JEO - Tokoh










Jumat, 30 Agustus 2024 | 13:15 WIB

 

Mengenal
Paus Fransiskus
Pemimpin
Gereja Katolik

dan
Penerus Santo Petrus
di Dunia

 

Paus Fransiskus telah dikenal sebagai sosok yang membawa angin perubahan di dalam Gereja Katolik. Dia menekankan pentingnya kerendahan hati, kesederhanaan, dan kasih sayang dalam menjalankan tugas kepausan.

Ψ

HARI Rabu tanggal 6 November 2013 adalah hari yang tak terlupakan bagi Vinicio Riva, seorang pria Italia yang menderita neurofibromatosis, kelainan genetik yang dapat menyebabkan benjol-benjol dan lesi kulit sehingga orang-orang menghindarinya.

Hari itu Riva pergi ke Lapangan Santo Petrus di Vatikan untuk mendengarkan audiensi umum dari Paus Fransiskus yang baru saja terpilih sebagai penerus Santo Petrus, memimpin Gereja Katolik.

Saat menyapa para peziarah dengan mobil kepausan, pandangan mata Paus tertuju pada Riva, dan ia segera menghentikan mobilnya, turun, lalu memeluk Riva. Paus Fransiskus berhenti selama beberapa menit untuk memeluk Riva. Beberapa saat kemudian, dia memegang wajahnya dan memberinya berkat.

Tindakan tak terduga Bapa Suci benar-benar mengubah hidup Riva, katanya kemudian, dan membantunya mengatasi rasa sakit yang disebabkan oleh luka di sekujur tubuhnya dengan lebih baik. Setelah pelukan Paus, Riva mengatakan dia telah mengesampingkan “semua kesedihan.”

Dalam sebuah wawancara dengan majalah Italia Panorama, Riva mengatakan bahwa ketika dia bertemu Paus Fransiskus, Paus pertama kali mencium tangannya “sementara dia membelai kepala saya dan luka saya dengan tangan lainnya.”

“Kemudian dia mendekati saya dan memeluk saya erat; dia memberiku ciuman di wajah. Kepalaku menempel di dadanya dan lengannya menyambutku. Dia memelukku erat-erat, erat-erat.”

“Saya mencoba untuk berbicara, tetapi saya tidak bisa. Peristiwa itu hanya beberapa menit, tapi rasanya seperti selamanya bagiku. Kemudian aku berpaling menemui bibiku dan berkata kepadanya: 'Di sini aku meninggalkan kesedihan; kesedihanku tertinggal di sini,'” katanya.

“Dia tidak memikirkan apakah aman memeluk saya atau tidak. Penyakit saya ini tidak menular, tapi dia tidak mengetahuinya. Dia tetap melakukannya dan menyentuh wajahku, dan aku hanya merasakan cinta.”

Tindakan spontan dan sederhana ini tertangkap kamera dan menjadi pemberitaan yang menegaskan bahwa Paus terpilih adalah seseorang yang peduli pada mereka yang lemah dan terpinggirkan. Dan itulah yang dibawanya dalam kepemimpinannya dalam gereja Katolik.

Paus Fransiskus memeluk Vinicio Riva, seorang pria Italia yang menderita neurofibromatosis pada 6 November 2013
Vatican Media
Paus Fransiskus memeluk Vinicio Riva, seorang pria Italia yang menderita neurofibromatosis pada 6 November 2013

Peristiwa lain yang menunjukkan sisi humanisme Paus Fransiskus terjadi pada bulan Oktober 2013. Saat sedang memberikan audiensi umum di Vatikan, seorang anak kecil tiba-tiba naik ke panggung dan menghampiri Paus. Anak tersebut, yang tampaknya tidak terintimidasi oleh suasana resmi, dengan penuh kepercayaan diri mendekati Paus Fransiskus dan bahkan memeluk kakinya.

Reaksi Paus Fransiskus sungguh luar biasa; alih-alih meminta staf untuk menyingkirkan anak tersebut, dia justru membiarkan anak itu tetap berada di panggung bersamanya selama sisa audiensi.

Paus bahkan membelai kepala anak itu dengan lembut dan membiarkannya berdiri di dekatnya saat ia berbicara kepada ribuan umat yang hadir.

Momen ini mengingatkan kita akan pentingnya kerendahan hati dan kesederhanaan dalam kepemimpinan, serta bagaimana kasih sayang terhadap anak-anak harus selalu menjadi prioritas. Sikap Paus yang hangat dan penuh kasih ini memperlihatkan bahwa Gereja Katolik di bawah kepemimpinannya adalah tempat yang inklusif dan ramah bagi semua orang, terutama anak-anak.

Pada kesempatan berbeda, 20 Oktober 2021, seorang anak laki-laki dengan pakaian olahraga hitam, berkacamata, dan memakai masker wajah secara spontan berjalan menuju tempat duduk Paus Fransiskus di tengah audiensi umum.

Belakangan anak berusia 10 tahun itu diketahui menderita epilepsi dan autisme. Kesehatannya sedang menurun sehingga dokter khawatir dia mungkin menderita tumor otak.

Paolo Bonavita, anak itu, berada di Roma untuk tes medis. Ibunya, Elsa Morra, mengatakan bahwa mereka menginap di sebuah hotel dekat Lapangan Santo Petrus. Pada hari audiensi umum, mereka sarapan dan meninggalkan hotel, berencana untuk mengikuti tur bus wisata di Roma.

Ketika melewati Vatikan, mereka melihat antrean panjang. Ketika Morra bertanya apa yang terjadi, dia diberitahu bahwa itu adalah antrean audiensi umum Paus. Dia ingin hadir tetapi mendapat jawaban bahwa hal itu tidak bisa dilakukan tanpa reservasi.

Seorang wanita pejalan kaki yang memperhatikan bahwa Paolo terlihat kecewa, mendekati Morra, menanyakan ada apa. Ibunya menjelaskan bahwa Paolo kecewa karena sudah bertahun-tahun ingin bertemu dengan Paus.

Wanita tersebut kebetulan adalah pemimpin kelompok Unitalsi, sebuah asosiasi Italia yang membantu orang sakit, lanjut usia, dan penyandang cacat untuk melakukan ziarah. Dia mengatakan bisa mengajak mereka menjadi penonton.

Jadilah ibu dan anak tersebut mengikuti audiensi di Aula Paulus VI Vatikan. Mereka awalnya duduk di baris keempat ruang audiensi, namun dipersilakan untuk maju ke depan.

Morra melepas topi, syal, dan jaket Paolo. Dia berbalik untuk meletakkan jaketnya sendiri di sandaran kursi ketika putranya mulai menaiki tangga menuju tempat Paus duduk.

Dia berseru, “Paolo, kemarilah!” Namun Garda Swiss di dekatnya meyakinkannya bahwa Paus senang anak itu mendekatinya.

“Paolo biasanya tidak punya kekuatan untuk naik tangga. Bahkan saat menuruni tangga, ia membutuhkan penyangga, gandengan tangan, atau pegangan. Tapi hari itu dia bisa naik sendiri,” kata Morra dalam wawancara dengan CNA.

“Dia tersandung sedikit, dua atau tiga kali, tapi dia langsung punya naluri untuk bangkit kembali. Tuhan menyertainya pada hari itu, di dekatnya, Dia telah memberikan tangan-Nya kepadanya, saya yakin akan hal itu,” kata Morra.

Ketika Paolo mendekati Fransiskus, Paus tersenyum dan menggenggam tangan bocah itu.

"Ini adalah keajaiban,   bagi kami, bagi   keluarga saya" 

Mgr. Leonardo Sapienza, pimpinan Prefektur Rumah Tangga Kepausan, yang duduk di sebelah kanan Paus pada audiensi umum, bangkit dan memberikan kursinya kepada Bonavita. Para peziarah bertepuk tangan dan Paolo ikut bertepuk tangan dengan antusias.

“Ini sebuah keajaiban,” kata Morra. “Ini adalah keajaiban, bagi kami, bagi keluarga saya.”

Anak laki-laki itu duduk sebentar di kursi, kemudian berdiri di depan Paus lagi dan melompat-lompat. Zucchetto atau topi yang dikenakan Paus Fransiskus menarik perhatiannya dan dia menunjukkannya kepada Sapienza, yang kini duduk di belakang Paus.

Paolo kemudian menunjukkan topi kepausannya sendiri pada seorang pastor yang hendak memberikan pembacaan. Akhirnya, anak laki-laki itu berjalan kembali menuju tempat duduknya dengan bangga mengenakan zucchetto miliknya.

Kejadian ini rupanya tidak mengganggu Paus Fransiskus. Dia bahkan mengucapkan terima kasih kepada Bonavita dalam pidatonya di awal audiensi umumnya.

"Saya teringat akan apa yang Yesus katakan tentang spontanitas dan kebebasan anak-anak, ketika anak ini mempunyai kebebasan untuk mendekat dan bergerak seolah-olah dia berada di rumah... Dan Yesus berkata kepada kita: 'Kamu juga, jika kamu tidak berperilaku seperti anak kecil, kamu tidak akan masuk Kerajaan Surga.'”

“Dia memperlihatkan keberanian untuk mendekat kepada Tuhan, terbuka kepada Tuhan, tidak takut kepada Tuhan: Saya berterima kasih kepada anak ini atas pelajaran yang telah diberikan kepada kita semua,” ujarnya.

“Dan semoga Tuhan membantunya dalam keterbatasannya, dalam pertumbuhannya karena dia telah memberikan kesaksian yang datang dari hatinya.”

Di akhir audiensi, Paus Fransiskus menyapa Morra. Dia meraih tangannya dan berkata: “Signora, forza! Hal yang mustahil tidak ada bagi Anda. Aku akan dekat denganmu dalam doa. Teruslah melanjutkan. Anda telah melakukan banyak hal untuk putra Anda. Anda adalah ibu yang hebat.”

Sekali lagi lewat peristiwa ini, Paus Fransiskus menunjukkan perhatiannya pada orang lemah dan papa. Tindakannya membuka sekat-sekat aturan resmi yang kaku, sekaligus menunjukkan bahwa gereja Katolik dalam pimpinannya terbuka untuk semua orang, terutama bagi mereka yang terpinggirkan.

Namun cerita ini belum selesai.

Morra menerima panggilan telepon malam itu, dokter memintanya membawa Paolo untuk tes di kota asal mereka, Bari keesokan harinya.

Dokter khawatir Paolo memiliki kadar prolaktin yang sangat tinggi, yaitu protein yang dikeluarkan dari kelenjar pituitari, yang dapat meningkat setelah serangan epilepsi.

Ibu dan anak tersebut menghadiri janji temu pada 21 Oktober. Tiga hari kemudian, seorang dokter menelepon Morra dan memberitahunya bahwa kadar prolaktin Paolo telah turun dari 157 menjadi 106, meskipun petugas medis tidak mengetahui bagaimana atau mengapa bisa begitu.

Morra mengatakan bahwa dia dan Paolo kembali ke Roma pada 5 November untuk pengujian lebih lanjut.

“Dalam waktu dua minggu [tingkat prolaktin Paolo] turun menjadi 26, yang berarti 80 poin lebih rendah lagi,” jelasnya.

Ia juga mencatat peningkatan kadar hemoglobin, protein yang membawa oksigen ke seluruh tubuh, yang sangat penting bagi Paolo karena ia menderita kelainan darah thalassemia.

Morra mengatakan bahwa dokter kemudian mengesampingkan dugaan bahwa Paolo menderita tumor atau sklerosis, yaitu jaringan parut di otak.

Hal ini merupakan kelegaan yang sangat besar bagi ibunya, yang khawatir putranya tidak akan mampu bertahan menghadapi kerasnya operasi. Dia takut operasi akan menyebabkan Paolo harus duduk di kursi roda, atau bahkan meninggal.

Berbicara kepada CBS News November 2021, Morra ditanya apa yang ingin dia katakan kepada Paus Fransiskus setelah pertemuan yang mengubah hidup dengan putranya.

“Terima kasih atas keajaibannya,” katanya.

 Siapakah Paus Fransiskus? 

Paus Fransiskus saat menghadiri Doa Angelus di Vatikan, Minggu (1/9/2019).
AFP / TIZIANA FABI
Paus Fransiskus saat menghadiri Doa Angelus di Vatikan, Minggu (1/9/2019).

PAUS Fransiskus, lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio, pada 17 Desember 1936 di Flores, sebuah lingkungan di Buenos Aires, Argentina. Dia adalah anak sulung dari lima bersaudara dalam keluarga imigran Italia, pasangan Mario José Bergoglio (1908–1959) dan Regina María Sívori (1911–1981).

Mario Bergoglio adalah seorang akuntan imigran Italia yang lahir di Portacomaro (Provinsi Asti) di wilayah Piedmont Italia. Sedangkan Regina Sívori adalah seorang ibu rumah tangga yang lahir di Buenos Aires dari keluarga asal Italia utara (Piedmont-Genoa). Keluarga Mario José meninggalkan Italia pada tahun 1929 untuk menghindari pemerintahan fasis Benito Mussolini.

Menurut María Elena Bergoglio (lahir tahun 1948), satu-satunya saudara kandung Paus yang masih hidup, mereka tidak beremigrasi karena alasan ekonomi.

Di kelas enam, Bergoglio bersekolah di Wilfrid Barón de los Santos Ángeles, sebuah sekolah Salesian Don Bosco, di Ramos Mejía, Provinsi Buenos Aires. Ia kemudian meneruskan di sekolah menengah teknik Escuela Técnica Industrial Hipólito Yrigoyen, dan lulus dengan diploma teknisi kimia.

Dalam kapasitas itu, dia menghabiskan beberapa tahun bekerja di bagian makanan di Laboratorium Hickethier-Bachmann. Sebelumnya, dia adalah seorang penjaga pintu dan petugas kebersihan.

Dalam sebuah kesempatan setelah menjadi Paus, Fransiskus mengatakan bahwa masa mudanya seperti kebanyakan remaja lain. Ia memiliki pacar, dan suka menari tango bersamanya, dan tentu ia suka sepakbola. Paus Fransiskus adalah pendukung klub sepakbola San Lorenzo, Argentina, hingga sekarang.

Namun panggilan mengantarnya ke jalan berbeda. Bergoglio muda kemudian masuk seminari atau sekolah untuk menjadi pastor di Seminari Diosesan Villa Devoto.

Pada tahun ke-dua di seminari, ketika dia berusia 21 tahun, Bergoglio menderita pneumonia dan kista yang mengancam jiwanya, sampai menjalani pemotongan sebagian paru-parunya.

Dalam buku yang ditulis bersama penulis dan jurnalis Inggris Austen Ivereigh, berjudul “Let Us Dream: The Path to a Better Future” atau “Mari Kita Bermimpi: Jalan Menuju Masa Depan yang Lebih Baik”, ia mengenang sakitnya itu.

“Saya ingat memeluk ibu saya dan berkata: 'Katakan kalau saya akan mati."

Pengalaman sakit tersebut mengubah cara dia memandang kehidupan, dan memberinya gambaran tentang bagaimana perasaan orang-orang yang terjangkit Covid-19 saat mereka kesulitan bernapas. “Saya ingat memeluk ibu saya dan berkata: 'Katakan kalau saya akan mati.'”

Paus Fransiskus mengatakan ada dua perawat yang sangat membantunya selama dia dirawat di rumah sakit. Salah satunya, Suster Cornelia Caraglio, menyelamatkan nyawanya karena dia meningkatkan dosis obatnya tanpa sepengetahuan dokter.

Yang lain, Micaela, melakukan tindakan belas kasihan serupa dengan obat penghilang rasa sakit ketika dia merasakan sakit yang luar biasa. “Mereka berjuang untuk saya sampai akhir, hingga saya akhirnya pulih.”

Dari pengalaman mendekati kematian itu, kata Paus, dia belajar pentingnya menghindari penghiburan yang tidak jujur. Banyak orang memberikan janji-janji kosong tentang kesembuhan yang cepat, meskipun hal itu diucapkan dengan niat baik.

Suatu hari seorang biarawati yang telah mengajarinya sejak kecil, Suster María Dolores Tortolo masuk, meraih tangannya, menciumnya, dan duduk diam. Dia akhirnya berkata, “Kamu menyerupai Yesus.” Kata-kata dan kehadirannya mengajarinya untuk berbicara sesedikit mungkin ketika mengunjungi orang sakit.

Setelah sembuh dari penyakit parah itu, ia terinspirasi untuk bergabung dengan novisiat Serikat Jesus atau Jesuit pada 11 Maret 1958.

Ia menyelesaikan studinya di bidang humaniora di Chile dan kembali ke Argentina pada tahun 1963 untuk lulus dengan gelar di bidang filsafat dari Colegio de San José di San Miguel.

Dari tahun 1964 hingga 1965 ia mengajar sastra dan psikologi di Immaculate Conception College di Santa Fé dan pada tahun 1966 ia mengajar mata pelajaran yang sama di Colegio del Salvatore di Buenos Aires. Dari tahun 1967-70 dia belajar teologi dan memperoleh ijazah dari Colegio San José.

Pada tanggal 13 Desember 1969 ia ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Agung Ramón José Castellano. Ia melanjutkan studinya antara tahun 1970 dan 1971 di Universitas Alcalá de Henares, Spanyol, dan pada tanggal 22 April 1973 mengucapkan kaulnya sebagai Jesuit.

Pendiri Serikat Yesus Ignatius Loyola.
WIKIMEDIA/ CREATIVE COMMONS/ WELLCOME IMAGES
Pendiri Serikat Yesus Ignatius Loyola.

Serikat Yesus (Latin: Societas Jesu), biasa dikenal dengan Yesuit atau Jesuit adalah ordo dalam Gereja Katolik Roma yang dikenal dengan kedisiplinannya. Serikat ini didirikan pada tahun 1534 oleh sekelompok mahasiswa pascasarjana dari Universitas Paris yang merupakan teman-teman Iñigo López de Loyola (Ignatius Loyola).

Mereka bersumpah untuk melanjutkan persahabatan mereka setelah mereka selesai studi, hidup dalam kemiskinan sesuai Injil dan pergi mengemban perutusan untuk pergi ke mana pun juga tanpa bertanya, menaati perintah Paus. Mereka menyebut diri mereka amigos en el Señor — sahabat-sahabat di dalam Tuhan.

Paus Paulus III mengukuhkan ordo ini melalui Bulla kepausan Regimini militantis Ecclesiae (27 September 1540), tetapi membatasi jumlah anggotanya 60 orang. Batasan ini dihapuskan melalui bulla Injunctum nobis (14 Maret 1543). Ignatius dipilih menjadi pemimpin umum pertama. Dia mengirim para sahabatnya sebagai misionaris ke seluruh Eropa untuk mendirikan sekolah, kolese, dan seminari.

Motto Yesuit adalah Ad Maiorem Dei Gloriam artinya "demi lebih besarnya kemuliaan Allah".

Ignatius menulis Konstitusi Serikat Yesus yang disahkan pada 1554. Konstitusi ini menciptakan organisasi dengan kepemimpinan tunggal dan menetapkan penyangkalan diri dan ketaatan mutlak kepada Paus dan para pemimpinnya. Motto Yesuit adalah Ad Maiorem Dei Gloriam artinya "demi lebih besarnya kemuliaan Allah".

Namun misi Jesuit tidak selalu mudah, misalnya di Amerika Selatan yang menimbulkan kehebohan hebat di Eropa, terutama di Spanyol dan Portugal, karena mereka dianggap mengganggu upaya penjajahan pemerintah kerajaan. Kaum Yesuit sering kali menjadi satu-satunya kekuatan yang menghalangi perbudakan orang Indian.

Yesuit pada masa kini merupakan ordo keagamaan terbesar di Gereja Katolik. Anggotanya lebih dari 20.000 orang dan melayani di 112 negara di enam benua. Ciri pelayanan Serikat Yesus adalah bidang misi, hak asasi manusia, keadilan sosial, dan pendidikan tinggi.

Kembali ke Argentina, sebagai seorang Jesuit, Bergoglio adalah novis master di Villa Barilari, San Miguel; profesor di Fakultas Teologi San Miguel; konsultan Provinsi Serikat Yesus dan juga Rektor Colegio Máximo Fakultas Filsafat dan Teologi.

Romo Bergoglio dikenal karena kesederhanaannya dan kedekatannya dengan umat. Dia memilih tinggal di sebuah apartemen kecil dan menggunakan transportasi umum, menolak kenyamanan yang biasanya diberikan kepada pemimpin gereja.

Pada bulan Maret 1986 ia berangkat ke Jerman untuk menyelesaikan tesis doktoralnya; atasannya kemudian mengirimnya ke Colegio del Salvador di Buenos Aires dan di samping Gereja Jesuit di kota Córdoba sebagai pembimbing spiritual.

Saat berada di Jerman dan Cordoba itu Bergoglio banyak mendapatkan pengalaman batin dalam kesendirian. Berada di Jerman tahun 1986 dan Córdoba, Argentina tahun 90-an, dia merasa tercabut dari akarnya, namun justru menjadi sebuah penyembuhan yang datang dalam bentuk perubahan radikal, terutama pada caranya menjalankan kepemimpinan.

Dia menghabiskan satu tahun, sepuluh bulan, dan tiga belas hari di kediaman Jesuit di Cordoba, merayakan Misa, mendengarkan pengakuan dosa, dan memberikan bimbingan rohani.

Bergoglio jarang meninggalkan rumah, menyebutnya sebagai semacam lockdown yang dilakukan sendiri, dan hal itu memberi pelajaran. Dia banyak menulis dan berdoa, dan mengembangkan ide-ide.

Dia merasakan Tuhan mengilhaminya untuk membaca seluruh 37 jilid History of the Popes karya Ludwig Pastor. Ia mengatakan bahwa buku besar ini sangat berguna baginya kemudian sebagai Paus.

Córdoba, kata Bergoglio setelah menjadi Paus Fransiskus dalam bukunya, benar-benar merupakan sebuah pemurnian. Hal ini memberinya rasa toleransi yang lebih besar, kemampuan untuk memaafkan, pengertian, lebih banyak empati terhadap mereka yang tidak berdaya, dan terutama kesabaran.

Pelajaran terakhir ini —kesabaran— mengajarkan kepadanya bahwa perubahan bersifat alami dan terjadi dalam batas-batas tertentu, meskipun kita harus tetap menatap cakrawala, seperti yang Yesus lakukan.

Dia belajar pentingnya melihat hal-hal besar dalam hal-hal kecil, dan memperhatikan hal-hal kecil dalam hal-hal besar.

Pengalaman di Córdoba merupakan suatu pertumbuhan, katanya, seperti tumbuhnya tunas-tunas baru yang terjadi setelah pohon dipangkas. Hal ini mengajarkan kepadanya bahwa penderitaan besar memiliki kekuatan untuk mengubah kita menjadi lebih baik, jika kita mengizinkannya.

Foto handout dari kantor berita Vatican, memperlihatkan saat Paus Fransiskus mencium kaki salah seorang  narapidana di Penjara Regina Coeli, Roma, 29 Maret 2018. Prosesi ini merupakan bagian dari perayaan Kamis Putih, yaitu sehari sebelum Yesus disalibkan.
AFP PHOTO/VATICAN MEDIA/HO
Foto handout dari kantor berita Vatican, memperlihatkan saat Paus Fransiskus mencium kaki salah seorang narapidana di Penjara Regina Coeli, Roma, 29 Maret 2018. Prosesi ini merupakan bagian dari perayaan Kamis Putih, yaitu sehari sebelum Yesus disalibkan.

Pada tahun 1998, Bergoglio diangkat sebagai Uskup Agung Buenos Aires, dan pada tahun 2001, ia diangkat sebagai Kardinal oleh Paus Yohanes Paulus II.

Kardinal adalah pejabat senior di Gereja Katolik Roma yang berada di bawah Paus. Mereka ditunjuk langsung oleh Paus sebagai anggota Dewan Kardinal, yang merupakan kelompok penasihat dan asisten terdekat Paus.

Meski menjabat sebagai Kardinal, ia terus menjalani hidup yang sederhana dan selalu memperjuangkan hak-hak kaum miskin dan tertindas.

“Rakyat saya miskin dan saya salah satunya”, katanya lebih dari satu kali, menjelaskan keputusannya untuk tinggal di apartemen dan memasak makan malamnya sendiri.

Ia selalu menasihati para imam untuk menunjukkan belas kasihan dan keberanian kerasulan dan tetap membuka pintu bagi semua orang. Hal terburuk yang bisa terjadi pada Gereja, katanya dalam berbagai kesempatan, “adalah apa yang disebut de Lubac sebagai keduniawian spiritual”, yang berarti “egois”.

Karenanya ia mengajak semua orang untuk lebih menaruh perhatian dan kasih sayang pada sesamanya, dan menghindari perbuatan yang melanggar hak asasi manusia. Proyeknya sederhana: jika Anda mengikuti Kristus, Anda memahami bahwa “menginjak-injak martabat seseorang adalah dosa serius”.

Adalah Kardinal Antonio Quarracino, Uskup Agung Buenos Aires, yang menginginkan dia menjadi kolaborator. Jadi, pada tanggal 20 Mei 1992 Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya menjadi Uskup Auca dan Pembantu Buenos Aires. Pada tanggal 27 Mei ia menerima penahbisan uskup dari Kardinal di katedral.

Ia memilih motto episkopalnya, "miserando atque eligendo", dan pada lambangnya dicantumkan IHS, lambang Serikat Yesus.

"Tuhan telah berkenan mengasihi aku dan akhirnya memilih aku".

"Miserando atque eligendo" adalah sebuah motto Latin yang diterjemahkan sebagai "Rendah hati dan terpilih" atau "Tuhan telah berkenan mengasihi aku dan akhirnya memilih aku".

Motto ini juga dapat diterjemahkan sebagai "dengan memilih dengan penuh belas kasihan" atau "dengan pilihan penuh belas kasihan Tuhan". Dalam motto ini, tata bahasa menyatu bersama spiritual, dengan gagasan bahwa ketika Tuhan memanggil, belas kasihan-Nya adalah pilihan-Nya dan pilihan-Nya adalah belas kasihan-Nya.

Setelah kematian Kardinal Quarracino, ia menggantikannya pada tanggal 28 Februari 1998, sebagai Uskup Agung. Tiga tahun kemudian di Konsistori 21 Februari 2001, Yohanes Paulus II mengangkatnya menjadi Kardinal, memberinya gelar San Roberto Bellarmino.

Saat itu Bergoglio meminta agar umat tidak datang ke Roma untuk merayakan pengangkatannya sebagai Kardinal, melainkan menyumbangkan kepada orang miskin apa yang akan mereka habiskan dalam perjalanan tersebut.

Sebagai Uskup Agung Buenos Aires – sebuah keuskupan dengan lebih dari tiga juta penduduk – ia menyusun proyek misionaris berdasarkan persekutuan dan evangelisasi.

Ia mempunyai empat tujuan utama: komunitas yang terbuka dan penuh persaudaraan, kaum awam yang mendapat informasi dan memainkan peran utama, upaya evangelisasi yang ditujukan kepada setiap penduduk kota, dan bantuan kepada orang miskin dan orang sakit.

Menyusul pengunduran diri Paus Benediktus XVI pada 28 Februari 2013, konklaf kepausan memilih Bergoglio sebagai penggantinya pada 13 Maret 2013. Dia memilih Fransiskus sebagai nama kepausannya untuk menghormati Santo Fransiskus dari Assisi.

"Jika kamu mengikuti Kristus, kamu memahami bahwa menginjak-injak martabat seseorang adalah dosa serius." 

Terpilih menjadi Paus

Pemilihan Paus Fransiskus pada 13 Maret 2013 merupakan momen bersejarah bagi Gereja Katolik, bukan hanya karena ia menjadi Paus pertama dari Amerika Latin, tetapi juga karena proses pemilihannya yang berlangsung di tengah situasi yang cukup unik.

Pemilihan ini terjadi setelah pengunduran diri Paus Benediktus XVI pada 28 Februari 2013, sebuah kejadian yang sangat jarang terjadi dalam sejarah Gereja, karena Paus Benediktus XVI menjadi Paus pertama yang mengundurkan diri dalam hampir 600 tahun terakhir.

Dengan mundurnya Benediktus XVI pada 28 Februari 2013, Gereja Katolik menghadapi tugas penting untuk memilih penerus yang akan memimpin lebih dari satu miliar umat Katolik di seluruh dunia.

Proses pemilihan Paus dilakukan melalui sebuah pertemuan tertutup yang disebut konklaf. Kata "konklaf" berasal dari bahasa Latin "cum clave," yang berarti "dengan kunci," menggambarkan tradisi di mana para Kardinal terkunci di dalam Kapel Sistina hingga mereka berhasil memilih Paus baru.

Konklaf ini merupakan pertemuan rahasia yang hanya diikuti oleh para Kardinal yang berusia di bawah 80 tahun. Pada konklaf tahun 2013, terdapat 115 Kardinal dari berbagai negara yang memenuhi syarat untuk memilih Paus.

Proses konklaf diawali dengan Misa khusus yang disebut Misa Pro Eligendo Pontifice di Basilika Santo Petrus. Setelah Misa, para Kardinal berbaris menuju Kapel Sistina, tempat konklaf akan berlangsung.

Mereka berjalan dalam suasana khusyuk, menyanyikan Veni Creator Spiritus, sebuah nyanyian yang memohon bimbingan Roh Kudus dalam memilih pemimpin baru Gereja. Setibanya di Kapel Sistina, para Kardinal mengambil tempat mereka masing-masing di bawah lukisan terkenal Michelangelo, Penghakiman Terakhir.

 

 Tradisi dan simbol Konklaf 

Kardinal Argentina Jorge Bergoglio, yang baru terpilih menjadi paus dan memilih nama Paus Francis melambaikan tangan dari balkon Basilika Santo Petrus, Rabu (13/3/2013) malam.
AFP PHOTO / VINCENZO PINTO
Kardinal Argentina Jorge Bergoglio, yang baru terpilih menjadi paus dan memilih nama Paus Francis melambaikan tangan dari balkon Basilika Santo Petrus, Rabu (13/3/2013) malam.

Konklaf dipenuhi dengan tradisi dan simbol yang mencerminkan kesucian dan pentingnya proses pemilihan ini. Setelah para Kardinal berada di dalam Kapel Sistina, pintu kapel dikunci dari luar, menandakan dimulainya konklaf. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa proses pemilihan berlangsung dalam suasana yang sepenuhnya tertutup dan bebas dari pengaruh luar. Setiap Kardinal bersumpah untuk menjaga kerahasiaan proses pemilihan.

Pemungutan suara dilakukan dalam beberapa putaran setiap hari hingga salah satu kandidat memperoleh dua pertiga suara dari para Kardinal yang hadir.

Setiap suara ditulis pada selembar kertas khusus yang dilipat dua kali dan kemudian diletakkan dalam sebuah cawan besar di depan altar. Setelah setiap putaran pemungutan suara, kertas-kertas tersebut dibakar.

Jika hasilnya belum mencapai konsensus, asap hitam akan keluar dari cerobong Kapel Sistina, menandakan bahwa belum ada Paus yang terpilih. Asap hitam ini dihasilkan dari pembakaran kertas suara yang dicampur dengan bahan kimia tertentu.

Namun, ketika seorang Paus baru berhasil terpilih, asap putih akan mengepul dari cerobong, menandakan bahwa Gereja telah memiliki pemimpin baru. Asap putih ini menjadi simbol kegembiraan dan harapan bagi umat Katolik di seluruh dunia yang menanti dengan cemas. Lonceng Basilika Santo Petrus juga akan dibunyikan untuk mengonfirmasi bahwa Paus baru telah terpilih.

 

 Jorge Mario Bergoglio jadi Paus Fransiskus 

Paus Fransiskus memberkati seorang anak kecil yang datang bersama orangtuanya di Lapangan Basilika Santo Petrus, Vatikan, Selasa (19/3/2013).
VINCENZO PINTO / AFP
Paus Fransiskus memberkati seorang anak kecil yang datang bersama orangtuanya di Lapangan Basilika Santo Petrus, Vatikan, Selasa (19/3/2013).

Pada awalnya, terdapat beberapa nama yang dipertimbangkan oleh para Kardinal, termasuk Kardinal Angelo Scola dari Italia dan Kardinal Odilo Scherer dari Brasil. Namun, seiring berjalannya waktu, suara para kardinal mulai mengarah kepada Jorge Mario Bergoglio, Kardinal dari Argentina.

Pada hari kelima konklaf tahun 2013, Kardinal Bergoglio mendapatkan suara mayoritas dan terpilih sebagai Paus ke-266.

Setelah terpilih, Bergoglio menerima hasil pemilihan dengan mengatakan "Accepto" (saya menerima) dan memilih nama Fransiskus, terinspirasi oleh Santo Fransiskus dari Assisi, yang dikenal karena kesederhanaan dan kepeduliannya terhadap kaum miskin.

Pilihan nama ini segera memberikan gambaran tentang arah kepemimpinannya, yaitu membawa Gereja lebih dekat kepada orang-orang miskin, memperjuangkan keadilan sosial, dan menjaga lingkungan. Setelah menerima hasil pemilihan, Paus Fransiskus mengenakan jubah putih sederhana, mengesankan kerendahan hati yang menjadi ciri khasnya sejak awal.

Setelah itu, Paus Fransiskus muncul di balkon Basilika Santo Petrus, di hadapan ribuan umat yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus.

Dalam pidato pertamanya sebagai Paus, dia memulai dengan menyapa umat dan meminta mereka untuk mendoakannya sebelum dia memberkati mereka. Tindakan ini menunjukkan sifat rendah hati Paus Fransiskus dan komitmennya untuk melayani Gereja dengan kasih dan dedikasi.

Sehari setelah terpilih, Paus Fransiskus kembali ke hotelnya untuk membayar sendiri tagihan hotelnya dan mengambil barang bawaannya. Ia juga tetap mengenakan sepatu lamanya yang usang dari Buenos Aires walau disediakan sepatu merah baru sebagai Paus terpilih.

Terpilihnya Paus Fransiskus membawa makna simbolis yang mendalam bagi Gereja Katolik. Dia adalah Paus pertama dari Benua Amerika dan juga Paus pertama dari ordo Yesuit, sebuah ordo yang dikenal dengan komitmen mereka terhadap pendidikan, misi, dan pelayanan kepada orang miskin.

Mengenai hal ini, Paus Fransiskus megatakan: "Jesuit punya sumpah untuk taat pada Paus, tapi kalau Paus-nya adalah Jesuit, mungkin dia harus bersumpah untuk taat pada atasan jenderal... Saya merasa masih menjadi Jesuit dalam hal spiritualitas saya, apa yang saya miliki di hati."

Pilihannya untuk mengambil nama Fransiskus juga mencerminkan keinginannya untuk membawa Gereja kembali ke nilai-nilai dasar Injil, seperti kesederhanaan, kerendahan hati, dan perhatian kepada mereka yang paling membutuhkan.

Terpilihnya Paus Fransiskus sebagai Paus pertama dari Benua Amerika dan juga Jesuit pertama yang memegang posisi tertinggi dalam Gereja Katolik, menandai babak baru dalam sejarah Gereja. Pemilihannya dianggap sebagai simbol dari komitmen Gereja untuk menjadi lebih inklusif dan mendekatkan diri kepada umat dari berbagai latar belakang.

Reaksi dari seluruh dunia sangat positif, dengan banyak orang yang memuji kesederhanaan dan kerendahan hati Paus Fransiskus.

Pemilihannya juga membawa harapan bagi perubahan dalam Gereja, terutama dalam hal reformasi internal dan keterlibatan yang lebih besar dalam isu-isu sosial global. Dalam waktu singkat, Paus Fransiskus berhasil membangun citra sebagai pemimpin yang dekat dengan umat, progresif, dan peduli terhadap keadilan sosial.

Paus Fransiskus:
Pembawa perubahan
dalam Gereja Katolik

Paus Fransiskus meniup lilin kue untuk ulang tahun yang ke-82, selama acara audiensi dengan anak-anak dan keluarga pada Minggu (16/12/2018) di Vatikan. Paus berulang tahun pada 17 Desember. (AFP/Vincenzo Pinto)
 
Paus Fransiskus meniup lilin kue untuk ulang tahun yang ke-82, selama acara audiensi dengan anak-anak dan keluarga pada Minggu (16/12/2018) di Vatikan. Paus berulang tahun pada 17 Desember. (AFP/Vincenzo Pinto)

SEJAK terpilih, Paus Fransiskus telah dikenal sebagai sosok yang membawa angin perubahan di dalam Gereja Katolik. Dia menekankan pentingnya kerendahan hati, kesederhanaan, dan kasih sayang dalam menjalankan tugas kepausan.

Paus Fransiskus sering kali mengejutkan dunia dengan sikap dan tindakannya yang berbeda dari pendahulunya, terutama dalam hal kepedulian terhadap kaum miskin dan lingkungan.

Dia datang pada saat Gereja sedang menghadapi berbagai tantangan, termasuk krisis kepercayaan yang diakibatkan oleh skandal pelecehan seksual, kekhawatiran atas administrasi internal, dan meningkatnya kebutuhan untuk menanggapi isu-isu sosial global seperti kemiskinan dan perubahan iklim.

Paus Fransiskus dikenal dengan pendekatan yang inklusif, penuh kasih, dan pragmatis dalam memimpin Gereja, dengan tujuan membuatnya lebih terbuka, relevan, dan dekat dengan umat.

Salah satu langkah reformasi besar yang dilakukan Paus Fransiskus adalah upaya untuk memperbaiki struktur administrasi Gereja, terutama melalui reformasi Kuria Romawi, yang merupakan pusat administrasi Vatikan.

Dia membentuk dewan Kardinal yang disebut C9 untuk menasihatinya dalam menjalankan reformasi ini. Reformasi Kuria mencakup penekanan pada transparansi, akuntabilitas, dan penyederhanaan struktur yang selama ini dianggap terlalu birokratis. Paus Fransiskus juga fokus pada pengelolaan keuangan Gereja dengan lebih efisien, termasuk mengawasi bank Vatikan dan memastikan pengelolaan yang lebih transparan.

Selain itu, dia juga memperjuangkan dialog antaragama, termasuk upaya mendekatkan hubungan antara Gereja Katolik dan umat Islam, Yahudi, serta kelompok-kelompok agama lainnya.

Dia percaya bahwa dalam dunia yang semakin pluralis ini, dialog dan kerja sama lintas agama adalah kunci untuk mencapai perdamaian dan keadilan global. Paus telah berpartisipasi dalam berbagai pertemuan antaragama, termasuk kunjungannya yang bersejarah ke Uni Emirat Arab pada tahun 2019, di mana dia menandatangani dokumen tentang persaudaraan manusia bersama dengan pemimpin Muslim terkemuka.

Dewi Praswida, perempuan asal Indonesia bersalaman dan berdialog dengan Paus Fransiskus di Vatikan, Roma, 26 Juni 2019
KOMPAS.COM/ISTIMEWA
Dewi Praswida, perempuan asal Indonesia bersalaman dan berdialog dengan Paus Fransiskus di Vatikan, Roma, 26 Juni 2019

Di bawah kepemimpinannya, Gereja Katolik juga mulai membuka diri terhadap isu-isu kontemporer seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, dan perlindungan terhadap imigran dan pengungsi.

Paus Fransiskus sering kali menekankan pentingnya memperlakukan para pengungsi dan migran dengan kasih sayang dan martabat.

Salah satu peristiwa yang mencerminkan komitmen ini adalah kunjungannya ke Pulau Lesbos di Yunani pada tahun 2016. Lesbos adalah salah satu pulau yang menjadi titik utama masuknya para pengungsi dari Timur Tengah ke Eropa.

Di tengah krisis pengungsi yang sedang berlangsung, Paus Fransiskus memutuskan untuk mengunjungi pulau tersebut sebagai bentuk solidaritas dan dukungan bagi para pengungsi yang hidup dalam kondisi sangat sulit.

Selama kunjungannya, Paus Fransiskus bertemu dengan para pengungsi, mendengarkan kisah-kisah mereka, dan berdoa bersama mereka. Dia juga mengkritik keras kebijakan-kebijakan yang tidak manusiawi terhadap para pengungsi dan mengingatkan dunia akan tanggung jawab bersama untuk melindungi mereka yang paling rentan.

Sebagai tindakan simbolis yang kuat, Paus Fransiskus bahkan membawa 12 pengungsi Suriah kembali ke Roma bersamanya untuk diberikan perlindungan. Tindakan ini menunjukkan bahwa bagi Paus Fransiskus, tindakan nyata dan empati adalah hal yang paling penting dalam menghadapi krisis kemanusiaan.

Dalam ensikliknya yang berjudul Laudato Si' (2015), Paus Fransiskus menyoroti tanggung jawab umat manusia untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama, yang harus dilestarikan demi generasi mendatang.

Dia sangat vokal dalam isu-isu lingkungan, di mana Paus menyerukan tindakan global yang mendesak untuk melawan perubahan iklim dan melindungi "rumah bersama" kita, yaitu bumi.

Dia mengaitkan isu lingkungan dengan keadilan sosial, menekankan bahwa dampak dari kerusakan lingkungan paling dirasakan oleh mereka yang paling miskin dan rentan.

Sri Paus Fransiskus tampak mencium bendera Lebanon yang disodorkan seorang pastor dalam audiensi umum.
Tangkapan layar Twitter @Reuters
Sri Paus Fransiskus tampak mencium bendera Lebanon yang disodorkan seorang pastor dalam audiensi umum.

Meskipun banyak dipuji, kepemimpinan Paus Fransiskus tidak lepas dari kontroversi. Beberapa kalangan konservatif dalam Gereja Katolik mengkritik pendekatannya yang dianggap terlalu liberal, terutama dalam hal pandangannya tentang keluarga, perkawinan, dan moralitas seksual.

Misalnya, dalam Amoris Laetitia (2016), sebuah dokumen penting yang keluar dari Sinode tentang Keluarga, Paus Fransiskus mendorong Gereja untuk lebih inklusif terhadap pasangan yang bercerai dan menikah lagi, serta mereka yang hidup dalam situasi keluarga yang tidak konvensional.

Dia menekankan bahwa meskipun Gereja harus tetap berpegang pada ajaran moralnya, hal itu tidak boleh menghalangi Gereja untuk merangkul dan mendampingi umat yang sedang mengalami kesulitan hidup.

Namun yang paling menjadi sorotan barangkali adalah sikap Paus Fransiskus yang lebih terbuka dan penuh kasih terhadap komunitas LGBT, meskipun Gereja Katolik masih mempertahankan ajaran tradisional tentang pernikahan.

Salah satu pernyataannya yang paling terkenal adalah ketika dia berkata, "Siapakah saya untuk menghakimi?" saat ditanya tentang seorang gay yang mencari Tuhan dengan tulus. Pernyataan ini menggemparkan dunia dan menjadi titik balik dalam cara Gereja berinteraksi dengan komunitas LGBT.

Pada tahun 2020, dalam sebuah wawancara dokumenter, Paus Fransiskus mengatakan bahwa mereka juga adalah anak-anak Tuhan dan berhak memiliki keluarga. Meskipun pernyataan ini menimbulkan perdebatan di kalangan Gereja, banyak yang melihatnya sebagai langkah maju yang penting menuju penerimaan dan pengertian yang lebih besar.

Paus Fransiskus juga telah bertemu dengan sejumlah individu LGBT dan keluarga mereka, memberikan berkat, dan mendengarkan cerita mereka.

Dia menekankan pentingnya mencintai dan merangkul semua orang, tanpa terkecuali, sebagai saudara dan saudari dalam Kristus. Sikap ini menunjukkan upaya Paus untuk membangun jembatan antara Gereja dan komunitas LGBT, serta mengajak umat Katolik untuk mendekati semua orang dengan cinta dan tanpa penghakiman.

"Siapakah saya untuk menghakimi?"

Selain itu, Paus Fransiskus juga menghadapi tantangan besar dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual yang melibatkan anggota Gereja.

Meskipun telah mengambil langkah-langkah tegas, seperti mengadakan pertemuan global tentang perlindungan anak di Vatikan pada tahun 2019, banyak yang merasa bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk menyembuhkan luka-luka tersebut dan mengembalikan kepercayaan umat.

Di tengah berbagai tantangan ini, Paus Fransiskus tetap teguh pada misinya untuk membangun gereja yang lebih inklusif dan peduli terhadap kebutuhan umat. Dia sering kali menekankan pentingnya doa, kerja keras, dan kesatuan dalam menghadapi tantangan yang dihadapi Gereja dan dunia pada umumnya.

 

 Misi kemanusiaan Paus 

Paus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin yang memiliki kepedulian tinggi terhadap isu-isu kemanusiaan. Salah satu prioritas utamanya adalah memperjuangkan hak-hak kaum miskin dan termarginalkan.

Dalam banyak kesempatan, ia menegaskan bahwa Gereja harus menjadi "Gereja yang miskin dan untuk orang miskin," dan menolak segala bentuk kemewahan yang dapat menciptakan jarak antara pemimpin gereja dan umat.

Di bawah kepemimpinannya, Gereja Katolik telah menjadi suara yang vokal dalam memperjuangkan keadilan sosial di berbagai belahan dunia. Paus Fransiskus tidak segan-segan mengkritik ketidakadilan yang dilakukan oleh para pemimpin politik dan ekonomi, terutama terkait dengan kebijakan yang merugikan kaum miskin dan rentan.

Dalam ensiklik Fratelli Tutti (2020), ia menyerukan persaudaraan universal dan solidaritas antarbangsa sebagai dasar untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan damai.

Selain itu, Paus Fransiskus berusaha mendekatkan Gereja kepada umat dengan mempromosikan pendekatan yang lebih pastoral dan berpusat pada belas kasih, daripada hanya berpegang pada aturan yang kaku.

Dia mengajak para imam dan uskup untuk lebih mendengarkan umat, terutama mereka yang berada di pinggiran masyarakat, dan menjadi saksi kasih Kristus melalui tindakan nyata.

"Gereja perlu mendengarkan suara-suara dari semua kalangan dan merangkul semua orang tanpa memandang latar belakang mereka."

Salah satu perhatian besar Paus Fransiskus adalah menjadikan Gereja lebih terbuka dan inklusif, terutama terhadap kelompok-kelompok yang selama ini merasa terpinggirkan atau tidak diterima dengan baik oleh Gereja.

Dia menyadari bahwa untuk tetap relevan di dunia modern, Gereja perlu mendengarkan suara-suara dari semua kalangan dan merangkul semua orang tanpa memandang latar belakang mereka.

Paus Fransiskus bertemu Spider-Man yang menghadiahinya topeng superhero Marvel itu, saat audiensi umum di Halaman San Damaso, Vatikan, Rabu (23/6/2021). Pria di balik topeng Spider-Man itu bekerja untuk menghibur pasien anak-anak di rumah sakit.
AP PHOTO/ANDREW MEDICHINI
Paus Fransiskus bertemu Spider-Man yang menghadiahinya topeng superhero Marvel itu, saat audiensi umum di Halaman San Damaso, Vatikan, Rabu (23/6/2021). Pria di balik topeng Spider-Man itu bekerja untuk menghibur pasien anak-anak di rumah sakit.

Dalam sinode-sinode yang diselenggarakannya, Paus Fransiskus menekankan pentingnya mendengarkan pengalaman hidup umat dan mencari cara untuk merangkul mereka, bahkan jika mereka tidak sepenuhnya mengikuti ajaran gereja.

Paus Fransiskus juga memperbarui Gereja dengan menekankan pentingnya pendekatan pastoral yang penuh kasih, terutama dalam menangani masalah-masalah moral dan sosial yang kompleks.

Dia sering kali menekankan bahwa Gereja bukanlah lembaga yang hanya berfokus pada penghakiman, tetapi harus menjadi tempat di mana umat dapat menemukan belas kasih dan dukungan. Dia mendorong para imam untuk lebih memahami situasi umat dan mendampingi mereka dengan penuh kasih, daripada hanya menerapkan hukum secara kaku.

Sebagai bagian dari pendekatan ini, Paus Fransiskus juga mempromosikan budaya "menyambut dan merangkul," di mana Gereja terbuka bagi semua orang, termasuk mereka yang merasa terasing atau tersisih. Sikap ini telah menjadikan Gereja Katolik lebih inklusif dan menarik bagi banyak orang yang sebelumnya mungkin merasa bahwa Gereja bukan tempat bagi mereka.

"Gereja bukanlah lembaga yang hanya berfokus pada penghakiman, tetapi harus menjadi tempat di mana umat dapat menemukan belas kasih dan dukungan."

Dia sering kali terlihat meluangkan waktu untuk berbicara dengan orang-orang biasa, mencium bayi, memeluk para tunawisma, dan bahkan mencuci kaki para narapidana, tindakan yang mencerminkan komitmennya terhadap nilai-nilai kasih sayang dan kerendahan hati.

Saat pandemi Covid-19 melanda, Paus Fransiskus juga mengalami masa sepi seperti orang lain. Dalam sebuah foto yang kemudian menjadi terkenal, Paus berdiri menghadap Lapangan Santo Petrus yang biasanya ramai, namun menjadi sangat sepi saat itu. Dari balkon Vatikan, ia memberi berkat di tengah hujan yang membasahi lapangan di depannya.

“Banyak yang bertanya-tanya apa yang saya pikirkan… tidak ada yang luar biasa; Saya baru saja memikirkan tentang kesepian orang-orang. Saya sendirian, dan banyak orang yang hidup dalam situasi yang sama dengan saya,” tulisnya.

Salah satu pelajarannya adalah bahwa semua makhluk hidup saling berhubungan, tidak peduli seberapa jauh jarak kita satu sama lain. Ia memahami hal itu melalui pengalamannya sendiri, sebagai Bergoglio, anak kecil yang ketakutan, menyaksikan orang-orang dewasa yang ketakutan di sekelilingnya selama Perang Dunia II, bahkan ketika pertempuran terjadi di negara yang jauh.

Gambar yang dirilis Vatikan memperlihatkan Paus Fransiskus dan sekelompok kecil pengawalnya berjalan menyusuri jalanan kota Roma yang sedang sepi pada 15 Maret 2020. Paus Fransiskus berdoa agar wabah virus corona segera berakhir.
VATICAN MEDIA/HANDOUT via REUTERS
Gambar yang dirilis Vatikan memperlihatkan Paus Fransiskus dan sekelompok kecil pengawalnya berjalan menyusuri jalanan kota Roma yang sedang sepi pada 15 Maret 2020. Paus Fransiskus berdoa agar wabah virus corona segera berakhir.

Dalam keprihatinan itu, Paus Fransiskus kemudian keluar dari Vatikan, dan berjalan kaki melakukan kunjungan mendadak pada hari Minggu ke dua gereja di Roma untuk berdoa bagi berakhirnya pandemi virus corona.

Paus Fransiskus pertama-tama pergi ke basilika Roma, St. Mary Major, di mana ia sering berhenti untuk mengucap syukur setelah kembali dari perjalanan ke luar negeri. Di sana ia berdoa di hadapan ikon Perawan Maria yang didedikasikan untuk “keselamatan manusia.”

Setelah itu, Paus menuju ke pusat Piazza Venezia, berjalan di sepanjang Via del Corso, sebuah jalan perbelanjaan terkenal bagi warga Roma. Dia kemudian masuk ke dalam gereja yang tidak terlalu populer, St. Marcel di Corso.

Gereja ini menyimpan “salib suci yang pada tahun 1522 dibawa dalam prosesi melalui lingkungan kota sehingga Wabah Besar di Roma berakhir,” kata juru bicara Vatikan Matteo Bruni dalam sebuah pernyataan.

“Dengan doanya, Bapa Suci memohon diakhirinya pandemi yang melanda Italia dan dunia, memohon kesembuhan bagi banyak orang yang sakit, mengenang begitu banyak korban saat ini dan meminta agar anggota keluarga dan teman-teman mereka mendapatkan penghiburan dan kenyamanan,” kata Bruni.

Dalam kehidupan sehari-harinya, Paus Fransiskus tetap menjaga gaya hidup yang sederhana. Dia memilih untuk tinggal di sebuah apartemen sederhana di Casa Santa Marta daripada tinggal di Istana Apostolik Vatikan yang lebih megah. Pilihan ini menjadi simbol dari pesan yang selalu ia sampaikan: bahwa pemimpin Gereja harus melayani umat dengan rendah hati dan tanpa pamrih.

Beberapa kabar menyebutkan bahwa setelah terpilih sebagi Paus, Fransiskus kerap keluar dari Vatikan secara diam-diam dan memberi uang pada orang-orang miskin di Roma.

Paus Fransiskus juga aktif dalam menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan umat di seluruh dunia. Melalui akun Twitter resminya, dia sering kali membagikan pesan-pesan yang penuh inspirasi, harapan, dan kasih sayang. Kehadirannya di dunia digital ini membuatnya lebih mudah diakses oleh berbagai kalangan, terutama generasi muda yang mencari panduan dan inspirasi spiritual.

Fransiskus bisa dikatakan telah membuat tahta Vatikan lebih terbuka dan manusiawi. Dahulu kebanyakan para Paus tinggal di Italia dan tidak melakukan perjalanan, kecuali paus Yohannes Paulus II.

Selain itu teknologi tingkat rendah di Vatikan membuat umat Katolik tidak bisa terlalu berharap untuk melihat atau mendengar kabar dari Paus. Para Paus kadang-kadang menerbitkan dokumen-dokumen resmi yang disebut “ensiklik,” namun perlu waktu lama agar pesan-pesan tersebut dapat tersebar luas.

Namun di masa Paus Fransiskus, hal-hal tersebut berubah. Dia menyetujui aplikasi yang menyampaikan ucapannya dalam bentuk yang lucu, memberikan wawancara yang lebih terbuka, dan dikenal menghindari rumah dan pakaian mewah. Sebaliknya, dia malah naik angkutan umum, memakai sepatu ortotik yang kikuk, dan mengatakan hal-hal seperti “Saya orang berdosa” dan, tentang kaum gay, “Siapakah saya yang berhak menghakimi?”

Adapun cuitannya yang pertama kali dari akun @Pontifex berbunyi: "Saudara-saudara terkasih, saya berterima kasih dari hati saya dan meminta Anda untuk terus mendoakan saya."

Paus Fransiskus mengambil foto diri sendiri menggunakan telepon genggam atau selfie bersama para remaja di Basilika Santo Petrus, Vatikan.
AP Photo
Paus Fransiskus mengambil foto diri sendiri menggunakan telepon genggam atau selfie bersama para remaja di Basilika Santo Petrus, Vatikan.

Pada 14 Juni 2024, sebelum terbang ke wilayah Puglia selatan Italia untuk bertemu para pemimpin dunia di KTT G7, Paus Fransiskus bahkan menerima tamu yang sangat berbeda di Vatikan untuk merayakan pentingnya humor.

Paus menyambut lebih dari 100 komedian dari 15 negara, termasuk selebriti AS Whoopi Goldberg, Jimmy Fallon, Chris Rock, Stephen Colbert dan Conan O’Brien.

“Di tengah begitu banyak berita suram, ketika kita berada dalam banyak keadaan darurat sosial dan bahkan pribadi, Anda memiliki kekuatan untuk menyebarkan kedamaian dan senyuman,” kata Paus Fransiskus kepada para komedian tersebut.

“Anda menyatukan orang, karena tertawa itu menular,” lanjutnya. “Dan ingatlah, ketika Anda berhasil menghadirkan senyuman di bibir seseorang, Anda juga membuat Tuhan tersenyum.”

Pendekatan-pendekatan ini telah menjadi ciri khas sejak Paus Fransiskus menjabat pada tahun 2013, yang mengubah wajah Gereja Katolik yang memiliki umat 1,4 miliar jiwa.

Banyak orang menyukai dan sangat tersentuh oleh perubahan ini, melihat Fransiskus sebagai simbol gereja berwawasan ke luar yang berfokus pada aksesibilitas, hubungan yang dekat, dan inklusivitas.

Paus Fransiskus
Penerus Rasul Petrus

Paus Fransiskus menyampaikan pesan Paskah di hadapan umat Katolik di St. Peter's Square, Vatikan, Senin (28/3/2016).
AFP PHOTO
Paus Fransiskus menyampaikan pesan Paskah di hadapan umat Katolik di St. Peter's Square, Vatikan, Senin (28/3/2016).

DALAM tradisi Gereja Katolik, Paus dianggap sebagai penerus langsung Rasul Petrus, yang diyakini sebagai pemimpin pertama Gereja setelah Yesus Kristus. Menurut Injil, Yesus memberikan kepada Petrus peran khusus dengan berkata, "Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku" (Matius 16:18).

Kata "Petrus" sendiri berarti "batu karang," yang melambangkan fondasi yang kuat bagi Gereja. Oleh karena itu, Paus sebagai penerus Petrus memiliki peran fundamental dalam menjaga kesatuan, kelangsungan, dan ajaran Gereja Katolik di seluruh dunia.

Sebagai penerus Petrus, Paus memiliki otoritas tertinggi dalam hal ajaran iman dan moral. Ini berarti bahwa ketika Paus berbicara ex cathedra (dari kursi kepausan) tentang doktrin iman dan moral, perkataannya dianggap bebas dari kesalahan (infalibilitas).

Infalibilitas ini adalah karunia khusus yang diyakini diberikan oleh Roh Kudus kepada Paus, untuk memastikan bahwa ajaran Gereja tetap setia pada kebenaran yang diajarkan oleh Yesus Kristus dan para rasul.

Sebagai penerus Yesus Kristus di bumi, Paus memegang peran sebagai pemimpin spiritual tertinggi bagi lebih dari satu miliar umat Katolik di seluruh dunia. Tugas utamanya adalah membimbing umat dalam iman, menjaga kesatuan dalam Gereja, dan memastikan bahwa ajaran Kristus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari umat Katolik. Paus melakukannya melalui pengajaran, penyampaian pesan moral, dan penegasan doktrin.

Paus juga melaksanakan peran ini dengan menjadi teladan iman dan moral bagi umat. Dia sering kali mengingatkan umat Katolik untuk hidup sesuai dengan ajaran Injil, mengikuti teladan Yesus dalam hal kasih, kerendahan hati, dan pengorbanan.

Paus Fransiskus, misalnya, sering kali menekankan pentingnya belas kasih, perhatian terhadap kaum miskin, dan perlindungan terhadap lingkungan, semuanya adalah nilai-nilai yang selaras dengan ajaran Yesus.

 

 Gembala universal gereja 

Paus juga dikenal sebagai "gembala universal" yang bertanggung jawab atas seluruh Gereja Katolik, termasuk uskup, imam, dan umat awam di setiap belahan dunia. Sebagai gembala, Paus bertugas untuk menjaga, melindungi, dan membimbing umat Katolik, seperti seorang gembala yang menjaga kawanan dombanya. Ini mencakup pengawasan terhadap ajaran Gereja, pengangkatan uskup, dan memastikan bahwa sakramen-sakramen dilaksanakan dengan benar.

Dalam peran ini, Paus sering kali berkeliling dunia untuk bertemu dengan umat Katolik dari berbagai latar belakang budaya dan sosial. Kunjungan pastoral ini bukan hanya sebagai bentuk dukungan moral, tetapi juga sebagai cara untuk menguatkan iman umat dan mengingatkan mereka bahwa mereka adalah bagian dari komunitas global yang lebih besar.

Paus Fransiskus, misalnya, sering kali mengunjungi negara-negara yang sedang mengalami konflik atau krisis, menunjukkan solidaritasnya dengan mereka yang menderita, dan membawa pesan perdamaian serta harapan.

 

 Penjaga tradisi dan ajaran 

Sebagai penerus Yesus Kristus, Paus juga memiliki peran penting sebagai penjaga tradisi dan ajaran Gereja. Gereja Katolik percaya bahwa ajaran-ajaran yang diajarkan oleh Yesus Kristus dan para rasul harus diteruskan secara setia tanpa perubahan yang merusak esensinya.

Paus bertanggung jawab untuk menjaga kemurnian ajaran ini, memastikan bahwa apa yang diajarkan oleh Gereja tetap setia pada kebenaran Injil.

Ini termasuk memastikan bahwa ajaran Gereja diterapkan dengan benar dalam konteks modern, tanpa mengorbankan integritas ajaran tersebut. Paus juga berperan dalam menanggapi tantangan-tantangan baru yang dihadapi oleh Gereja, baik itu dalam hal teologi, moralitas, maupun isu-isu sosial, dengan tetap berpegang pada ajaran Kristus sebagai panduan utama.

 

 Simbol kesatuan Gereja 

Paus, sebagai penerus Yesus Kristus, juga berfungsi sebagai simbol kesatuan dalam Gereja Katolik. Meskipun Gereja tersebar di seluruh dunia dengan berbagai budaya dan bahasa, Paus adalah figur yang menyatukan semua umat Katolik di bawah satu kepemimpinan spiritual.

Ini adalah cerminan dari doa Yesus dalam Injil Yohanes 17:21, "supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, ada di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau."

Kesatuan ini bukan hanya tentang struktur administratif, tetapi juga kesatuan dalam iman dan praktik sakramental. Paus memastikan bahwa meskipun ada keberagaman dalam cara umat Katolik menghayati iman mereka, semuanya tetap bersatu dalam keyakinan yang sama dan dalam persekutuan dengan Gereja universal.

 

 Fungsi dan pekerjaan Paus 

Paus Fransiskus menyapa warga Albania yang menyambut kunjungannya di Tirana, ibu kota negara itu, Minggu (21/9/2014).
AFP PHOTO / ARMEND NIMANI
Paus Fransiskus menyapa warga Albania yang menyambut kunjungannya di Tirana, ibu kota negara itu, Minggu (21/9/2014).

 Dalam gereja Katolik, Paus bukan sekedar simbol, namun juga memiliki peran, baik dalam hal rohani atau spiritualitas, dan juga dalam hal pemerintahan sebagai kepala negara.

 

 Peran spiritual dan kepemimpinan Paus 

Paus adalah pemimpin tertinggi dalam Gereja Katolik, dikenal sebagai "Bapa Suci" atau "Vicar of Christ" (Wakil Kristus di dunia). Sebagai penerus Rasul Petrus, yang diyakini sebagai paus pertama, Paus memiliki peran penting dalam menjaga ajaran Gereja dan memimpin umat Katolik di seluruh dunia.

Salah satu fungsi utama Paus adalah menjadi pemimpin spiritual yang membimbing umat melalui pengajaran, liturgi, dan keputusan moral.

Paus bertugas mengajarkan doktrin Gereja dan memastikan bahwa ajaran tersebut dipahami dan diikuti oleh umat. Dia sering kali menyampaikan pesan-pesan penting melalui homili, ensiklik (surat kepausan), dan dokumen-dokumen lainnya yang memberikan panduan moral dan teologis bagi umat Katolik.

Melalui peran ini, Paus memastikan bahwa Gereja tetap setia pada ajaran Yesus Kristus dan tidak menyimpang dari tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Sebagai pemimpin spiritual, Paus juga memiliki tugas penting dalam melaksanakan sakramen, terutama dalam konteks global. Meskipun sebagian besar tugas ini dijalankan oleh para uskup dan imam di seluruh dunia, Paus tetap memiliki peran simbolis yang kuat dalam memberikan berkat dan menjadi panutan bagi seluruh umat Katolik. 

 

 Fungsi pemerintahan dan administrasi 

Selain perannya sebagai pemimpin spiritual, Paus juga memiliki tanggung jawab administratif yang signifikan. Sebagai Kepala Negara Vatikan, Paus memimpin Tahta Suci, yang berfungsi sebagai pemerintahan pusat Gereja Katolik.

Vatikan, meskipun merupakan negara terkecil di dunia, memiliki pengaruh besar dalam urusan gerejawi dan internasional. Paus bertanggung jawab atas pengangkatan para uskup dan kardinal di seluruh dunia, yang pada gilirannya bertanggung jawab atas keuskupan dan keuskupan agung di wilayah mereka masing-masing.

Paus juga memimpin Kuria Romawi, sebuah lembaga administrasi yang membantu Paus dalam mengelola berbagai aspek kehidupan gereja, termasuk doktrin, liturgi, keuangan, dan hubungan internasional.

Kuria Romawi terdiri dari berbagai kongregasi, dewan, dan kantor yang bekerja di bawah arahan Paus untuk menjalankan misi gereja secara global. Dalam peran ini, Paus memiliki kekuasaan untuk mengubah struktur Kuria, membentuk dewan baru, atau mengubah fungsinya sesuai kebutuhan gereja.

Salah satu contoh nyata dari kekuasaan administratif Paus adalah dalam reformasi yang dilakukan Paus Fransiskus terhadap Kuria Romawi. Dia berupaya untuk menyederhanakan dan membuat struktur Kuria lebih efisien, serta menekankan transparansi dalam pengelolaan keuangan gereja.

Langkah-langkah ini menunjukkan bagaimana Paus memiliki kendali penuh atas administrasi Gereja Katolik dan dapat melakukan perubahan signifikan untuk memperbaiki cara kerja organisasi tersebut.

 

 Kekuasaan Paus 

Foto yang diambil pada tanggal 9 April 2023 oleh Media Vatikan ini menunjukkan Paus Fransiskus melakukan tur ke alun-alun Santo Petrus dengan mobil mobil paus, setelah memimpin misa Minggu Paskah di Vatikan.
HANDOUT/VATICAN MEDIA/AFP
Foto yang diambil pada tanggal 9 April 2023 oleh Media Vatikan ini menunjukkan Paus Fransiskus melakukan tur ke alun-alun Santo Petrus dengan mobil mobil paus, setelah memimpin misa Minggu Paskah di Vatikan.

Paus memiliki kekuasaan yang sangat luas dalam Gereja Katolik, sering kali disebut sebagai "kekuasaan penuh, tertinggi, langsung, dan universal" atas seluruh Gereja.

Ini berarti bahwa keputusan Paus dalam hal iman, moral, dan disiplin gereja tidak dapat diganggu gugat oleh otoritas lain mana pun. Kekuasaan ini mencakup kemampuan untuk menetapkan doktrin, mengubah aturan gereja, dan membuat keputusan akhir dalam perselisihan teologis atau disipliner.

Salah satu bentuk kekuasaan paling signifikan yang dimiliki Paus adalah infalibilitas, yaitu kemampuan untuk mengeluarkan pernyataan doktrinal yang dianggap bebas dari kesalahan ketika berbicara ex cathedra (dari kursi kepausan) tentang hal-hal yang berkaitan dengan iman dan moral. Infalibilitas ini hanya digunakan dalam kondisi yang sangat jarang dan dianggap sebagai panduan bagi seluruh umat Katolik.

Kekuasaan Paus juga terlihat dalam hubungannya dengan para uskup dan kardinal. Meskipun uskup memiliki otoritas atas keuskupan mereka sendiri, mereka tetap berada di bawah yurisdiksi Paus. Paus memiliki hak untuk mengangkat, memindahkan, atau memberhentikan para uskup, serta menentukan kebijakan umum yang harus diikuti oleh seluruh gereja.

Selain itu, Paus memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan konsili ekumenis, yaitu pertemuan para uskup dari seluruh dunia untuk membahas dan memutuskan isu-isu penting dalam Gereja. Keputusan-keputusan yang diambil dalam konsili ini, dengan persetujuan Paus, menjadi hukum gereja yang mengikat bagi seluruh umat Katolik. 

 

 Paus dalam Hubungan Internasional 

Sebagai Kepala Negara Vatikan, Paus juga memainkan peran penting dalam hubungan internasional. Vatikan memiliki status sebagai pengamat permanen di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menjalin hubungan diplomatik dengan banyak negara. Paus sering kali bertindak sebagai mediator dalam konflik internasional dan menjadi suara moral dalam isu-isu global seperti perdamaian, kemiskinan, dan perubahan iklim.

Paus Fransiskus, misalnya, telah menjadi tokoh utama dalam mendorong dialog antaragama dan upaya untuk mengatasi krisis kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Dengan memanfaatkan pengaruh global yang dimiliki Vatikan, Paus dapat mempengaruhi kebijakan internasional dan mengadvokasi hak-hak asasi manusia di tingkat global.

 

Makna dan Pesan Kunjungan Paus Fransiskus 

Paus Fransiskus menerima bunga dari perempuan berpakaian kimono di Bandara Haneda Tokyo, sebelum bertolak meninggalkan Jepang pada 26 November 2019.
AFP/KAZUHIRO NOGI
Paus Fransiskus menerima bunga dari perempuan berpakaian kimono di Bandara Haneda Tokyo, sebelum bertolak meninggalkan Jepang pada 26 November 2019.

PAUS Fransiskus akan berkunjung ke Indonesia pada 3 hingga 6 September 2024. Dia akan menjadi Paus ketiga yang berkunjung ke Indonesia setelah Paus Paulus VI pada 1970 dan Paus Yohanes Paulus II pada 1989.

Dalam konferensi pers Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia yang digelar di lantai 4 Gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Jakarta pada Rabu (28/8/2024), Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan, Vatikan mempunyai keinginan untuk belajar lebih banyak mengenai Islam di Indonesia.

Paus Fransiskus dijadwalkan berangkat dari Roma, Italia, pada 1 September 2024. Kemudian, ia akan tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pada 3 September 2024.

Lalu pada 4 September, Paus akan bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. Setelah bertemu Presiden Jokowi, Paus Fransiskus dijadwalkan akan bertemu dengan korps diplomatik, masyarakat sipil, tokoh masyarakat, dan para pejabat pada pukul 10.35 WIB di Istana Negara, Jakarta.

Dalam pertemuan itu, Paus asal Argentina itu akan menyampaikan pidato. Lalu, Paus pertama dari Ordo Serikat Yesuit ini juga akan bertemu dengan para anggota Serikat Yesuit di Indonesia. Pertemuan pada pukul 11.30 WIB ini akan dilakukan di Apostolic Nunciatura, Kedutaan Besar Vatikan untuk Indonesia.

Sore harinya, pukul 16.30 WIB, Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi agama Katolik dijadwalkan akan bertemu dengan para uskup, imam, diakon, biarawan-biarawati, seminaris, dan katekis. Pertemuan khusus ini akan diselenggarakan di Gereja Maria Diangkat ke Surga, Katedral Jakarta.

Setelah pertemuan di Katedral, pada petang harinya atau pukul 17.35 WIB, Paus Fransiskus akan bertemu dengan kaum muda dari Scholas Occurantes di Youth Center Graha Pemuda, Kompleks Katedral Jakarta.

Lalu pada 5 September 2024, Paus Fransiskus akan mengunjungi Masjid Istiqlal untuk melakukan dialog lintas agama. Di hari Paus akan memimpin Misa Suci di GBK.

Kemudian, pada Jumat, 6 September 2024, pukul 09.45 WIB, Paus Fransiskus mengakhiri kunjungan apostolik dan kenegaraan di Indonesia. Lalu, terbang ke Port Moresby, Papua Nugini. 

 

 Membangun dialog antaragama dan perdamaian 

Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas beserta jajaran pimpinan bersalaman dengan Paus Fransiskus usai menyampaikan dokumen GP Ansor Declaration on Humanitarian Islam di Vatikan, Rabu (25/9/2019).
PHOTOVAT.com
Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas beserta jajaran pimpinan bersalaman dengan Paus Fransiskus usai menyampaikan dokumen GP Ansor Declaration on Humanitarian Islam di Vatikan, Rabu (25/9/2019).

Salah satu makna utama dari kunjungan Paus Fransiskus ke berbagai negara adalah untuk mempromosikan dialog antaragama dan perdamaian. Dalam dunia yang sering kali dipenuhi dengan konflik agama dan ketegangan sosial, Paus Fransiskus melihat pentingnya membangun jembatan di antara komunitas-komunitas yang berbeda keyakinan.

Setiap kunjungan yang dilakukannya, terutama ke negara-negara dengan mayoritas non-Katolik atau di mana umat Kristen adalah minoritas, membawa pesan bahwa agama harus menjadi alat untuk perdamaian, bukan pemecah belah.

Misalnya, kunjungannya ke Uni Emirat Arab pada tahun 2019 menandai pertama kalinya seorang Paus mengunjungi Semenanjung Arab. Di sana, Paus Fransiskus menandatangani Dokumen tentang Persaudaraan Manusia bersama Sheikh Ahmed el-Tayeb, Imam Besar Al-Azhar, yang menegaskan komitmen bersama untuk mempromosikan dialog antaragama dan melawan ekstremisme.

Kunjungan ini menandai langkah besar dalam hubungan Katolik-Muslim dan menjadi simbol harapan bahwa kerja sama antaragama dapat membantu menyelesaikan konflik dan membangun perdamaian.

 

 Memperjuangkan keadilan sosial dan solidaritas 

"Hak asasi manusia tidak hanya dilanggar oleh terorisme, penindasan atau pembunuhan, namun juga oleh struktur ekonomi yang tidak adil yang menciptakan kesenjangan yang sangat besar."

- Paus Fransiskus-

Paus Fransiskus juga sering menggunakan kunjungannya untuk mengangkat isu-isu keadilan sosial dan solidaritas, terutama bagi mereka yang terpinggirkan. Kunjungan-kunjungan ini menjadi platform baginya untuk menyuarakan keprihatinannya terhadap ketidakadilan yang dialami oleh kelompok-kelompok rentan, seperti pengungsi, migran, dan orang miskin.

Sebagai contoh, dalam kunjungannya ke Pulau Lesbos di Yunani pada tahun 2016, Paus Fransiskus menunjukkan solidaritasnya dengan para pengungsi yang terjebak di kamp-kamp pengungsi akibat krisis migrasi di Eropa.

Dengan mengunjungi mereka secara langsung, Paus tidak hanya menarik perhatian dunia terhadap penderitaan mereka, tetapi juga menyerukan kepada negara-negara untuk bertindak dengan belas kasih dan martabat dalam menangani krisis pengungsi.

Pesan ini menegaskan bahwa perlindungan terhadap mereka yang paling rentan adalah tanggung jawab bersama yang harus dijunjung tinggi oleh seluruh umat manusia.

 

 Mendorong rekonsiliasi dan persatuan 

Kunjungan Paus Fransiskus ke negara-negara yang mengalami konflik atau ketegangan internal sering kali bertujuan untuk mendorong rekonsiliasi dan persatuan. Dia percaya bahwa Gereja Katolik harus memainkan peran aktif dalam proses perdamaian, baik dengan memfasilitasi dialog antara pihak-pihak yang bertikai maupun dengan memberikan dukungan moral kepada mereka yang bekerja untuk perdamaian.

Kunjungan Paus ke Kolombia pada tahun 2017 adalah salah satu contoh bagaimana ia mendorong rekonsiliasi setelah bertahun-tahun konflik bersenjata di negara tersebut.

Paus Fransiskus bertemu dengan para korban kekerasan dan para mantan pejuang gerilya, serta menyerukan kepada seluruh rakyat Kolombia untuk memaafkan dan bekerja sama demi masa depan yang damai. Pesannya tentang rekonsiliasi tidak hanya relevan bagi Kolombia tetapi juga bagi negara-negara lain yang berjuang mengatasi luka-luka perang dan konflik.

 

 Menyampaikan pesan lingkungan dan perawatan Bumi 

Paus Fransiskus membalas sapaan umat saat dia meninggalkan Alun-alun St Peter usai pertemuan umum mingguan di Vatikan, 9 Oktober 2013.
AP PHOTO / GREGORIO BORGIA
Paus Fransiskus membalas sapaan umat saat dia meninggalkan Alun-alun St Peter usai pertemuan umum mingguan di Vatikan, 9 Oktober 2013.

Paus Fransiskus juga sering kali mengangkat isu lingkungan dalam kunjungannya, sejalan dengan ajarannya dalam ensiklik Laudato Si’ yang menekankan pentingnya merawat bumi sebagai rumah bersama.

Dia menggunakan kunjungan ke negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim atau yang memiliki keanekaragaman hayati yang kaya untuk mengingatkan umat manusia akan tanggung jawab mereka terhadap alam.

Kunjungan Paus ke Filipina pada tahun 2015, yang terjadi tidak lama setelah negara tersebut dilanda Topan Haiyan, menjadi momen penting di mana Paus menyoroti dampak buruk dari perubahan iklim terhadap masyarakat miskin.

Dia menyerukan tindakan global untuk mengatasi perubahan iklim dan menekankan bahwa kerusakan lingkungan paling dirasakan oleh mereka yang paling miskin dan rentan. Pesan ini memperkuat panggilan moral untuk bertindak demi keadilan lingkungan dan perlindungan planet kita.

 

 Membangun hubungan internasional dan solidaritas global 

Sebagai Kepala Negara Vatikan, kunjungan Paus Fransiskus juga memiliki makna diplomatik yang penting. Dia bertemu dengan para pemimpin dunia, bukan hanya untuk membahas isu-isu agama, tetapi juga untuk memperkuat hubungan internasional dan mendorong kerja sama dalam menghadapi tantangan global seperti perdamaian, kemiskinan, dan perubahan iklim.

Kunjungan Paus ke Amerika Serikat pada tahun 2015 adalah salah satu contoh bagaimana dia menggunakan posisinya untuk membangun solidaritas global.

Dalam pidatonya di hadapan Kongres AS, Paus Fransiskus menekankan pentingnya nilai-nilai moral dalam kebijakan politik, seperti menghormati kehidupan, mengurangi ketimpangan sosial, dan melindungi lingkungan. Dia juga bertemu dengan para pemimpin agama dan masyarakat untuk mempromosikan kerja sama lintas agama dan budaya.

Kunjungan Paus Fransiskus ke berbagai negara membawa pesan universal tentang perdamaian, dialog, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan. Melalui kunjungan ini, Paus berusaha menjadikan Gereja Katolik sebagai kekuatan positif yang berkontribusi pada penyelesaian konflik, pemberdayaan masyarakat miskin, dan pelestarian bumi.

Tindakannya menunjukkan komitmen yang mendalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual yang relevan di seluruh dunia, membuat kepemimpinannya menjadi inspirasi bagi banyak orang, baik Katolik maupun non-Katolik.

Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci (Vatikan) Michael Trias Kuncahyono menyampaikan bahwa tujuan Paus Fransiskus datang ke Indonesia yakni mengapresiasi kebebasan dalam beragama, terutama Katolik.

“Paus Fransiskus juga ingin kembali belajar tentang bagaimana negeri yang sangat beragam ini bisa rukun antar agama,” kata Michael Trias di Jakarta, Kamis (29/8/2024). Trias juga mengatakan bahwa tujuan Paus Fransiskus ke Indonesia adalah untuk mengingatkan bahwa semua orang, meski berbeda-beda, adalah saudara.