Ada tiga kasus pembunuhan di Jabodetabek pada 2018 yang mendapat sorotan publik dan menurut pakar masuk kategori sadis.
Apa yang membuat seseorang melakukan pembunuhan sadis? Adakah cara mencegah pembunuhan terjadi? Bagaimana pula mengatasi trauma keluarga korban?
SETIDAKNYA, ada 37 kasus pembunuhan terjadi dan terungkap di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) selama 2018.
Tiga peristiwa di antaranya mendapat banyak sorotan masyarakat dan menurut para pakar masuk kategori sadis.
Ketiga kasus itu menjadi sorotan karena pelaku diketahui saling mengenal dengan korban.
Selain rentang waktu kejadian yang relatif berdekatan—yaitu pada November 2018—, ketiga kasus itu menjadi sorotan juga karena pelaku diketahui saling mengenal dengan korban.
Bagaimana pendefinisian kasus pembunuhan dianggap sadis? Adakah cara untuk mencegah kejadian serupa terjadi? Lalu, secara umum bagaimana cara mengatasi trauma keluarga setelah sebuah peristiwa pembunuhan terjadi?
Sebelum membahas pertanyaan-pertanyaan di atas, JEO ini akan menampilkan gambaran perkara pembunuhan yang terjadi dan terungkap di Jabodetabek sepanjang 2018. Sesudah itu, pandangan sejumlah pakar akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.
MERUJUK data Polda Metro Jaya, setidaknya terjadi dan terungkap 37 kasus pembunuhan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sepanjang 2018.
Dari jumlah itu, satu kasus dilimpahkan penanganannya ke Polres Bogor, tak lagi ditangani Polda Metro Jaya, yaitu kasus pembunuhan Abdullah Fithri Setiawan (Dufi).
Berdasarkan sebaran lokasi kejadian, kasus pembunuhan banyak terjadi di Bekasi. Dari motif, kasus pembunuhan paling banyak terjadi karena sakit hati.
Persoalan sakit hati ternyata juga punya implikasi serius termasuk terhadap cara kejahatan dilakukan dan perlakuan terhadap korban.
Pada 2018, misalnya, dua dari tiga perkara yang disebut masuk kategori sadis dinyatakan berlatar belakang sakit hati.
Pakar kriminologi dan kepolisian Adrianus Meliala mengatakan, setiap orang sebenarnya memiliki bakat kriminal, termasuk membunuh. Namun, tidak setiap orang berarti akan melakukan pembunuhan, apalagi secara sadis.
ADRIANUS mengatakan, ada tiga penyebab yang membuat suatu pembunuhan sadis bisa terjadi, yaitu:
Sebab substansial umumnya ada dua, sebut Adrianus, yakni rasa marah yang luar biasa dan dendam yang luar biasa.
Sebab substansial (pembunuhan sadis) umumnya ada dua, sebut Adrianus, yakni rasa marah yang luar biasa dan dendam yang luar biasa.
"Jadi bayangkan, misalnya ada (pembunuhan karena) dendam turun-temurun. Itu umumnya terjadi perusakan yang eksklusif pada diri korban," kata Adrianus.
Adapun dukungan kolektif bisa berupa dorongan dari teman-teman atau dilakukan bersama teman-teman.
"Jadi karena saya disuruh atau saya sama teman-teman saya membunuh maka kemudian terjadi suatu hal yang sadis. Jadi dengan kata lain, ada tekanan kolektif yang dialami oleh pembunuhnya," lanjut Adrianus.
Sementara itu, penyebab intensional memang lebih kepada sikap pelaku yang intensional alias memang sengaja membunuh karena ada tujuan tertentu.
"(Intensional itu termasuk) sudah ada iming-iming harta, sudah ada niat jahat untuk menguasai harta korban, maka kalau itu saudara sekalipun, mengenal sekalipun, dapat saja mengakibatkan suatu hal yang fatal," ujar Adrianus.
Dari setidaknya 37 kasus pembunuhan yang terjadi dan terungkap di kawasan Jabodetabek pada 2018, tiga kasus berikut ini disebut sebagai pembunuhan sadis, yaitu:
Dalam kasus pembunuhan di Bekasi, pelaku bernama Haris Simamora membunuh satu keluarga yang masih keluarganya sendiri.
Pemicunya, sakit hati akibat ucapan dari korban bernama Diperum Nainggolan (38) dan Maya Ambarita (37) yang merupakan keponakan dari Haris.
Usai membunuh Diperum dan Maya, Haris juga membunuh kedua anak Diperum bernama Sarah Nainggolan (9) serta Arya Nainggolan (7).
Di Bogor, Abdullah Fithri Setiawan—dikenal dengan nama panggilan Dufi— ditemukan seorang pemulung tewas di dalam drum di sebuah lahan kosong kawasan Bogor.
Belakangan diketahui, para tersangka menghabisi Dufi lantaran ingin merampas dan memiliki barang berharga yang ia bawa.
Mobil milik Dufi yang diparkir di Stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan pun dibawa kabur para tersangka usai membunuh korban.
Di Jakarta Selatan, pemandu lagu berinisial CIP (22) dibunuh temannya yang berinisial YAP (24) dan NR (17) di kamar kos kawasan Mampang, Jakarta Selatan.
Pembunuhan dilakukan karena masalah pembagian uang tip. CIP diduga memotong uang jatah tip milik NR.
Selain itu, berdasarkan keterangan tersangka, CIP menghina kedua pelaku hingga mereka sakit hati.
Setelah cekcok, kepala CIP dipukul dengan palu dan itu menyebabkan kematiannya. Tersangka lalu menyembunyikan mayat CIP dalam lemari hingga membusuk di kamar kos.
Kedua pelaku kabur ke Padang, Sumatera Barat, dan selang beberapa waktu mereka ditangkap polisi.
Pembunuhan sadis, kata Adrianus, sebenarnya tak selalu melihat apakah pelaku dan korban saling mengenal atau tidak. Sebab, kesadisan bisa terjadi dengan perencanaan ataupun tidak.
Dari sudut pandang kriminologi, Adrianus mengatakan ketiga kasus di atas masuk kategori pembunuhan sadis dengan latar belakang penyebab seperti yang sudah dia urai sebelumnya.
Pada kasus di Bekasi, misalnya, menurut Adrianus, Haris menyimpan dendam dan amarah yang besar karena sering dihina dan diremehkan korban.
"Ini yang membuat dia nekat membunuh meski korban adalah kerabatnya," sebut Adrianus.
Begitu juga dengan kasus di Jakarta Selatan. Sehari-hari, kedua pelaku selalu dihina korban karena menumpang hidup di kontrakan milik korban.
Ditambah lagi, kata Adrianus, ada amarah besar yang timbul dari diri kedua pelaku karena sikap tidak adil korban yang memotong uang tip kerja pelaku secara sepihak.
"Hal itu membuat kedua pelaku membunuh korban dengan sadis hingga dimasukkan ke dalam lemari," ujar Adrianus.
Adapun kasus di Bogor juga dikatakan pembunuhan sadis karena para pelaku melihat korban merupakan orang "berada" lalu tergiur merampas harta korban. Demi tujuan itu, para pelaku nekat melakukan apa pun agar keinginan mereka terpenuhi.
"Itu kan pada dasarnya orang-orang yang orientasi hidupnya materi, sehingga kemudian memilih bersedia melakukan hal apa saja, termasuk kejahatan dalam rangka memenuhi kebutuhan materinya," jelas Adrianus.
PENCEGAHAN terhadap kejahatan, termasuk pembunuhan, pada umumnya tidak berbeda dengan cara mengantisipasi beragam kejahatan lain. Misalnya, tidak membuka peluang bagi pelaku untuk bertindak kriminal.
Namun, Adrianus menyebut, tidak ada cara khusus untuk mencegah pembunuhan sadis terjadi. Sebab, kesadisan bersifat abstrak dan tidak bisa dilihat atau diprediksi oleh seseorang.
Kesadisan bersifat abstrak dan tidak bisa dilihat atau diprediksi oleh seseorang.
"Manusia tidak bisa secara tepat melihat apa yang dirasakan kerabat atau keluarganya, soal tingkah dan perilaku mereka," kata Adrianus.
Adapun untuk mencegah pembunuhan terjadi, pada dasarnya hubungan antar-manusia harus terjalin baik. Misal, seseorang harus bisa menjaga perkataannya kepada siapa pun sehingga tidak melukai hati sesamanya.
"Menurut saya, (pencegahannya ya dari) hubungan antar-personal ya. Hubungan manusia itu harus kuat dalam arti bahwa kita juga harus jaga perasaan orang lain dan itu tercermin dalam perkataan dan perbuatan," jelas Adrianus.
Dengan menjalin hubungan baik, maka mereka bisa mengenal baik sesamanya. Jika ada sesuatu yang berbeda dari seseorang, maka dia bisa peka dan membicarakan apa yang terjadi pada orang tersebut.
Pakar sosial dan komunikasi dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati menjelaskan, pembunuhan atau kekerasan antar-manusia sebenarnya telah terjadi sejak zaman prasejarah.
Bedanya, kata Devie, pada saat ini kekerasan bahkan pembunuhan tak lepas dari peran teknologi di era modern yang membuat sensitivitas seseorang cenderung berkurang.
Pada kasus pembunuhan Dufi, ujar Devie memberikan contoh, cara pelaku menghabisi nyawa korban dilakukan karena pelaku kehilangan akal sehat. Pelaku juga mengambil keuntungan dengan mencuri kendaraan korban.
Sedangkan dalam kasus CIP, Devie menilai pembunuhan terjadi akibat komunikasi langsung yang sudah mulai berkurang di kehidupan manusia era modern.
"Manusia modern enggak terlatih berhubungan satu dengan yang lain. (Yang banyak terjadi), keringnya komunikasi offline dan kehilangan sensitivitas, kelelahan hidup akibat teknologi, dan keterampilan yang rendah untuk berkomunikasi dengan orang," papar Devie.
Pakar sosial lainnya, Rissalwan Habdy Lubis, mengangkat teori sosiolog asal Amerika, Talcott Parsons dalam kaitannya dengan fenomena pembunuhan di mana korban dan pelaku yang saling mengenal.
"Jadi kalau seseorang sudah punya interaksi yang intens, harusnya sudah tahu apa yang buat temannya enak dan apa yang membuat temannya enggak enak," kata Rissalwan.
Sejalan dengan Devi, Rissalwan menilai kurangnya interaksi sosial juga disebabkan masuknya era modern. Ia mengatakan, komunikasi dan interaksi saat ini telah tergantikan dengan media sosial atau gadget (gawai).
"Jadi bahasa sederhananya, orang yang tadinya guyub atau solidaritasnya tinggi sekarang menjadi cenderung tergerus dan menjadi egois," katanya.
Hal ini berhubungan dengan pembunuhan keluarga Diperum. Dari kasus tersebut, Rissalwan menilai motif sakit hati membuat manusia memiliki kecenderungan agresif dan tega melakukan kekerasan.
Ditambah, perkembangan teknologi membuat seseorang mudah mendapatkan informasi cara melakukan kekerasan.
"Norma sosial yang buat (sifat) agresif kita turun. Jadi, kalau orang semakin agresif berarti kan normanya semakin berkurang, semakin luntur," kata Rissalwan.
Pemerintah dinilai harus bertanggung jawab untuk mendorong orang-orang agar terus berkomunikasi dengan cara menggerakkan kembali kearifan lokal.
Menurut Devi, tingkatan pembelajaran norma sosial berawal dari level mikro di kemasyarakatan hingga level makro di pemerintahan.
"Pada level mikro, masyarakat punya tanggung jawab minimal dalam teori saya. Minimal kenal 4 penjuru, kenal depan, samping kanan, samping kiri, dan belakang. Itu wajib. Saudara yang utama adalah tetangga," kata Devi.
Pemerintah dinilai harus bertanggung jawab untuk mendorong orang-orang agar terus berkomunikasi dengan cara menggerakkan kembali kearifan lokal.
Di antaranya dengan kegiatan lingkup kecil seperti dalam bertetangga di tingkat RT dan RW, kegiatan perkumpulan warga, siskamling, atau arisan.
"Negara secara makro atau struktur memiliki kepentingan untuk membuat warganya bahagia. Contohnya, kenapa transportasi harus bagus, karena kalau orang tidak kena macet dan bisa bertemu dengan orang-orang yang dicintai di rumah itu akan membuat dirinya jauh lebih bahagia dan lebih tenang," terangnya.
TRAUMA yang dialami keluarga korban bukanlah hal yang mudah untuk dihilangkan. Namun beberapa cara dapat dilakukan untuk menghilangkan traumanya.
Pendiri konsultan psikologi Essa Consulting, Rose Mini Agoes Salim mengatakan, dalam mengatasi trauma seseorang yang ditinggalkan pertama-tama harus melihat seberapa dekat orang tersebut dengan korban.
Biasanya, orang terdekat korban bakal menyalahkan dirinya sendiri akan kepergian korban tersebut.
"Apalagi korban ini sebagai pencari nafkah atau anak satu-satunya yang pastinya akan berdampak panjang. Jadi mereka (keluarga atau orang terdekat korban) perlu tahu apabila kejadian tersebut bukan kesalahan mereka," ucap psikolog yang biasa dipanggil Romi ini.
Romi mengatakan, membantu orang yang trauma terhadap kejadian pahit bukan dengan menasihati mereka, tetapi dengan mengalihkan pikiran orang tersebut.
"Jangan ungkit mereka tentang kejadian yang baru saja dialaminya karena akan membuat orang tersebut terngiang-ngiang kembali akan hal itu," ucap Romi.
Adapun untuk menghilangkan trauma orang terdekat atau keluarga korban, dapat dengan cara mengajaknya melakukan hal-hal yang ia sukai.
"Ya misalkan mengajak dia refreshing, bisa dengan melakukan kegiatan keagamaan. Bisa juga ajak ngobrol hal yang mereka sukai," ucap Romi.
"Apabila yang ditinggalkan masih tergolong kecil, yang perlu dilakukan adalah mendampingi anak tersebut untuk tidak menjadi pembenci."
~Rose Mini Agoes Salim~
Apabila keluarga yang ditinggalkan ada yang masih di bawah umur, bisa dilakukan penanganan dengan pendampingan khusus.
"Apabila yang ditinggalkan masih tergolong kecil, yang perlu dilakukan adalah mendampingi anak tersebut untuk tidak menjadi pembenci," ucap Romi.
Hal lain yang tak kalah penting yakni menghindari diri kita dari rasa dendam. Untuk mewujudkan hal tersebut, sebaiknya setiap manusia menempuh tahap katarsis.
Katarsis berarti mengekspresikan emosi kita atau menuangkan segala isi hati dengan bebas. Singkatnya, katarsis adalah salah satu usaha yang bisa dilakukan untuk mengungkapkan emosi yang sedang dirasakan.
Selain itu, katarsis juga menjadi sarana pelepasan ketegangan atau kecemasan yang sedang dirasakan.
"Jadi setiap orang itu harus memiliki wadah untuk mengeluarkan unek-unek atau masalahnya dalam suatu wadah. Jadi wadah ini yang bisa mengekspresikan dirinya," ucap Romi.
Katarsis bisa dilakukan dalam berbagai bentuk aktivitas, seperti melukis, menulis puisi, olahraga, mewarnai, jalan-jalan, dan berteriak.