Ribuan tokoh dan pakar ekonomi akan berkumpul di Bali untuk pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia, belum lagi wartawan peliput, rombongan delegasi, dan pelaku bisnis. Apa yang bisa diharap dari itu?
JAUH-JAUH hari, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde mengaku punya rencana berlibur di Indonesia pada Oktober 2018. Bukan tanpa angin dan hujan rencana itu dilontarkan.
Pada 8-14 Oktober 2018, IMF dan Bank Dunia akan menggelar pertemuan tahunan di Bali. Pertemuan tersebut diperkirakan bakal dihadiri 15.000 tokoh dan pakar ekonomi—termasuk menteri dan regulator ekonomi beragam negara—serta delegasi dan wartawan peliput.
"Segera setelah pekerjaan saya di Bali selesai, saya ingin menyelam, karena saya penyelam dan saya sangat menyukai dunia bawah laut Indonesia," kata Lagarde.
Pernyataan itu diungkap antara lain dalam video wawancara khusus Lagarde yang diunggah Bank Indonesia, terkait agenda pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali. Rencana "piknik" di luar agenda pekerjaannya itu disebut Lagarde mulai menit 5:25 dalam video dimaksud seperti berikut ini.
Sebagai "yang punya hajat", bisa jadi Lagarde membuka rencana itu sebagai bagian dari woro-woro untuk mengumandangkan forum ekonomi sejagad tersebut.
Baca juga: Apa Saja yang Akan Dibahas saat IMF-World Bank Annual Meeting 2018?
Namun, bukan hal aneh bila tamu dari beragam negara punya keinginan sekalian berlibur di Pulau Dewata dan sekitarnya, bahkan ke wilayah lain di Indonesia. Bukan rahasia bila Bali sudah kerap disebut sebagai tujuan utama wisata dunia, meski kadang "nahasnya" adalah orang lebih kenal Bali daripada Indonesia.
Namun, dalam perjalanan waktu menjelang jadwal pertemuan tahunan tersebut, sejumlah peristiwa terjadi. Sebut saja, letusan Gunung Agung di Bali dan rentetan gempa besar di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang guncangannya pun terasa hingga ke Bali.
Akankah proyeksi peluang yang didapat Indonesia dari kesempatan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia ini berubah karenanya? Lalu, peluang apa sebenarnya yang dapat diharapkan dan disasar dari acara yang biaya penyelenggarannya ditaksir mencapai tak kurang dari Rp 855,5 miliar tersebut?
JEO ini akan mengupas perspektif peluang dan tantangan itu dalam navigasi:
PARIWISATA pada tahun-tahun ini harus diakui merupakan sandaran harapan bagi Indonesia untuk mendulang pendapatan negara dan mendorong perekonomian rakyat, di tengah dinamika perekonomian global yang menyodorkan sejumlah tantangan.
Bali, tentu saja adalah andalan utama. Namun, pada 2016 pemerintah juga memunculkan 10 destinasi yang diharapkan menjadi "Bali baru", meski kemudian dipertajam menjadi empat prioritas pada pengujung 2017.
Neraca Satelit Pariwisata Nasional 2017 yang dilansir Kementerian Pariwisata menyebut, sektor pariwisata menyumbang 10 persen pendapatan domestik bruto (PDB) dunia pada 2016. Angka itu merujuk laporan World Travel and Tourism Council (WTTC).
Lapangan kerja yang tercipta dari sektor ini pun disebut masuk 10 besar dunia, berdasarkan data UNWTO. Lalu, jumlah kunjungan wisatawan internasional ditaksir tumbuh 3,3 persen per tahun, dan pada 2030 diperkirakan mencapai 1,8 miliar.
Adapun Indonesia, hingga akhir 2017 mencatatkan 14,04 juta kunjungan wisatawan mancanegara, seturut data Badan Pusat Statistik (BPS). Angka itu naik 21,88 persen dibandingkan pada 2016 yang tercatat 11,52 juta kunjungan.
Meski ada lonjakan signifikan, angka di atas tentu masih seujung kuku dibandingkan angka total proyeksi wisatawan global pada 2030. Sudah begitu, wisata Indonesia pun masih terlalu lekat pada Bali, sementara keelokan negeri ini terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Tabel data dari BPS ini sedikit banyak memperlihatkan sebaran wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia.
Tak kurang dari Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, pun menyebut, pemerintah menargetkan sektor pariwisata pada 2024 dapat mendatangkan devisa senilai 30 miliar dollar AS.
Menurut Mirza, mendapatkan devisa dari sektor pariwisata adalah pilihan paling realistis dan efektif untuk saat ini dibandingkan sektor lain. Namun, ekspektasi itu tak punya pilihan cara untuk terwujud selain mendorong sebanyak mungkin wisatawan mancanegara datang berkunjung ke Indonesia.
Baca juga: BI: Tingkatkan Devisa Paling Mudah Lewat Industri Pariwisata
Mirza menambahkan, saat ini devisa hasil ekspor (DHE) sudah mencapai 90 persen target tetapi devisa yang ditargetkan masuk masih kurang sekitar 25 miliar dollar AS.
"(Target devisa dari sektor pariwisata pada 2024) itu sangat realistis, ditambah lagi orang kita murah senyum," ujar Mirza, di Magelang, Jawa Tengah, Kamis (30/8/2018).
Mirza pun menyebutkan sederet angka kinerja pariwisata Thailand dan Turki sebagai gambaran peluang pariwisata Indonesia yang masih harus terus digali dan didorong. Indonesia dibandingkan kedua negara itu, tegas dia, punya wilayah lebih luas, ragam kuliner lebih banyak, dan budaya yang lebih beragam.
Di sini, pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia yang digelar di Bali pada medio Oktober 2018 mendapatkan konteks yang relevan dengan kondisi dan sasaran perekonomian Indonesia. Seperti apa penjelasannya?
PELUANG sektor pariwisata untuk menopang perekonomian nasional tentu saja butuh strategi dan kondisi awal yang mampu memikat wisatawan mancanegara datang. Katakanlah potensi alam sudah menjadi berkah yang disediakan semesta, akses serta akomodasi bagi para pelancong merupakan tantangan yang harus berjawab.
Kalaupun akses dan akomodasi sudah terbangun dan atau tersedia, dunia juga perlu mendapat kabar tentang destinasi yang sayang buat dilewatkan oleh para wisatawan global. Informasi lain seperti soal kondisi keamanan dan politik nasional yang kondusif untuk orang datang juga sama pentingnya.
Di sinilah tuah pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali mendapatkan sandaran harapan, selain dampak ekonomi langsung dari kehadiran 15.000-an tamu di lokasi acara.
Seperti yang disampaikan Lagarde dalam video wawancara khusus Bank Indonesia, daftar undangan dan peserta pertemuan tahunan pun mencakup para pelaku bisnis, investor, dan penakar risiko. Peliputan media dia yakini juga bakal luar biasa.
"Jadi, selama beberapa hari, Indonesia akan menjadi pusat keuangan dan dapat menampilkan keberhasilan (Indonesia)," kata Lagarde dalam video dimaksud.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono kepada Kompas.com pada Rabu (8/8/2018) mengungkapkan, hitungan komprehensif atas dampak pertemuan ini masih dihitung di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Namun, kata Susiwijono, hitung-hitungan kasar sudah mendapati Indonesia akan mendapatkan pemasukan melebihi pengeluaran biaya penyelenggaraan.
"Hitung-hitungan itu, paling sedikit, kita bisa dapat 110-130 juta dollar AS dari spending tamu saja. Belum yang ke destinasi wisata dan dampak jangka menengah-panjangnya," kata Susiwijono.
Baca juga: Pertemuan IMF-World Bank, Indonesia akan Balik Modal 130 Juta Dollar AS Lebih
Untuk 2018, diyakini kontribusinya tetap ada. Mengingat, biasanya pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV sebagaimana waktu hajatan ini hanya mengandalkan libur Natal dan Tahun Baru.
Bagaimana dengan dampak sejumlah peristiwa seperti letusan Gunung Agung dan rentetan gempa di Lombok, NTB, yang terasa hingga Bali?
Pemerintah berkeyakinan kedua hal tersebut tidak berdampak pada penyelenggaraan pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia. Letusan Gunung Agung memang harus diakui sempat membuat penurunan tingkat kunjungan karena banyak penerbangan dibatalkan untuk menghindari risiko dari abu letusan.
Data BPS Bali memperlihatkan tingkat kunjungan wisatawan mancanegara ke provinsi ini pada Juni 2018—setelah letusan Gunung Agung—tercatat tumbuh 8,02 persen dibandingkan setahun sebelumnya dan tumbuh 3,03 dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Juni 2018, tercatat 544.550 wisatawan mancanegara bertandang.
Tingkat penghunian kamar (TPK) hotel bintang di provinsi ini per Juni 2018 pun menurut BPS Provinsi Bali mencapai 70,32 persen, tumbuh 3,6 persen dibandingkan setahun lalu. Walaupun, TPK hotel bintang non-bintang di sini pada periode yang sama diakui turun 4,14 persen dibandingkan setahun sebelumnya, dengan capaian 32,55 persen.
Hotel Santika Seminyak, misalnya, bahkan menyebut TPK-nya tak terdampak rentetan gempa dari Lombok, NTB, pada Agustus 2018.
"Tingkat okupansi bulan ini di kisaran 80 persen," ujar GM Hotel Santika Seminyak, Sukardi, Jumat (31/8/2018).
Adapun untuk Lombok, tak dapat dimungkiri dampak gempa masih terasa pada denyut perekonomian setempat. Itu pun, masih ada juga wisatawan mancanegara datang. Tamu yang menginap di hotel juga masih ada, sekalipun diakui berkurang banyak.
"Okupansi bulan ini di hotel kami masih sekitar 29 persen. Biasanya di atas 70 persen," ujar GM Hotel Santika Lombok, Reza Bovier, Jumat.
Baca juga: Gempa Lombok Tak Pengaruhi Persiapan Pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali
Tentu saja banyak hal akan kembali pada Indonesia sebagai tuan rumah. Bahkan bila dampak musibah tak terelakkan masih terasa, peliputan atas hajatan tahunan IMF-Bank Dunia ini semestinya juga dapat menjadi peluang menyorot beragam potensi besar Indonesia.
Bahwa Indonesia berada di atas cincin api—lempeng bumi dan gunung api aktif—tak akan dapat diubah. Pembedanya adalah pemahaman atas kondisi tersebut untuk kemudian penyikapan yang tepat, taktis, dan strategis. Sekali lagi, fokus ekonomi dunia akan mengarah ke Indonesia.
Bagi pemerintah, penanganan dan mitigasi berkelanjutan atas kondisi Indonesia adalah tantangan, termasuk soal pelibatan masyarakat setempat dengan kearifan lokalnya.
Hanya bila segenap daya upaya dari dalam negeri dapat bersambut dengan ekspektasi logika ekonomi global tanpa perlu juga menabrak kearifan lokal, rasanya tuah dari pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia pun niscaya mewujud.
Voyage Bali!!