JEO - Peristiwa

Menantang Maut di Lubang Tambang

Jumat, 3 Februari 2023 | 21:21 WIB

Pertambangan emas skala kecil maupun besar dinilai telah menyumbang kerusakan lingkungan di sejumlah kabupaten, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Pelepasan residu merkuri dari proses pemurnian emas mencemari sawah, sungai, dan laut. Tidak hanya lingkungan, penggunaan merkuri juga berdampak buruk pada kesehatan manusia, bahkan menyebabkan kematian.

Namun, ribuan warga NTB bergantung hidup pada sektor pertambangan emas skala kecil (PESK). Pemerintah diminta membenahi tata kelola pemberian izin usaha pertambangan, termasuk pelarangan penggunaan merkuri.


MATAHARI baru saja terbit ketika Dodo (36) terbangun dari tidurnya. Ia bergegas menyiapkan peralatan kerja dan perlengkapan untuk mendaki.

Setelah peralatannya siap, ia mengenakan sepatu bot. Jarak dari rumahnya ke lokasi bekerja sekitar 60 kilometer melewati pegunungan. 

"Kalau mau naik gunung peralatan dan bekal harus lengkap," kata Dodo, Sabtu (3/10/2022).

Sudah belasan tahun Dodo bekerja sebagai penambang emas. Meski statusnya ilegal, masyarakat seperti Dodo tak gentar bertaruh nyawa, apa pun dilakukan agar bisa mencari nafkah.

Biaya hidup sehari-hari yang kian tinggi membuat Dodo tak memiliki pilihan lain untuk menyambung hidup. Ia hanya lulusan sekolah menengah pertama (SMP).

Lubang tempat Dodo menambang berada di Dusun Lekong Atas, Desa Lekong, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Lokasi yang disebut tana kali itu tergolong baru bagi para penambang. Letaknya berbatasan langsung dengan Gunung Rengganis di Kecamatan Alas.

Dari pekerjaan mencari bebatuan yang mengandung logam mulia ia bisa menafkahi istri dan anaknya.

"Jika musim kemarau seperti sekarang, tidak ada penghasilan lain, hanya tambang emas tempat saya mengais rezeki," ucapnya sambil menghela napas panjang.

Selain tana kali, ada juga lokasi lubang tambang rakyat Desa Lekong yang menghasilkan puluhan ons emas sekitar tahun 2010 hingga 2019. Lokasi itu terkenal dengan sebutan blok Unter Songkok.

Seorang penambang bernama Mamek (50), mendapat ratusan juta rupiah dari lubang itu. Ia menjadi orang kaya baru di Desa Lekong.

Kala itu ratusan tenda penambang berdiri di Unter Songkok. Para penambang tidak hanya masyarakat setempat. Ada juga penambang dari Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, dan wilayah lainnya.

Lubang galian di Unter Songkok mencapai kedalaman 300 sampai 700 meter. Selain menelan biaya ratusan juta, pengerjaan lubang emas itu juga mempertaruhkan nyawa.

Dodo tidak bisa lagi menambang di Unter Songkok. Ia tak berani menambang di lokasi itu dengan peralatan seadanya.

Lantas, Dodo dan penambang lain mencari lokasi baru di tana kali. Letaknya 20 kilometer lebih jauh dari Unter Songkok. Kini, sudah tiga tahun Dodo menambang di tana kali.

Perjalanan ke lokasi tambang ditempuh kira-kira 2 sampai 3 jam dengan berjalan kaki, melewati area persawahan, kebun, ladang dan menyeberangi sungai.

Deretan pohon tinggi menjulang, sinar matahari menyeruak di antara dedaunan. "Beruntung selama jalan kaki menuju lokasi tambang, kita tidak akan merasa kepanasan," kata Dodo.

Perjalanan kian menantang ketika melewati bukit dengan jurang di kanan dan kiri. Jika turun hujan, tanjakan terjal dengan kemiringan 90 derajat menjadi berlumpur.

Hari itu, Dodo berangkat dengan tiga rekannya, Wahab, Amir, dan Saparudin. Mereka sudah terbiasa dengan rutinitas itu dan sangat menikmati kesejukan di tengah hutan.

Hujan yang turun sehari sebelumnya membuat aroma tanah basah menguar. Mereka tampak menikmati perjalanan, sesekali berhenti untuk mengisap rokok.

Sepintas, tidak ada rasa lelah yang terpancar dari wajah mereka. Sembari bercengkerama, mereka melanjutkan perjalanan.

"Kalau hujan turun, kita kesulitan menanjak bukit. Makanya harus pakai sepatu bot, apalagi jika pulang nanti memikul batu di bahu," ujar Dodo.

Para penambang saling menyapa saat bertemu di jalan.
KOMPAS.com/Susi Gustiana
Para penambang saling menyapa saat bertemu di jalan.

Ada dua rute alternatif menuju lokasi blok tana kali, yakni mengikuti arus sungai atau area hutan jati milik warga. Akan tetapi kedua alternatif itu tetap melewati bukit terjal.

Tidak mudah untuk melewati hutan jati karena banyak pohon berduri. Penambang harus membawa parang sambil memangkas duri dari tanaman liar dan semak belukar.

"Kami lebih memilih menyusuri sungai, saat mendekati lokasi naik lagi di tanjakan. Jalur ini lebih mudah daripada lewat hutan jati karena tanjakannya lurus dan terjal, cukup sulit untuk dilewati," kata Amir.

Setelah mendaki sekitar 40 menit, suara mesin genset terdengar. Lokasi lubang tambang emas mulai terlihat.

Belasan tenda terpal berwarna biru berdiri di sekitar lubang. Para teknisi duduk menikmati segelas kopi di bawah pohon.

Dari puncak tana kali, pemandangan Pelabuhan Poto Tano dan lautan biru terlihat jelas di sebelah Barat.

Di sebelah timur, tampak Pelabuhan Alas. Sementara di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Desa Rarak Ronges, Kabupaten Sumbawa Barat.

Sebelum masuk ke lubang galian, para teknisi menyalakan blower selama 10 hingga 30 menit. Blower adalah kipas angin yang tersambung dengan pipa hingga ke bawah lubang berkedalaman lebih dari 45 meter.

Ada tiga blower yang terpasang di rangkaian pipa. Alat itu berfungsi melancarkan sirkulasi dan membersihkan udara.

"Agar kami tidak keracunan zat asam saat bernapas di dalam lubang," ucap Ujang.

Penambang asal Jawa Barat itu sudah puluhan tahun bertaruh nyawa demi segenggam emas. Ia bertugas sebagai teknisi senior.

Menurut Dodo, teknisi yang berasal dari luar NTB memiliki pengalaman dan keahlian yang lebih dibandingkan penambang lokal.

"Kita penambang lokal, tidak punya keahlian menambang emas dengan kedalaman sumur melebihi 100 meter. Kita hanya terbiasa mengambil batu," jelas Dodo.

Setelah udara dalam lubang dirasa aman, Dodo menyiapkan jack hammer, alat yang biasa digunakan untuk memperbaiki aspal jalan raya.

Alat tersebut dimasukkan ke dalam karung. Setelah itu, karung diikat dan diturunkan sampai ke dasar sumur. Alat itu digunakan untuk membuka jalur dan menambang batu.

Dodo bersama tiga teknisi lainnya mulai mengambil langkah. Berbekal senter di kepala, Dodo masuk ke sumur dengan kedalaman 45 meter itu. Ia mulai menuruni tangga yang terbuat dari kayu.

"Kami akan berbaris di dalam sumur itu, tapi ada dua yang aktif kerja, sementara dua lagi bersiaga membantu dan menggantikan posisi temannya jika sudah lelah," kata Dodo.

Dodo menganalogikan luas lubang seperti terpal. Terpal yang menjadi atap bagi mereka berteduh merupakan simbol luasnya lubang galian.

"Semakin panjang terpal, maka semakin luas pula wilayah kekuasaan mereka dalam melubang," ucapnya.

Setelah 4 jam bekerja, mereka naik. Selanjutnya, pekerjaan akan dilanjutkan oleh teknisi lain.

"Lubang ini kami garap saat pandemi. Makanya jika dihitung sampai 2022 sudah tiga tahun lamanya," kata Dodo.

Seorang penambang membawa pembekalan makanan mingguan dari kampung menuju lokasi lubang tambang di atas gunung.
KOMPAS.com/Susi Gustiana
Seorang penambang membawa pembekalan makanan mingguan dari kampung menuju lokasi lubang tambang di atas gunung.

Kemudian, bongkahan batu bercampur sedikit tanah dibawa ke perkampungan dengan menggunakan karung.

Penambang harus menyewa kuda untuk mengangkut batu. Biaya sewa untuk per satu karung berukuran 2,5 kilogram adalah Rp 100.000. Jika ada 50 karung, maka total biaya sewa kuda mencapai Rp 5 juta.

"Kuda bisa naik sampai puncak hingga mendekati lokasi sumur lubang. Kami tidak bisa bawah sendiri batu itu karena jumlah puluhan sampai ratusan karung," tutur dia.

Saat berkarung-karung batu sudah tiba di samping rumah, Dodo memecahkannya menjadi ukuran kecil dengan palu. Kadang ia juga menggunakan mesin pemecah batu, tapi lebih sering menggunakan palu.

Setelah itu, ia memasukkan pecahan batu ke dalam gelondong, mesin pemisah emas dengan bebatuan. Proses penggilingan memakan waktu 3 sampai 5 jam.

Tidak semua penambang di Desa Lekong memiliki gelondong. Ada juga warga yang tidak masuk kelompok penambang tetapi datang sesekali meminta batu kepada penambang yang mempunyai lubang.

Dalam tradisi masyarakat Sumbawa, hal itu disebut ngeloyong. Masyarakat yang ngeloyong ini tetap memerlukan gelondong.

"Kalau yang ngeloyong tidak gunakan gelondong dan merkuri, bagaimana cara ambil emas itu?" ucap Dodo.

Merkuri menjadi salah satu bahan yang digunakan para penambang. Padahal penggunaan merkuri dilarang karena berbahaya.

Di Pulau Sumbawa, merkuri diperdagangkan secara gelap. Maraknya penggunaan merkuri dipicu oleh kepercayaan para penambang tradisional.

Mereka meyakini merkuri akan membuat hasil emas lebih banyak saat proses pengelolaan hingga pemurnian.

Mitosnya, penggunaan merkuri bisa menghasilkan emas dua kali lipat. Penambangan emas skala kecil biasanya membutuhkan 2 sampai 3 gram merkuri per satu mata gelondong.

Menurut Dodo, merkuri tetap digunakan karena proses pemurnian emas lebih cepat. Pengelolaan emas lazimnya dengan gelondong, tong dan perendaman, namun prosesnya lebih lambat ketimbang memakai merkuri.

"Kita bisa cepat dapat uang dari penjualan emas ke pengepul, hanya hitungan jam," ujar Dodo. 

Dodo menuturkan, dari hasil 50 karung material bebatuan dalam seminggu, dia bisa memperoleh Rp 11 juta.

Uang itu hampir habis, Rp 5 juta untuk membayar sewa kuda, Rp 5 juta lagi dibelikan solar, beras, rokok, dan sembako.

Berdasarkan regulasi, pada 2025, pertambangan emas skala kecil tidak bisa lagi mengunakan merkuri dalam proses pengelolaan. Babinsa akan aktif melakukan penindakan.

Jika merkuri sudah tidak bisa digunakan, Dodo mengusulkan agar penambang dan pemilik kuda duduk bersama mencari jalan keluar.

Menurut dia, sebaiknya pembayaran untuk sewa kuda tidak per hari, melainkan setelah hasil emas diketahui dari hasil proses menggunakan tong atau perendaman.

"Modal untuk pengadaan tong bisa diambil dari koperasi seperti dijelaskan oleh tim dari Dinas Lingkungan Hidup di kantor desa. Simpan pinjam di koperasi bisa jadi modal kami," imbuh Dodo.

Beberapa lokasi yang menggunakan sistem perendaman bisa ditemukan di Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, serta di Desa Lantung dan Labaong, Kabupaten Sumbawa.

"Kami sudah sering coba sistem perendaman dan tong di Sumbawa Barat meski biayanya sekitar Rp 5 juta lebih, tapi hasilnya bagus," ucap Dodo.

Ibu-ibu melihat proses pemecahan batu di lokasi gelondong, Dusun Lekong Atas, Desa Lekong, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Gelondong ini terletak di pinggir sungai. Bak penampungan lumpur sisa penggilingan yang mengandung raksa belum representatif.
KOMPAS.com/Susi Gustiana
Ibu-ibu melihat proses pemecahan batu di lokasi gelondong, Dusun Lekong Atas, Desa Lekong, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Gelondong ini terletak di pinggir sungai. Bak penampungan lumpur sisa penggilingan yang mengandung raksa belum representatif.

Bahaya Merkuri

Merkuri pernah membuat gempar karena kasus pembuangan ke Teluk Minamata di Kumamoto, Jepang, pada 1940-an.

Dampak dari pembuangan merkuri baru terasa satu dekade kemudian. Ikan-ikan menjadi beracun dan tidak dapat dikonsumsi. Selanjutnya terjadi mutasi genetik yang menyebabkan 10.000 orang meninggal atau cacat permanen.

"Kami sudah dapat informasi saat sosialisasi di kantor desa terkait bahaya merkuri bagi kesehatan," sebut Dodo.

Limbah merkuri dari tambang emas skala kecil ini telah merusak lingkungan karena limbahnya mencemari sawah, sungai, dan laut.

Dodo menyadari bahaya merkuri bagi kesehatan, namun saat ini tak ada pilihan. Musim kemarau membuatnya tak bisa menjadi petani di sawah.

Dampak penggunaan merkuri terhadap tubuh manusia dapat berisiko serius bagi kesehatan, antara lain kerusakan sistem saraf pusat, ginjal, paru-paru, hati, kerusakan gastrointestinal, dan sistem pencernaan bakteri.

Sementara dampak jangka panjang yang bisa terjadi pada bayi yakni, cacat mental, kebutaan, cerebral palsy atau gangguan gerakan otot, gangguan pertumbuhan, dan meningkatnya kerusakan otak.

"Karena masalah keselamatan, istri sudah tidak izinkan saya mencari nafkah lewat tambang," kata Sahabuddin (29), warga yang pernah menjadi penambang.

Padahal, dari hasil tambang pada tahun 2010 hingga 2018 ia bisa membeli sepeda motor seharga Rp 25 juta dan barang-barang tersier lainnya.

Sahabuddin pernah menjadi penambang hingga di Manado dan Ternate. Namun ibu dan istrinya sering khawatir tiap kali ia naik gunung menuju lokasi tambang.

Kini Sahabuddin banting setir. Ia menjadi buruh bangunan dan kerja serabutan lainnya untuk menyambung hidup dan menafkahi keluarga kecilnya.

"Saya punya anak berumur 3 bulan, tentu rentan jika saya jadi penambang lagi. Saya off dulu, takut berdampak pada kesehatan anak," tutur dia.

Beratnya perjuangan menjadi penambang harus dibayar nyawa oleh Edi (36) dan Peco (34).  Dua bersaudara itu meninggal gara-gara menghirup racun asam saat masuk ke dalam lubang tambang pada Juli 2019 lalu.

Peristiwa itu berawal saat Edi masuk ke lubang tambang untuk mengambil blower. Namun mereka tidak menetralkan sirkulasi udara sebelum masuk lubang, padahal lubang itu sudah dua minggu lebih tidak dikerjakan.

Edi yang tak sabar menunggu, langsung masuk ke kedalaman 4 meter. Kemudian ia naik kembali ke permukaan karena aroma asam cukup kuat.

Selang 15 menit, ia masuk kembali. Sekitar 10 menit kemudian, ia berteriak minta tolong.

Peco yang mendengar suara Edi akhirnya masuk ke lubang, namun ia terjatuh dari tangga sebelum bisa menyelamatkan sang kakak.

"Nahas mereka meninggal dunia karena keracunan di dalam lubang," kata Dodo.

Lubang tambang yang sudah tidak dipakai lagi, ditinggalkan begitu saja oleh penambang.
KOMPAS.com/Susi Gustiana
Lubang tambang yang sudah tidak dipakai lagi, ditinggalkan begitu saja oleh penambang.

Formalisasi Tambang Rakyat

Pertambangan emas skala kecil dinilai telah menyumbang kerusakan lingkungan melalui pelepasan residu merkuri dari aktivitas pengelolaan dan pemurnian.

Limbah dari proses pengolahan mineral dari gelondong dan tong belum terkelola dengan baik dan terlepas begitu saja ke lingkungan sekitar. Selain itu, pada proses pemurnian emas juga melepas emisi merkuri ke udara.

Menurut fungsional Pengendali Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sumbawa Aryan Perdana Putra, saat ini ada 4.160 mata gelondong yang terdapat di 11 kecamatan dari 24 kecamatan di Sumbawa.

"Dari data itu, sudah berapa ton residu merkuri yang terlepas ke lingkungan," kata Aryan.

Aryan menuturkan, pemerintah daerah sudah berupaya meminimalisasi pertambangan tanpa izin yang berimbas pada rusaknya lingkungan. Menurut Aryan, Pemkab Sumbawa sudah mengimbau agar penambang menangguhkan aktivitas pertambangan emas skala kecil (PESK).

"Kalau sekarang kita sebutnya pertambangan emas skala kecil kalau dulu disebut pertambangan emas tanpa izin (PETI)," sebut Aryan.

Ia mengatakan, Pemkab Sumbawa berupaya agar PESK dapat menjadi legal, asalkan memenuhi persyaratan yang diajukan pemerintah. Ini sebagai upaya untuk mengurangi merkuri.

Lebih lanjut, kata Aryan, dari total 176 lubang tambang, Pemkab Sumbawa sedang mendorong formalisasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dengan mengusulkan 17 blok ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Kami sedang berjuang untuk mendapatkan izin WPR dulu, jika sudah ada itu maka kita bisa melakukan percontohan pembinaan di 4 koperasi," ucap Aryan.

Koperasi-koperasi yang dibentuk bisa mengajukan Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR). Selain itu, para penambang akan diberikan pelatihan untuk alih teknologi.

Hal ini menjadi bagian dari implementasi Peraturan Bupati Sumbawa Nomor 57 tahun 2022 tentang Rencana Aksi Daerah Pengurangan dan Penghapusan Mercuri (RADPPM).

Regulasi ini sejalan dengan peraturan presiden Perpres Nomor 21 tahun 2019 tentang rencana aksi nasional pengurangan dan penghapusan merkuri serta Peraturan Gubernur Nomor 64 tahun 2020.

Jika PESK sudah berhasil diformalisasikan, pemerintah bisa mengintervensi dalam pengelolaan mineral serta pengalihan teknologi yang ramah lingkungan.

Keberadaan PESK di Kabupaten Sumbawa terdapat di 11 Kecamatan diantaranya Kecamatan Lantung, Lape, Lenangguar, Moyo Hilir, Moyo Hulu, Lunyuk, Alas, Alas Barat, Maronge  hingga Empang.

Kegiatan penambangan terkait dengan titik lokasi atau lubang tambang. Lokasi yang lebih masif berada di Desa Lantung karena terdapat empat blok dan dua blok di Labaong, Desa Hijrah.

Kemudian di Kecamatan Lape dan Desa Lekong Kecamatan Alas Barat, di mana ada proses penambangan, pengelolaan, pemurnian, hingga marketing.

"Keberadaan PESK ini kalau sekarang semuanya ilegal, tetapi masyarakat kita menyambung hidup dari situ. Pemerintah tidak bisa lagi hanya represif atau melarang aktivitas itu tanpa solusi," tegas Aryan.

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sumbawa didukung UNDP Indonesia dalam program Gold ISMIA mengidentifikasi pertambangan emas skala kecil, seperti keterlibatan para pihak, jumlah titik lubang tambang, jumlah pengelolaan dalam pemurniaan, serta keterlibatan masyarakat yang diketahui lebih dari 3.000 orang.

Praktik ini sudah dilakukan di blok pertambangan rakyat Sekotong, Lombok Barat sejak 2019. Saat ini, kata Aryan, Pemkab berusaha agar proses pengelolaan dan pemurnian emas tak lagi menggunakan merkuri.

"Kita ketahui bahwa merkuri dampaknya sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan sehingga melalui program formalisasi ini kita ingin mengurangi penggunaan merkuri dalam proses pengelolaan sampai pemurnian emas," ujar Aryan.

Untuk itu, kampanye formalisasi terus digencarkan. Pemkab Sumbawa berjanji akan memformalisasi pertambangan asalkan memenuhi syarat.

Ada sejumlah dokumen perizinan yang harus dipenuhi oleh pelaku tambang rakyat berbadan hukum koperasi, antara lain lokasinya harus di lahan milik masyarakat bukan hutan lindung, dan sedang menunggu dokumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).

Dalam kajian itu, terdapat opsi menggunakan sianida untuk menggantikan merkuri. Sianida dapat menggantikan merkuri karena relatif lebih aman.

Sianida adalah bahan pengelolaan mineral emas dari proses pertambangan rakyat yang direkomendasikan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

"Bahkan dengan sianida proses mengikat emas bisa lebih banyak mencapai 90 derajat, berbeda dengan merkuri yang hanya 40 derajat," kata Kepala Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Teknologi Sumbawa, Dayat, Rabu (16/11/2022).

Batasi Izin Pertambangan

Kendati demikian, rencana Pemkab Sumbawa menerbitkan izin pertambangan emas skala kecil dinilai bakal memperparah kerusakan lingkungan.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB Amri Nuryadi mengatakan, kerusakan hutan terbesar disebabkan aktivitas pertambangan, baik legal maupun ilegal. Sementara, pengawasan dan penindakan serta penegakan hukum hampir tidak terdengar.

Amri menyampaikan, pencemaran lingkungan akibat merkuri sudah masif di Pulau Sumbawa. Itu terjadi akibat pengawasan pemerintah yang lemah.

Untuk itu, ia mengatakan, salah satu faktor yang mesti dibenahi adalah pembatasan izin usaha pertambangan. 

"Kami meminta kepada pemerintah untuk membatasi izin usaha pertambangan, baik korporasi maupun rakyat," kata Amri, Kamis (8/12/2022).

Amri menuturkan, salah satu sektor yang berkontribusi besar terhadap laju kerusakan lingkungan hidup adalah sektor ekstraktif.

Pertambangan beserta infrastruktur pendukungnya dibangun dalam kawasan hutan konservasi dengan konsesi atau Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari pemerintah.

Adapun jumlah izin usaha pertambangan (IUP) eks di NTB tercatat sebanyak 39: 36.698,44 hektar dan IUP Op sebanyak 216: 91.613,14 hektar.

Itu menyebabkan ancaman perusakan lingkungan di kawasan hutan, terutama oleh operasi tambang dan alih fungsi lahan dalam skala besar, baik di wilayah hutan maupun pesisir.

Selain pertambangan berizin, Walhi juga mencatat maraknya illegal mining atau pertambangan tanpa izin, di antaranya di Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Sumbawa Barat, dan kabupaten Sumbawa.

Dari hasil investigasi Walhi NTB pada 2020 tercatat luas kawasan hutan di NTB seluas 1,07 juta hektar. Sedangkan, lahan kritis dalam kawasan hutan di NTB telah mencapai 578.000 hektar.

Sedangkan sisanya mengalami ancaman atau berpotensi mengalami kerusakan kritis. Salah satunya karena pertambangan illegal.

"Artinya bahwa hampir 60 persen hutan di NTB sudah rusak parah dan perlu perhatian yang maksimal oleh pemerintah NTB," kata Amri.

Polisi memberikan imbauan di salah satu lokasi lubang tambang di Gunung Labaong, Desa Hijrah, Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa.
KOMPAS.com/Susi Gustiana
Polisi memberikan imbauan di salah satu lokasi lubang tambang di Gunung Labaong, Desa Hijrah, Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa.

Urgensi Demokratisasi SDA

Di sisi lain, menurut Amri, pemerintah harus melihat urgensi demokratisasi sumber daya alam (SDA). Keterlibatan penuh masyarakat dalam proses pembangunan harus tetap dijamin dan dilindungi dalam seluruh regulasi.

Aktivitas pertambangan skala kecil maupun besar tetap menimbulkan daya rusak. Maka, pemerintah harus bisa menentukan wilayah mana yang dapat dimanfaatkan untuk pertambangan dan mana yang tidak.

Amri menekankan, perizinan pada sektor pertambangan seharusnya tidak hanya sekadar pemenuhan administrasi untuk penarikan pajak retribusi, tetapi perlu didasarkan pada upaya pembatasan dan kontrol atas daya rusak lingkungan.

"Kami mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar membatasi perizinan pertambangan dalam kawasan hutan dan wilayah pesisir di NTB di stakeholders terkait dengan mempertimbangkan daya rusak penghancuran yang akan ditimbulkan oleh aktivitas usaha pertambangan," tegas Amri.

Ia mengatakan, hal tersebut penting dilakukan sebab izin usaha pertambangan memiliki sejumlah risiko yang dapat memicu praktik korupsi, seperti penyalahgunaan kekuasaan hingga gratifikasi.

Risiko itu muncul karena lemahnya sistem audit dan pengawasan, tertutupnya akses data, serta informasi di sektor pertambangan.

"Kami dorong APH menindak illegal mining atau pertambangan tanpa izin terutama yang diduga kuat dilakukan oleh korporasi secara langsung maupun dengan modus bersembunyi di balik individu," pungkas Amri.