JEO - Insight



Menelaah
"Tindakan Tegas
dan Terukur"
Polisi…

Kamis, 17 Desember 2020 | 12:06 WIB

Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan.

-Pramoedya Ananta Toer-

δ

PERNYATAAN "tindakan tegas dan terukur" sering terlontar dari mulut pejabat polisi yang tampil di media massa.

Kalimat tersebut biasanya merujuk pada peristiwa personel kepolisian menembakkan senjata kepada seseorang atau sekelompok orang yang dianggap membahayakan atau yang sedang menghindari proses hukum.

Contohnya, polisi menembak seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana karena yang bersangkutan disebut melawan saat hendak ditangkap.

Contoh lain, polisi menembak kaki seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana karena yang bersangkutan dibilang berusaha melarikan diri.

Kasus yang sering terjadi pula, polisi melepaskan gas air mata atau peluru karet untuk membubarkan unjuk rasa.

Polisi membubarkan massa saat kericuhan terjadi di seputar Patung Kuda, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.
KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO
Polisi membubarkan massa saat kericuhan terjadi di seputar Patung Kuda, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.

Tanpa proses peradilan, mereka yang dikategorikan setidaknya berpotensi melawan hukum itu ada yang "beruntung" hanya mengalami cedera. Namun, tak sedikit pula dari mereka yang berujung kehilangan nyawa.

Melihat potensi abuse of power dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di dalamnya, rasa-rasanya tindakan tegas dan terukur oleh kepolisian patut kita telaah lebih lanjut.

Apa dasar hukumnya? Bagaimana prosedurnya? Seperti apa pengalaman personel polisi yang bertugas di lapangan?

Di mana pula batas antara penggunaan wewenang dan penyalahgunaannya? Bagaimana pula pertanggungjawaban personel polisi yang menggunakan kewenangan ini apalagi yang menyalahgunakannya?

Selengkapnya di sini....

 

Klik masing-masing teks menu di bawah ini untuk melompat ke bagian yang dikehendaki

 Tiga Dasar Hukum     
 Potret Kasus 
    
 Cerita Polisi     
 Perlu Pengujian 
    

 

⏰ Waktu baca: 2,5 menit 

 TIGA 
 DASAR HUKUM  

Polisi mengamankan aksi unjuk rasa di jalan Medan Merdeka Barat tepatnya depan Gedung Sapta Pesona mengarah ke Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (12/10/2020). Massa dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja.
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG
Polisi mengamankan aksi unjuk rasa di jalan Medan Merdeka Barat tepatnya depan Gedung Sapta Pesona mengarah ke Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (12/10/2020). Massa dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja.

KETENTUAN soal tindakan tegas dan terukur oleh polisi tertuang dalam sejumlah regulasi institusi kepolisian.

Secara lugas, kalimat itu hanya muncul secara presisi di satu regulasi, yakni Prosedur Tetap (Protap) Kepala Polri 1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki, tepatnya pada Nomor 5 huruf e.

Bunyinya, tindakan tegas dan terukur adalah serangkaian tindakan kepolisian yang dilakukan oleh anggota Polri, baik perseorangan maupun dalam ikatan kesatuan secara profesional, proporsional dan tanpa ragu-ragu, serta sesuai peraturan perundangan yang berlaku

Peraturan Kepala Polri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian juga memuat klausul tentang tindakan tegas dan terukur personel kepolisian. Hanya saja, diksinya berbeda.

Bunyinya, tindakan kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan atau membahayakan jiwa raga, harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat.

Seorang polisi menembakan gas air mata saat berupaya mengamankan aksi unjuk rasa mahasiswa  yang menolak disahkannya RUU Cipta Kerja di Jalan Samratulangi Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (8/10/2020). Aksi unjuk rasa oleh ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Kota Palu tersebut diwarnai kericuhan dan mengakibatkan sejumlah mahasiswa serta polisi terluka.
ANTARA FOTO/MOHAMAD HAMZAH
Seorang polisi menembakan gas air mata saat berupaya mengamankan aksi unjuk rasa mahasiswa yang menolak disahkannya RUU Cipta Kerja di Jalan Samratulangi Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (8/10/2020). Aksi unjuk rasa oleh ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Kota Palu tersebut diwarnai kericuhan dan mengakibatkan sejumlah mahasiswa serta polisi terluka.

Lalu, sejumlah polisi yang dihubungi Kompas.com menyebut, tindakan tegas dan terukur ini merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

“(Aturannya) ada di Perkap 8/2009. Itu implementasi dari prinsip standar hak asasi manusia. Adanya di Pasal 45 hingga 49 bagian keempat itu soal penggunaan kekuatan tindakan keras dan senjata api,” ujar Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen (Pol) Ferdy Sambo, Selasa (8/12/2020), sebagai salah satu yang menggunakan rujukan tersebut.

Lho, kok beda-beda? Mari kita telaah satu per satu…

 Protap 1/X/2010 

Dalam Protap ini, tindakan tegas dan terukur ditempatkan sebagai cara bertindak personel kepolisian, baik individu maupun satuan, saat berhadapan dengan tindakan anarki.

Tindakan anarki menurut Protap 1/X2010 didefinisikan sebagai, tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan jiwa dan/ atau barang, kerusakan fasilitas hukum atau hak milik orang lain.

Tindakan anarki terdiri dari dua klasifikasi. Pertama, ancaman gangguan, yakni tindakan yang belum menjadi anarki. Kedua, gangguan nyata, yaitu tindakan yang sudah masuk kategori anarki.

Contoh ancaman gangguan, antara lain, membawa senjata api atau senjata tajam, membawa bahan berbahaya (padat, cair dam gas), membawa senjata/ bahan berbahaya lainnya dan melakukan tindakan provokatif.

Adapun contoh gangguan nyata adalah perkelahian massal, pembakaran, perusakan, pengancaman, penganiayaan, pemerkosaan, penghilangan nyawa orang, penculikan, pengeroyokan, penjarahan dan melawan/menghina petugas dengan menggunakan atau tanpa menggunakan alat dan/atau senjata.

Dalam menghadapi tindakan-tindakan anarki itu, personel polisi diberikan wewenang untuk menggunakan kekerasan dan senjata api secara tegas dan terukur.

Wewenang itu juga sesuai dengan Protokol VIII PBB tentang Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum, dari pertemuan di Havana, Kuba, pada 1990.

Merujuk protokol tersebut, personel kepolisian diperbolehkan menggunakan kekerasan dan senjata api untuk:

  1. Membela diri atau orang lain terhadap ancaman kematian atau luka parah.
  2. Mencegah pelaku kejahatan melarikan diri.
  3. Mencegah dilakukannya suatu tindakan kejahatan yang sangat serius.
  4. Apabila cara yang ditempuh pertama kali oleh personel tidak cukup untuk mencapai tujuan.

Resolusi PBB 34/169 tertanggal 17 Desember 1979 tentang Ketentuan Berperilaku (Code of Conduct) untuk Pejabat Penegak Hukum juga memuat syarat yang sama.

Lantas, bagaimana cara bertindak personel kepolisian yang tegas dan terukur saat berhadapan dengan tindak anarki?

Berikut ini penjelasan Bab II Nomor 14 Protap 1/X2010:

Apabila personel kepolisian berhadapan dengan tindakan anarki, maka segera dilakukan tindakan:

  1. Peringatan secara lisan agar menghentikan tindakannya;
  2. Segera melaporkan kepada pimpinan dan/ atau satuan Polri terdekat untuk meminta bantuan kekuatan dan perkuatan.

Namun, apabila berdasarkan penilaian personel kepolisian bahwa pelaku anarki dapat ditangani, maka dia dapat melakukan tindakan melumpuhkan dengan cara:

  1. Kendali senjata tumpul dan/ atau senjata kimia, antara lain gas air mata atau alat lain sesuai standar Polri;
  2. Kendali menggunakan senjata api atau alat lain untuk menghentikan tindakan atau perilaku pelaku yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian dirinya sendiri atau anggota masyarakat.

Protap 1/X/2020 juga mengatur cara bertindak personel kepolisian dalam satuan dinas apabila berhadapan dengan tindak anarki.

Cara Polisi Hadapi Anarki Menurut Protap 1/X/2020 - (KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO)

 Perkap 8/2009 

Pasal 47 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 menyebut, penggunaan senjata api hanya boleh digunakan apabila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.

Kemudian, ditegaskan kembali dalam ayat (2) bahwa senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:

  1. Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
  2. Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
  3. Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
  4. Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
  5. Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
  6. Menangani situasi yang membahayakan jiwa, di mana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Dalam Pasal 48, dijelaskan bahwa setiap personel kepolisian yang menggunakan senjata api harus berpedoman pada prosedur penggunaan senjata api sebagai berikut:

  1. Petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas dan proporsionalitas.
  2. Sebelum menggunakan senjata api, petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara:
    1. Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas;
    2. Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya; dan
    3. Memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.
  3. Dalam keadaan yang sangat mendesak di mana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak perlu dilakukan.

Artinya, merujuk ketentuan huruf c di atas, personel kepolisian boleh memangkas prosedur sebagaimana yang tertuang pada Bab II Nomor 14 Protap 1/X2010 dan Pasal 48 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009.

Namun, Pasal 45 menyatakan pula, setiap personel Polri yang menggunakan kekuatan/tindakan keras diwajibkan mempertimbangkan beberapa hal, yakni:

  1. Tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu;
  2. Tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan;
  3. Tindakan keras hanya diterapkan untuk tujuan penegakan hukum yang sah;
  4. Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum;
  5. Penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan secara proporsional dengan tujuannya dan sesuai dengan hukum;
  6. Penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi;
  7. Harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras; dan
  8. Kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus seminimal mungkin.
Dasar hukum penggunaan senjata api oleh personel kepolisian - (KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO)

 Perkap 1/2009 

Sebagaimana Protap 1/X/2010, Perkap 1/2009 ini dijelaskan pula tahap-tahap penggunaan kekuatan beserta ukuran ketegasannya.

Pasal 5 ayat (1) Perkap 1/2009 menyebut, tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian terdiri dari:

  1. Tahap 1 : Kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan;
  2. Tahap 2 : Perintah lisan;
  3. Tahap 3 : Kendali tangan kosong lunak;
  4. Tahap 4 : Kendali tangan kosong keras;
  5. Tahap 5 : Kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri;
  6. Tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.

Pada ayat (2) dijelaskan juga bahwa anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Prinsip dalam Pasal 3 yang dimaksud dalam klausul di atas adalah legalitas, nesesitas, proporsionalitas, kewajiban umum, preventif, dan masuk akal.

Pasal 8 ayat (1) Perkap 1/2009 kembali menegaskan bahwa penggunaan senjata api dan alat lain oleh personel kepolisian hanya dapat dilakukan ketika situasi yang dihadapi memenuhi syarat berikut:

  1. Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;
  2. Anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;
  3. Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

Adapun pada ayat (2) menyebut, penggunaan kekuatan dengan senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.

Lalu, ayat (3) ditegaskan bahwa untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan penggunaan kendali senjata api dengan atau tanpa harus diawali peringatan atau perintah lisan.

Kapan Polisi Boleh Menggunakan Senjata Api? - (KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO)

 ⏎ MENU  

 ⏎ AWAL ARTIKEL  

 POTRET KASUS 

Ilustrasi proses setelah penggunaan senjata api oleh polisi - (DOK KOMPAS/DIDIE SW)

DALAM beberapa tahun terakhir, ada sejumlah kejadian terduga pelaku kejahatan tewas di tangan polisi tanpa ada proses peradilan. Pro kontra, kecaman, bahkan gugatan hukum tak jarang mengikuti.

Berikut ini tiga di antaranya: 

 Siyono 

Siyono (34) adalah warga Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dia ditangkap Densus Antiteror 88 pada 9 Maret 2016.

Namun, Siyono dilaporkan tewas saat tengah dalam proses penyidikan polisi, tiga hari setelah ditangkap.

Pada 30 Maret 2016, kepolisian menyatakan bahwa Siyono yang memiliki nama samaran Afif merupakan bagian dari kelompok teror Jamaah Islamiyah (JI).

Kapolri saat itu, Jenderal Badrodin Haiti mengatakan, Siyono bergabung dengan JI sejak 2001 dan terlibat di dalam sejumlah aksi teror.

"Dia kelompok JI sudah lama. Dia itu simpan senjata api," ujar Badrodin di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (30/3/2016).

Baca juga: Busyro: Otopsi Ulang Siyono Hanya untuk Mencari Keadilan dan Kebenaran

Kematiannya dalam status sebagai terduga teroris dipermasalahkan keluarga. Mereka bahkan sempat mengadu ke PP Muhammadiyah.

Hasil otopsi yang dilakukan tim PP Muhammadiyah bersama Komnas HAM dan Dokter Forensik Indonesia memperlihatkan, ada banyak bekas kekerasan fisik pada jasad Siyono.

Pada 11 April 2016, Komnas HAM menyatakan, jenazah Siyono mengalami patah di lima iga bagian kiri, patah satu iga bagian kanan, luka ketokan di kepala, dan tulang dada yang patah akibat benda tumpul di rongga dada mengarah ke jaringan jantung.

"Ini yang menyebabkan kematian yang lumayan fatal. Titik kematian ada di situ," kata Komisioner Komnas HAM pada saat itu, Siane Indriane, dalam pernyataan kepada wartawan pada 11 April 2016.

Baca juga: Dokter dari Universitas Muhammadiyah Akan Otopsi Jenazah Siyono

Hasil forensik tak menunjukkan ada tanda-tanda perlawanan atau tangkisan dari Siyono.

Temuan Komnas HAM ini bertolak belakang dengan keterangan polisi yang menyatakan bahwa Siyono sempat terlibat perkelahian dengan anggota Densus 88.

Polisi menyebut, Siyono tewas akibat perdarahan di kepala yang disebabkan benturan dengan benda tumpul.

Dua polisi yang dianggap bertanggung jawab dalam kasus ini belakangan dimutasi. Namun, alasan mutasi bukan karena tewasnya Siyono. Mereka dimutasi karena dianggap melakukan pelanggaran prosedur, yakni melepaskan borgol yang menyebabkan terjadinya perkelahian.

Hingga 2017, pihak keluarga masih terus mempermasalahkan kematian Siyono ke polisi.

Baca juga: Setahun Berlalu, Kejelasan Kasus Siyono Kembali Dipertanyakan

Karena tak kunjung mendapat kejelasan dari polisi, keluarga mengajukan praperadilan ke PN Klaten pada sekitar awal 2019. Namun, PN Klaten menolak gugatan tersebut.

 Jihad Ikhsan 

Muhammad Jihad Ikhsan alias Abdullah Jhons (22) adalah warga Mojosongo, Jebres, Solo, Jawa Tengah.

Ia ditembak oleh Densus 88 saat ditangkap di Dukuh Ngruki Desa Cemani Kecamatan Grogol, Sukoharjo, pada 10 Juli 2020.

Ikhsan sempat dirawat di RS Bhayangkara dan RSUP Kariadi Semarang selama sekitar 24 jam sebelum tewas pada 11 Juli 2020. Kepolisian menyebut, Ikhsan ditembak karena melawan saat akan ditangkap.

"Tersangka IA melawan dengan menggunakan senjata tajam sehingga dilakukan penindakan terarah dan terukur," kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono melalui keterangan tertulis, Minggu (12/7/2020).

Kepolisian menyebut Ikhsan adalah terduga teroris yang terkait dengan KW, penyerang Wakapolres Karanganyar Kompol Busroni di Tawangmangu, Jateng, pada 21 Juni 2020.

Sebelum penangkapan Ikhsan, ada tiga tersangka lain dalam kasus penyerangan tersebut yang sudah ditangkap polisi. Mereka adalah IS, warga Semarang, serta Y dan W yang merupakan warga Boyolali.

"Kelompok ini berafiliasi dengan ISIS, yang juga berencana meledakkan markas polisi di Lampung. Saat ini Y, IS, dan W ditahan untuk pengembangan penyidikan selanjutnya," kata Argo.

Baca juga: Terduga Teroris Tewas Ditembak Densus 88 di Sukoharjo

Kematian Ikhsan disesalkan pihak keluarga. Mereka mengangggap penangkapan yang dilakukan aparat tidak terukur sehingga mengakibatkan kematian sebelum yang bersangkutan dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Kuasa hukum keluarga MJI, Endro Sudarsono sangat menyesalkan tindakan aparat dalam melakukan penangkapan. Menurut dia, kasus kematian Ikhsan perlu dilakukan investigasi lebih lanjut.

"Itu sudah tidak lagi terukur. Karena itu sudah mematikan," kata Endro saat dihubungi Kompas.com via telepon, Senin (13/7/2020).

Endro menyebut, tindakan terukur itu mestinya pada bagian kaki atau paha untuk tembakan pertama. Tembakan kedua pun mestinya menurut dia diarahkan bagian bawah lutut, seperti betis.

"Kalau sudah (tembakan ke) perut itu sudah mematikan," lanjut dia.

Untuk menghindari pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangkap terduga terorisme, Endrro meminta Komnas HAM dan DPR RI untuk meningkatkan peran pengawasan. Aparat yang terbukti bersalah juga harus dikenakan sanksi.

Baca juga: Terduga Teroris Tewas Ditembak Sebelum Diadili, Keluarga Sesalkan Tindakan Aparat

 Pengawal Rizieq Shihab 

Peristiwa enam anggota Front Pembela Islam (FPI) ditembak mati oleh kepolisian pada 7 Desember 2020 masih menyisakan tanda tanya hingga tulisan ini tayang.

Di antara hal yang masih menyisakan misteri adalah lokasi kematian dan kronologi peristiwa nahas itu.

Publik semakin bingung lantaran polisi dan FPI memberikan keterangan berbeda dan bertolak belakang tentang peristiwa tersebut.

Menurut keterangan polisi, keenam pengawal Rizieq tewas dalam baku tembak di tol Jakarta-Cikampek KM50 arah Karawang pada Senin (7/12/2020) dini hari.

Polisi juga membeberkan barang bukti yang disebut milik para pengawal Rizieq, mulai dari katana hingga pistol rakitan.

Keenam orang itu disebut berupaya menyerang polisi dengan senjata api dan tajam. Rombongan polisi saat itu menguntit iring-iringan mobil yang membawa Rizieq.

Kepolisian mengklaim alasan penguntitan adalah menyelidiki dugaan upaya pengerahan massa saat pemeriksaan Rizieq dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan belum lama ini.

Sementara itu, FPI menyatakan keenam anggotanya tidak tewas di KM50. Sekretaris FPI, Munarman, menyebut keenam pengawal Rizieq sempat hilang.

FPI baru mengetahui keenamnya tewas dari keterangan pers yang disampaikan polisi pada Senin siang.

Menurut versi FPI, Rizieq tengah dalam perjalanan untuk menghadiri pengajian keluarga. Ia membawa serta istri, anak, menantu, dan cucunya.

FPI mengklaim anggotanya yang tewas tidak ada yang memiliki senjata api. Mereka menuding keenam orang ini "dihabisi" oleh polisidi tempat lain.

Sejumlah pihak mendesak dilakukan penyelidikan oleh tim independen dalam kasus ini demi memberikan keadilan.

 


 ⏎ MENU  

 ⏎ AWAL ARTIKEL  

 CERITA POLISI 

Ilustrasi polisi tembak terduga pelaku kejahatan - (DOK KOMPAS/DIDIE SW)

BERBICARA soal tindakan kepolisian yang tegas dan terukur, kurang lengkap rasanya bila tidak mendengar pengalaman dari polisi yang terjun langsung dan mengalaminya.

Ajun Komisaris Polisi Dongan Pardamaean Ambarita bercerita, pada akhir Juli 2013 dia pernah berada di situasi yang sulit. Pilihannya, melumpuhkan sasaran atau kehilangan nyawa sendiri dan anak buah.

Ketika itu, ia menjabat sebagai Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Jatinegara Polres Metro Jakarta Timur.

Pengintaiannya bersama tim selama dua bulan terhadap komplotan pelaku pencurian kendaraan roda dua berbuah hasil. Pada dini hari, pelaku beraksi di kawasan Kebon Nanas, Jakarta Timur.

“Waktu mereka lagi "metik"—istilah polisi bagi pelaku yang sedang mencuri kendaraan—, langsung kami sergap. Saya teriak, ‘Polisi! Berhenti!’,” cerita Ambarita yang saat ini menjabat Kepala Unit II Subdirektorat Harta Benda Direktorat Kriminal Umum Polda Banten.

 Syarat tak mudah 

Pelaku sontak menghentikan aktivitasnya. Namun, hal yang tidak disangka-sangka tiba-tiba terjadi di hadapan Ambarita.

Pelaku mengeluarkan senjata api rakitan dan menodongkannya ke arah Ambarita. "Dor!" Tembakan dilepas. Beruntung, Ambarita lolos dari terjangan timah panas itu.

Aksi pengejaran dan baku tembak pun tidak terelakkan. Buntutnya, pelaku berinisial F dilumpuhkan. Namun, dia kehilangan nyawa di lokasi, dengan pistol rakitan masih dalam genggaman.

“Setelah kami geledah motor sampai ke rumahnya, kami temukan pistol rakitan lain, senjata tajam, dan kunci-kunci buat mencuri motor,” ujar Ambarita yang separuh perjalanan kariernya bertugas di bidang reserse dan kriminal.

Ambarita mengatakan, sebagai personel yang bertugas di bidang reserse, ia berpedoman pada Perkap Nomor 1 Tahun 2009 Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Bagi dia, itulah pedoman yang ia dan rekan-rekan polisi lainnya jalankan agar seluruh tugas-tugas terukur.

“Jadi ada eskalasi situasinya. Kalau memungkinkan pakai negosiasi, ya kami tempuh. Tapi kalau sudah membahayakan kami dan orang lain, bisa kami gunakan tindakan tegas dan terukur tadi,” ujar Ambarita.

Ia kemudian menyinggung peristiwa polisi menembak mati enam orang pengawal pemimpin FPI Rizieq Shihab, beberapa waktu lalu.

“Kayak FPI kemarin. Kalau pistol sudah nampak, sudah membahayakan petugas itu artinya. Apalagi kalau sudah tidak ada tempat berlindung bagi petugas atau orang lain yang dilindungi, tindakan tegas bisa dilakukan,” ujar Ambarita.

Meski begitu, Ambarita mengakui bahwa memang sulit menempuh semua syarat di dalam pedoman penggunaan kekuatan kepolisian.

Di satu sisi, kata dia, polisi terikat dengan aturan dan kode etik yang cukup ketat soal penggunaan kekuatan.

Namun, lanjut Ambarita, di sisi lain waktu terus berpacu dan memaksa personel polisi seperti dirinya yang dihadapkan dalam situasi bahaya untuk mengambil keputusan yang tepat.

 Pertanggungjawaban 

Soal sebagian publik menyebut bahwa cara bertindak polisi seperti itu berpotensi melanggar HAM, Ambarita yang pernah bertugas sebagai polisi perdamaian PBB di Lebanon mengatakan anggapan tersebut wajar.

Karena, kata dia, banyak orang tidak mengerti dasar hukum polisi dalam mengambil sebuah tindakan. Ia pun mengatakan, personel polisi yang menggunakan kekuatan di lapangan tidak lepas dari laporan pertanggungjawaban.

“Polisi kan enggak seperti masyarakat umum. Memang sudah risiko kalau luka atau keselamatannya terenggut, tapi bukan berarti kami sewenang-wenang," ujar dia.

Ada tahap yang harus ditempuh, lanjut Ambarita, yang itu juga masih harus dipertanggungjawabkan pula sesudahnya.

"Jadi enggak main-main,” ujar Ambarita.

Usai personel polisi menggunakan kekuatannya, petugas Provost dan Paminal akan memeriksa yang bersangkutan. Mereka akan memastikan polisi ini sudah bertindak sesuai prosedur atau tidak.

Dalam Perkap 1/2009 tertuang penjelasan soal pertanggungjawaban seorang personel Polri yang telah menggunakan wewenang kekuatannya. Secara rinci, hal itu tertulis dari Pasal 12 hingga 14.

Pasal 14 ayat (3) menyebutkan bahwa anggota Polri yang menggunakan kekuatan wajib melaporkan pelaksanaannya kepada atasan langsung secara tertulis dalam bentuk formulir.

Pada ayat (4) dijelaskan bahwa laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat antara lain:

  1. Tanggal dan tempat kejadian;
  2. Uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga memerlukan tindakan kepolisian;
  3. Alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan;
  4. Rincian kekuatan yang digunakan;
  5. Evaluasi hasil penggunaan kekuatan;
  6. Akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.

Dalam kasus tewasnya enam pengawal Rizieq Shihab, petugas Propam pun terjun untuk melihat tindakan para personel sudah sesuai prosedur atau tidak.

Propam Polri membentuk tim yang berisi 30 orang. Mereka akan meminta keterangan setiap anggota Polda Metro Jaya yang terlibat dalam kasus itu.

"Itu yang kami lakukan. Pengawasan. Apakah sudah seusai dengan Perkap terkait penggunaan kekuatan (1/2009). Kalau sesuai penggunaan kekuatannya berdasarkan Perkap, akan disampaikan secara transparan," ungkap Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen (Pol) Ferdy Sambo, Selasa (8/12/2020).

Baca juga: Ini Alasan Propam Polri Turun Tangan di Kasus Baku Tembak dengan Simpatisan Rizieq Shihab

Ferdy memastikan, tim akan bekerja cepat, transparan, dan akuntabel sebagaimana arahan dari Kapolri Jenderal Idham Azis.

Ia menegaskan pula bahwa divisinya turun tangan dalam kasus itu bukan semata-mata karena kasus itu menyedot perhatian publik. 

"Dalam hal lain-lainnya juga Propam seperti itu," tutur Ferdy.

Dia memberikan contoh dalam kasus penggerebekan kasus narkoba. Ketika tersangka melawan dan upaya yang dilakukan polisi harus menggunakan senjata api, divisinya turun tangan juga sesudah itu.

Hal serupa terjadi pula untuk penanganan bentrokan

"Misalnya di kasus narkoba kalau ada tersangka yang melawan dan akhirnya ditembak, bentrokan saat demonstrasi misalnya saat personel dalmas (pengendalian massa) hendak menertibkan pengunjuk rasa," sambung dia.

 


 ⏎ MENU  

 ⏎ AWAL ARTIKEL  

 PERLU PENGUJIAN 

Ilustrasi polisi main tembak - (DOK KOMPAS/DIDIE SW)

PSIKOLOG forensik dari Universitas Indonesia Reza Indragiri Amriel berpendapat, dilihat dari kaca mata keilmuannya, kegiatan menembak—dalam konteks tindakan kepolisian—sebenarnya bukan aktivitas terukur. Kegiatan itu menurut dia bersifat spontan.

Terlebih lagi, polisi sudah memosisikan target sebagai pihak yang berbahaya.

“Dalam situasi ini, personel bertindak dengan didorong oleh rasa takut,” ujar Reza saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (9/12/2020).

Karenanya, lanjut dia, tak jarang ditemukan peluru yang bersarang di tubuh target lebih dari satu. Sebab, ketika seorang personel polisi melepaskan tembakan, hampir dapat dipastikan dalam tempo cepat personel lain juga akan melakukannya.

Bak aba-aba, peluru yang dilepaskan di awal akan memicu peluru-peluru lain beterbangan ke arah target, dengan atau tanpa kalkulasi, tinggal mengikuti saja.

“Dalam psikologi forensik, ada istilah penembakan yang menular atau contagious shooting,” ujar Reza.

Menjadi cilaka apabila peristiwa yang dipersepsikan kritis oleh personel kepolisian berlangsung pada malam hari.

 Faktor pemicu 

Reza menyebut, ada data yang menunjukkan, dalam kasus penembakan terhadap target yang disangka bersenjata, padahal tidak, 70 persen berlangsung pada malam hari saat pencahayaan minim sehingga mengganggu kejernihan penglihatan personel.

Saat situasi itu terjadi, sempurnalah faktor luar dan faktor dalam untuk muncul tindakan penembakan. 

Faktor luar adalah letusan pertama dan kondisi alam di tempat kejadian perkara. Adapun faktor dalam adalah dorongan rasa takut personel akan kehilangan nyawa.

“Apalagi jika ada dua versi kronologi (yaitu dari polisi dan kelompok sasaran). Oleh sebab itu butuh investigasi kasus per kasus terhadap masing-masing personel,” ujar Reza.

Menurut Reza, investigasi semacam shooting review board nantinya tidak hanya mengeluarkan kesimpulan bahwa penembakan memang sesuai atau bertentangan dengan ketentuan.

Hasil investigasi juga bisa bermanfaat sebagai masukan bagi unit semacam SDM atau Diklat di kepolisian.

 Jalur pengujian 

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat senada. Dalam konteks peraturan perundangan di Indonesia, sebenarnya yang memiliki wewenang atas nyawa seorang warga negara adalah pengadilan.

Seseorang yang diduga melanggar hukum harus diadili terlebih dahulu sebelum diputuskan bersalah atau tidak. Salah satu sanksi bagi yang terbukti bersalah adalah hukuman mati.

Oleh sebab itu, pada aparat penegak hukum melekat serangkaian prosedur tindakan, termasuk saat menggunakan kekuatan senjata api yang berpotensi memangkas proses hukum dan menghilangkan nyawa sasaran.

Pihak yang hendak membawa cara bertindak polisi itu ke ranah hukum pun, lanjut Fickar, dapat menempuh beberapa jalur.

“Misalnya keluarga korban protes, laporkan polisi secara pidana. Meskipun ini saya sebut jeruk makan jeruk ya, agak sulit. Karena mereka kan harus mengadu ke polisi juga,” ujar Fickar.

Kedua, melaporkan dugaan penyalahgunaan kewenangan ke Propam Polri. Tujuannya, mengecek cara bertindak polisi dengan penggunaan senjata api sudah sesuai dengan prosedur atau tidak.

Jalur ketiga yang dapat ditempuh adalah melayangkan gugatan perdata ke pengadilan. Cara ini salah satu yang dapat dipakai untuk mendapatkan ganti rugi materiil. 

“Yang patut diingat, semua upaya hukum ini memang tidak bisa menghidupkan orang mati. Tapi ini penting karena bisa menjadi alat pengawasan dan efek jera bagi oknum-oknum yang lalai dalam menjalankan prosedur,” ujar Fickar.

δ

Polisi memang garda terdepan memberantas kejahatan dan menjaga ketertiban umum.

Namun, sebaik-baiknya polisi—sebagaimana manusia lainnya—adalah yang memelihara dan memperbaiki kehidupan, bukan menghilangkan.

Tabik....

 


 ⏎ MENU  

 ⏎ AWAL ARTIKEL