JEO - Peristiwa

Menjaga Toleransi
dan Merawat Kebinekaan
ala Gusdurian

Rabu, 11 November 2020 | 09:59 WIB

Ajaran Gus Dur dirawat, dijaga, dan ditebar lewat gerakan Gusdurian, terutama di daerah simpul, yaitu daerah yang di dalamnya ada beragam umat beragama.

Gerakan Gusdurian menjaga toleransi dan merawat kebinekaan ala Gus Dur. Salah satunya di Mojoagung, Jombang, Jawa Timur.

GEREJA Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojoagung, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Senin (19/10/2020) sore dipenuhi puluhan tamu.

Bukan hanya jemaat, perempuan berkerudung dan pria berkopiah juga nampak di dalam gereja di sisi jalan utama penghubung Surabaya Madiun itu.

"Ini pertama dalam sejarah, gereja yang berusia 35 tahun ini dimasuki orang Muslim," celetuk Aan Anshori, aktivis Gusdurian Jombang, di sela persiapan acara Deklarasi Gusdurian Mojoagung pada sore itu.

Pria yang akrab dipanggil Gus itu juga sibuk menerima tamu, mulai dari gereja-gereja lain di Mojoagung, Polsek Mojoagung, Kodim, Ormas IPNU dan IPPNU, Banser, hingga Pemuda Pancasila.

Protokol kesehatan tetap diberlakukan bagi para tamu, seperti wajib mengenakan masker, cek suhu tubuh dengan thermo gun, dan menjaga jarak saat berada di lokasi acara.

Deklarasi Gusdurian Mojoagung, Jombang, Jawa Timur, di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojoagung, Senin (19/10/2020).
KOMPAS.com/ACHMAD FAIZAL
Deklarasi Gusdurian Mojoagung, Jombang, Jawa Timur, di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojoagung, Senin (19/10/2020).

Seremonial deklarasi Gusdurian berlangsung hangat dengan suguhan makanan khas tahu jombang dan kacang rebus, ditemani kopi dan teh hangat.

Joke-joke khas Jombang yang dilontarkan tamu undangan menambah hangat suasana gereja yang berlokasi di Desa Mojotrisno Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang itu.

Beberapa orang yang didaulat untuk memberi sambutan menolak berdiri di podium yang disediakan. Mereka lebih nyaman berada di bawah bersama para undangan.

"Sudah di sini saja. Saya tidak biasa sambutan di podium. Takut grogi," kata H Ahmad Suudi, tokoh Islam yang didaulat memberi sambutan dalam acara tersebut.

Ahmad Su'udi lalu banyak bercerita tentang kekagumannya kepada Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam membangun hubungan baik dengan berbagai pemeluk agama meski dia sendiri adalah tokoh Islam.

"Hal baik ini yang harus diteruskan, bahwa semua pemeluk agama di Indonesia harus rukun, saling menghargai, dan menghormati," ujar Ahmad Su'udi dalam sambutan itu.

Adapun pendeta Agus Supriyadi mengaku sangat senang dan bangga menjadi tuan rumah Deklarasi Gusdurian Mojoagung.

"Kami bangga menjadi bagian dari aksi kerukunan lintas iman di Mojoagung. Semoga suasana hangat dan toleran seperti ini bisa terpelihara selamanya," ujar AGus.

Seremonial deklarasi yang berlangsung sekitar satu jam itu ditutup dengan pemberian piagam Gusdurian kepada gereja, doa lintas iman, dan menyanyikan lagu Padamu Negeri.

Sesi foto bersama usai deklarasi Gusdurian Mojoagung, Jombang, Jawa Timur, di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojoagung, Senin (19/10/2020).
KOMPAS.com/ACHMAD FAIZAL
Sesi foto bersama usai deklarasi Gusdurian Mojoagung, Jombang, Jawa Timur, di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojoagung, Senin (19/10/2020).

Suguhan makan sore menambah suasana akrab di akhir acara.

Koordinator Gusdurian Mojoagung, Surya Alam Maulana, mengungkap alasan perlunya Gusdurian dibentuk di Mojoagung, yang "hanya" kecamatan. Umumnya, Gusdurian dibentuk di tingkat kabupaten atau kota.

"Gusdurian sejatinya dibentuk tidak berdasarkan wilayah administrasi, tapi berdasarkan simpul," kata Surya.

Simpul yang dimaksud adalah suatu daerah yang didiami lebih dari satu penganut agama. Di Mojoagung ada tiga kelompok penganut agama, yakni Tionghoa, Kristen, dan Islam.

Lalu, ada sembilan gereja tempat peribadatan umat Kristen dan Katolik, satu kelenteng tempat peribadatan umat Tionghoa, dan banyak masjid tempat peribadatan umat Islam.

Bahkan, tempat peribadatan ketiga umat agama itu berdekatan di salah satu titik strategis wilayah kecamatan Mojoagung.

"Kondisi tersebut tidak hanya memiliki potensi konflik antar-umat beragama yang tinggi, tapi juga bisa menjadi modalitas bagus sebagai contoh kehidupan toleransi beragama jika dikelola dengan baik. Karena itulah Gusdurian harus ada di Mojoagung," ungkap Surya.

Setelah deklarasi, kata dia, kegiatan selanjutnya Gusdurian Mojoagung akan lebih banyak berkumpul dan berdiskusi untuk mengenal satu sama lain serta mengenal ajaran agama masing-masing.

 


 MENU ARTIKEL: 

SEMBILAN NILAI
GUS DUR

TIGA bulan setelah Presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), meninggal, tepatnya pada awal April 2010, Aan Anshori dan beberapa rekannya di Jawa Timur menggelar pertemuan dengan salah satu anak Gus Dur.

Yang mereka temui adalah Alissa Qotrunnada Munawaroh atau akrab dipanggil Alissa Wahid, putri sulung Gus Dur. Pertemuan berlangsung di Yogyakarta.

Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa meski Gus Dur telah berpulang, gagasan-gagasannya harus tetap hidup membumi. Inti gagasan Gus Dur yang dimaksud belakangan diintisarikan menjadi sembilan nilai Gus Dur.

Warga melintas di depan spanduk yang mengutip pernyataan mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di kawasan Duren Sawit, Jakarta, Minggu (10/8/2014).
KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga melintas di depan spanduk yang mengutip pernyataan mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di kawasan Duren Sawit, Jakarta, Minggu (10/8/2014).

Kesembilan nilai itu adalah ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan lokal.

"Dari situ terbentuklah jaringan Gusdurian, kumpulan pelestari ajaran Gus Dur. Kami ini relawan, tanpa sokongan dana dan tanpa legalitas," kata Aan.

Berdirinya jaringan Gusdurian disambut baik berbagai kalangan, lebih-lebih kalangan minoritas yang selama ini selalu mendapatkan pembelaan dari Gus Dur. Seperti tujuan semula, kata Aan, Gusdurian hadir untuk mereka yang merasa kehilangan sosok Gus Dur.

"Bagi kami, wajah Islam Indonesia hanya bisa diselamatkan dengan model keislaman Gus Dur, (yaitu) Islam progresif yang lebih manusiawi dan tidak konservatif," ujar Aan.

Gusdurian Mojoagung adalah yang kesekian ada di Jawa Timur. Aan Anshori mengaku banyak mengetahui seluk beluk berdirinya jaringan Gusdurian di Jawa Timur karena dia pernah mengawaki pembentukan Gusdurian Jawa Timur.

Pembentukan jaringan aktivis Gusdurian di berbagai daerah adalah ikhtiar untuk menjaga suasana toleransi, kerukunan, dan kebinekaan sesuai amanat Pancasila.

"Kegiatan-kegiatan advokasi Gusdurian di daerah tidak semua berjalan mulus. Kami sudah terbiasa menghadapi demonstrasi warga, tekanan, ancaman piskis, hingga ancaman fisik," imbuh dia.

Sampai saat ini, lanjut Aan, jaringan Gusdurian sudah menyebar di sebagian besar daerah di Jawa Timur. Di antaranya, sebut dia, mulai dari Pulau Madura, wilayah pantai utara dari Gresik sampai Tuban, perkotaan di Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan Mojokerto, hingga wilayah selatan seperti Blitar, Malang, Kediri, dan Ponorogo.

Pembentukan jaringan aktivis Gusdurian di berbagai daerah di Jawa Timur—khususnya di wilayah-wilayah simpul—, menurut Aan adalah ikhtiar untuk menjaga suasana toleransi, kerukunan, dan kebinekaan sesuai amanat Pancasila di provinsi ini.

Gerakan Gusdurian, kata Aan, berlomba dengan gerakan Islamisme konservatif yang terus dijalankan bahkan oleh lembaga negara sendiri.

"Larangan bagi Muslim untuk mengucapkan selamat kepada umat agama lain yang merayakan hari raya adalah bentuk Islamisme yang paling mudah dijumpai," sebut Aan.

Jaringan Gusdurian terus mengembangkan sembilan ajaran nilai Gus Dur di berbagai daerah yang masing-masing memiliki karakteristik permasalahan.

Aan mencontohkan, mereka mengadvokasi kelompok Syiah Sampang yang rumahnya dibakar dan diusir dari desa di Sampang ke Sidoarjo pada 2012. Juga, mereka mengawal kasus aktivis tambang Salim Kancil di Lumajang pada 2012.

Lalu, pada 2018, jaringan Gusdurian terlibat dalam pemulihan psikis jemaat gereja yang menjadi lokasi aksi terorisme di Surabaya. Pada tahun yang sama, mereka mengadvokasi keluarga non-Muslim di Mojokerto yang makam salah satu anggota keluarganya dipindah paksa karena terlanjur dimakamkan di lokasi pemakaman Islam.

"Kalau seperti hadir di gereja atau di tempat ibadah umat agama lain saat merayakan hari raya keagamaan sebagai bentuk penghormatan, sudah biasa bagi kelompok Gusdurian," terang Aan.

Kehadiran Gusdurian yang notabene berasal dari kelangan Islam dalam hal ini aktivis Nahdlatul Ulama (NU) ternyata dinilai berdampak positif bagi psikologi umat agama lain.

"Mereka jadi berfikir, ternyata Islam itu ramah, dan itu otomatis mengubah sudut pandang mereka tentang Islam," ucap Aan.

Ajaran tentang kerukunan antar-umat beragama dan kebinekaan alias keberagaman juga diajarkan kelompok Gusdurian sejak dini kepada pelajar.

Pada Ramadhan 2019, misalnya, Gusdurian Jombang memfasilitasi kunjungan siswa siswi Madrasah Ibtidaiyah (MI) Islamiyah Plosogenuk dan SD Katolik Wijana ke sekolah SD Kristen Petra Jombang.

Dalam kunjungan tersebut, para siswa SD berbaur saling mengenal dan bermain bersama sambil menunggu waktu buka puasa. Setelahnya, siswa SD Islam melakukan shalat jamaah di depan gereja di sekitar lokasi SD Kristen Petra Jombang.

Dua tahun sebelumnya, siswa SD Petra Jombang juga bertamu ke gedung sekolah MI Islamiyah Plosogenuk Jombang.

 

 MENU ARTIKEL: 

 

 

 

KEADILAN
DAN KEMANUSIAAN

KOORDINATOR Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh menyebut, Gusdurian adalah jaringan pengikut atau santri-santri Gus Dur yang sudah ada sejak tahun 90-an.

Selain dari aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU), pengikut Gus Dur ini juga dari kelompok sipil dari beragam latar belakang pemikiran.

Setelah Gus Dur wafat, barulah jaringan ini mereka namai Gusdurian. Mereka ingin tetap selalu mengingat figur dan sosok Gus Dur beserta ajaran-ajarannya.

Putri pertama Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid saat memberikan sambutan dalam Haul ke-9 Gus Dur di kediamannya, Ciganjur, Jakarta Selatan, Jumat (21/12/2018).
KOMPAS.com/CHRISTOFORUS RISTIANTO
Putri pertama Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid saat memberikan sambutan dalam Haul ke-9 Gus Dur di kediamannya, Ciganjur, Jakarta Selatan, Jumat (21/12/2018).

Hingga saat ini, jaringan Gusdurian sudah berkembang hingga ke 130 kota di Indonesia. Jaringan ini pun meluas hingga ke luar negeri, seperti di Bangkok, Kuala Lumpur, dan kawasan Timur Tengah.

Memelihara pluralisme dan keberagaman adalah salah satu fokus jaringan Gusdurian.

Menurut Alissa, sebenarnya banyak orang yang secara personal mengaku menjadi Guadurian karena mereka memang santri atau pengikut ajaran Gus Dur. Namun, yang membentuk jaringan dan komunitas masih bisa dicatat.

 "Komunitas Gusdurian ini sangat terbuka sehingga kami memutuskan tidak perlu untuk membuat organisasi resmi Gusdurian," ujar Alissa.

Sesudah Gus Dur wafat, banyak pihak yang merasa kehilangan, khususnya kelompok minoritas yang saat Gus Dur masih hidup, mendapatkan pembelaan. Dengan adanya jaringan Gusdurian, kelompok-kelompok minoritas ini diharapkan bisa tetap merasa diperhatikan.

Memelihara pluralisme dan keberagaman adalah salah satu fokus jaringan Gusdurian.

"Intinya kami fokus di masalah keadilan dan kemanusiaan. Makna kedua masalah ini bisa luas, termasuk dalam masalalah pluralisme dan keberagaman," ujar Alissa.

Berbekal nilai tersebut, jaringan Gusdurian di sejumlah daerah akhirnya menyesuaikan fokus gerakan sesuai kondisi daerah masing-masing. Di Kalimantan, misalnya, jaringan Gusdurian fokus ke masalah lingkungan.

Di sana, lanjut Alissa, jaringan Gusdurian kerap mengadvokasi warga yang tenggelam di lokasi bekas tambang yang tidak direklamasi.

Situasi tersebut berbeda lagi dengan yang dihadapi Gusdurian di Jawa Tengah atau wilayah lain.

"Di Jawa Tengah, jaringan Gusdurian juga mengadvokasi kelompok petani Kendeng yang berkonflik dengan perusahaan produsen semen," sebut Alissa.

Jaringan Gusdurian Banten berkunjung ke Pura Eka Wira Anantha, di Kompleks Grup 1 Kopassus, Serang, Banten, Minggu (10/3/2019). Dalam kesempatan itu sejumlah anggota komunitas menggelar dialog dengan Ketua Pemuda Pura Eka Wira Anantha sekaligus Ketua Dharma Taruna Banten, I Gusti Ngurah Yoga.
KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO
Jaringan Gusdurian Banten berkunjung ke Pura Eka Wira Anantha, di Kompleks Grup 1 Kopassus, Serang, Banten, Minggu (10/3/2019). Dalam kesempatan itu sejumlah anggota komunitas menggelar dialog dengan Ketua Pemuda Pura Eka Wira Anantha sekaligus Ketua Dharma Taruna Banten, I Gusti Ngurah Yoga.

Dalam konteks pluralisme dan keberagaman, menurut Alissa ada dua tantangan bagi jaringan Gusdurian di Indonesia.

Pertama, sebut dia, dalam menghadapi eksklusivisme dan ekstremisme atas nama agama serta mayoritarianisme yang masih ditemukan di tengah masyarakat.

"Contohnya masih banyak ditemukan penolakan pembangunan rumah ibadah di daerah dengan mayoritas agama tertentu. Seperti pembangunan mushala di Minahasa, atau pembangunan gereja di daerah yang kebanyakan dihuni umat Muslim," tutur Alissa.

Tantangan kedua, lanjut Alissa, penyempitan ruang demokrasi bagi masyarakat sipil.

"Dalam kasus tertentu memang tidak ada pembungkaman secara frontal, tetapi ruang-ruang demokrasi sengaja dipersempit untuk menyampaikan pendapat secara terbuka," ujar Alissa.

Guru Besar Sejarah Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Prof Abdul A'la mendefinisikan ekstremisme kebaragamaan adalah cara pandang beragama yang hitam putih, harfiah, atau tekstual.

Kelompok ini menganggap pandangan agama mereka benar dan yang tidak sepaham dengan pandangan agama mereka adalah salah.

"Kelompok tersebut menjadi ekstremis ketika menganggap yang salah ini harus diapakan. Karena dianggap sesat, berbagai cara harus dilalukan sampai memilih cara-cara kekerasan," tutur Abdul A'la.

Gusdurian melestarikan pokok ajaran Gus Dur tentang kemanusiaan dan pluralisme.

Umumnya kelompok ekstremis ini tidak murni karena ideologi agama yang dianut, tetapi sudah bercampur dengan beragam kepentingan, dari politik, sosial, hingga masalah ekonomi.

"Yang lebih mendominasi umumnya kepentingan politik. Contohnya, pandangan tentang khilafah bahwa umat Islam di dunia harus mengacu pada hukum khilafah, yang tidak mengakui khilafah tidak benar," sebut Abdul A'la.

Karena itu, lanjut Abdul A'la, Gusdurian harus terus membumikan nilai moderatisme dengan mengedepankan cara-cara dialog yang memberikan pemahaman keberagaman.

"Dialog yang menelanjangi diri sendiri, permasalahannya apa, aku harus bagaimana, kamu harus bagaimana, jika ada permasalahan bagaimana solusinya. Ini harus didialogkan," ujar dia.

Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Jawa Timur, Otto Bambang Wahyudi, mengapresiasi jaringan Gusdurian ini. Menurut dia, Gusdurian melestarikan pokok ajaran Gus Dur tentang kemanusiaan dan pluralisme.

"Sosok Gus Dur sangat lekat dengan dua nilai tersebut, karena itu Gusdurian diharapkan semakin membumikan nilai-nilai ajaran Gus Dur di mana pun adanya," terang pengajar pascasarjana Univeritas Dr Soetomo Surabaya ini.

Dia juga berharap ke depan tak hanya Gusdurian yang aktif bergerak membumikan keberagaman.

"Bukan hanya dari Gusdurian yang notabene pemeluk Islam, harus tumbuh forum-forum serupa dari berbagai pemeluk agama," ujar Otto.

 

 MENU ARTIKEL: 

 

INDEKS KERUKUNAN
UMAT BERAGAMA

KERJA-KERJA Gusdurian dalam membumikan toleransi dan kebinekaan tersebut bergulir seiring dengan membaiknya indeks kerukunan umat beragama di Indonesia.

Hasil riset Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama 2019, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) di Indonesia pada 2019 berada pada angka 73,83, membaik dari indeks pada 2018 di angka 70,90.

Ilustrasi toleransi dan keberagaman - (KOMPAS/DIDIE SW)

Ada tiga indikator yang digunakan dalam riset ini, yaitu toleransi, kesetaraan, dan kerja sama. Riset dilakukan melalui survei yang melibatkan 400 responden di setiap provinsi. 

"Survei memetakan sikap masyarakat terhadap ketiga indikator yang digunakan dan didasari atas pengalaman mereka dalam berinteraksi dengan sesama umat beragama," kata Ketua Tim Survei dari Badan Litbang Diklat Kemenag Adlin Sila, dalam laporannya.

Meski meningkat dibandingkan setahun sebelumnya, angka yang dicapai pada 2019 masih lebih rendah dibanding indeks pada 2015 yang tercatat 75,36. Kabar baiknya, rata-rata indeks KUB di Indonesia selalu berada di angka 70 sejak 2015. 

Dari data indeks kerukunan umat beragama, diketahui pula bahwa provinsi dengan indeks toleransi tertinggi adalah Papua Barat yang mencapai angka 80 dan masuk kategori sangat tinggi. Sebaliknya, Aceh memperoleh nilai terendah di antara provinsi lain dengan nilai 60.

"Jadi, tak ada satu pun temuan indeks yang menyatakan ada daerah yang tidak rukun atau tidak toleran. Semua daerah rukun dan toleran," lanjut Adlin.

Meski indeks kerukunan umat beragama berada pada kategori tinggi, Adli berharap agar pemerintah daerah bersama instansi terkait terus menggiatkan dialog-dialog lintas agama.

"Sampai ke akar rumput dan jangan hanya di kalangan elite agama saja. Political will dan politik anggaran juga penting untuk menyukseskan program-program tersebut," kata Adlin.

 

 

 MENU ARTIKEL: