KENAIKAN harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tampaknya sudah di depan mata. Serangkaian pernyataan Presiden Joko Widodo beserta menteri terkait sepanjang Agustus 2022 memperkuat sinyal tersebut.
Dalam pertemuan dengan tujuh pemimpin lembaga tinggi negara di Istana Negara, Jumat (12/8/2022), Presiden Jokowi mengungkapkan, subsidi energi tahun 2022 sebesar Rp 502,4 triliun terlampau tinggi. Apabila dalam APBN tahun depan tidak dikurangi, ia khawatir kas negara bakal terbebani.
”Cari saja negara yang subsidinya sampai Rp 502 triliun. Karena kita harus menahan harga pertalite, gas, listrik, termasuk pertamax. Gede sekali,” ujar Presiden Jokowi.
“Tetapi, apakah angka Rp 502 triliun masih terus kuat kita pertahankan? Kalau bisa, ya, alhamdulillah baik, artinya rakyat tidak terbebankan. Tetapi kalau memang APBN tidak kuat, bagaimana?” lanjut dia.
Pernyataan Kepala Negara itu seolah terjawab, Selasa (16/8/2022). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, anggaran yang digelontorkan untuk subsidi dan kompensasi energi tahun 2023 sebesar Rp 336,7 triliun. Nilai ini turun 33,07 persen dari pos anggaran serupa pada tahun 2022 yang mencapai Rp 502,4 triliun.
Pengurangan anggaran subsidi energi ini merupakan bagian dari upaya mencapai target defisit fiskal di bawah 3 persen tahun 2023.
”Total nilai dalam RAPBN 2023 tersebut terdiri dari alokasi subsidi energi Rp 210,7 triliun dan kompensasi energi sebesar Rp 126 triliun,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 yang dilakukan secara virtual.
Baca juga: Anggaran Subsidi Energi Turun Tajam pada 2023, Ini Penjelasan Sri Mulyani
Pada Jumat (19/8/2022), giliran Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengeluarkan pernyataan yang lebih mengerucut.
Ia mengungkapkan, kemungkinan besar Presiden Jokowi akan mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar pada pekan keempat bulan Agustus 2022.
“Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian karena kita harga BBM termurah di kawasan ini. Kita jauh lebih murah dari yang lain dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," ujar Luhut dalam Kuliah Umum Universitas Hasanuddin.
"Nanti mungkin minggu depan Presiden akan mengumumkan mengenai apa bagaimana mengenai kenaikan harga ini (BBM subsidi),” lanjut Luhut.
Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memaparkan, menaikkan harga BBM bersubsidi memang menjadi salah satu opsi yang dipertimbangkan di tengah tingginya harga minyak dunia serta upaya memastikan ketersediaan BBM bersubsidi di masyarakat.
Dalam beberapa bulan terakhir, konsumsi BBM bersubsidi sendiri mengalami peningkatan signifikan usai naiknya harga BBM tidak bersubsidi. Padahal, BBM bersubsidi sudah diberi kuota.
Data PT Pertamina Patra Niaga per Juli 2022, untuk pertalite telah tersalurkan 16,8 juta kiloliter (kl) dari kuota 23 juta kl (73,04 persen). Sementara solar subsidi telah tersalurkan 9,9 juta kl dari kuota 14,9 juta kl (66,44 persen).
Artinya, dalam lima bulan tersisa, kuota pertalite tinggal 6,2 juta kl dan solar subsidi 5 juta kl.
Oleh sebab itu, pemerintah harus menyiapkan langkah agar anggaran subsidi BBM ke depan tak semakin membengkak.
"Saat ini sedang dikaji banyak opsi secara keseluruhan, nanti kami akan pilih yang terbaik, karena subsidi ini (subsidi BBM) kompensasinya sudah berat sekali, sementara harga minyak masih cukup tinggi," ujar Arifin dalam keterangan resmi, Jumat (19/8/2022).
Pemerintah masih memiliki opsi untuk tidak menaikkan harga BBM subsidi. Namun hal itu juga bukan tanpa konsekuensi. Hal paling nyata yang bisa terjadi apabila pemerintah tidak menaikkan harga BBM bersubsidi adalah jebolnya kas negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, APBN sudah terbebani subsidi energi yang sudah mencapai Rp 502,4 triliun.
Apabila kuota BBM bersubsidi ditambah lagi, misalkan menjadi 23.0000 kiloliter, subsidi energi bisa mencapai di atas Rp 600 triliun. Artinya, itu melampaui pagu yang telah ditetapkan APBN.
"Kami melihat dengan volume yang cukup besar, ini (anggaran subsidi energi) bisa mungkin terlewati," ujar dia dalam konferensi pers, Selasa (16/8/2022).
Baca juga: Sri Mulyani Ungkap Anggaran Subsidi Energi Bisa Jebol
Sebagaimana diketahui, belanja subsidi energi mengalami peningkatan signifikan pada tahun ini, seiring dengan melonjaknya harga minyak mentah dunia. Asumsi Indonesian Crude Price (ICP) dalam APBN 2022 telah diubah menjadi 100 dollar AS per barrel, dari semula hanya 63 dollar AS per barrel.
Tingginya subsidi energi juga menjadi salah satu alasan utama proyeksi anggaran belanja pada tahun ini membengkak, menjadi Rp 3.169,1 triliun. Padahal, tanpa adanya lonjakan subsidi energi, target belanja negara sebenarnya hanya mencapai Rp 2.714,1 triliun.
Sri Mulyani menekankan pentingnya pengendalian pembelian BBM subsidi. Ini demi menjaga agar belanja subsidi energi tidak melebihi pagu anggaran yang telah disiapkan.
"Kalau tidak (dikendalikan) pasti melewati. Bahkan yang Rp 502,4 triliun bisa terlewati apabila volume subsidi terkontrol," ucap dia.
Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengungkapkan, mengurangi subsidi pada BBM sehingga harganya otomatis naik, bukanlah pilihan bijak saat ini.
Kenaikan harga BBM bersubsidi dipastikan membawa efek domino, mulai dari memicu lonjakan inflasi, hingga menggerus daya beli masyarakat.
"Opsi kenaikan harga BBM subsidi bukanlah pilihan yang tepat saat ini. Alasannya, kenaikkan harga pertalite dan solar yang proporsi jumlah konsumen di atas 70 persen sudah pasti akan menyulut Inflasi." ujar Fahmy melalui keterangan tertulis diterima Kompas.com, Sabtu (20/8/2022).
"Misalnya kenaikan pertalite hingga mencapai Rp 10.000 per liter, kontribusi terhadap inflasi diperkirakan mencapai 0.97 persen, sehingga inflasi tahun berjalan bisa mencapai 6,2 persen secara tahunan," sambung dia.
Selain akan berdampak terhadap inflasi, kenaikan harga BBM subsidi juga akan menurunkan daya beli masyarakat.
Bila daya beli masyarakat turun akibat harga BBM subsidi naik, maka pertumbuhan ekonomi yang sudah mencapai 5,4 persen pada kuartal II-2022 juga akan turun. Sebab, konsumsi masyarakat adalah komponen terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Baca juga: Sri Mulyani: Jika Inflasi Tinggi, Masyarakat Semakin Sulit Beli Rumah
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, kenaikan harga BBM subsidi juga akan semakin memperparah kondisi masyarakat ekonomi bawah. Apalagi mereka sudah menghadapi lonjakan harga pangan dalam beberapa bulan terakhir.
"Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap menghadapi kenaikkan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan hampir menyentuh 11 persen secara tahunan per Juli 2022?" ujar dia.
Bukan hanya kalangan ekonomi bawah saja, Bhima menyebutkan, kenaikkan harga Pertalite juga akan berdampak kepada masyarakat kalangan ekonomi menengah. Alokasi anggaran belanja masyarakat untuk membeli BBM RON 90 itu menjadi tidak terhindarkan.
"Kalau harga Pertalite ikut naik, maka kelas menengah akan mengorbankan belanja lain. Imbasnya apa? Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu," tutur Bhima.
Dengan asumsi tersebut, Ia menilai, ancaman stagflasi di Indonesia menjadi nyata. Stagflasi berpotensi terjadi dengan inlasi yang melesat, disertai pelemahan faktor pertumbuhan ekonomi nasional.
"Imbas nya bisa tiga sampai lima tahun recovery terganggu akibat daya beli turun tajam," ucap Bhima.
Baca juga: Jokowi: Momok Semua Negara Saat Ini Inflasi
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menambahkan, pemerintah super tega apabila menaikkan harga BBM subsidi di tengah kondisi ekonomi masih dalam masa pemulihan akibat pandemi Covid-19.
Menurut Mulyanto, pemerintah harus memperbanyak insentif bagi masyarakat kecil. Bukan malah membebani dengan menaikkan harga BBM. Hal tersebut justru akan menyebabkan lonjakan inflasi.
"Presiden jangan cuma mendengar saran kebanyakan menteri yang justru menginginkan pemerintah menaikan harga BBM. Dengarkan juga aspirasi masyarakat yang berkembang saat ini. Sebab kalau pemerintah tetap nekat itu sama saja pemerintah super tega dengan rakyatnya," kata dia, Sabtu (20/8/2022).
Wakil Ketua Fraksi PKS tersebut meminta agar Presiden Jokowi memperhatikan kondisi riil masyarakat. Sebagai Presiden yang dicitrakan peduli pada kepentingan rakyat, Jokowi harus berani membuat keputusan yang tegas tentang harga BBM ini.
Meski dalam kondisi dilematis, pemerintah dinilai masih memiliki celah agar persoalan BBM subsidi tidak membesar.
Pengamat ekonomi energi Fahmy Radhi mengusulkan pemerintah menunda kenaikan harga pertalite dan solar agar momentum pencapaian ekonomi tidak terganggu. Seiring dengan itu, pemerintah diminta menempuh kebijakan pembatasan pembelian BBM bersubsidi.
"Pemerintah sebaiknya fokus pada pembatasan BBM bersubsidi yang sekitar 60 persen tidak tepat sasaran. MyPertamina tidak akan efektif membatasi BBM agar tepat sasaran. Bahkan menimbulkan ketidakadilan dengan penetapan kriteria mobil 1.500 cc ke bawah yang berhak mengunakan BBM subsidi," kata Fahmy.
Di tengah keterbatasan stok, pengendalian BBM bersubsdi belum dilakukan karena menunggu terbitnya payung hukum berupa peraturan presiden.
Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan pertalite sebagai jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP) menggantikan premium. Namun, belum ada pembatasan untuk konsumsinya.
Baca juga: Sri Mulyani: Subsidi BBM Rp 502 Triliun Banyak Dinikmati Orang Kaya
Menurut Fahmy yang juga merupakan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada itu, pemerintah lebih baik membatasi pembelian BBM subsidi dengan menetapkan kendaraan roda dua dan angkutan umum yang berhak menggunakan pertalite dan solar.
Di luar sepeda motor dan kendararan umum, konsumen harus menggunakan pertamax atau BBM dengan RON lebih tinggi. Pembatasan dinilai akan efektif dan lebih mudah diterapkan di semua SPBU.
Oleh karena itu, kriteria sepeda motor dan kendaraan umum yang berhak menggunakan BBM subsidi langsung dimasukan ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 yang mengatur tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM, sebagai dasar hukum.
"Ketimbang hanya melontarkan wacana kenaikkan harga BBM subsidi, pemerintah akan lebih baik segera mengambil keputusan dalam tempo sesingkatnya terkait solusi yang diyakini pemerintah paling tepat tanpa menimbulkan masalah baru," ujar Fahmy.