TENGGANG rasa dalam bertetangga kian sulit ditemukan. Cerita harmonisnya kehidupan keluarga satu dengan lainnya di dalam satu area seiring waktu tertutupi dengan cerita konflik tak berkesudahan.
Tak jarang, persoalan yang sebenarnya bisa diselesaikan dari hati ke hati, malah tereskalasi sedemikian rupa, bahkan hingga memaksa pimpinan daerah turun tangan. Membuat repot banyak orang.
Demi kehidupan tenang dan damai di zaman edan dan serba sulit ini, semestinya dibutuhkan pola hubungan yang positif di antara orang-orang yang hidup berdekatan.
Bukankah damai itu indah?
Kisah pertama lunturnya tenggang rasa dalam bertetangga datang dari Jawa Timur.
Konflik warga antar-tetangga antara Masriah (67) dan Wiwik Widiarti di RT 1 RW 1 Desa Jogosatru, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, berlarut-larut. Kasus itu berlanjut ke ranah hukum karena tidak bisa diselesaikan dengan mediasi.
Masriah yang mengganggu kehidupan Wiwik dianggap melanggar Peraturan Daerah (Perda) Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2013 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Bahkan, Masriah sudah dua kali ditetapkan sebagai tersangka atas pelanggaran terhadap perda itu.
Kasus pertama sudah inkrah. Masriah divonis pidana 1 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo pada 31 Mei 2023. Masriah diputus melanggar Pasal 8 ayat 1 huruf C Peraturan Daerah (Perda) Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2013 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat karena kerap membuang kotoran ke rumah tetangga terdekatnya, Wiwik.
Kasus berikutnya sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Sidoarjo. Dalam perkara ini, Masriah dijerat dengan pasal yang sama karena membuang sampah sambil berjoget ke rumah Wiwik.
Ulah Masriah membuang sampah ini setelah ia menjalani hukuman penjara atas perkara yang pertama.
Konflik antara Masriah dan Wiwik sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, yakni mulai tahun 2017. Persoalan itu dipicu karena adik Marsiah menjual rumahnya kepada Wiwik. Masriah tak terima. Sebab ia sudah mengincar rumah adiknya itu sejak lama.
Masriah geram dan kerap menyiram air kencing, membuang sampah, dan kotoran ke depan rumah Wiwik. Tujuannya agar tetangganya itu tak betah dan pindah.
Berbagai upaya telah dilakukan agar konflik itu selesai dan Masriah tak lagi mengganggu Wiwik. Namun, Masriah terus berulah. Masriah tak menghadiri undangan mediasi dari Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali atau Gus Muhdlor. Hingga akhirnya konflik antar-tetangga itu masuk ke ranah hukum.
Kasus konflik warga antar-tetangga juga terjadi di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Bagus Robyanto, warga RT 01 RW 07, Kelurahan Bangunsari, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, membangun tembok di atas tanah yang menjadi akses tetangganya pada akhir Juni 2023.
Secara regulasi, Roby tidak salah karena tanah itu adalah miliknya. Namun, hal itu memperuncing konflik antara dirinya dengan tetangga sekitar. Sebanyak 13 kepala keluarga (KK) akhirnya kesulitan akses akibat penembokan itu.
Roby mengatakan, keputusannya menembok lahan yang menjadi akses tetangganya itu karena tak terima keluarganya dikucilkan. Sudah tiga tahun Roby dan keluarganya dikucilkan oleh warga sekitar setelah menolak memecah sertifikat tanah milik keluarganya untuk dijadikan jalan umum.
Meski begitu, Roby masih mengizinkan warga untuk melintas di atas lahannya sebelumnya akhirnya memilih untuk menutupnya dengan tembok.
“Perlakuan warga terhadap keluarga kami sejak tahun 2020 hingga tahun 2023 itu sudah ada sanksi sosial yang kami terima sekali pun itu sudah ada pernyataan dari pihak terkait. Istri saya ditolak arisan PKK dan dasawisma, kedua bapak saya dan saya tidak pernah dilibatkan dalam suatu kegiatan masyarakat di rapat RT, tahlilan, kenduren hingga mantenan. Sekali pun acara manten dan kenduren itu lewatnya di halaman rumah saya,” jelas Roby saat dihubungi Kompas.com, Minggu (2/7/2023) siang.
Tak hanya itu, kendaraan pengambil sampah yang melewati pekarangannya tidak pernah mengambil sampah dari rumahnya. Kondisi itu mengakibatkan keluarganya membuang sampah sendiri ke tempat pembuangan sampah.
“Dua tahun dari 2021 hingga 2023, dari pihak RT juga tidak mengupayakan untuk berdamai,” kata dia.
“Warga juga seperti itu, bahkan lewat depan rumah meludah. Kemudian naik sepeda motor kencang dan blayer-blayer. Seperti memancing saya untuk melakukan tindak pidana seperti memukul,” lanjut Roby.
Warga memerkarakan tanah di jalan gang itu sejak akhir September 2019. Warga meminta tanah itu menjadi jalan umum.
Pembahasan tentang tanah itu dimulai dari tingkat bawah atau RT, Kelurahan, Kecamatan, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemkab Ponorogo hingga ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Warga juga mengajukan gugatan atas kepemilikan tanah tersebut ke Pengadilan Negeri Ponorogo. Namun, dua kali gugatan yang dilayangkan warga, keputusan pengadilan tetap berpihak kepada Roby.
“Gugatannya meminta kepada majelis hakim untuk memecah tanah bersertifikat untuk dijadikan jalan umum. Gugatan pertama Januari 2021 dan inkrah Februari 2021 selang satu bulan April 2021 gugat lagi dan putusannya inkrah pada Agustus 2021,” jelas Roby.
Konflik Roby dan tetangganya ini membuat Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, harus turun tangan untuk mencari solusi. Sugiri mengaku mendatangi langsung jalan yang ditutup tembok setinggi empat meter itu. Sugiri juga sudah menemui Roby dan keluarga serta warga yang terdampak penutupan akses.
“Memang saya datang tidak mencari benarnya. Saya hanya mencari titik tengahnya. Memang problemnya sudah mengarah lama. Dan kayaknya hubungannya tidak harmonis sudah lama,” kata Kang Giri, sapaan Sugiri Sancoko, pada Selasa (4/7/2023).
Saat itu, Sugiri meminta semua pihak untuk tenang terlebih dahulu supaya mendapatkan solusi atas konflik itu.
Konflik warga antar-tetangga yang berujung pada penutupan akses dengan tembok di Tulungagung, Jawa Timur, terjadi pada 19 Desember 2022.
Konflik ini melibatkan keluarga Riyanto dan Haryono, warga Desa Beji, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Konflik dua keluarga itu sudah berlangsung lama dan berujung pada penembokan jalan.
Penembokan itu dilakukan oleh keluarga Riyanto. Akibatnya, keluarga Haryono tak mendapatkan akses. Keluarga Riyanto membangun tembok setinggi 2,5 meter yang menutup total akses jalan keluarga Riyanto.
Riyanto mengaku terpaksa menutup akses jalan itu akibat konflik dengan keluarga Haryono yang berlangsung selama tiga tahun terakhir. Keluarga Riyanto kesal telah dituduh menyerobot lahan oleh keluarga Haryono.
“Saya sering dicaci maki hingga keterlaluan, bahkan dituduh menyerobot tanah,” kata Riyanto saat berbincang di lokasi pada Senin (19/12/2022).
Salah satu anak Haryono, Widiastuti, mengaku tak memiliki akses setelah jalan itu ditembok oleh keluarga Riyanto. Widiastuti mengakui adanya konflik antara keluarganya dan keluarga Riyanto. Namun, ia tak menyangka keluarga Riyanto bakal membangun tembok menutup jalannya.
Saat tembok itu dibuat oleh Riyanto, Widiastuti sedang berada di luar rumah. Saat pulang, Widiastuti tak bisa masuk ke rumah karena terhalang tembok.
“Pas pulang berjualan soto, tahu-tahu sudah ada tembok yang tinggi menutup jalan,” ujar Widiastuti.
Widiastuti memilih tidak menegur langsung Riyanto karena khawatir persoalan akan meruncing. Ia memilih menyampaikan persoalan itu kepada pemerintah desa supaya ada penyelesaian atas kasus itu.
Kepala Desa Beji Khoirudin mengatakan, pihaknya sudah sering melakukan mediasi untuk menyelesaikan konflik di antara dua keluarga yang bersebelahan itu. Namun tak kunjung menemui titik temu.
“Ini adalah konflik keluarga Riyanto dan Haryono. Kami sudah melakukan mediasi kedua keluarga tersebut sebanyak sekitar lima kali,” kata Khoirudin.
Menurut Khoirudin, konflik dua keluarga itu dipicu atas klaim terhadap tanah yang menjadi akses jalan. Keluarga Haryono mengaku akses jalan itu pernah dibeli, tetapi tidak ada akta jual beli yang membuktikan pembelian itu. Sementara, keluarga Riyanto memiliki sertifikat hak milik atas tanah yang ditempatinya dan akses jalan yang ditembok itu.
“Jalan tersebut dianggap bagian milik pak Riyanto, kemudian memasang tembok di akses jalan tersebut sebagai puncak konflik antar-kerabat dua keluarga. Mereka tinggal dua rumah berbeda bersebelahan,” ujar Khoirudin.
Pihaknya bersama polisi akhirnya membuka akses jalan agar bisa dilalui keluarga Haryono.
Konflik warga antar-tetangga di Tuban terjadi antara keluarga Tinah dan Nutri Sulis, warga Dusun Karang Tawang, Desa Tambakboyo, Kecamatan Tambakboyo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Pihak keluarga Nutri Sulis membangun tembok yang menutup akses keluarga Tinah pada bulan Mei 2023 gara-gara permasalahan jemuran baju. Keluarga Nutri Sulis merasa kesal karena Tinah membuang jemuran baju miliknya hingga tempat jemuran baju itu rusak.
“Siapa yang enggak kesal, jemuran baju dibuang begitu sampai rusak,” kata Nutri Sulis kepada Kompas.com, Senin (22/5/2023).
Jemuran baru itu dibuang karena dianggap mengganggu keluarga Tinah yang akan menggelar acara lamaran untuk anaknya.
“Saya sudah pesan sama Tinah, kalau tamunya datang bilangin, biar jemuran tak pindahin sendiri, ee.. malah dibuang,” katanya.
Permasalahan jemuran baju ini merupakan puncak dari perselisihan antara kedua keluarga itu. Menurut Kepala Desa Tambakboyo, Lilik Koestijono, konflik keduanya sudah berlangsung lama dan pihak pemerintah desa sudah sering memediasi keduanya untuk menyelesaikan konflik.
Lisdya Ningsih (27), anak perempuan Tinah mengungkapkan, perselisihan antara keluarganya dan keluarga Nutri Sulis bermula dari permasalahan hak pakai tanah negara yang mereka tempati sejak puluhan tahun lalu. Pihak Nutri Sulis berusaha mengambil alih hak pakai tanah tersebut, karena mereka mengklaim tanah yang ditempati Tinah juga merupakan miliknya.
Pemerintah desa sempat memediasi untuk mendamaikan mereka, tetapi pihak Nutri Sulis disebut masih kukuh menganggap hak pakai tanah yang ditempati Tinah juga atas namanya.
“Pihak desa sudah menjelaskan kalau hak pakai sudah diberikan kepada ibu, dan kita disuruh sabar," kata Lisdya Ningsih, kepada Kompas.com, Senin (22/5/2023).
Keluarga Tinah dan Nutri Sulis akhirnya berdamai setelah dimediasi oleh Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) di Balai Desa Tambakboyo pada Senin (22/5/2023) sekira pukul 16.30 WIB hingga pukul 19.00 WIB. Tembok yang menghalangi akses keluarga Tinah itu akhirnya dibongkar.
Guru Besar Departemen Sosiologi Universitas Airlangga (Unair), Prof Bagong Suyanto menilai, konflik warga antar-tetangga yang berujung pada penembokan akses jalan seperti yang terjadi di Tuban, Ponorogo dan Tulungagung serta kasus Masriah dan Wiwik di Sidoarjo mengindikasikan lunturnya sikap tepo seliro atau tenggang rasa dalam bertetangga.
“Indikasi memudarnya kohesi sosial di kalangan masyarakat desa, solidaritas dan tepo seliro (tenggang rasa) telah mati,” kata Prof. Bagong ketika dihubungi melalui telepon, Kamis (23/11/2023).
Akibatnya, kata Bagong, para warga desa sudah tidak memiliki hubungan untuk menjalin solidaritas serta semangat gotong-royong. Bahkan cenderung mempunyai hubungan kontraktual.
“Konkretnya juga imbas konflik yang sifatnya horizontal. Mungkin ada perselisihan ideologi, kepentingan yang membuat relasi di desa itu semakin individualis,” jelasnya.
Bagong mengungkapkan, hubungan antar-masyarakat desa saat ini hampir seperti warga kota. Yakni, mereka akan memiliki hubungan yang lebih formal dengan tetangga lainnya.
Hal itu, menurut Bagong, merupakan salah satu bentuk dampak buruk dari perkembangan teknologi. Sebab, minat masyarakat untuk bertemu dengan yang lainya semakin sedikit.
“Orang banyak yang punya ponsel, bisa browsing, enggak ketemu orang lain enggak masalah. Jadi banyak hal yang dipengaruhi teknologi, seperti membuat hubungan sosial berubah,” ujar dia.
Bagong pun menyarankan masyarakat membiasakan lagi untuk berkomunikasi dengan tetangga. Agar bisa saling memahami apabila ada permasalahan yang timbul.
“Namanya pupuk perjumpaan sosial itu perlu dihidupkan kembali, prinsipnya tak kenal maka tak sayang. Kalau enggak saling ketemu ya orang enggak akan muncul solidaritas,” jelasnya.
Staf pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Oni Dwi Arianto mengatakan, konflik warga antar-tetangga disebabkan oleh pola hubungan yang tidak terbangun dengan baik. Hal ini menyebabkan kesenjangan yang berisiko pada terjadinya konflik.
Oni menilai, konflik yang berujung pada penembokan akses jalan dan berujung pada kasus pidana merupakan akumulasi dari konflik yang tidak terselesaikan dan sudah terendap lama.
“Ada banyak hal yang dapat menyebabkan konflik, seperti pola hubungan yang terbangun tidak kondusif karena di lingkungan itu bisa jadi individualisnya tinggi,” kata Oni saat dihubungi pada Kamis (30/11/2023).
“Bisa jadi ada konflik sebelumnya yang tidak diselesaikan, itu diendapkan, sehingga ketika ada pemicu langsung memuncak. Masing-masing konflik itu ada kekhususannya sendiri yang perlu diteliti,” jelasnya.
Untuk meminimalisasi konflik warga antar-tetangga, Oni menyarankan supaya warga selalu membangun hubungan yang harmonis dengan tetangganya. Warga yang tinggal saling berdekatan harus sering saling sapa, saling mengerti kondisi sosial dan psikologis masing-masing, sehingga akan muncul saling kepedulian.
“Di antara warga terutama yang saling berdekatan, sebelum terjadi segala sesuatu yang dapat memicu konflik, harus mulai saling menyapa, harus mengerti kondisi sosial dan psikologis warga, saling membatu dan saling peduli,” terangnya.
Oni juga menekankan pentingnya peran Rukun Warga (RW) dan Ruku Tetangga (RT) dalam mencegah konflik warga antar-tetangga. Menurutnya, RT dan RW harus pandai memanfaatkan momen untuk menggelar pertemuan yang dapat mengakrabkan warga di lingkungannya.
“RW atau RT bisa membangun komunikasi antar-warganya. Sering menggelar pertemuan bapak-bapak atau ibu-ibu. Momen-momen hari besar seperti Idul Fitri atau Hari Kemerdekaan bisa digunakan untuk ketemu dan tegur sapa warga. Jangan sampai ada kesenjangan yang terlalu berlebihan,” kata dia.