JEO - Peristiwa

Mencari Harimau Jawa, Antara Ada dan Tiada

Kamis, 2 Januari 2025 | 07:50 WIB


Cahaya matahari berangsur menghilang saat mobil yang ditumpangi Ignas Seta Dwiwardhana dan Yuliardi Gogon Swasono berbelok dari jalan aspal memasuki jalan kecil di kecamatan Semin, Gunung Kidul yang sedang mengalami musim kemarau panjang di tahun 2014.

Pohon-pohon jati dengan batang-batang besar menggugurkan daunnya membuat jalanan di perbatasan Ponjong dan Semin makin terasa sunyi, selain juga karena tidak ada kendaraan lain yang berpapasan.

Sebagai seorang fotografer alam yang suka mengumpulkan foto-foto satwa hasil jepretannya, Ignas mendatangi Desa Kemejing karena penasaran saat ada kabar kemunculan harimau di wilayah tersebut.

Ia sebenarnya memahami bahwa kemungkinan keberadaan harimau di wilayah tersebut sangat tipis, mengingat harimau Jawa sudah dinyatakan punah sejak tahun 1980-an. Namun banyaknya cerita soal penampakan si loreng membuatnya ingin membuktikan sendiri keberadaannya.

Menurut cerita yang dia dengar sebelumnya, harimau biasanya muncul di desa itu jika ada orang meninggal. Dalam beberapa kali kejadian, warga mendapati makam orang yang baru meninggal digali dan jasad di dalamnya hilang. Berdasarkan bekas galian dan kesaksian mereka yang pernah melihatnya, pelaku penggalian itu adalah harimau.

Kebetulan beberapa hari sebelumnya, ada seorang warga yang menguburkan bagian tubuh kerabatnya yang diamputasi karena kecelakaan. Saat penguburan yang berlangsung sekitar pukul 23.00 itu, beberapa orang tiba-tiba terdiam dan berbisik-bisik, lalu meminta semua yang hadir keluar dari pemakaman dengan mundur perlahan dan kembali ke rumah masing-masing.

Belakangan warga saling bercerita bahwa penyebab bubarnya acara tersebut adalah karena hadirnya seekor harimau di sana.

Dalam beberapa kali kejadian, warga mendapati makam orang yang baru meninggal digali dan jasad di dalamnya hilang. Berdasarkan bekas galian dan kesaksian mereka yang pernah melihatnya, pelaku penggalian itu adalah harimau.

Cerita ini dibenarkan oleh salah seorang warga bernama Idris Kurniawan yang waktu itu hadir, saat dikonfirmasi oleh Kompas.com, Selasa (24/12/2024).

Kisah itulah yang membuat Ignas ingin melihat, apakah benar "si penggali kubur" datang berkunjung.

Maka di desa tujuannya, Ignas kemudian bertemu dengan seorang warga bernama Sular yang waktu itu berusia sekitar 45 tahun. Ia kemudian dibawa ke sebuah rumah di mana sekitar 15 warga sedang berkumpul. Menurut mereka, perjumpaan dengan harimau sudah menjadi cerita umum di sana, utamanya di Kampung Sawur dan Pucung Malang, sehingga berbagai kisah pun dibeberkan.

Kebanyakan kisah yang dituturkan mengabarkan soal perjumpaan dengan harimau loreng, entah harimau menyambangi rumah dan minum dari padasan atau gentong berisi air, pertemuan dengan sang raja hutan di ladang, atau adanya harimau loreng yang masuk kampung saat warga sedang nonton pertandingan piala dunia di sebuah rumah. Namun hampir semua yang diceritakan adalah kejadian masa lalu.

Salah satu cerita menarik justru datang dari Sular. Pria itu menceritakan bahwa bertahun-tahun lalu, sekitar tahun 1950-an, warga desa sebelah pernah menemukan harimau, lalu mereka membunuh dan memakan dagingnya. Peristiwa itu rupanya membuat harimau lain marah, sehingga semua warga yang ikut makan daging harimau, saat meninggal, makamnya akan digali oleh simbah, sebutan untuk harimau.

Uniknya, penggalian itu hanya dilakukan terhadap makam dari mereka yang ikut membunuh dan menyantap harimau, bukan pada warga desa lainnya. Karenanya ada kebiasaan warga untuk menjaga makam orang yang baru meninggal setidaknya selama 7 hari.

Di sini cerita yang tadinya ilmiah berubah menjadi mistis. Mungkinkah harimau mengenali siapa saja yang memakan kerabatnya? Apakah harimau bisa balas dendam?

Namun hal itu tidak mengherankan karena banyak sekali cerita harimau di Indonesia yang kemudian dikaitkan dengan hal-hal mistis dan gaib.

"Memang banyak cerita harimau bercampur dengan fantasi penuturnya, mungkin ada yang melebih-lebihkan dan digabung dengan cerita-cerita jaman dulu, sehingga sulit mengetahui apa yang sebenarnya dilihat para saksi,"ujar Ignas.

Selain itu, apakah yang datang benar harimau, masih menjadi pertanyaan. Pasalnya di beberapa daerah warga sering keliru menyebut kucing besar lain sebagai harimau, karena di Indonesia, istilah macan --termasuk di dalamnya macan loreng atau harimau, macan tutul, dan macan kumbang-- merujuk pada banyak keluarga kucing besar.

Setelah mendengar kisah-kisah tersebut, Ignas mengunjungi makam yang kabarnya sering digali harimau, untuk melihat kalau-kalau ada bekas galian di sana.

Makam itu berada di bagian ujung desa, di atas bukit kecil, yang tidak banyak ditinggali warga. Rumah terdekat berjarak kurang lebih 50 meter dari bukit. Penghuni rumah yang ditemui, seorang ibu berusia sekitar 70-an, mengaku bahwa keluarga di rumah itu kerap mencium bau busuk sekitar 3 hingga 7 hari setelah ada warga yang dimakamkan.

Bau itu biasanya tercium petang hari, melewati depan rumah mereka. Namun tidak seorang pun di rumah itu yang berani mengintip keluar. Mereka yakin, itu adalah harimau yang menggondol jasad, tapi terlalu takut memastikannya.

Ignas pun mencoba menunggui makam tersebut dengan rasa deg-degan sekaligus ingin tahu. Tapi sampai pagi simbah tidak terlihat.

"Waktu itu memang kami kurang persiapan dan belum memiliki kamera jebak. Selain itu mengamati karnivora besar perlu dilakukan berhari-hari atau berbulan-bulan. Tidak cukup semalam," ujarnya.

***

Bagian lukisan Landscape of Java oleh Abraham Salm tahun 1872
 
Bagian lukisan Landscape of Java oleh Abraham Salm tahun 1872

Pada kesempatan lain, di tahun 2018, cerita soal perjumpaan dengan harimau kembali terdengar. Kali ini saksinya adalah seorang mahasiswa pecinta alam UIN Sunan Kalijaga yang mengaku melihat seekor harimau di kawasan Wukirsari, Imogiri, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mendengar lokasinya, lagi-lagi Ignas tidak yakin mengingat wilayah Imogiri bukanlah tempat yang sepi dari manusia. Namun rasa penasaran kembali membawanya ke sana. Apalagi ia sedang ingin memotret macan tutul. Siapa tahu yang disebut harimau oleh warga itu ternyata macan tutul?

Ia kemudian bertemu warga bernama Suntung Riyadi yang mengaku pernah melihat harimau tiga kali. Saat Kompas.com menanyakan perihal tersebut, Riyadi menceritakan perjumpaan pertamanya dengan harimau terjadi tahun 2008 ketika ia mengendarai mobil pick up lewat hutan Pucung. Harimau itu sedang rebahan di jalan hutan.

"Dari situ saya baru ngeh (tahu) kalau masih ada macan loreng di daerah saya," ujarnya.

Perjumpaan ke-dua terjadi tahun 2014 saat dia kerap masuk hutan karena penasaran dengan keberadaan harimau loreng. Waktu itu ia menjumpai harimau melompat dari sebuah goa.

Lalu pertemuan ke-tiga di tahun 2018 saat ia mengantar 7 mahasiswa dari Mapala UIN Sunan Kalijaga. Ketiga pertemuan itu lokasinya masih di area Pucung.

Riyadi kemudian menguatkan ceritanya dengan mempertemukan Ignas dengan salah satu mahasiswa. Menurut ceritanya, sang mahasiswa melihat dua ekor harimau, besar dan kecil sekitar pukul 12 siang pada jarak sekitar 25 meter.

"Bagaimana kamu tahu bahwa itu jam 12 siang?" tanya Ignas.

"Karena saat itu saya mendengar adzan dari kampung," jawab si mahasiswa.

"Apakah kamu yakin melihat harimau, bukan macan tutul atau kucing lain. Apakah tubuhnya loreng?"

"Iya, yakin itu harimau," jawabnya.

"Lalu apa yang kamu lakukan saat melihatnya?"

"Saya ketakutan sehingga tidak berani bergerak, hanya berlindung pada sebuah pohon," katanya.

Wilayah itu sendiri berupa pedesaan dengan banyak bukit batu kapur dan tanaman jati di antara ladang warga, yang bila ditelusuri ke timur akan tembus ke hutan pinus Mangunan.

Meski menyangsikan keberadaan harimau di sana, namun rasa penasaran membuat Ignas kembali dan nyanggong alias menunggui di tempat yang katanya sering dilintasi harimau. Ia juga sempat memasang camera trap di beberapa lokasi.

Dengan harapan melihat hewan besar, saat dicek, foto-foto dalam kamera ternyata hanya menangkap beberapa ekor tikus.

Walau begitu ia memahami bahwa dengan kondisi hutan yang tinggal sedikit, sulit bagi harimau untuk bertahan di Pulau Jawa. Apalagi seekor harimau membutuhkan daerah jelajah puluhan hingga ratusan kilometer tergantung ketersediaan mangsa, hal yang nyaris tidak dijumpai di hutan-hutan Jawa yang tersisa.

Berdasarkan penelitian terhadap harimau-harimau di dunia, diketahui bahwa kucing besar ini cenderung menghindari lokasi yang sering dikunjungi manusia dan umumnya lebih aktif pada malam hari dibandingkan siang hari, dengan puncak aktivitas saat fajar dan senja.

Meski begitu, ia masih berharap ada keajaiban di mana harimau Jawa masih ada dan bisa bertahan. Dan ia tidak sendiri.

Banyak orang juga mencari bukti keberadaan harimau Jawa. Kebanyakan tergerak oleh cerita warga yang mengaku melihatnya.

Mengenal Harimau Jawa, Penjaga Hutan yang Jadi Legenda 

Foto harimau Jawa di London Zoo, dibuat sekitar tahun 1942, naun tidak diketahui siapa yang memoretnya
 
Foto harimau Jawa di London Zoo, dibuat sekitar tahun 1942, naun tidak diketahui siapa yang memoretnya

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) adalah jenis harimau yang hidup di Pulau Jawa (endemik). Karnivora besar ini termasuk salah satu sub-spesies harimau (Panthera tigris) yang tersebar di Asia, mulai dari danau laut Kaspia, Siberia, India, China, daerah benua Asia Tenggara hingga Indonesia. Meskipun secara umum, terlihat sama, namun tiap sub-spesies harimau memiliki ciri khas yang berbeda.

Harimau Jawa termasuk keluarga kucing besar (Felidae) yang menduduki posisi puncak dalam rantai makanan. Dari jejak dan kotoran yang ditinggalkan, diketahui bahwa Harimau Jawa adalah predator yang oportunis, artinya akan memangsa hewan apa saja yang ditemukannya.

Mangsa yang umum untuk harimau Jawa adalah rusa (Muntiacus muntjak) dan Babi hutan (Sus scrofa). Namun banyak laporan menyebutkan bahwa harimau Jawa juga memangsa banteng (Bos javanicus), pelanduk Jawa atau kancil, kera ekor panjang (Macaca fascicularis), trenggiling (Manis javanica), landak, lingsang, ayam hutan, dan hewan lain.

Harimau dewasa umumnya hidup soliter atau sendiri alias tidak berkelompok, terutama harimau jantan yang mencari teritorialnya (di Jawa disebut macan boro karena suka mengembara). Harimau jantan dan betina hanya akan bertemu saat kawin, dan anak-anak harimau akan hidup bersama induknya sampai umur 2 tahun lalu berpisah dan mencari wilayah sendiri.

Harimau betina muda membangun wilayah jelajah pertama mereka di dekat wilayah induknya. Namun, pejantan akan menjelajah lebih jauh dibandingkan betina, dan pergi pada usia lebih muda untuk mencari daerah mereka sendiri.

Harimau menandai wilayah jelajahnya dengan menyemprotkan air seni ke tumbuh-tumbuhan dan batu, mencakar atau menggosok pohon dengan aroma tubuhnya, dan menandai jejak dengan kotoran, sekresi kelenjar dubur, dan garukan pada tanah.

Di Indonesia, dikenal ada tiga sub-spesies harimau, yakni harimau Bali, harimau Jawa, dan harimau Sumatra.

Didik Raharyono, pemerhati harimau Jawa sekaligus penulis buku "Berkawan Harimau Bersama Alam" yang rutin mencari bukti-bukti keberadaan harimau Jawa menuturkan bahwa ada perbedaan antara harimau Jawa dengan harimau Sumatra atau harimau Bali.

Menurutnya, berdasarkan foto-foto lama, cerita masyarakat, dan spesimen yang tersimpan di museum, loreng pada harimau Jawa umumnya lebih tipis dan berbentuk garis atau strip dibandingkan kerabatnya di Sumatra (sebagian lorengnya berbentuk loop atau ellips) dan harimau Benggala di India. Walau tipis, namun loreng ini lebih rapat.

"Jadi misalnya diumpamakan loreng harimau sumatra itu tebalnya tiga jari, maka pada harimau jawa hanya satu atau dua jari. Lalu pola garisnya juga lebih utuh dan tidak banyak yang terputus-putus atau membentuk pola loop" ujar Didik menjelaskan pada Kompas.com, Desember 2024.

Foto harimau Jawa tahun 1938 oleh Andries Hoogerwerf di Ujung Kulon mungkin adalah satu-satunya foto harimau Jawa yang ada di alam liar
Andries Hoogerwerf
Foto harimau Jawa tahun 1938 oleh Andries Hoogerwerf di Ujung Kulon mungkin adalah satu-satunya foto harimau Jawa yang ada di alam liar

Foto harimau Jawa tahun 1938 oleh Andries Hoogerwerf di Ujung Kulon misalnya, menggambarkan bahwa pola garis hitam milik harimau Jawa itu lebih tipis dari kerabatnya di Sumatra, namun lebih rapat. Kerapatan belang ini bisa mencapai 100 garis atau lebih, sehingga dianggap paling rapat dibanding jenis harimau lain.

Dalam beberapa foto lain, terihat bahwa kerapatan loreng makin banyak di tubuh belakang harimau, sedangkan di bagian depan tubuh, lorengnya lebih jarang, membuat harimau Jawa terkesan lebih cerah warnanya secara keseluruhan.

Namun ukuran dan bentuk loreng harimau ternyata bervariasi dan berbeda pada setiap individu. Keragaman ini tercermin dalam sebutan lokal yang diberikan masyarakat pada harimau guna menunjukkan ciri-cirinya, misalnya balarak sengkleh ( atau daun kelapa, menunjukkan pola garis tipis), abangan yang menunjukkan warna jingga kemerahan, atau tablo, untuk menyebut harimau yang lorengnya tebal.

Selain itu, bagian moncong harimau jawa disebutkan lebih maju dibanding harimau sumatra, mukanya lebih cerah karena lorengnya umumnya hanya dua garis (tidak sebanyak harimau sumatra), dan surai di sekitar lehernya lebih tipis. Sebagai catatan, harimau sumatra memiliki surai lebih panjang dibanding harimau jenis lain sehingga terlihat lebih seram.

Foto harimau Jawa yang diawetkan yang diambil dari tigerforum.de
 
Foto harimau Jawa yang diawetkan yang diambil dari tigerforum.de

Dalam beberapa foto lama, leher harimau Jawa terlihat lebih jenjang, dengan kaki panjang dan ukuran telapak kaki yang besar. Bahkan menurut Wikipedia, garis tengah rata-rata jejak kaki harimau Jawa lebih besar dari diameter jejak kaki Harimau Benggala.

Soal ukuran ini, banyak tulisan yang menyebutkan bahwa harimau Jawa lebih kecil dibanding harimau Sumatra, yaitu dengan panjang tubuh jantan sekitar 2,45 meter, sementara betina lebih kecil, sekitar 2 meter, dan berat jantan berkisar antara 100-140 kg, sedangkan betina berkisar antara 75-115 kg.

Namun hal itu ditepis oleh Didik. Menurutnya, berdasarkan foto-foto harimau yang mati ditembak di jaman dulu, terlihat ukurannya yang besar, lebih besar dari ukuran harimau sumatra yang dijumpai saat ini.

Gambaran morfologi ukuran tubuh yang bisa dicapai oleh harimau Jawa antara lain terlihat di foto dokumen tahun 1957 milik Karno, yang menggambarkan seorang pemburu bernama Oscar bersama harimau buruannya di Kendeng Lembu, Banyuwangi.

Foto harimau Jawa berkuran besar yang ditembak di perkebunan karet Kendeng Lembu, Jawa Timur, tahun 1957.
Karno lewat Didik Raharyono
Foto harimau Jawa berkuran besar yang ditembak di perkebunan karet Kendeng Lembu, Jawa Timur, tahun 1957.

Dalam foto itu, terlihat betapa harimau Jawa memiliki ukuran tubuh sangat besar, dengan tapak kaki selebar wajah manusia, yang konon bisa membunuh seekor sapi dengan sekali hantam.

Karno, pemilik foto yang sempat memiliki kulit harimau tersebut sebelum akhirnya dibakar karena bulu-bulunya rontok, menyebutkan bahwa ukuran telapak tangan sang harimau melebihi ukuran wajahnya.

Sementara, harimau di Ujung Kulon yang difoto Hoogerwerf, lebar jejaknya mencapai 15,5 cm setelah diukur.

Berbagai catatan dari peneliti Belanda juga menyebutkan ukuran rata-rata harimau Jawa lebih besar dari harimau Sumatera dan harimau Bali, bahkan sedikit lebih besar dari harimau Malaya dengan panjang rata-rata 200-245 cm. Berat jantan berkisar antara 100-140 kg dan betina berkisar antara 75-115 kg.

Cerita soal ukuran harimau Jawa juga tertuang dalam Babad Lakbok, sebuah naskah sejarah yang ditulis R. Muh. Sabri Wiraatmadja mulai 1925 dan selesai tahun 1937.

Lakbok adalah nama tempat yang asalnya merujuk pada keberadaan harimau besar di sana. Menurut R. A. Danadibrata dalam Kamus Bahasa Sunda, "Lakbok" adalah bahasa Sunda kuno yang artinya maung nu gedé pisan (harimau yang sangat besar).

Nama ini dilekatkan pada seekor harimau besar yang hidup di daerah lahan gambut di Ciamis. Saat hutan dan rawa dibuka untuk dijadikan permukiman dan lahan pertanian, para binatang pun terdesak dan pergi menjauh, salah satunya yaitu lakbok. Harimau besar yang mulai kehabisan tempat bersembunyi itu kabur ke hutan Cimadang di daerah Padaherang dan menyerang manusia, namun akhirnya mati dikepung pemburu.

Dalam jurnal Planning tiger recovery: understanding intraspecific variation for effective conservation. Wilting et al. Sci. Adv. 2015;1:e1400175, juga disebutkan bahwa harimau Jawa merupakan subspesies terbesar di Kepulauan Sunda, diikuti harimau Sumatera dan Bali.

Dari analisis hasil pengukuran tengkorak dan karakter fisik, diketahui bahwa harimau Jawa dan Bali memiliki kemiripan yang sangat tinggi. Bahkan harimau Bali disebut sebagai anak jenis harimau Jawa. Sedangkan harimau Sumatera dianggap sebagai bentuk hibrid alami dari harimau Jawa dan harimau Kontinental.

Soal warnanya, harimau jawa disebut memiliki warna oranye atau kuning kusam/gelap hingga kemerahan dengan garis-garis hitam yang lebih rapat namun lebih tipis dibandingkan harimau Sumatra.

Selain harimau Jawa, di dunia kita mengenal berbagai jenis subspesies harimau lain.

 

Jenis harimau yang masih ada

 

1. Harimau Siberia (Panthera tigris altaica)

Sebaran: Timur Jauh Rusia (Siberia), sebagian kecil di Tiongkok dan Korea Utara.
Ciri-ciri:
Harimau terbesar di dunia.
Panjang tubuh jantan bisa mencapai 3 meter.
Berat jantan sekitar 180-300 kg.
Bulu tebal berwarna oranye pucat dengan garis hitam jarang.
Adaptasi untuk iklim dingin dengan bulu yang lebih panjang.

2. Harimau Benggala (Panthera tigris tigris)

Sebaran: India, Bangladesh, Nepal, Bhutan.
Ciri-ciri:
Panjang tubuh jantan sekitar 2,7-3 meter.
Berat jantan sekitar 180-260 kg.
Warna oranye terang dengan loreng hitam tebal.
Harimau putih adalah variasi langka dari Harimau Benggala akibat mutasi genetik.

3. Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae)

Sebaran: Pulau Sumatra, Indonesia.
Ciri-ciri:
Panjang tubuh jantan sekitar 2,2-2,5 meter.
Berat jantan sekitar 100-140 kg.
Warna loreng lebih gelap dan rapat.
Memiliki jumbai rambut di sekitar leher.

4. Harimau Indocina (Panthera tigris corbetti)

Sebaran: Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Myanmar.
Ciri-ciri:
Panjang tubuh jantan sekitar 2,4 meter.
Berat jantan sekitar 150-195 kg.
Warna oranye dengan garis loreng yang lebih tipis.
Habitat di hutan pegunungan dan dataran rendah.

5. Harimau Malaya (Panthera tigris jacksoni)

Sebaran: Semenanjung Malaysia.
Ciri-ciri:
Panjang tubuh jantan sekitar 2,4 meter.
Berat jantan sekitar 100-130 kg.
Mirip dengan Harimau Indocina, namun lebih kecil.
Populasi sangat terancam akibat perburuan dan kehilangan habitat.

6. Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis)

Sebaran: Sebelumnya ditemukan di Cina bagian selatan.
Status: Dikategorikan sebagai "sangat terancam punah secara kritis" (Critically Endangered) dan kemungkinan sudah punah di alam liar. Hanya ada beberapa individu di penangkaran.
Ciri-ciri:
Panjang tubuh jantan sekitar 2,3 meter.
Berat sekitar 110-140 kg.
Ukuran lebih kecil dibanding Harimau Benggala.

 

Jenis harimau yang sudah punah

 

1. Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica)

Sebaran: Pulau Jawa, Indonesia.
Status: Punah pada 1980-an.
Ciri-ciri:
Panjang tubuh jantan sekitar 2-2,5 meter.
Berat sekitar 100-140 kg.
Pola loreng lebih tipis, lebih jarang di bagian depan tubuh, namun makin rapat di bagian belakang tubuh.
Dinyatakan punah akibat perburuan dan perusakan habitat.

2. Harimau Bali (Panthera tigris balica)

Sebaran: Pulau Bali, Indonesia.
Status: Punah pada tahun 1937.
Ciri-ciri:
Harimau terkecil yang pernah ada.
Panjang tubuh jantan sekitar 2-2,1 meter.
Berat sekitar 90-100 kg.
Pola loreng tipis dengan warna oranye cerah.
Punah akibat perburuan intensif oleh pemburu kolonial.

3. Harimau Kaspia (Panthera tigris virgata)

Sebaran: Asia Tengah (Iran, Turki, hingga Rusia).
Status: Punah pada tahun 1970-an.
Ciri-ciri:
Panjang tubuh jantan sekitar 2,7 meter.
Berat sekitar 170-240 kg.
Mirip dengan Harimau Siberia, tetapi lebih ramping.
Punah akibat perburuan dan degradasi habitat.

Berdasarkan penggolongan di atas, ada 9 sub-spesies harimau yang dikenal di dunia. Namun studi taksonomi tahun 2015 yang dilakukan Andreas Wilting dan koleganya dari beberapa lembaga riset di Eropa, mengusulkan perubahan yang dimuat dalam Planning tiger recovery: Understanding intraspecific variation for effective conservation.

Dalam tulisan berjudul "Apalah Arti Sebuh Nama" yang dimuat di Aum, Atlas Harimau Nusantara, peneliti harimau dari Universitas Indonesia dan ekolog satwaliar, Sunarto menjelaskan bahwa studi ini menggunakan beberapa pendekatan dan teknik baru dalam mengklasifikasikan subspesies harimau.

Harimau di seluruh dunia yang selama ini dibagi menjadi sembilan subspesies: Bali, Jawa, Sumatra, Malaya, Indocina, Cina Selatan, Benggala, Kaspia, dan Amur, dari hasil studi ini diciutkan menjadi dua subspesies saja.

Berdasarkan studi ini, seluruh subspesies harimau yang tersebar di daratan Asia, mulai dari Rusia, Timur Tengah, India, Cina, Indocina hingga Semenanjung Malaysia, kini dianggap sebagai satu anak jenis (sub spesies) saja. Mereka disebut harimau kontinental.

Nama ilmiah Panthera tigris tigris, yang selama ini hanya untuk menyebut harimau benggala (yang tersebar di India, Nepal, dan Bhutan), diusulkan sebagai nama ilmiah untuk seluruh harimau kontinental.

Sementara itu, tiga subspesies di Indonesia, termasuk yang telah dinyatakan punah, dianggap satu subspesies. Ketiganya disebut harimau sunda, dengan nama ilmiah Panthera tigris sondaica. Nama ilmiah itu sebelumnya hanya digunakan untuk menyebut harimau jawa.

Teknik dan metode klasifikasi dalam studi ini mendasarkan pada ciri tubuh atau morfologi, yang biasa digunakan dalam taksonomi tradisional, serta menggunakan teknik genetika dengan analisis DNA. Tak hanya itu, studi ini bahkan juga menilai aspek ekologi yang dipertimbangkan bersama-sama dengan aspek morfologi dan genetika.

Dari studi ini terungkap individu-individu dari beberapa subspesies yang selama ini dianggap berbeda,ternyata punya banyak kemiripan karakter dan membuatnya sulit dibedakan —khususnya secara genetika.

Lantaran harimaunya tidak berbeda secara taksonomi, maka muncul pemikiran dimungkinkan untuk melakukan translokasi dan reintroduksi antar-negara di daratan utama Asia. Salah satunya misalnya memperkenalkan harimau sumatra ke Jawa, karena toh berasal dari sub spesies yang sama.

Namun demikian, hasil riset lebih anyar dipublikasikan di jurnal Current Biology pada akhir Oktober 2018, yang memakai teknik analisis full genome dari 32 spesimen, kembali menghasilkan pemisahan harimau menjadi sembilan subspesies (termasuk tiga yang telah punah).

"Jadi sekarang yang menjadi acuan adalah paper terakhir tersebut, alias taksonomi harimau kembali ke semula, di mana Harimau Sumatera, Jawa dan Bali adalah anak jenis yang berbeda," terang Sunarto.

Punahnya Harimau Jawa, Dari Simbah Menjadi Wabah

Foto tahun 1920 memperlihatkan Harimau Jawa yang dibunuh di Preanger, dekat Garut, Jawa Barat
 
Foto tahun 1920 memperlihatkan Harimau Jawa yang dibunuh di Preanger, dekat Garut, Jawa Barat

Harimau dipastikan pernah merajai hutan-hutan di Pulau Jawa. Naturalis Swedia bernama Pehr Osbeck yang sempat berlabuh di pesisir Ujung Kulon, Jawa bagian barat pada tanggal 19 Januari 1752, mencatat bahwa saat berjalan dari pantai ke pedalaman, ia menemukan hutan yang sangat lebat, basah, dan berbahaya karena banyaknya harimau dan karnivora lainnya.

Sedangkan Sijfert Hendrik Koorders yang menjadi presiden pertama “Nederlandsch Indische Vereeninging voor Natuurbescherming” (Masyarakat Konservasi Alam di Hindia Belanda) saat mengunjungi Ujung Kulon dari tanggal 25 Juni hingga 6 Agustus 1892 menyebutkan bahwa semenanjung itu tertutup hutan primer dan tidak ada manusia. Namun ia menemukan banyak jejak badak, rusa, harimau, dan banteng.

Penulis asal Belanda, W. Baerveldt menyebut bahwa hutan di Jawa dianggap sebagai tempat yang angker atau wingit dan dijaga oleh harimau, sehingga manusia enggan memasukinya.

Cerita mengenai penampakan harimau seringkali dikaitkan dengan legenda atau kepercayaan masyarakat terkait harimau. Harimau adalah hewan yang ditakuti sekaligus dihormati, sehingga sampai saat ini cerita mengenai harimau, baik di Jawa maupun Sumatra, tidak lepas dari hal-hal mistis.

Bagi banyak budaya di Indonesia, harimau menempati posisi sakral. Di Minangkabau  harimau disebut "Inyiak Balang", "Ampang limo", atau "Datuak". Masyarakat Minangkabau menganggap harimau sebagai sosok yang dihormati dan dituakan.

Di Sumatera Utara harimau disebut "Ompung", yang berarti "kakek" dalam bahasa Batak. Di 
Kerinci sebutannya "hangtuo" (orangtua). Masyarakat Kerinci percaya bahwa harimau tidak akan menganggu jika mereka sopan saat memasuki hutan.

Di Sumatera Selatan panggilan untuk harimau adalah "nek ngau" dan "setue". "Setue" berarti sosok yang dihormati atau dituakan. Sementara orang Aceh menyebut harimau dengan "rimueng" karena memiliki nilai-nilai mistis.

Dalam makalah The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change (1995), dijelaskan bahwa di Jawa harimau pun punya berbagai sebutan seperti Simbah hingga Kiai. Orang Jawa kuno percaya bahwa harimau adalah leluhur yang punya kekuatan supernatural.

Di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon misalnya, terdapat legenda bahwa Harimau Jawa adalah makhluk gaib yang menjadi penjaga hutan dan tempat-tempat sakral. Salah satu cerita turun-temurun menyebutkan bahwa harimau tersebut melindungi peninggalan kerajaan Sunda.

Beberapa penduduk lokal mengaku pernah melihat harimau besar muncul ketika ada orang yang berniat jahat atau merusak hutan. Setelah munculnya harimau tersebut, niat buruk orang tersebut biasanya gagal atau berujung bencana.

Sementara masyarakat di sekitar Gunung Slamet memiliki cerita tentang perjumpaan mistis dengan Harimau Jawa. Salah satu kisah yang terkenal adalah tentang seorang pendaki bernama Joko yang tersesat di tengah hutan. Di saat panik, ia melihat seekor harimau loreng yang muncul tanpa suara.

Ajaibnya, harimau itu berjalan perlahan di depannya, seakan-akan menunjukkan jalan keluar. Setelah berhasil kembali ke jalur aman, harimau itu menghilang begitu saja. Penduduk setempat percaya bahwa itu adalah perwujudan roh leluhur yang menjaga keseimbangan alam.

Sedangkan penduduk di desa-desa sekitar Sukabumi menceritakan bahwa kakek moyang mereka hidup berdampingan dengan Harimau Jawa. Konon, harimau itu sering muncul di pinggir hutan saat malam hari tetapi tidak pernah menyerang manusia yang menghormati alam.

Para tetua desa selalu mengajarkan untuk menjaga hutan, karena merusak hutan berarti mengganggu rumah para harimau. Hingga kini, meskipun harimau itu sudah dianggap punah, penduduk masih merasa bahwa roh harimau itu tetap menjaga desa mereka.

Namun hubungan harimau-manusia tidak selalu harmonis. Ketika populasi manusia bertambah, maka kebutuhan tanah untuk pertanian, perkebunan dan pemukiman meningkat. Manusia mulai mengambil habitat harimau, dan perselisihan pun dimulai.

Sekelompok pria dan anak-anak berfoto bersama harimau yang dibunuh di Malingping, Banten pada bulan Mei 1941
H Bartels
Sekelompok pria dan anak-anak berfoto bersama harimau yang dibunuh di Malingping, Banten pada bulan Mei 1941

Menurut Peter Boomgaard dalam buku "Frontiers of Fear - Tigers and People in the Malay World, 1600-1950", harimau ada dimana-mana ketika Belanda masuk ke Jawa. Perkembangan kota seperti Batavia yang mengikis habitat harimau, membuat gesekan antara karnivora itu dengan manusia tidak terhindarkan. Dalam catatannya, pada tahun 1624, harimau membunuh sekitar 60 orang di Batavia.

Oleh karena itu, para pejabat VOC menyelenggarakan perburuan harimau. Ketika itu, memburu harimau tidak hanya dilakukan menggunakan tombak dan perangkap, namun juga senapan. Penggunaan bedil inilah yang mengawali masa pembantaian harimau di Jawa dan membuat populasinya berkurang secara besar-besaran.

Sejak tahun 1644 dan seterusnya, hadiah dibayarkan kepada mereka yang bisa membunuh harimau atau macan tutul. Pada tahun 1670, harimau ditangkap di sekitar Batavia (kini Jakarta) hampir setiap hari. Bahkan pada tahun 1748, sekitar 80 ekor kucing besar (harimau dan macan tutul) 'dibunuh' di dekat Jakarta. Di Jawa bagian barat, harimau juga banyak membunuh orang.

Berdasarkan temuannya, Boomgaard memperkirakan sekitar 500 orang tewas diterkam harimau pada tahun 1820-an dan sekitar 200 orang pada tahun 1850-an.

Pada pertengahan abad 19, pemerintah kolonial Belanda membuka lahan besar-besaran di Jawa untuk dijadikan perkebunan. Hal ini semakin mendesak harimau dan mangsanya, selain juga mempengaruhi perilaku harimau yang menjadi lebih berhati-hati dan menghindari manusia. Pada kurun waktu 1820-1860, di dekat Banten, harimau sering terlihat di siang hari bolong, namun pada dekade terakhir abad ke-19, mereka berubah menjadi pemburu malam hari.

Harimau yang makin sulit mencari mangsa seperti rusa dan babi hutan, juga mulai memangsa hewan ternak. Hal ini rupanya berdampak pada munculnya wabah harimau (tijger-plague), yakni konflik atau serangan harimau terhadap manusia.

Wabah ini dimulai dari Keresidenan Priangan pada tahun 1855 dengan korban jiwa mencapai 147 orang. Dalam jurnal ini juga disebutkan, 58 orang di wilayah tatar Sunda meninggal karena diterkam harimau pada 1896.

Selain menyerang karena terdesak, harimau juga mulai memangsa manusia. Ini bukan karena berkurangnya mangsa lain, namun karena sifat harimau yang memang oportunis.

Ketika manusia membuka lahan untuk pertanian, maka babi hutan pun mendekat untuk mencari makan. Harimau yang mengikuti babi hutan mulai memperhatikan manusia. "Mangsa" baru ini lebih mudah didapatkan daripada babi hutan yang memiliki penciuman tajam, bisa lari cepat, dan mampu berbalik menyerang.

"Harimau adalah predator oportunistik yang bisa mempertimbangkan mana mangsa yang mudah dan sulit, tidak bersenjata atau bersenjata, lemah atau kuat. Harimau bisa belajar dan menyesuaikan perilakunya dengan perubahan keadaan."

Peter Boomgaard

Sebagai salah satu kucing besar yang cerdas dan bisa beradaptasi, harimau bisa membedakan antara orang Eropa dan penduduk lokal. Orang Eropa, yang seringkali bersenjata lengkap, tidak diburu. Mereka lebih memilih warga lokal. Bukan laki-laki dewasa, yang membawa tombak atau parang, melainkan perempuan dan anak-anak.

Pada tahun 1659, sekelompok penebang kayu Melayu yang bekerja di Karawang kembali ke Batavia karena kehilangan 14 orang hanya dalam waktu dua bulan akibat dimangsa harimau.

Akibatnya masyarakat mulai menganggap harimau sebagai hewan yang meresahkan, bukan lagi sebagai hewan mistis yang dihormati.

Dalam catatan koran Belanda Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie terbitan 04-12-1903, sampai dengan awal tahun 1900-an pemerintah Hindia Belanda menyediakan hadiah untuk masyarakat yang berhasil membunuh atau menangkap Harimau Jawa, dengan imbalan 400 Franc hingga 1.500 Franc, ada juga yang menyebut 10 hingga 50 gulden.

Tanggal 27-01-1910 koran Belanda memuat berita setidaknya ada 15 Harimau Jawa telah dibunuh. Ini menyebabkan harimau makin tersingkir dan makin sedikit jumlahnya.

Pada awal tahun 1900-an perang antara harimau dan manusia di Jawa bisa disebut berakhir berakhir setelah harimau habis dan makin terpojok. Namun 'wabah' harimau beberpa kali muncul hingga setelah Perang Dunia Kedua, karena sebab-sebab spesifik.

Umumnya serangan harimau terjadi karena adanya bencana, di mana banyak orang meninggal. Jasad orang yang meninggal menggiurkan harimau untuk memakannya. Setelah persediaan habis, harimau yang terbiasa makan manusia, mulai mencari yang masih hidup.

Pada kurun waktu 1875-1880, terjadi kegagalan panen di Priangan. Hasilnya, seperti wabah harimau pada tahun 1855,  terjadi peningkatan tajam dalam jumlah pemakan manusia.

Letusan gunung Krakatau pada tahun 1883 juga menimbulkan dampak karena banyak orang tewas karena gelombang pasang dan tidak dikuburkan. Hal ini memunculkan man-eater atau pemakan manusia di bagian barat laut Pulau Jawa. Setahun kemudian, wabah pest dan malaria juga mengakibatkan munculnya harimau pemakan manusia.

Meskipun sebagian besar 'wabah harimau' terjadi di wilayah padat penduduk di bagian barat dan tengah Pulau Jawa, wilayah berpenduduk sedikit di bagian timur juga mengalami. Keresidenan yang terkena dampak 'wabah harimau' secara berkala adalah Banten, Priangan, Karawang, Cirebon, Jepara, Pasuruan, Probolinggo dan Besuki/Banyuwangi.

'Wabah Harimau' terakhir di Pulau Jawa terjadi pada tahun 1946 di wilayah Banyuwangi Selatan, di mana 64 orang diterkam harimau dalam kurun waktu 10 bulan. Diduga penyebabnya adalah banyaknya korban tewas dalam perang antara Belanda dan pejuang kemerdekaan, yang menarik harimau untuk datang.

Menurut Boomgaard fenomena memakan manusia muncul karena sifatnya. "Harimau adalah predator oportunistik yang bisa mempertimbangkan mana mangsa yang mudah dan sulit, tidak bersenjata atau bersenjata, lemah atau kuat. Harimau bisa belajar dan menyesuaikan perilakunya dengan perubahan keadaan," tulisnya.

Mengadu harimau, simbol keunggulan pribumi dari Belanda

Lukisan Rampogan Macan berjudul Grasveld met tijger en publiek rampokkan oleh Josias Cornelis Rappard, menunjukkan seekor harimau Jawa yang dikepung ribuan pria bersenjata tombak di Alun Alun Kraton Surakarta.
Tales of The Unforgotten: The Javan Tiger, 1883-1889
Lukisan Rampogan Macan berjudul Grasveld met tijger en publiek rampokkan oleh Josias Cornelis Rappard, menunjukkan seekor harimau Jawa yang dikepung ribuan pria bersenjata tombak di Alun Alun Kraton Surakarta.

Selain pembasmian harimau karena dianggap hama, ada juga tradisi menangkap harimau untuk hiburan. Tradisi ini disebut Sima Mahesa yakni menangkap harimau hidup-hidup untuk kemudian diadu dengan kerbau atau banteng yang tanduknya dipasangi taji. Tradisi ini biasanya dilanjutkan dengan Rampogan Macan, di mana harimau kemudian dibunuh beramai-ramai oleh prajurit atau warga jika ia menang bertarung dengan kerbau.

Tradisi pertarungan harimau ini pernah populer di Jawa pada abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Acara ini merupakan bagian dari hiburan rakyat, simbol kekuasaan penguasa, serta ritual yang memiliki makna kultural dan spiritual.

Tradisi Sima Mahesa dan Rampogan Macan pertama kali tercatat pada masa Kerajaan Mataram Islam di abad ke-17 dan terus berlangsung hingga era kolonial Hindia Belanda. Namun tidak hanya di lingkungan kraton, acara ini juga acap digelar di berbagai kabupaten di Jawa.

Sima artinya harimau, sedangkan mahesa adalah kerbau atau banteng. Sedangkan kata “Rampogan” berasal dari istilah Jawa yang berarti “pertarungan” atau “penyerangan bersama-sama”. Sementara “Macan” berarti kucing besar, salah satunya harimau.

Awalnya, acara ini merupakan simbol keberanian prajurit dan kekuatan penguasa, tetapi seiring waktu berubah menjadi tontonan publik yang digelar dalam perayaan-perayaan penting seperti penobatan raja, penyambutan tamu, perayaan hari besar, bahkan untuk menolak bala dan bencana.

Di Yogyakarta, harimau-harimau yang diadu biasanya dicari oleh penangkap macan dari Kademangan Jlegong, sebuah desa di tepi Sungai Progo (saat ini bernama Salamrejo dan Gembongan di daerah Sentolo, DIY).

Penduduk Jlegong dikenal sebagai orang-orang yang ahli berburu dan dijuluki “tuwa buru” (pemuka para pemburu). Mereka kerap ditugaskan menangkap harimau dengan perangkap bernama bekukung yang metode pembuatannya diwariskan secara turun-temurun.

Rampogan Macan di Jawa, acara di mana harimau dan macan tutul atau kumbang dilepas di tengah alun-alun dan dikepung manusia bersenjatakan tombak. Ke mana pun macan lari, tombak akan menghadangnya
unknown
Rampogan Macan di Jawa, acara di mana harimau dan macan tutul atau kumbang dilepas di tengah alun-alun dan dikepung manusia bersenjatakan tombak. Ke mana pun macan lari, tombak akan menghadangnya

Harimau-harimau yang ditangkap tersebut kemudian dilepaskan bersama kerbau di arena atau lapangan besar --biasanya di alun-alun.

Tiga lapis prajurit bersenjatakan tombak akan mengepung harimau tersebut dalam formasi melingkar, sementara para penonton ada di belakang mereka. Prajurit paling depan bersila, di belakangnya jengkeng atau setengah jongkok, dan paling belakang berdiri. Semua memegang tombak yang diarahkan ke depan, sehingga tidak ada celah bagi harimau untuk meloloskan diri.

Dalam pertarungan antara kerbau dengan harimau ini hampir selalu kerbau yang menang atau harus menang karena orang-orang Jawa mengasosiasikan kerbau sebagai orang Jawa dan harimau sebagai penjajah dari Eropa.

Saat diadu dengan kerbau, kebanyakan harimau akan kalah, mungkin karena kerbau termasuk hewan yang kuat, sedangkan harimaunya biasanya sudah dikurung berhari-hari. Bila harimau yang menang, ia tetap akan dibunuh karena dianggap berbahaya.

Harimau yang marah akan mencoba melawan, sementara para prajurit berusaha untuk menyerangnya menggunakan tombak.

Jika harimau berhasil melarikan diri dari kepungan, hal ini dianggap sebagai pertanda buruk bagi penguasa atau pemerintahan. Jika prajurit berhasil membunuh harimau, itu dianggap sebagai simbol kemenangan kekuatan manusia atas kekuatan liar alam.

Bila dilangsungkan di kabupaten, maka warga bisa ikut serta membunuh harimau untuk memamerkan pusaka dan kesaktiannya. Dalam buku "Bakdo Mawi Rampok" yang ditulis R Kartawibawa, acara serupa di Blitar dimaksudkan untuk menolak bala agar erupsi Gunung Kelud tidak mengenai Blitar.

Harimau akan dipaksa keluar dari kerangkeng lewat sorakan dan suara-suara keras seperti mercon, di mana ribuan tombak menyambutnya. Ke manapun ia menerjang, pada akhirnya, harimau selalu mati mengenaskan di ujung tombak dengan badan penuh luka.

Rampogan Macan di Alun Alun Kediri diduga antara tahun 1890 hingga 1925. Terlihat harimau Jawa berlari di tengah alun-alun yang dikelilingi pria bersenjatakan tombak.
HG Rimestadt
Rampogan Macan di Alun Alun Kediri diduga antara tahun 1890 hingga 1925. Terlihat harimau Jawa berlari di tengah alun-alun yang dikelilingi pria bersenjatakan tombak.

Kemenangan atas harimau melambangkan kekuatan raja dan prajurit dalam menaklukkan kekuatan alam dan kekacauan. Harimau sering dilihat sebagai simbol kekuatan liar yang perlu ditundukkan untuk menciptakan ketertiban.

Tulisan The History of Java, karangan Sir Thomas Stamford Raffles menggambarkan rampogan macan sebagai pertunjukan yang digemari orang Jawa.

Dalam pertarungan antara kerbau dengan harimau ini hampir selalu kerbau yang menang atau harus menang karena orang-orang Jawa mengasosiasikan kerbau sebagai orang Jawa dan harimau sebagai penjajah dari Eropa.

Selain itu ada kepercayaan bahwa harimau memiliki kekuatan spiritual dan mistis. Mengalahkan harimau dianggap sebagai bentuk penguasaan atas kekuatan gaib.

Praktik tradisi ini ikut menyebabkan penurunan populasi Harimau Jawa yang kemudian berujung pada kepunahannya di tahun 1980-an.

Meski begitu, hingga tahun 2024, masih ada laporan yang menyebutkan perjumpaan warga dengan harimau di Jawa.

Mencari Harimau Jawa, Mengaum di Kesunyian

Harimau jawa (Panthera tigris sondaica) pernah dinyatakan punah tahun 1950-an, namun terlihat lagi sehingga pernyataan itu ditangguhkan. Lalu setelah sekian lama tidak terlihat, harimau Jawa dinyatakan punah pada tahun 1980-an. Penampakan terakhir yang diakui secara ilmiah terjadi pada tahun 1976 di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.

Rupanya setelah itu masih ada laporan mengenai kehadiran harimau. Karenanya para peneliti bersama Tiger Foundation mencarinya di Taman Nasional Meru Betiri selama setahun. Hasilnya, pada tahun 1999 harimau Jawa dinyatakan punah lagi.

Setelah tidak ada bukti konkret tentang keberadaan harimau ini, pada tahun 2003, International Union for Conservation of Nature (IUCN) secara resmi menyatakan bahwa harimau Jawa telah punah.

Meski berulang kali dinyatakan punah, laporan mengenai penampakan harimau Jawa terus bermunculan hingga saat ini.

Beberapa penduduk lokal dan peneliti melaporkan melihat jejak kaki atau mendengar suara auman yang diduga berasal dari harimau Jawa di beberapa kawasan hutan terpencil seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Meru Betiri, Pegunungan Kendeng, Gunung Wilis, Sukabumi, hingga daerah Gunung Kidul di DIY.

Pada tahun 2017, beredar foto seekor kucing besar yang diduga harimau Jawa di kawasan hutan Banyuwangi. Namun, penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa foto tersebut adalah macan tutul Jawa, bukan harimau Jawa.

Jauh sebelumnya, cerita perjumpaan dengan harimau jawa juga dituturkan seorang penjaga hutan di kawasan Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, bernama Sutarjo, tahun 1972.

Saat itu, ia sedang berpatroli untuk memastikan keamanan hutan dari penebang liar. Tiba-tiba, ia melihat seekor harimau berwarna loreng dengan tubuh lebih kecil dibandingkan harimau Sumatera. Harimau itu hanya memandangnya sebentar, kemudian berjalan perlahan dan menghilang di semak belukar.

Meski sempat merasa ketakutan, Sutarjo percaya bahwa harimau itu bukan ancaman, melainkan penjaga hutan yang seharusnya dihormati.

Pada tahun 1960-an, seorang pemburu bernama Darmo yang sering memburu hewan di Alas Purwo, Banyuwangi, berhadapan langsung dengan seekor Harimau Jawa.

Ketika ia mengarahkan senapannya, harimau tersebut hanya menatap dengan tatapan tajam dan penuh wibawa. Entah mengapa, tangan Darmo gemetar dan ia tidak bisa menarik pelatuk.

Setelah kejadian itu, ia memutuskan untuk berhenti berburu dan menjadi aktivis pelestarian hutan. Darmo percaya bahwa perjumpaannya adalah tanda bahwa manusia harus berdamai dengan alam, bukan mengeksploitasinya.

Pada tahun 1976, sekelompok peneliti melaporkan jejak yang diduga milik Harimau Jawa di Taman Nasional Baluran. Salah seorang warga lokal bernama Surono mengaku melihat seekor harimau melintas cepat di antara semak-semak. Namun, laporan tersebut tidak pernah dikonfirmasi secara ilmiah.

Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa kisah-kisah perjumpaan dengan harimau di atas terjadi tahun 1960-an dan 1970-an, sebelum harimau jawa resmi dinyatakan punah.

Setelah itu, kisah perjumpaan dengan harimau di Jawa makin jarang terdengar. Seandainya pun ada, tidak ada bukti yang mendukungnya, meskipun saat ini hampir semua orang memiliki ponsel berkamera yang dibawa setiap saat.

Namun cerita perjumpaan dengan harimau tidak hilang sama sekali. Anggota Perbakin (Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia) melaporkan perjumpaan dengan harimau Jawa pada tahun 1993 di Gunung Argopura dan tahun 1994 di Tretes, Jawa Timur.

Karena banyaknya laporan warga soal kehadiran harimau, maka berbagai usaha dilakukan untuk membuktikan keberadaannya, baik oleh peneliti, aktivis lingkungan, maupun lembaga pemerintah.

Pada tahun 1997 misalnya, dilakukan ekspedisi untuk mencari harimau di Meru Betiri, di Jawa Timur, yang sering disebut sebagai habitat terakhir Harimau Jawa.

Para peneliti memasang kamera jebakan, melakukan survei jejak, dan bertemu dengan saksi-saksi warga yang mengaku pernah melihat, termasuk pemburu babi, pencari burung dan lainnya. Dalam ekspedisi masih ditemukan jejak, kotoran, rambut, dan garutan yang diduga dari harimau, namun tidak ada perjumpaan langsung sehingga dianggap tidak bisa menunjukkan bukti kuat keberadaan Harimau Jawa.

Setelah itu, tahun 2010-an World Wildlife Fund (WWF) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan eksplorasi di beberapa area seperti Meru Betiri dan Ujung Kulon.

Meskipun tim menemukan beberapa jejak yang awalnya dicurigai milik Harimau Jawa, analisis lebih lanjut menyimpulkan bahwa jejak tersebut berasal dari macan tutul Jawa (Panthera pardus melas).

Ekspedisi dengan menggunakan kamera jebakan juga dilakukan di Taman Nasional Alas Purwo dan Baluran di Jawa Timur. Hasil rekaman hanya menunjukkan keberadaan hewan lain seperti macan tutul, kucing hutan, dan babi hutan, bahkan pemburu liar, tetapi lagi-lagi tidak ada bukti keberadaan Harimau Jawa.

Meski begitu, banyak warga lokal, terutama di sekitar hutan-hutan terpencil, masih melaporkan perjumpaan dengan harimau atau menemukan jejak yang mirip dengan Harimau Jawa. Tetapi karena tidak adanya bukti fisik yang kuat, laporan ini masih dianggap sebagai kesaksian yang belum dapat diverifikasi.

Penampakan Harimau Jawa Akhir-akhir Ini

Harapan keberadaan harimau Jawa muncul lagi pada tahun 2019, tepatnya tanggal 19 Agustus malam, ketika seorang penduduk desa Cipeundeuy, Sukabumi Selatan, Jawa Barat bernama Rifi Yanuar Fajar mengaku berpapasan dengan hewan mirip Harimau Jawa di pinggiran desanya.

Saat itu ia pulang ke rumah naik motor melintasi jalan desa sekitar pukul 23.00 WIB, sehingga jalan yang dilaluinya cukup gelap. Bersama Rifi, ada empat orang lain yang mengendarai mobil di belakang motornya.

Ketika mereka melintas di Kecamatan Surade, tiba-tiba sesosok bayangan melompat dari kegelapan dan muncul di depan motor Rifi. Karena tidak tersorot lampu motor, wajah hewan tersebut tidak terlihat jelas.

Namun pendaran cahaya motor dan mobil membuat mereka mengenali bahwa hewan yang ada di depannya adalah sekor harimau, karena tubuhnya terlihat berwarna kuning dengan garis-garis hitam.

Hewan itu sempat berdiri diam beberapa saat, lalu melompat dan menghilang ke dalam hutan. Rifi yang terkejut segera meninggalkan motornya dan naik ke mobil.

Kisah Rifi soal pertemuan dengan harimau ini dibenarkan oleh empat saksi lainnya yang semuanya berdomisili di Cipeundeuy.

"Bicara harimau Jawa ini sensitif, kalau disebut ada, mana buktinya? Dalam konteks ilmiah kita kan harus melakukan pengujian."

Wirdateti -- peneliti harimau

Setelah kejadian itu, pada tanggal 27 September 2019, mereka mencoba menelusuri tempat kejadian, dan menemukan helai rambut yang tersangkut di ranting. Hasil penemuan rambut tersebut diserahkan ke BKSDA Jabar.

Dalam diskusi yang diadakan oleh Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia (Foksi) Rabu (3/4/2024), Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wirdateti mengatakan bahwa sampel rambut itu diduga berasal dari harimau Jawa.

Para peneliti yang melakukan analisis DNA, mendapati bahwa sampel rambut yang ditemukan di Sukabumi Selatan itu disimpulkan berasal dari spesies Panthera tigris sondaica atau Harimau Jawa.

Analisa ini dilakukan dengan membandingkan sampel rambut tersebut dengan spesimen Harimau Jawa koleksi Museum Zoologicum Bogoriense (MZB).

Peneliti juga membandingkannya dengan rambut dari beberapa subspesies sampel harimau lain, yaitu Harimau Bengal, Amur dan Sumatra, serta Macan Tutul Jawa yang digunakan sebagai kontrol.

Hasil analisis DNA terhadap bulu itu menunjukkan bahwa DNA-nya lebih identik dengan DNA spesimen Harimau Jawa koleksi Museum Zoologicum Bogoriense (MZB). Jarak genetika DNA sehelai bulu itu dengan DNA spesimen Harimau Jawa koleksi MZB lebih rendah daripada DNA tiga jenis harimau lainnya yaitu Harimau Sumatra, Harimau Bengal, dan Harimau Siberia, serta Macan Tutul Jawa.

"Selain membandingkan dengan spesimen yang dari MZB, ada juga pembandingan yang dilakukan peneliti China karena mereka juga punya spesimen harimau Jawa, dan dalam perbandingan panjang pendeknya DNA, ternyata sampel yang didapat di Sukabumi dekat atau mirip juga dengan milik peneliti China ini. Jadi rambut yang ditemukan ini sesuai dengan sampel-sampel harimau Jawa," ujar Wirdateti saat dihubungi Selasa (24/12/2024).

"Jadi saya berani mengatakan bahwa itu memang berasal dari harimau Jawa. Tapi tentu banyak sanggahan karena orang kan tidak percaya bahwa harimau Jawa masih ada. Namun saya tetap melanjutkan pengamatan, termasuk di daerah selain Sukabumi," lanjutnya.

Menurut Wirdateti, rambut antar subspesies harimau secara morfologi serupa karena berasal dari nenek moyang yang sama. Tetapi jika dilihat secara molekuler genetik ada perbedaannya. Harimau sundaland (termasuk di antaranya adalah harimau Jawa, Sumatra, dan Bali) secara genetik memiliki kekerabatan lebih dekat, dibanding harimau kontinental.

"Meskipun hampir sama secara morfologi, tapi masing-masing memiliki perbedaan. Pembeda inilah yang mengantaran kita pada dugaan bahwa yang ditemukan adalah harimau Jawa," paparnya.

Selain menemukan rambut, di lokasi yang sama juga ditemukan bekas cakaran yang mirip dengan yang dihasilkan oleh harimau.

Temuan tersebut kemudian dipublikasikan dalam jurnal Oryx terbitan Cambridge University Press tahun 2024 berjudul "Is the Javan tiger Panthera tigris sondaica extent? DNA analysis of a recent hair sample".

Meski begitu, para peneliti belum bisa menyimpulkan bahwa harimau Jawa masih ada, karena sejauh ini belum ditemukan bukti-bukti yang bisa diyakini.

"Bicara harimau Jawa ini sensitif, kalau disebut ada, mana buktinya? Dalam konteks ilmiah kita kan harus melakukan pengujian,"ujar Wirdateti.

Sejauh ini diakui juga bahwa para peneliti kebanyakan mendapatkan data sekunder, artinya data dari laporan masyarakat. Banyak warga mengaku melihatnya dan yakin bahwa harimau Jawa masih ada, namun saat dicari hewan tersebut seolah menghilang.

"Nah (kesaksian) ini yang harus dibuktikan secara ilmiah. Sebagai peneliti yang meneliti keberadaan harimau, secara pribadi saya yakin masih ada, tetapi saya perlu bukti apakah itu benar harimau Jawa atau harimau lain. Karena kan bisa jadi harimau lain itu dilepas ke alam. Apakah harimau peliharaan atau lainnya. Tapi dari hasil pengamatan saya, kemungkinan harimau Jawa itu masih ada," papar Wirdateti.

Dalam pencarian berikutnya, tahun 2024, Wirdateti mendapat petunjuk serta laporan penampakan harimau dari masyarakat di sebuah daerah di Jawa (lokasi persisnya tidak bisa disebutkan karena dikhawatirkan membuat masyarakat khawatir dan justru mengundang pemburu).

Hal yang membuatnya yakin bahwa itu adalah harimau adalah keterangan saksi yang dengan detail menyebutkan ciri-ciri hewan yang dilihatnya. Meski banyak yang menyebutkan bahwa yang dilihat warga kemungkinan macan tutul, namun menurut Wirdateti, habitat lokasi pelaporan kurang cocok dengan macan tutul karena jenis pepohonan di sana membuat macan tutul sulit memanjat, padahal itulah perilaku utamanya.

Selain itu, lokasi tersebut memiliki banyak gua yang lebih cocok ditinggali harimau, dan masih terdapat hewan-hewan yang bisa dimangsa seperti rusa, trenggiling, hingga monyet.

Namun lagi-lagi, sejauh ini belum ada bukti sampel rambut, kotoran, hingga foto atau video yang menunjukkan keberadaan simbah di sana.

Memang bila kita mencarinya di internet, akan banyak foto bahkan video yang memperlihatkan penampakan harimau Jawa. Namun sebagian besar adalah hoaks atau palsu, berupa foto atau video yang diambil di tempat lain yang diklaim sebagai harimau Jawa.

Namun ada satu foto yang banyak mendapat perhatian, yang diklaim sebagai harimau Jawa, hasil jepretan pemburu babi hutan.

"Foto itu berasal dari warga lokal yang adalah pemburu babi hutan. Komunitas ini agak tertutup, dan dia tidak mau disebutkan namanya atau lokasi pengambilan fotonya," kata Didik Raharyono, peneliti harimau yang merupakan alumni Fakultas Biologi UGM, saat dikonfirmasi Selasa (24/12/2024).

Foto tahun 2018 yang disebut sebagai harimau Jawa di sebuah hutan di Jawa Tengah
lewat Didik Raharyono
Foto tahun 2018 yang disebut sebagai harimau Jawa di sebuah hutan di Jawa Tengah

Didik tidak mengungkap lokasi hutan tempat ditemukannya harimau Jawa. Dia tak ingin harimau Jawa kemudian jadi objek perburuan. Dia hanya mengatakan harimau Jawa itu ditemukan di hutan jati dengan titik-titik hutan alam yang dianggap angker alias wingit di Jawa Tengah (Jateng).

Adapun Didik pertama kali mendapat info ada foto harimau Jawa itu tahun 2018. Tetapi saat itu, ia sulit menemui pemotretnya karena dia seorang pemburu yang tidak ingin identitasnya diketahui. Melalui pendekatan selama tiga bulan, akhirnya sang pemotret bersedia bertemu setelah diyakinkan dirinya bukan petugas, namun peneliti.

Menurut cerita sang pemburu, pada bulan September 2018, ia dan seorang temannya sedang nyanggong (menunggu) di atas pohon untuk mengintai babi hutan. Saat itu sekitar jam 4 sore lebih sehingga cahaya Matahari masih terang. Lalu mereka mendengar suara yang semula dikira babi hutan, tapi sedikit berbeda.

"Kalau babi hutan suaranya kresek.. kresek.. kresek, tapi ini kresek-kresek lalu berhenti dan begitu lagi, seolah sang hewan bergerak dengan hati-hati dan mengamati setiap langkahnya. Akhirnya muncul seekor harimau yang mau turun minum," ujar Didik menirukan kisah si pemburu.

Melihat harimau, keduanya panik, bahkan teman sang pemotret hendak turun dari pohon dan lari, namun dicegah. Si pemburu sendiri juga panik namun sudah siap dengan senapan. "Orang ini sempat berkata, kalau harimau itu melihat saya, maka senapan ini akan saya tembakkan ke arahnya, karena bisa saja dia akan menyerang jika mengetahui kami ada di sana," kata Didik.

Tetapi harimaunya malah terlihat bingung, berjalan bolak balik ke arah selatan dan utara. Saat itulah sang pemburu terbersit ide untuk memotret. Tapi karena gemetar, foto pertama dan kedua kabur, baru foto ketiga berhasil memperlihatkan sosok macan loreng itu.

Saat Didik menemuinya, sang pemburu bercerita bahwa itu bukan pertemuan pertama dengan harimau, tapi pertemuan ketiga. Yang pertama tahun 2015-an di mana dia mennembak satu ekor harimau masih anakan, tapi hanya dijual kumisnya karena takut ketahuan.

Yang kedua tahun 2017 waktu berburu merak, dan ternyata di belakang kawanan merak ada harimau remaja yang mengikuti. Keduanya berada di lokasi yan tidak jauh dari pertemuan ketiga di mana foto diambil.

Didik pun sempat mendatangi lokasi tersebut diantar sang pemburu pada 3 Desember 2018 untuk mencocokkan dengan gambar yang ada di foto.

Menurut para pemburu lokal, perjumpaan dengan "kyaine" seperti ini bukanlah hal yang asing karena sebelum tahun 2010 mereka masih sering bertemu harimau, namun setelah 2015 harimau jarang terlihat.

"Masyarakat memang menganggap hutan itu angker. Warga sendiri mengaku tidak berani masuk ke sana. Tapi bagi saya itu justru merupakan kearifan lokal Jawa agar tak banyak orang merusak hutan dan membunuh penghuninya."

Dalam foto yang diambil si pemburu, terlihat seekor harimau loreng sedang berjalan dengan kepala menghadap ke bawah. Harimau itu berjalan di atas permukaan tanah yang terlihat miring, menuju tempat minum.

Didik yakin harimau dalam foto tersebut bukan harimau Sumatera karena ada perbedaan fisik dan jenis lorengnya.

"Pola loreng wajah harimau Jawa lebih tipis dan jarang dibanding harimau Sumatera," kata Didik. "Moncong harimau Sumatera juga lebih pendek," kata dia.

Dia pun berharap semoga individu-individu harimau yang tersisa tetap mampu menyelinap di celah batu, berlindung di balik daun rerumputan, dan mengaum dalam sunyi.

Lalu, apakah ada kemungkinan harimau Jawa masih ada di alam liar?

"Saya yakin harimau Jawa masih ada sampai saat ini. Klaim kepunahan yang telah menjadi stigma sudah didengungkan sejak tahun 1980-an, namun masih banyak saksi dan pemburu yang berburu harimau jawa hingga sekarang. Dari hasil investigasi saya bersama teman-teman selama hampir 20 tahun, ada juga bukti (jejak, cakaran, feses) tentang keberadaan harimau Jawa," ujar Didik.

Bahwa faktanya belum ada bukti sahih yang ditemukan, menurut Didik salah satu penyebabnya adalah karena penelitian selalu difokuskan pada wilayah yang secara tradisional dianggap sebagai habitat terakhir harimau Jawa.

"Hampir tidak ada orang yang meneliti lokasi-lokasi lain karena sudah terlanjur menganggap mustahil ada harimau di sana," ujarnya.

Sedangkan para peneliti di BRIN, meski menduga spesies ini masih ada, namun menjelaskan bahwa ada atau tidaknya harimau Jawa harus dibuktikan melalui analisis studi genetik dan lapangan lebih lanjut. Apalagi tidak ada bukti foto atau video tentang keberadaan si harimau.

Mengenai keberadaan harimau Jawa, ekolog satwa liar sekaligus peneliti harimau, Sunarto mengatakan bahwa cerita masyarakat bukan sesuatu yang salah atau perlu dilarang.

"Tanpa bukti ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan, cerita atau informasi masyarakat belum dapat digunakan sebagai bukti keberadaan suatu jenis satwa, terlebih jenis yang telah bertahun-tahun tidak ditemukan."

Sunarto -- peneliti harimau

"Namun, tanpa bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, cerita atau informasi masyarakat belum dapat digunakan sebagai bukti keberadaan suatu jenis satwa, terlebih jenis yang telah bertahun-tahun tidak ditemukan," tulisnya membalas pertanyaan Kompas.com, Selasa (24/12/024).

Menurutnya, usaha untuk membuktikan kepunahan suatu species dalam artian individu species tersebut benar-benar tidak tersisa satupun, dengan taraf kepercayaan 100 persen memang tidak mudah, bahkan hampir tidak mungkin, karena memerlukan survey super intensif yang berbiaya mahal.

Maka selama survei menyeluruh dan intensif belum dilakukan, harimau Jawa belum bisa dikatakan punah 100 persen. Tetapi, mengingat pencarian, baik langsung maupun tidak, yang sistematis maupun non-sistematis sudah cukup panjang, dan belum ada bukti yang bisa diverifikasi bersama, kemungkinan harimau Jawa masih eksis sangat kecil.

"Namun, ilmuwan biasanya memiliki treshhold atau batasan dan definisi kepunahan yang mungkin berbeda dengan yang dipahami oleh masyarakat awam. Sebagai contoh, dalam Kajian Viabilitas Populasi Species (PVA, Population Viability Assessment), kepunahan salah satunya didefinisikan dengan hilangnya salah satu jenis kelamin,"ujarnya.

Berkaca dari harimau Sumatera dan anak jenis harimau lainnya, dikatakan Sunarto, kucing besar ini memerlukan mangsa berukuran besar (seperti rusa, atau setidaknya babi hutan) yang dapat dipanen secara bekesinambungan secara terus menerus.

"Satu ekor harimau diperkirakan memerlukan hewan mangsa besar sekitar 50 ekor per tahun. Untuk dapat menghasilkan jumlah satwa mangsa sebanyak itu, diperkirakan diperlukan sekitar 500 indukan mangsa besar seperti rusa yang hidup dalam wilayah jelajah satu ekor harimau," kata Sunarto.

Di Sumatera yang kepadatan mangsa dan harimaunya relatif rendah, wilayah jelajah satu jantan diperkirakan seluas sekitar 100-200 km persegi, dan di dalamnya terdapat sekitar 5 betina dewasa dengan masing-masing wilayah jelajah yang sedikit tumpang tindih, dengan luasan masing-masing sekitar 50 km persegi.

Sementara itu, agar dapat bertahan hidup dan terus berkembang biak dalam jangka waktu yang panjang, ada populasi minimal suatu jenis satwa dengan populasi minimal sebanyak 50 ekor untuk dapat melawan sindrom kawin sedarah, dan 500 individu untuk menjaga kestabilan genetik.

"Berdasarkan syarat atau prinsip umum tersebut, hutan tersisa di Pulau Jawa yang berukuran relatif kecil dan telah terisolir satu dari lainnya, kemungkinan sub-optimal atau kurang memadai untuk mendukung kelestarian harimau secara natural dalam jangka panjang, kecuali kalau dikelola secara intensif dengan berbagai perlakuan seperti pengayaan habitat yang kemungkinan memerlukan berbagai input," jelasnya.

Karenanya menjawab pertanyaan di atas, apakah harimau Jawa masih ada, bukanlah hal yang mudah. Kondisi habitat dan populasi manusia di Jawa membuatnya seolah tidak mungkin. Namun di satu sisi kisah perjumpaan harimau masih terdengar dan tidak bisa dinisbikan begitu saja.

Seperti keinginan lain untuk mengungkap berbagai misteri semesta, kondisi ini bisa dimaklumatkan seperti pepatah "The truth is in the eye of the beholder" artinya kebenaran ada di mata yang melihatnya.