JEO - Peristiwa

Mengenal 11 Varian Virus SARS-CoV-2

Senin, 28 Juni 2021 | 07:15 WIB

Lonjakan kasus Covid-19 terjadi di Indonesia dalam kurun dua pekan terakhir. Situasi hari-hari ke depan diprediksi belum baik-baik saja.

Bila kebijakan pengetatan pembatasan mobilitas masyarakat yang diambil pemerintah berlangsung efektif, dampak positifnya baru dapat dirasakan setidaknya dua bulan dari sekarang.

Namun bila tidak, maka krisis kesehatan dipastikan bakal berlangsung lebih lama. 

Libur Lebaran pertengahan Mei 2021 dituding menjadi penyebab terjadinya gelombang kasus Covid-19 di Indonesia.

Kebijakan pelarangan mudik saat itu kurang efektif. Pemerintah mencatat, masih ada sekitar 1,1 persen orang di Indonesia yang nekat mudik. Jumlahnya setara dengan 1,5 juta orang.

Selain tingginya mobilitas orang, ada faktor lain yang dituding menjadi penyebab lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia, yakni varian baru dari severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-​2).

Sekitar, 1,5 tahun menyebar ke seluruh dunia, SARS-CoV-​2, virus yang menyebabkan penyakit Covid-19 telah bermutasi menjadi 11 varian.

Baca Juga: Dari B.1.17 Sampai N493K, Kenapa Nama Varian Virus Corona Aneh dan Rumit?

Pada mulanya, varian baru dari virus yang diyakini berasal dari Wuhan, China itu dinamai dengan kode angka.

Kode angka itu merujuk pada sistem nomenklatur garis keturunan genetik virus.

Dilansir dari situs resmi Badan Kesehatan Dunia (WHO), sistem tata nama yang ditetapkan untuk penamaan dan pelacakan garis keturunan genetik SARS-CoV-2 dilakukan oleh GISAID, Nextstrain, dan Pango.

GISAID sendiri merupakan institusi yang dibuat oleh Pemerintah Jerman dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional untuk mempelajari data genetika virus. 

Sementara itu, Nextstrain adalah proyek sumber terbuka untuk memanfaatkan potensi ilmiah dan kesehatan masyarakat dari data genom patogen. Mereka berkolaborasi dengan peneliti di Seattle, USA, dan Basel.

Adapun, Pango adalah singkatan dari Phylogenetic Assignment of Named Global Outbreak Lineages (PANGOLIN).

Model penamaan dengan kode-kode angka ini tentu terlalu ilmiah dan relatif sulit dihafalkan khalayak umum.

Baca Juga: Minimalisir Stigma dan Diskriminasi, WHO Ubah Nama Varian Corona dengan Alfabet Yunani

Akibatnya, penyebutan untuk varian virus lebih sering merujuk pada nama negara tempat varian tersebut teridentifikasi.

Namun, demi mencegah munculnya stigma negatif dan memudahkan pembahasan oleh audiens non-ilmiah, WHO kemudian menamai varian virus sesuai dengan alfabet Yunani.

Berikut ini kesebelas varian baru SARS-CoV-​2 yang telah teridentifikasi:

11 varian baru

Alpha

Alpha atau B.1.1.7 pertama kali ditemukan di London dan beberapa daerah lain di Inggris pada September 2020, dan ditunjukkan pada 18 Desember 2020.

 

Beta

Varian Beta atau B.1.351 pertama kali pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan pada awal Oktober 2020.

 

Gamma

Varian Gamma ditemukan di Brasil pada November 2020, dan ditunjukkan pada 11 Januari 2021.

 

Delta

Varian Delta atau B.1.617.2 pertama kali terdeteksi pada bulan Oktober 2020 di India.

Belakangan pada varian Delta ada mutasi baru lagi yang dikenal dengan nama Delta Plus atau AY.1 yang ditandai dengan akuisisi mutasi K417N.

Varian Delta Plus pertama kali ditemukan di India pada April 2021.

Dikutip dari BBC Indonesia, Kementerian Kesehatan India mengatakan, sejumlah penelitian menunjukan varian Delta Plus lebih mudah menyebar, lebih mudah menempel di paru-paru, dan berpotensi kebal terhadap terapi antibodi monoklonal.

Namun, ahli virologi terkemuka mempertanyakan mempertanyakan pengkategorian Delta Plus sebagai "varian yang mengkhawatirkan".

Mereka mengatakan, belum ada data yang bisa membuktikan bahwa varian Delta Plus lebih mudah menyebar atau lebih mematikan dibanding varian lain.

 

Epsilon

Varian Epsilon ditemukan di California, AS pada Maret 2020, dan ditunjukkan pada 5 Maret 2021.

 

Zeta

Seperti varian Gamma, Zeta juga pertama kali ditemukan di Brasil. Varian ini ditemukan pada April 2020, dan ditunjukkan pada 17 Maret 2021.

 

Eta

Eta merupakan satu-satunya varian baru virus corona SARS-Covid-2 yang tidak secara spesifik ditemukan di negara tertentu. Varian yang terdeteksi pada Desember 2020 ini ditemukan di berbagai negara.

 

Theta

Varian Theta ditemukan di Filipina pada Januari 2021, dan ditunjukkan pada 24 Maret 2021.

 

Iota

Iota merupakan varian kedua yang ditemukan di AS setelah Epsilon.

Bila Epsilon pertama kali terdeteksi di California yang berada di wilayah pantai barat, maka Iota pertama kali terdeteksi di New York yang berada di wilayah pantai timur.

Sampel Iota pertama kali ditemukan pada November 2020 dan ditunjukkan pada 24 Maret 2021.

 

Kappa

Kappa merupakan varian kedua yang ditemukan di India. Sampel varian ini ditemukan di India pada Oktober 2020, dan ditunjukkan pada 4 April 2021.

 

Lambda

Varian Lambda ditemukan di Peru pada Agustus 2020, dan ditunjukkan pada 14 Juni 2021.

Varian baru SARS-CoV-2

Terdeteksi di Indonesia

Dari sebelas varian baru virus penyebab Covid-19 tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan telah mengonfirmasi bahwa tiga di antaranya sudah masuk ke Indonesia.

Ketiganya yakni B.1.1.7 (Alpha), B.1.351 (Beta), dan B.1.617.2 (Delta).

Ketiga varian tersebut bahkan sudah menyebar ke 14 provinsi di Indonesia.

Sementara itu, untuk varian Delta Plus belum ditemukan ada laporan kasusnya. Setidaknya sampai dengan artikel ini diunggah.

Baca Juga: Apa Itu Varian Delta Plus dan Bedanya dengan Varian Lain?

Terhitung sampai dengan 22 Juni 2021, total ada 309 kasus varian baru secara nasional.

"Itu data terakhir. Sampai saat ini belum ada (data yang terbaru)," kata juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (27/6/2021).

Dari 309 kasus yang terdata sampai dengan 22 Juni, sebanyak 254 kasus disebabkan oleh varian Delta, varian Alpha sebanyak 49 kasus, dan varian Beta sebanyak 6 kasus.

Terdapat empat provinsi yang mencatatkan jumlah tertinggi, yakni DKI Jakarta dengan 133 kasus, Jawa Tengah dengan 81 kasus, Jawa Barat dengan 54 kasus, dan Jawa Timur dengan 21 kasus.

Kasus varian baru di Indonesia

Khusus di DKI Jakarta, data yang disampaikan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Dwi Oktavia, berbeda. 

Dwi menyebut pada Kamis 24 Juni 2021, pasien yang terinfeksi virus varian baru di Ibu Kota baru mencapai 70 orang. 

Jumlah tersebut didominasi varian Delta. Rinciannya, 55 varian Delta, 12 varian Alpha, dan 3 varian Beta.

Pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun Kementerian Kesehatan belum mengonfirmasi perbedaan data tersebut. 

Berikut penjelasan tentang tiga varian yang telah terdeteksi di Indonesia:

Alpha

Menurut data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), varian Alpha mengalami mutasi pada reseptor binding domain (RBD) protein spike pada posisi 501, di mana asam amino asparagine (N) telah diganti dengan tirosin (Y).

Mutasi virus ini juga disebut N501Y.

Tingkat penularan varian Alpha diperkirakan lebih cepat daripada varian sebelumnya.

Namun, belum ada bukti bahwa virus corona varian Alpha ini memicu gejala yang berbeda dibandingkan varian awal.

Umumnya, gejala yang ditimbulkan varian Alpha adalah:

Beta

Varian Beta dianggap lebih mudah menginfeksi orang-orang berusia muda.

Varian ini juga membawa mutasi yang disebut E484K, yang membantu virus menghindari sistem kekebalan seseorang.

Varian Beta memiliki pola mutasi berbeda yang menyebabkan lebih banyak perubahan pada struktur protein spike milik virus corona.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, varian Beta diduga memengaruhi penurunan efikasi vaksin Covid-19.

Selain itu, sama seperti varian Alpha, varian Beta juga memiliki kemampuan penularan lebih cepat.

Gejala yang ditimbulkan varian ini tidak jauh berbeda dengan infeksi Covid-19 pada umumnya, tetapi mutasi varian ini tergolong cukup berbahaya.

Berikut ini gejala yang biasanya muncul pada orang yang terinfeksi virus varian Beta:

Delta

Hingga saat ini, Delta dianggap sebagai varian yang paling dominan karena lebih mudah menular dan mampu menghindari respons imun tubuh.

Bahkan, beberapa pendapat menyebut vaksin tidak efektif melawan varian ini, meski pendapat ini membutuhkan penelitian lebih lanjut.  

Varian Delta juga diprediksi segera menjadi virus yang paling dominan di dunia dan menyebabkan wabah cepat di negara-negara tanpa tingkat vaksinasi yang tinggi.

Varian virus ini bisa memicu sakit parah dalam 3 atau 4 hari setelah terinfeksi. 

Ketua Tim Peneliti Whole Genome Sequencing (WGS) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) Gunadi mengatakan, berdasarkan penelitian yang dipublikasikan di The Lancet, terdapat beberapa sebab yang membuat varian Delta dinilai lebih berbahaya.

Pertama, Gunadi mengatakan, varian Delta berhubungan dengan usia pasien.

"Semakin tua pasien Covid-19, maka varian Delta ini akan memperburuk kekebalan tubuh pasien tersebut," kata Gunadi.

Kemudian, varian Delta diketahui berpotensi menginfeksi kembali pasien Covid-19 dan makin memperlemah kekebalan tubuh pasien.

Padahal, menurut Gunadi, seharusnya apabila sudah terinfeksi Covid-19 pasien akan mendapatkan antibodi secara alami.

Selain itu, varian Delta dapat menurunkan kekebalan tubuh seseorang dengan usia yang lebih tua, meskipun sudah divaksinasi dua dosis.

Lebih jauh, kabar bahwa varian Delta tidak terdeteksi oleh PCR, rupanya tidak tepat. Varian Delta masih bisa terdeteksi oleh pemeriksaan PCR. 

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by dr. Adam Prabata (@adamprabata)

 

Gejala yang ditimbulkan dari varian Delta meliputi:

Gejala varian baru SARS-CoV-2