelum diketahui positif HIV/AIDS. 

"Interaksi cuma di media sosial aja," ucap Feni, Kamis (18/7/2019).

Feni juga mengetahui kabar temannya terkena HIV/AIDS hanya dari media sosial. Meski begitu, dia akan bersikap seperti biasa bila suatu ketika dapat bertemu lagi dengan temannya itu. 

"Kalau pun saya ketemu dia, saya akan biasa aja, nanya kabar. Kan penularan (HIV/AIDS) enggak segampang elu meluk, terus kena (tertular)," kata dia. 

Feni mengaku tidak akan mempermasalahkan keberadaan ODHA di sekitarnya, termasuk anak-anak. Menurut dia, ODHA, baik dewasa maupun anak-anak, harus mendapat perlakuan layaknya orang yang sehat. Tidak diberi perlakuan spesial, tidak juga dijauhi.

"Dia (anak dengan HIV/AIDS) itu enggak beda sama teman-temannya yang lain. Dia kena penyakit itu bukan salah dia. Kalau masyarakat jauhin dia, sakitnya dobel," tutur Feni.

Pemahaman

Sementara itu, Theo (23) mengaku tidak pernah berinteraksi dengan ODHA. Namun, jika di sekitarnya ada orang dan atau anak yang terkena HIV/AIDS, Theo akan bersikap biasa saja.

"Biasa saja, karena setahu saya kan HIV/AIDS enggak nular lewat kontak," ujar dia.

Begitu juga Awanda (21). Mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi di Jakarta itu tidak akan menolak kehadiran ODHA anak di sekitarnya. Sekalipun, tak semua pemahamannya soal HIV/AIDS sepenuhnya tepat.

"HIV/AIDS kan dia nular dari ludah, darah, bukan interaksi biasa," kata Awanda.

Jika ada anak yang terkena HIV/aids di sekitarnya, Awanda mengaku tidak akan menjauhi anak tersebut. Dia akan menempatkan dirinya pada posisi anak dengan HIV/AIDS itu. 

Justru, kata Awanda, anak yang terkena HIV/AIDS justru harus disayang dan diberi perhatian.

"Tapi kitanya juga harus jaga kesehatan. Karena kan mereka sakit bukan mereka yang mau. Kalau kita di posisi itu, enggak enak," tutur dia.

Dian (36) juga tidak pernah berinteraksi dengan ODHA, baik dewasa atau anak. Namun, Dian mengaku tidak akan membatasi interaksi dia dan anaknya terhadap anak dengan HIV/AIDS.

"Enggak apa-apa kan selama dia enggak nular. Kalau cuma sekadar komunikasi biasa kan enggak apa-apa," kata wanita yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) itu.

Baca juga: Anak dengan HIV/AIDS Tetap Bisa Berprestasi dan Tak Perlu Dibedakan

 Stigma HIV/AIDS adalah penyakit sosial juga tak sepenuhnya masih melekat, ternyata. 

"Enggak masalah. Bergaul, bergaul saja. Itu kan bukan penyakit yang menular lewat udara. Enggak usah khawatir, tetap berteman," ujar Isal (24), seorang pegawai swasta di Jakarta, Kamis (18/7/2019).

Memang, fakta bahwa ODHA masih dianggap sebagai orang yang "kurang bermoral"—akibat asosiasinya dengan aktivitas seksual berisiko, yang disebabkan kekurangan pengetahuan tadi—cukup mengganggu.

Pandangan tersebut, suka tidak suka, harus diubah. Namun, pandangan bahwa sebagian kalangan dengan tangan terbuka menerima ADHA, cukup menggembirakan, setidaknya hingga hari ini, di sini.

Anak-anak ini justru harus dirangkul.

"Pertama kasihan ya, karena kemungkinan ADHA bukan (disebabkan) karena dirinya sendiri, tapi karena orangtuanya," ujar Ryan (25), lelaki asal Sumatera Barat, Jumat (20/7/2019).

Anak-anak ini, lanjut Ryan, justru harus dirangkul.

"Pada dasarnya memang mereka kan korban dari orangtua, bukan faktor dari diri sendiri. Itu bukan salah dia, harus kita rangkul," timpal Rino (26), pegawai swasta asal Bekasi, Jumat.

Menurut Rino dan Ryan, HIV/AIDS bukan faktor penting yang membuat ADHA layak dijadikan teman atau tidak.

"Artinya memang kita rangkul, memotivasi dia supaya tetap semangat untuk hidup.
Pasti akan tetap berteman, supaya ada motivasi ke depan supaya tidak putus asa dari kehidupan," kata Rino. 

Baca juga: ADHA, Menantang Arus Deras Stigma HIV/AIDS 

Menurut Ryan, keputusan berteman dengan seseorang seharusnya bukan berdasarkan kondisi kesehatan apalagi terkait HIV/AIDS.

""Berteman atau enggaknya bukan karena AIDS atau tidak, tapi sikapnya sendiri. Kalau dia jadi teman saya pasti dibantu, setidaknya bagaimana memotivasi dia, bahwa masih banyak yang bisa dia kerjakan," papar Ryan.

Ragam upaya memang dapat dilakukan guna menolong ADHA. Dari lingkup paling kecil, seseorang mampu menolong ADHA agar tidak jatuh semakin dalam dan memberikannya tempat, sesempit apa pun yang dapat diberikan, di masyarakat.

Motivasi bahwa HIV/AIDS bukan senjata malaikat pencabut nyawa tentu berdampak besar pada psikologi ADHA. Syukur-syukur, seseorang ingin membantunya menemukan dunia, dimulai dari berbagai yayasan yang memperhatikan ADHA dan ODHA.

"Mungkin, bantu secara ajak sosilalisasi, ajak ngobrol," kata Isal, sebagai bentuk pertolongan yang paling mudah dilakukan.

Andaipun ada seorang anak manusia yang tetap merasa tak mampu memberikan pertolongan-pertolongan kecil bagi ADHA melalui tangannya sendiri, masih ada "tangan" Tuhan untuk dipinjam.

"Kalau (bantu secara) medis ya bukan bidang saya, jadi bantu secara doa saja," tutup Isal.

Simak juga hasil rangkaian peliputan dan eksperimen sosial Kompas TV terkait ADHA melalui program Berkas Kompas edisi Selasa (23/7/2019) pukul 22.00 berjudul "Lawan Stigma, Rangkul ADHA".

Akankah orang-orang yang berlalu lalang di jembatan penyeberangan orang di Ibu Kota akan mau merangkul anak dengan HIV/AIDS yang berdiri di tengah jembatan?

 

 

Kompas.com bersama harian Kompas, Kompas TV, dan Kontan menggelar program bersama Voice for Voiceless, menyuarakan beragam kalangan marginal yang ada dalam keseharian kita.

Tema bersama untuk edisi mulai 22 Juli 2019 adalah Rangkul Anak dengan HIV/AIDS (ADHA), bersamaan dengan momentum Hari Anak yang diperingati setiap 23 Juli.

#ADHA #4K #VoiceForVoiceless #RangkulADHA