JEO - Peristiwa

 Urgensi Reformasi Polri, Memutus Rantai Kekerasan Usai Tragedi Kanjuruhan

Jumat, 7 Oktober 2022 | 22:36 WIB

Tembakan gas air mata yang dilakukan kepolisian menjadi sorotan dalam Tragedi Kanjuruhan. Reformasi perlu dilakukan Polri agar humanis ketika menangani aksi massa.

"Lebih dari 100 orang dibunuh polisi. Ingatlah para korban tewas di Kanjuruhan." Tulisan yang dibentangkan suporter Bayern Muenchen ketika timnya menjamu Viktoria Plzen, Rabu (5/10/2022) dini hari WIB di Allianz Arena.

SUASANA duka masih begitu terasa di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sejak peristiwa kelam itu terjadi pada Sabtu (1/10/2022) malam. Kanjuruhan terlihat seperti permakaman. 

Taburan bunga terhampar di pintu gerbang berwarna biru. Ada juga rangkaian bunga yang disandarkan pada pintu.

Beberapa jersei dan syal biru Arema FC digantung di pintu biru, juga ditempatkan pada dinding hias yang semestinya berfungsi sebagai ventilasi. Dinding itu bolong setelah dijebol suporter yang terjebak di dalam stadion.

Rekaman video yang beredar di media sosial menggambarkan betapa mencekamnya suasana saat terjadi Tragedi Kanjuruhan, terutama di pintu keluar Tribune 13.

Para suporter berdesak-desakan karena panik setelah polisi menembakkan gas air mata ke arah tribune. Mereka berusaha keluar, tetapi tertahan pintu yang masih tertutup.

Korban sudah berjatuhan. Ada yang karena kondisi badan lemas sehingga jatuh dan terinjak-injak. Ada pula yang kehabisan napas.

Kondisi memang membingungkan malam itu. Penonton tidak bisa keluar ataupun kembali ke arah tribune karena perihnya mata atau napas yang sesak akibat gas air mata.

Beberapa suporter pria yang masih memiliki tenaga, juga orang-orang di luar stadion kemudian menjebol ventilasi itu.

Pintu keluar tribun 13 Stadion Kanjuruhan.
KOMPAS.COM/Imron Hakiki
Pintu keluar tribun 13 Stadion Kanjuruhan.

Saat Presiden Joko Widodo mendatangi  Stadion Kanjuruhan, pintu gerbang di Tribune 13 itu menjadi sorotan. Secara khusus, Jokowi mencatat soal pintu yang tertutup serta tangga yang terlalu curam.

Memang banyak korban jiwa di lokasi itu, tetapi lebih dari 100 korban yang tewas dalam Tragedi Kanjuruhan tidak hanya berasal dari pintu itu.

Presiden dianggap tidak bijaksana karena hanya menyoroti soal kondisi Stadion Kanjuruhan. Jokowi pun diminta lebih fokus menyoroti tembakan gas air mata yang dilakukan kepolisian, hingga menyebabkan kepanikan.

Hasil penyelidikan Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membuktikan bahwa korban tewas dalam Tragedi Kanjuruhan mengalami kurang oksigen dan disebabkan gas air mata.

Komisioner Bidang Penyelidikan dan Pemantauan Komnas HAM Choirul Anam mengungkap bahwa situasi ricuh akibat gas air mata dan terjadi over-capacity di pintu-pintu keluar yang tak semuanya terbuka.

Kondisi jenazah para korban tampak biru menunjukkan kemungkinan kekurangan oksigen. Selain itu, banyak di antara jenazah dengan kondisi mata merah dan mengeluarkan busa dari mulutnya.

"Ini yang menunjukkan kemungkinan besar karena kekurangan oksigen karena juga gas air mata. Jadi muka biru, terus ada yang matanya merah, keluar juga busa," ujar Anam, melalui keterangan video kepada wartawan, Rabu (5/10/2022).

Data dari Kementerian PPPA menunjukkan, ada 33 anak-anak usia 4-17 tahun yang menjadi korban. Adapun hingga Selasa (4/10/2022) malam, Aremania melaporkan sedikitnya 4 anak belum ditemukan.

Anam tak menutup kemungkinan jumlah korban masih dapat bertambah seiring perkembangan waktu.

[Klik gambar untuk melihat infografik di bawah ini]

Serba-serbi gas air mata

 

Rantai kekerasan polisi

Tindakan Polri yang menembaki suporter dengan gas air mata di tribune Stadion Kanjuruhan mencerminkan manajemen pengamanan yang cenderung militeristik. Apalagi, ada larangan internasional terkait penembakan gas air mata di dalam stadion.

Berdasarkan data hingga Jumat (7/10/2022) pukul 06.00 WIB, tercatat ada 131 korban tewas dalam peristiwa kelam yang terjadi usai pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya dalam pekan ke-11 Liga 1 2022-2023.

Washington Post melakukan visual forensik berdasarkan video yang dihimpun dari suporter. Hasilnya, ada lebih dari 40 amunisi berupa flash, suar, dan paling banyak gas air mata.

Tidak hanya gas air mata, dalam beberapa video yang dihimpun terdapat bukti kekerasan aparat, seperti pukulan dan tendangan kepada pada suporter.

Baca juga: Desakan Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan Menguat, Penanganan Polisi Jadi Sorotan

 

Suasana di area Stadion Kanjuruhan Kepanjen, Kabupaten Malang, seusai kericuhan penonton yang terjadi seusai laga pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 bertajuk derbi Jawa Timur, Arema FC vs Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) malam.
(KOMPAS.com/SUCI RAHAYU)
Suasana di area Stadion Kanjuruhan Kepanjen, Kabupaten Malang, seusai kericuhan penonton yang terjadi seusai laga pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 bertajuk derbi Jawa Timur, Arema FC vs Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) malam.

FIFA, selaku badan internasional sepak bola, melarang penggunaan gas air mata untuk mengurai massa di stadion.

Sementara Polri menyebutkan, penggunaan gas air mata untuk mengendalikan massa di Stadion Kanjuruhan telah sesuai prosedur.

Jika prosedur itu menyebabkan ratusan nyawa hilang, bukankah ada yang perlu dipertanyakan mengenai prosedur Polri selama ini?

Rekam jejak kekerasan

Polri menapakkan jejak berdarah. Akibat penggunaan kekuasaan dan kekerasan berlebihan, tidak sedikit warga sipil yang menjadi korban.

Berdasarkan data Amnesty International Indonesia, selama aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja antara 6 Oktober-10 November 2020, sedikitnya ada 411 korban kekerasan Polri di 15 provinsi selama aksi demonstrasi berlangsung. Organisasi itu juga mencatat 6.658 orang ditangkap di 21 provinsi.

Rupanya, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Polri telah menjadi pola tersendiri. Sejak 2007, Kontras memantau beberapa kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan unsur aparat kepolisian.

Kasus-kasus tersebut antara lain seperti kasus penganiayaan, tindak penyiksaan, salah tangkap, penembakan, penahanan sewenang-wenang, hingga kasus yang berujung pada kematian tahanan.

Polisi menembakkan gas air mata ke arah mahasiswa saat unjuk rasa menentang langkah perpanjangan mandat presiden di Jakarta pada Senin (11/4/2022).
ADEK BERRY
Polisi menembakkan gas air mata ke arah mahasiswa saat unjuk rasa menentang langkah perpanjangan mandat presiden di Jakarta pada Senin (11/4/2022).

Sepanjang 2009, jenis tindakan berupa penembakan yang mengakibatkan luka hingga tewas merupakan pola kekerasan terbanyak dengan 48 tindakan. Disusul, 37 tindakan penganiayaan, 9 penyiksaan yang menyebabkan luka dan tewas, 5 kasus salah tangkap, disusul penangkapan dan perkosaan.

Kredibilitas polisi semakin dipertanyakan ketika mereka kebal terhadap hukum dan minimnya transparansi.

Kembali pada tragedi di Kanjuruhan, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menuntut adanya penuntasan kasus melalui koridor hukum pidana, tidak hanya dengan sidang etik.

"Selama ini kita lihat banyak sekali tindakan-tindakan kepolisian yang berakhir dengan (sidang) etik. Etik ini kan konteksnya pengawasan internal, sedangkan salah satu perdebatan kita tentang reformasi polisi adalah pengawasan eksternal," kata Erasmus, Rabu (5/10/2022).

Abuse of power telanjur menjadi pola. Rekam jejak Polri selama ini menunjukkan, pola akan terus berulang selama tidak ada tindakan untuk mengawasi kinerja mereka.

"Jadi kalau ada pertanyaan apakah ini akan terulang, itu sudah bukan lagi akan, tapi sudah terulang. Dan kenapa terulang? Karena tidak ada pengawasan," kata Erasmus. 

Militerisme di kepolisian

Masih kuatnya kultur militerisme dalam tubuh Polri yang terlihat dalam metode penegakan hukum yang mengutamakan pendekatan kekerasan dalam menanggulangi kejahatan, seperti penyiksaan, penggunaan kekerasan secara berlebihan, dan lain sebagainya.

Melihat sejarahnya, Polri telah menjadi bagian dari ABRI selama 32 tahun. Penyatuan pada 1962 ini atas dasar demi menghadapi berbagai ancaman integritas nasional.

Polri pun mengadopsi cara-cara militeristik dalam menegakkan hukum dan menghadapi warga sipil. Meski akhirnya Dwifungsi ABRI tak lagi diterapkan, tetapi kultur militerisme masih mengakar di kepolisian.

Secara formal, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia mengidentifikasi Polri sebagai alat keamanan negara dan pelindung masyarakat.

Diterbitkannya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelesaian Tugas Polri menjadi salah satu keputusan baik.

Kendati demikian, dalam praktiknya pendekatan militerisme menjadi pilihan Polri untuk "mengayomi" warga negara. Hal ini terbukti dalam Tragedi Kanjuruhan.

Tragedi Kanjuruhan bukanlah tragedi sepak bola belaka. Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) LBH Pos Malang Daniel Alexander Siagian menyebut ini sebagai tragedi terhadap kemanusiaan.

"Pentingnya reformasi Polri sebagai salah satu upaya untuk menghapus belenggu kekerasan bahwa di tubuh aparat keamanan kita masih terjadi yang namanya bentuk-bentuk kekerasan yang semakin terlegitimasi melalui insiden Kanjuruhan ini,” kata Daniel dalam konferensi pers virtual Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Rabu (5/10/2022).


Mengukur presisi akuntabilitas Polri

Riset Kontras dan beberapa lembaga yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Polri, memerinci penyalahgunaan kewenangan Polri, baik berupa kekerasan, pelanggaran HAM, korupsi, serta keterlibatan polisi dalam praktik mafia hukum.

Mereka menilai, struktur Polri selama ini masih unitaris. Artinya, tidak ada mekanisme akuntabilitas berlapis yang beragam, yang merupakan ciri penting dari kebijakan demokratis.

Hal ini tercermin dari ditetapkannya enam tersangka mulai dari panitia pelaksana dan anggota kepolisian.

Tiga anggota kepolisian yang menjadi tersangka yakni Kabagops Polres Malang, anggota Brimob Polda Jatim, dan Kasat Samapta Polres Malang. Sebelumnya, Kapolres Malang dan sejumlah komandan Brimob dicopot.

Kendati demikian, tindakan itu tidak cukup untuk mencegah terulangnya tragedi kemanusiaan di masa depan. Seperti dijelaskan sebelumnya, kekerasan sudah menjadi pola. Bukan sekadar dilakukan dua atau tiga orang yang seolah apes karena ketahuan.

Sejumlah pamflet tuntutan untuk mengusut tuntas ini yang diletakkan diatas taburan bunga pasca tragedi yang terjadi pada pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 seusai pertandingan bertajuk Derbi Jawa Timur, Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Monumen Stadion Kanjuruhan Kepanjen, Kabupaten Malang, Kamis (6/10/2022) siang.
KOMPAS.com/SUCI RAHAYU
Sejumlah pamflet tuntutan untuk mengusut tuntas ini yang diletakkan diatas taburan bunga pasca tragedi yang terjadi pada pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 seusai pertandingan bertajuk Derbi Jawa Timur, Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Monumen Stadion Kanjuruhan Kepanjen, Kabupaten Malang, Kamis (6/10/2022) siang.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid melalui siaran persnya menilai, penyebab jatuhnya korban dalam tragedi Kanjuruhan adalah penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi.

"Akuntabilitas negara benar-benar diuji dalam kasus ini. Oleh karena itu, kami mendesak negara untuk menyelidiki secara menyeluruh, transparan dan independen atas dugaan penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan oleh aparat keamanan serta mengevaluasi prosedur keamanan dalam acara yang melibatkan ribuan orang," ujar Usman.

Reformasi kelembagaan perlu dimulai dengan memperbaiki profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas kepolisian. Selama kepolisian masih berada langsung di bawah eksekutif, sulit memantau tendensi dan potensi pelanggaran serta penyalahgunaan wewenang.

Erasmus berpendapat, perlu ada evaluasi terkait ranah atau kewenangan Polri yang dinilai sangat luas. Dia juga berpandangan, mekanisme pengawasan yang selama ini dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) belum maksimal.

"Ranah kepolisian ini kan terlalu luas. Dia mengurusi lalu-lintas, reskrim, keamanan, ketertiban, dan lain-lain. Nah itu perlu dievaluasi. Apakah kewenangan yang sangat luas itu sudah tepat dipegang oleh satu institusi? Karena itu sangat berkaitan," kata Erasmus.

Antara citra dan arogansi

Tragedi Kanjurahan dinilai semakin menurunkan kepercayaan publik kepada Polri. Apalagi, sebelumnya publik banyak dipertontonkan kebohongan dan manipulasi dalam kasus pembunuhan berencana yang menjerat eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Ferdy Sambo sebagai tersangka.

"Kepercayaan publik kepada kepolisian belum pulih dengan kasus Sambo kemarin yang prosesnya sampai sekarang tertunda-tunda. Sekarang tertumpuk dengan kasus Kanjuruhan ini," ujar pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto.

Bambang menilai, Polri lamban dalam menangani kasus yang menewaskan ratusan suporter Arema FC. Menurut dia, semestinya Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta juga perlu secepatnya dicopot.

"Tampak ketegasan itu tajam ke bawah tumpul ke atas karena Kapolda Jawa Timur sampai saat ini belum dinonaktifkan. Event sebesar di Kanjurahan kemarin tidak mungkin tidak sepengetahuan Kapolda, karena para personel yang melakukan penjagaan kan lintas satuan," ujar Bambang.

Ada upaya kepolisian untuk menjaga citra alih-alih berbenah diri. Hal ini terbukti ketika masyarakat tengah menuntut pengusutan tuntas tragedi Kanjuruhan, Humas Polri mengadakan lomba menulis artikel soal apresiasi kinerja Polri.

Meski akhirnya lomba dibatalkan karena mendapat kritik, tetapi ini cukup membuktikan sikap defensif Polri ketika institusinya tengah dimintai tanggung jawab atas penembakan gas air mata.

"Artinya tidak ada nilai-nilai dari kritik itu yang diserap untuk perbaikan Polri. Memang Polri tidak ofensif lagi pada kritik, tetapi masih defensif," ujar Bambang.

Kendati demikian, upaya membangun citra sia-sia belaka jika dalam praktiknya arogansi aparat masih berlebihan. "Yang dibutuhkan kepolisian saat ini adalah sinergi dan kolaborasi dengan semua elemen-elemen progresif untuk membangun Polri," ujar Bambang.

[Klik gambar untuk melihat infografik di bawah ini]

5 Tragedi Terburuk dalam Ranah Sepak Bola Dunia

Langkah cepat Kapolri

Kapolri Jenderal (Polisi) Listyo Sigit Prabowo segera mengambil langkah agar tidak terjadi krisis kepercayaan terhadap institusinya. Sigit mendatangi sejumlah korban Tragedi Kanjuruhan di Malang, dan berjanji akan segera mengusut tuntas, seperti permintaan para Aremania.

Hasil penyelidikan kemudian diumumkan dalam waktu kurang dari sebulan. Kapolri pun mengumumkan ada tiga polisi yang menjadi tersangka terkait duka di Kanjuruhan. Mereka adalah Kepala Bagian Operasi Polres Malang WSS, Deputi 3 Komandan Batalyon Brimob Polda Jawa Timur H, serta Kepala Satuan Samapta Polres Malang BSA.

H dan BSA, menurut Sigit, menembakkan gas air mata ke arah tribune. Sedangkan, WSS menjadi atasan yang dianggap bertanggung jawab atas penembakan gas air mata.

"(WSS) melanggar Pasal 359 atau 360 KUHP. Yang bersangkutan mengetahui aturan FIFA tentang penggunaan gas air mata. Namun tidak mencegah atau melarang pemakaian gas air mata dan tidak melakukan pengecekan langsung mengenai perlengkapan yang dibawa personel," kata Sigit, dalam jumpa pers, Kamis (6/10/2022).

Untuk mencegah terjadinya kembali kekerasan polisi dalam pengamanan sepak bola, Kapolri akan merilis peraturan kapolri (perkap) terkait manajemen pengamanan kompetisi.

Tidak hanya itu, perkap juga dibutuhkan mengingat Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Dengan demikian, evaluasi dan perbaikan diperlukan untuk menyusun memperbarui aturan-aturan sebelumnya.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa hingga kini belum ada tanggung jawab dari perwira berbintang. Begitu pula soal permintaan maaf dari kepolisian atas penembakan gas air mata yang diduga membunuh 131 suporter Aremania.

Melihat sikap tersebut, kutipan orasi pejuang HAM, Munir Said Thalib, dalam intro "Rima Ababil" yang dilantunkan Homicide seolah menjadi wajah Polri, jika tak segera melakukan perubahan.

"Mereka berebut kuasa, mereka menenteng senjata, mereka menembak rakyat, tapi kemudian bersembunyi di balik ketek kekuasaan..."