MENTERI Sosial Tri Rismaharini merupakan sosok yang tak pernah ragu menumpahkan emosi.
Sejak menjabat Wali Kota Surabaya, Bu Risma-sapaan akrabnya-cukup sering menunjukkan amarah apabila menemukan sesuatu yang salah atau menyimpang. Khususnya yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
Karakter wanita kelahiran Kediri, 20 November 1961 ini pun tak berubah banyak saat Presiden Joko Widodo mendapuknya sebagai Menteri Sosial.
Baca Juga: Marah-marah Lagi, Risma Diminta Salurkan Energi untuk Fokus Benahi Data
Anak buah di kementerian dan pejabat tingkat daerah yang dinilai tak becus bekerja banyak yang jadi sasaran amarah wanita berzodiak Scorpio ini. Bahkan, warga biasa dan mahasiswa yang ngeyel juga ada yang kena damprat.
Aksi marah-marah Risma di panggung nasional tentu menuai dampak berbeda dibanding panggung lokal seperti wali kota. Perbedaan mencakup lingkup persoalan, persepsi publik, hingga ekses politik yang mengikutinya.
Namun, sebelum masuk ke sana, mari kita berangkat dari pertanyaan sederhana. Mengapa Risma bisa semarah itu?
Dalam catatan pemberitaan, Risma tertangkap beberapa kali melontarkan amarah.
Berikut rangkumannya:
Pada 30 September 2020, Risma meluapkan amarahnya ke pendamping penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH). Momen itu terjadi saat rapat kerja membahas distribusi PKH di Provinsi Gorontalo.
Risma mulai marah setelah mengetahui adanya perbedaan laporan data PKH Gorontalo dengan data milik Kemensos.
Rupanya, ada penerima PKH yang dicoret dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atas alasan saldo di rekening nol rupiah. Di sinilah amarah Risma memuncak.
Salah seorang pejabat Kemensos yang hadir memastikan pencoretan itu bukan dilakukan pihaknya.
Baca Juga: Buntut Risma Marah-marah, Kepala Dinas Sosial Gorontalo Dipecat, Ini Penjelasan Bupati
Oleh sebab itu, Risma merasa perlu mengklarifikasi kepada para pendamping PKH, terutama yang menuding bahwa pencoretan itu dilakukan oleh Kemenkes.
“Jadi bukan kita coret ya. Tak tembak kamu ya, tak tembak kamu,” kata Risma kepada salah seorang pendamping PKH bernama Fajar Sidik Napu.
Berikut ini videonya:
Tak hanya itu, Risma sampai berdiri dan menghampiri Fajar. Ia mendorong dengan pulpen hingga Fajar terduduk.
“Data-data itu yang sering kamu fitnah. Itu saya yang kena, tahu enggak?” teriak Risma.
“DTKS dicoret, saya tidak pernah nyoret. Semua daerah kita tambah, ngapain aku nyoret?” lanjut dia.
Peristiwa itu sempat membuat Gubernur Gorontalo Rusli Habibie tersinggung. Ia menilai, amarah Risma tak patut terpampang di publik. Bahkan Rusli menyebut, apa yang dilakukan Risma merupakan contoh yang tidak baik.
Rusli pun mengingatkan Risma untuk menjaga sikap di depan rakyat, terlebih saat berkunjung ke kampung orang. Ia meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi sikap Risma yang temperamental.
Baca Juga: Soal Risma Marah-marah, Wakil Ketua MPR: Mungkin Perlu Ikut Terapi Kesabaran
“Pangkat, jabatan harus kita jaga. Tidak ada artinya pangkat ini semua kita tinggalkan. Kalaupun dia salah, ya dikoreksi,” ujar Rusli.
Setelah peristiwa itu, Risma disebut-sebut mengirim pesan singkat kepada Idah Syahidah, istri Rusli yang menjabat sebagai Anggota Komisi VIII DPR RI.
Tak diketahui apa isi pesan singkat itu. Tetapi, Rusli kemudian menunjukkan sikap berbeda tentang kemarahan Risma.
Rusli meminta agar semua pihak menyikapi persoalan ini dengan bijak.
“Sebagai gubernur juga saya meminta maaf kepada Ibu Menteri jika ada kalimat, sikap saya yang menyinggung Ibu Menteri untuk mohon dimaafkan,” kata Rusli.
Buntutnya, Rusli mencopot Kepala Dinas Sosial Gorontalo Hasan Ui dari jabatannya. Rusli menganggap Hasan tak cakap dalam mengurus PKH di Gorontalo.
Peristiwa meluapnya amarah Risma terjadi pada 16 September 2021.
Saat itu, Risma sedang melakukan kunjungan kerja ke Katingan, Kalimantan Tengah. Di lokasi itu, sedang terjadi bencana banjir.
Momen itu berawal dari Risma yang sedang berbincang dengan salah seorang lansia korban banjir.
Risma bertanya, apakah lansia tersebut sudah mendapatkan bantuan pemerintah atau belum. Sebab, Kemensos telah menggelontorkan sejumlah bantuan bagi korban banjir di sana.
Baca Juga: Bela Risma soal Aksi Marah-marah, PDI-P: Sejak Jadi Wali Kota Sudah Begitu
Rupanya, seorang nenek yang ditanya Risma menjawab, belum menerima bantuan apapun.
Risma langsung menegur camat setempat.
“Pak Camat dicatat ini,” tutur Risma.
Tak hanya itu, Risma juga menegur Kepala Dinas Sosial Katingan Elmon Sianturi.
Berikut ini videonya:
Risma meminta apabila ada kekurangan bantuan, segera melaporkan hal itu kepada pemerintah pusat agar bantuan dapat ditambah.
“(Laporkan) oke, saya akan perbaiki. Begitu enggak apa-apa. Tidak ada orang yang sempurna. Kalau lempar-lempar begini, kena batunya sama saya,” tutur Risma.
Belakangan, Elmon berkilah amarah Risma terjadi akibat kesalahpahaman.
Menurut Elmon, bantuan yang dimaksud sang nenek yang diajak berbincang oleh Risma adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Kalau PKH, menurut Elmon, memang banyak warga yang belum mendapatkan karena mekanisme distribusinya melalui tata cara tersendiri.
Namun bantuan untuk korban banjir, Elmon menegaskan, telah memberikannya secara merata kepada para korban terdampak.
Pada 2 September 2021, Risma berkunjung ke Aceh Besar. Kunjungan kerjanya itu dilakukan dalam rangka mengecek distribusi PKH di Provinsi Aceh.
Sebelum turun ke masyarakat, Risma menggelar rapat bersama sejumlah pejabat kementeriannya dan dinas sosial pemerintah daerah.
Rapat sudah berlangsung tegang sejak awal. Sebab, Risma menerima laporan bahwa masih ada 1.315 penerima manfaat yang belum menerima PKH.
Perwakilan bank BUMN yang ditugaskan menyalurkan bansos beralasan, sebagian besar orang-orang itu belum menerima bantuan sosial karena tidak hadir pada saat sosialisasi sehingga bantuan tidak bisa didistribusikan.
Pihak pemerintah daerah menguatkan pernyataan pihak bank. Seorang perwakilannya mengatakan, telah mengecek nama-nama itu ke desa sesuai alamat yang tertera, tetapi orang itu tidak ditemukan.
Baca Juga: Gaya Risma Marah-marah Dinilai Tak Cocok dengan Pemerintahan Jokowi
Risma pun bertanya, apabila tidak ditemukan keberadaannya, lantas mengapa orang-orang itu tetap terdata di data kependudukan.
Perwakilan pemerintah daerah itu menjawab dengan nada berseloroh.
“Kalau Ibu tanya kenapa, saya juga bertanya, kenapa begitu?” ujar dia.
Nada bicara Risma setelahnya mulai meninggi.
“Pak, kalau (orang-orang) itu fiktif, tidak ada di data kependudukan. Data ini (penerima PKH) sudah padan di data kependudukan. Jadi, data yang semua sekarang ini, semua sudah cocok di data kependudukan,” ujar Risma.
“Mungkin orangnya merantau, it’s okay. Tapi bahwa orangnya ada. Jangan ngomong enggak ada loh Pak. Tak datengi kampungmu,” lanjut dia.
Risma menegaskan, daftar penerima PKH berasal dari pemerintah daerah, bukan Kemensos semata. Oleh sebab itu, semestinya pemerintah daerah betul-betul memferivikasi data penerima bantuan secara cermat agar distribusinya berjalan lancar.
Ia sekaligus meminta pemerintah daerah sebagai garda depan distribusi bantuan sosial untuk jemput bola karena memiliki fasilitas kendaraan. Khususnya apabila penerima bantuan adalah lansia dan berada di lokasi terpencil.
Risma pun mengusulkan agar persoalan distribusi ini ditangani oleh PT Pos Indonesia melalui perwakilannya yang ada di Aceh Besar.
Berikut ini videonya:
Dengan demikian, apabila ada masyarakat yang kesulitan menjangkau titik lokasi penjemputan bansos, tidak perlu mendatangi tempat tersebut, karena bansos akan disalurkan PT Pos Indonesia ke alamat masing-masing.
Pihak bank kemudian melontarkan pernyataan yang sama seperti awal rapat sehingga menyulut emosi Risma.
“Sebetulnya bukan tidak terdistribusi, tapi pada waktu kita undang, mereka tidak datang,” ucap perwakilan tersebut.
Risma pun meradang.
“Yo podho wae tho Pak, Pak. Ngapain aku ngerapatkan ini susah-susah. Bapak ini, aduh balek-balek. Capek aku Pak, dikira aku enggak capek apa?” timpal Risma.
“Wong sudah jelas, aku ngomong hari ini. Kalau bapak ngomong bisa, kemarin semestinya diselesaikan. Tapi kenapa enggak diselesaikan? Marah aku, Pak. Aku udah usaha enggak marah, tapi bapak bikin marah,” sambung Risma.
Pada pertengahan Juli 2021, Risma pernah mengancam akan memindahkan ASN yang bertugas di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Wyata Guna Bandung, Jawa Barat, ke Papua.
Ancaman itu dilontarkan setelah Risma kesal dengan tingkah anak buahnya. Banyak yang terlihat bersantai di ruangan dan tidak mau membantu mengurus dapur umum yang didirikan Kemensos.
Baca Juga: Ditugasi Atasi Kemiskinan, Menteri Risma Segera Berkantor di Papua
Dapur umum yang berada di balai itu didirikan untuk memasok telur matang kepada masyarakat, tenaga kesehatan, dan petugas keamanan selama pemberlakuan PPKM Darurat.
“Saya tidak mau lihat seperti ini lagi. Kalau seperti ini lagi, saya pindahkan semua ke Papua. Saya enggak bisa pecat orang kalau enggak ada salah, tapi saya bisa pindahin ke Papua. Jadi, tolong yang peka,” kata Risma.
Berikut ini videonya:
Pernyataan Risma itu menuai polemik. Bukan pada substansi persoalan, tetapi melebar ke persoalan persepsi Risma tentang Papua.
Sejumlah pihak melihat pernyataan Risma mengandung unsur diskriminasi terhadap Papua. Seolah-olah Risma menempatkan Papua sebagai daerah terbelakang dan menjadi tempat untuk menghukum ASN nakal.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Andreas Budi Widyanta menilai, tidak semestinya Risma melontarkan pernyataan seperti itu sebagai seorang pejabat publik.
Walaupun, ia menyadari, tujuan Risma marah adalah untuk mendongkrak sebuah sistem birokrasi yang lamban dan tidak peka.
Baca Juga: Pimpinan Komisi VIII Minta Risma Perbaiki Sistem, Tak Sekedar Marah-marah
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mendesak Risma meminta maaf atas ucapannya. Ia juga meminta Risma mengirim anak buah terbaiknya ke Papua untuk bekerja, bukan atas dasar hukuman.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Raden Harry Hikmat mengatakan, pernyataan Risma itu ditujukan untuk memotivasi jajarannya agar berani bekerja dan keluar dari zona nyaman.
Rangkuman sederet amarah Risma selengkapnya dapat disimak dalam infografik berikut ini:
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro mengatakan, secara psikologis, amarah Risma dapat dipahami. Apalagi, ia merupakan seorang pejabat negara.
Amarah yang keluar dari diri Risma mencerminkan dedikasi atas tugas dan tanggung jawab sebagai pembantu Presiden.
Apabila ada sesuatu yang tak sesuai atau menyimpang, maka sebagai orang yang diberikan amanah wajar untuk merasa kecewa, kemudian meluapkannya dengan marah.
“Beliau marah-marah itu bicara tentang data. Data itu di satu sisi dianggap sepele (oleh orang lain), tapi bagi Bu Risma suatu yang penting karena menyangkut harkat, jumlah barang yang diberikan, ketepatan yang diberikan, dan siapa yang menerima,” kata Koentjoro saat dihubungi, Minggu (17/10/2021).
“Beliau marah-marah itu bicara tentang data. Data itu di satu sisi dianggap sepele (oleh orang lain), tapi bagi Bu Risma suatu yang penting karena menyangkut harkat, jumlah barang yang diberikan, ketepatan yang diberikan, dan siapa yang menerima,"
-Koentjoro-
Tentu, reaksi berupa amarah itu bertujuan memperbaiki kondisi. Selain itu, bertujuan supaya ketidaksesuaian atau penyimpangan tak terjadi lagi di waktu mendatang.
Pernyataan Koentjoro diamini politikus PKS Bukhori Yusuf. Ia menyebut, Risma memang dikenal memiliki watak yang keras dan berdedikasi tinggi.
Karakter itu mulai dikenal publik sejak Risma menjabat sebagai Wali Kota Surabaya (2010-2015; 2016-2020).
Menurut kacamata Bukhori yang juga merupakan Anggota Komisi VIII DPR RI, karakter Risma sangat dibutuhkan untuk menghadapi sengkarut persoalan birokrasi di Indonesia.
Baca Juga: Saat Tiba di Gorontalo, Risma Disambut Secara Adat, Warga: Tanpa Emosi Meledak, Kami Pasti Nurut
Ia sendiri menjadi saksi bagaimana amarah Risma sedikit banyak mempercepat program pemerintah bagi rakyat yang membutuhkan.
Suatu ketika, Bukhori mendapatkan laporan bahwa ada 90.000 keluarga di daerah pemilihannya, Jawa Tengah, yang terdaftar sebagai penerima bantuan sosial tunai, tetapi justru belum mendapatkannya. Rupanya, fakta itu sampai ke telinga Risma.
Risma kemudian memarahi pihak yang diberi tugas mendistribusikan bansos tunai tersebut.
Hasilnya pun kelihatan. Proses penyaluran bansos bagi rakyat yang membutuhkan jadi dipercepat.
“Jadi ini berkaitan dengan watak kerja birokrat yang selama ini kita tahu. Tapi dengan style beliau seperti itu, yang dalam tanda petik ingin semua baik dalam waktu cepat, yang bawah jadi menyesuaikan,” ucap dia.
Psikolog Klinis Dewasa Yulius Steven sependapat bahwa amarah Risma sejatinya berorientasi pada perbaikan kondisi.
Tetapi ia mengingatkan, marah merupakan kebutuhan emosi dasar manusia yang bersifat antagonis.
Artinya, bentuk amarah tidak hanya soal ekspresi diri sendiri, melainkan juga hubungan antarpersonal.
Apabila sifat antagonis diekspresikan dalam bentuk pasif, apalagi dapat dikendalikan, tentu tidak menjadi soal bagi pribadi lain.
Sebaliknya, marah bakal menjadi persoalan serius apabila disertai dengan perilaku agresif. Misalnya mengeluarkan kata-kata menghina, mencaci, menuduh, mengancam atau disertai tindak kekerasan.
"Kalau sudah menyasar ke pribadi orangnya, jadinya enggak fokus pada masalah inti. Begitulah kelemahan marah yang agresif,”
-Yulius Steven-
Dalam konteks ini, marah menjadi kontraproduktif. Bukannya menyelesaikan substansi persoalan, justru menambah persoalan.
“Ini misalnya ya. Ada problem antara atasan dengan performa bawahan. Tapi si atasan membawa-bawa masa lalunya. ‘lu tuh orangnya bego’. Nah, kalau sudah menyasar ke pribadi orangnya, jadinya enggak fokus pada masalah inti. Begitulah kelemahan marah yang agresif,” ujar Yulius.
Inilah yang dikhawatirkan dari amarah Risma. Pihak yang jadi sasaran amarah bisa jadi tak memperbaiki diri, tetapi malah sakit hati dan keras hati sehingga hubungan yang ideal antara atasan dan bawahan tidak terwujud.
Ujung-ujungnya sekalipun ada perbaikan, bukan didasari oleh kesadaran yang tulus, melainkan dilandasi oleh rasa takut.
Baca Juga: Saat Mensos Risma Bungkam Ketika Disinggung tentang Saran Ikut Terapi Kesabaran
Berbagai referensi yang dihimpun menyebut, kerja dalam situasi takut berdampak negatif pada kinerja. Suasana menjadi tak menyenangkan, sulit berkembang dan berinovasi. Kerja pun hanya berorientasi pada hasil dan mengesampingkan pentingnya proses.
Psikolog Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Fathul Lubabin Nuqul menambahkan, mengingat amarah Risma yang begitu rentan menuai konflik dengan pribadi dan persepsi publik, maka sudah saatnya Risma mengendalikan diri.
Melalui ekspresi marah yang konstruktif saja inti persoalan belum tentu selesai. Apalagi sebaliknya, bukan?
Meski diakui sulit, namun salah satu cara yang dapat dilakukan adalah turut mengekspos proses penyelesaian persoalan itu ke publik. Jadi, tidak hanya gaduh pada amarah Risma, tetapi juga diikuti dengan menyoroti perbaikan.
“Sekretarisnya ataupun bawahan yang mengikuti Bu Risma itu memberikan catatan-catatan kemudian evaluasi setiap masalah yang kemudian dibawa ke rapat,” kata Fathul, Senin (18/10/2021).
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan, pada titik ini, Risma harus menyadari bahwa tindak tanduknya bukanlah representasi diri semata.
Ada institusi yang diwakili setiap Risma melangkah, yakni pemerintah dan PDI Perjuangan sebagai parpol di mana ia bernaung.
Secara politis, apa yang Risma perbuat sedikit banyak menuai dampak ke institusi yang ia wakili, baik positif atau negatif.
Apabila sederet amarah Risma berdampak negatif, akan berefek domino ke pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo, dan PDI Perjuangan.
“Kalau (kemarahan itu) efektif, rakyat akan mendukung dengan konversi elektabilitas yang naik. Tapi ini kan tidak. Bahkan banyak yang mencerca, banyak yang mengkritik. Justru bisa jadi bumerang dan menimbulkan kebencian,”
-Ujang Komarudin-
Apalagi, karakter Risma cukup bertolak belakang dengan karakter yang ditunjukkan Presiden Jokowi di mana sosok Jokowi dikenal lebih kalem.
Sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo, kemudian Gubernur DKI Jakarta dan kini Presiden Indonesia, Jokowi sangat jarang terlihat menunjukkan kemarahan di depan umum. Bahkan, menurut Ujang, Jokowi cenderung terlihat ingin membangun citra pemerintahan yang stabil dan tidak arogan.
Oleh sebab itu jika aksi marah-marah Risma yang berlebihan terus dilanjutkan, ia khawatir, hal itu justru akan merugikan pemerintahan Jokowi atau partai.
“Makanya agar tidak kontraproduktif, agar tidak kontroversial, agar tidak membuat masyarakat marah dengan marah-marahnya Risma itu, mestinya koreksi diri. Itu lebih baik,” kata Ujang.
Baca Juga: Rencana Risma: Mau Jajal Buka Usaha, Malah Berakhir Jadi Mensos
Mengutip Principle Centered Leadership (2001) karya Stephen Covey, ada empat ciri-ciri pemimpin yang baik. Selain harus mampu berkomunikasi dengan baik, pemimpin juga harus bertanggungjawab, memiliki strategi, dan memiliki manajemen dalam diri yang baik.
Mengingat nama Risma selalu muncul di survei elektabilitas terkait Pilpres 2024, mungkin perubahan citra Risma dapat dipertimbangkan.
Boleh jadi posisi Risma yang selalu kalah dibandingkan nama lain disebabkan oleh aksi-aksi amarah yang tidak disukai masyarakat, meski ada pula sisi positifnya.
“Kalau (kemarahan itu) efektif, rakyat akan mendukung dengan konversi elektabilitas yang naik. Tapi ini kan tidak. Bahkan banyak yang mencerca, banyak yang mengkritik. Justru bisa jadi bumerang dan menimbulkan kebencian,” ujar Ujang.