Sterilisasi jalur khusus untuk bus transjakarta, kerap jauh panggang dari api. Akankah transformasi berliku pengelolaan moda transportasi ini menjadikan bus transjakarta sebagai salah satu solusi kemacetan Ibu Kota? Apa saja tantangannya?
NORMAL BARU. Akankah moda transportasi seperti bus transjakarta menjadi pendobrak "normal baru" kondisi lalu lintas di Jakarta bernama kemacetan parah setiap saat? Apa pula itu "normal baru"?
Normal baru atau new normal merupakan situasi yang dulu dianggap anomali, tidak lazim, dan tidak umum, tetapi kemudian malah menjadi hal biasa atau kenyataan yang harus dihadapi setiap hari.
Frasa "normal baru" umumnya dipakai di bidang ilmu ekonomi. Biasanya, istilah tersebut muncul sebagai penggambaran situasi pasca-krisis keuangan.
Seiring waktu, istilah itu sering dipakai juga untuk menggambarkan beragam realitas dan konteks. Kemacetan di Jakarta—yang terjadi nyaris setiap saat di setiap jalan—pun bisa jadi masuk kriteria untuk memakainya.
Normal baru atau new normal merupakan situasi yang dulu dianggap anomali, tidak lazim, dan tidak umum, tetapi kemudian malah menjadi hal biasa atau kenyataan yang harus dihadapi setiap hari.
Riset terbaru Inrix pada 2017, misalnya, mendapati Jakarta sebagai kota termacet peringkat ke-12 dari 1.360 kota sedunia yang disurvei.
Bahkan, untuk Asia, Jakarta adalah kota termacet kedua, hanya satu peringkat di bawah Bangkok, Thailand.
Dari situ saja kemacetan seolah merupakan kewajaran, bukan lagi keanehan, alih-alih terasa sebagai "normal baru" untuk Jakarta pada hari-hari ini.
Pertanyaannya, akankah itu normal yang sesungguhnya?
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, per akhir 2016 tercatat ada 13.310.672 sepeda motor dan 3.525.925 mobil di Jakarta. Setiap tahun, pertumbuhan sepeda motor mencapai 5,3 persen sementara mobil 6,48 persen.
Dengan jumlah kendaaan bermotor seperti terlihat pada tabel di atas, pertumbuhan panjang jalan di wilayah seluas 662 kilometer persegi ini hanya 0,01 persen per tahun.
Soal waktu saja sepertinya, kita bersama-sama parkir di jalanan Ibu Kota karena semua orang terjebak kemacetan total (gridlock) kendaraan, bukan?
Waktu vs kapasitas
Ancaman kemacetan pun menantang kehadiran solusi. Sejumlah upaya digagas dan dijalankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama pemerintah pusat.
Di antara upaya itu adalah pembangunan jalur mass rapid transit (MRT) Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia sepanjang 16 kilometer. Dibangun mulai 2013, moda transportasi ini ditargetkan rampung dan beroperasi pada 2019.
Sama-sama berbasis rel, ada pula pembangunan jalur light rail transit (LRT). Rutenya beragam dan menjangkau daerah penyangga seperti Bekasi.
Angkutan massal berbasis rel diyakini dapat signifikan mengurai kemacetan Ibu Kota. Kepadatan kendaraan pribadi diharapkan berkurang drastis dengan ketersediaan pilihan moda berbasis rel—karena kapasitas dan jalur terpisah dengan jalan raya.
Masalahnya, pembangunan angkutan massal berbasis rel butuh waktu lama. Jalur yang pernah ada pun tak terawat bahkan hilang.
Sebagai contoh, pembangunan MRT butuh waktu lima tahun sebelum dapat beroperasi. Setali tiga uang, LRT butuh waktu dua tahun sampai tiga tahun untuk pembangunan jalurnya.
Katakanlah sembari menanti kedua moda itu terealisasi, ada satu solusi yang dirintis sejak 2004. Namanya, bus transjakarta.
Tantangan dari moda yang satu ini adalah sterilisasi jalur yang tak pernah benar-benar terjadi. Ada saja penerobos jalur, baik orang awam maupun mereka yang memiliki privilege—tak terkecuali pejabat dan aparat.
Selain itu, saling serobot dan ketidaksabaran menanti giliran melintas persimpangan, jadi tantangan tambahan.
"Mau bus-nya bagus dan jumlahnya banyak, rute juga sudah bertambah, kalau jalanannya mampat atau jalurnya tidak steril ya akhirnya waktu tempuh lama juga, atau malah sama saja macetnya," ujar Kahfi, karyawan swasta di Jakarta soal moda transportasi ini, Sabtu (21/4/2018).
MESKI daya angkutnya tak sebanyak moda transportasi berbasis rel, bus yang melaju di lajur khusus jalan raya ini tetaplah sebuah upaya menghadirkan angkutan umum massal.
Saat ini sudah tersedia 13 koridor bus transjakarta.
Sejarah keberadaan bus transjakarta dimulai pada 2004, yaitu pada era kepemimpinan Gubernur DKI Sutiyoso. Pengelolaannya dilakukan lewat Badan Pengelola (BP) Transjakarta.
Pernah menjadi Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta pada 2006 dan Unit Pengelola (UP) Transjakarta pada 2011, pengelola moda transportasi ini sejak 2014 adalah badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta).
"Yang pasti, (Transjakarta) harus bisa mengurangi subsidi. Subsidinya diharapkan terus berkurang, lama-lama hilang. Jadi, jangan disubsidi terus," pesan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta saat peresmian PT Transjakarta pada 2014.
Perjalanan sejarah keberadaan bus transjakarta bukan tanpa masalah. Mulai dari pengadaan bus yang ternyata mendapati barang bobrok hingga kasus korupsi, ada dalam catatannya.
Kualitas bus yang tak sesuai harapan, misalnya, terungkap antara lain pada Kamis (28/8/2014). Bus hasil pengadaan pada 2013 tersebut terbakar di kawasan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan. Kejadian serupa terulang pada Kamis (1/12/2016) di bilangan Cawang, Jakarta Timur.
Pengadaan bus dilakukan lagi pada 2017. "Kami trauma dengan bus-bus yang terbakar. Kami tidak ingin bus-bus itu beroperasi," ujar Direktur Utama PT Transjakarta Budi Kaliwono, seperti diwartakan Kompas, Jumat (15/9/2017).
Dari 605 bus terdata pada 2015, pengadaan pada 2017 menjadikan jumlah bus transjakarta pada 2017 tercatat 1.022 unit. Jumlah penumpangnya juga terus bertambah, dari 102 juta penumpang selama 2015, menjadi 144 juta penumpang pada 2017.
BERKACA pada dinamisnya kebutuhan mobilitas warga Ibu Kota, Transjakarta mulai mengoperasikan rute di luar koridor (non-BRT). Namun, sejumlah tantangan juga masih mengadang.
Bus transjakarta yang melaju di luar koridor diharapkan bisa menjadi penghubung sekaligus penunjang 13 koridor bus transjakarta. Misalnya, sekarang ada bus transjakarta yang melintas melalui sejumlah stasiun sebelum atau setelah melaju di koridor khususnya.
Stasiun yang sudah dilintasi bus transjakarta antara lain adalah Stasiun Palmerah, Stasiun Tebet, dan Stasiun Manggarai.
Stasiun yang sudah dilintasi bus transjakarta antara lain adalah Stasiun Palmerah, Stasiun Tebet, dan Stasiun Manggarai.
Selain stasiun, layanan di luar koridor juga telah melintasi sejumlah daerah penyangga Ibu Kota. Sebut saja seperti Cileungsi, Serpong, Ciledug, dan Bekasi.
Survei Litbang Kompas pada 25-26 Maret 2017 melalui wawancara telepon terhadap 460 responden warga Jabodetabek berusia minimal 17 tahun menunjukkan, sebanyak 34,2 persen responden menilai hadirnya angkutan pengumpan tersebut semakin baik dan 34,6 persen menyatakan baik.
Karyawan swasta, Ray (31), adalah salah satu warga yang terpikat dengan hadirnya bus transjakarta hingga kawasan pinggiran Jakarta.
Menurut Ray, sebelum beroperasinya bus transjakarta koridor 13 pada Agustus 2017, ia rutin memakai mobil pribadi dari rumahnya di Ciledug untuk menuju kantornya di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan.
"Kalau naik mobil, mesti berangkat sebelum jam 6 pagi untuk menghindari 3 in 1 (sebelum kebijakan ganjil-genap berlaku). Itu saja kadang sudah macet parah. Boros bensin dan bikin lelah sebelum bekerja," kata dia.
Selain biaya bensin yang bisa mencapai Rp 1.500.000 per bulan, ia juga mesti membayar tarif parkir bulanan di gedung tempatnya bekerja senilai Rp 600.000.
Dengan menggunakan bus transjakarta, Ray kini hanya perlu mengeluarkan biaya Rp 3.500 sekali jalan.
Demikian pula dengan Blandina Henny (48). Tak ingin larut dalam kemacetan menuju kantornya di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Henny memilih menitipkan kendaraan pribadinya di dekat halte bus transjakarta Pinang Ranti.
Setelah itu, ia membelah kemacetan Ibu Kota dengan bus transjakarta koridor 9 (Pinang Ranti-Pluit) dan koridor 8 (Harmoni-Lebak Bulus).
Menurut Henny, dibandingkan saat pertama kali koridor 9 beroperasi pada 2010, kini pelayanannya jauh lebih baik. Utamanya, terkait ketersediaan jumlah bus dan kualitas pendingin udara di dalam bus.
Selain itu, Henny terbantu pula dengan televisi monitor berisi jadwal kedatangan bus pada setiap halte bus transjakarta. "Panduan itu membuat saya bisa mengatur waktu untuk naik bus transjakarta," kata pemilik rambut ikal itu.
Ray dan Henny adalah dua sosok di antara sedikitnya 500.000 orang yang hari-hari ini menitipkan badan menumpang bus transjakarta dalam aktivitas hariannya.
Benahi kekurangan
Meski telah mengalami perbaikan, layanan bus transjakarta juga tak lepas dari sejumlah keluhan. Misalnya, jalur bus acap kali tidak steril sehingga membuat waktu tempuh menjadi panjang.
"Jalur bus transjakarta tidak selalu steril. Contohnya, pada jalur dari Taman Anggrek ke perempatan Slipi. Terkadang bus jadi susah (lama datang). Ketika bus datang pun, belum tentu saya bisa naik karena penuh, jadi harus menunggu bus berikutnya," ucap pengguna setia bus transjakarta, Maria (37).
Masalah lamanya jarak kedatangan antarbus (headway) turut membayangi operasional bus transjakarta.
Berdasarkan penelusuran Kompas.com hingga Senin (26/3/2018), masih ada sejumlah jalur yang waktu tunggunya panjang.
Contohnya saja, pada koridor 12 (Tanjung Priok-Penjaringan). Jarak kedatangan antarbus pada koridor wilayah pesisir Jakarta Utara ini bisa mencapai setengah jam saat waktu tertentu, utamanya selepas waktu sibuk kantor pagi hari.
Padahal, mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Unit Pengelola Transjakarta Busway, batas waktu tunggu yang ditoleransi adalah maksimal 7 menit untuk waktu puncak dan 15 menit untuk waktu nonpuncak.
... batas waktu tunggu yang ditoleransi adalah maksimal 7 menit untuk waktu puncak dan 15 menit untuk waktu nonpuncak ...
Tak hanya itu, integrasi antarkoridor maupun dengan angkutan umum lainnya juga masih perlu diperbaiki.
Sebagai contoh, terdapat jembatan layang bus transjakarta koridor 13 yang melintasi kawasan Kebayoran. Di bawahnya, terdapat halte koridor 8, yakni Pasar Kebayoran Lama. Akan tetapi, tidak ada integrasi halte di sana.
Pun demikian, jika nanti angkutan massal MRT dan LRT telah beroperasi, publik mendambakan adanya kemudahan berpindah antarmoda.
Tiket selayaknya dijadikan satu sehingga warga tak perlu membayar berulang kali saat berganti angkutan.
Terlepas dari kekurangan yang masih perlu diperbaiki, menurut pakar transportasi Unika Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno, pelayanan Transjakarta kini jauh lebih baik.
Djoko berharap, layanan Transjakarta dapat terus berkembang.
“Alangkah baiknya bila PT Transjakarta tidak hanya mengoperasikan angkutan bus saja ke depannya, tetapi bisa juga melayani moda transportasi lain. Misalnya, angkutan kapal ke Pulau Seribu. Ini bisa sekaligus mendorong pariwisata Jakarta,” ujar dia.
Semoga segera berjawab....