JEO - Insight

Menyemai Nasionalisme di Ngruki…

Jumat, 26 Agustus 2022 | 06:02 WIB

PONDOK Pesantren Al Mukmin Ngruki di Sukoharjo, Jawa Tengah, yang berdiri 10 Maret 1972, kerap distigma negatif. Keberadaan mereka dinilai tidak dapat dilepaskan dari gerakan radikal dan terorisme di Indonesia.

Stigma itu bersumber dari ideologi dan sikap sejumlah pendiri pesantren yang berseberangan dengan rumusan founding fathers. Pendiri pesantren yang dimaksud, utamanya merujuk pada Ustaz Abdullah Sungkar dan Ustaz Abu Bakar Ba’asyir.

Mereka menolak asas tunggal Republik Indonesia, yakni Pancasila. Selain itu, mereka ingin mengubah Indonesia menjadi negara Islam.

Atas alasan itu, mereka berseteru dengan pemerintahan Orde Baru. Bahkan, Abu Bakar Ba’asyir sempat divonis 9 tahun penjara atas tindakan menghasut santri menolak Pancasila dan melarang hormat ke bendera pada 1983.

Dua tahun berselang, tepatnya saat Ba’asyir tengah menempuh kasasi, ia memanfaatkan statusnya sebagai tahanan rumah untuk kabur ke Malaysia bersama Abdullah Sungkar. Keduanya menetap di sana selama belasan tahun sembari terus membangun jaringan.

Pada awal era ’90-an, mereka meneruskan cita-cita dengan mendirikan organisasi Jemaah Islamiyah (JI). Ba’asyir didaulat menjadi pemimpin struktural sekaligus pemimpin spiritual JI.

Tak hanya ingin menegakkan syariat Islam versi mereka di Indonesia, keduanya juga ingin menyatukan Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Filipina, di dalam satu bendera negara Islam.

Organisasi bentukan Sungkar dan Ba’asyir ini terafiliasi dengan Al Qaeda di Afghanistan. Organisasi itu memilih cara kekerasan demi mencapai tujuannya.

Setelah Orde Baru runtuh, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir kembali ke Indonesia meneruskan pergerakannya. Pada 20 Oktober 1999, Sungkar meninggal dunia dan kepemimpinan JI dilanjutkan oleh Ba’asyir.

Fase Penting Ponpes Ngruki

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen (Pol) Ahmad Nurwakhid mengatakan, pelarian Sungkar dan Ba’asyir ke Malaysia itu menjadi salah satu fase yang sangat mempengaruhi perjalanan Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki.

“Ba’asyir memfasilitasi beberapa orang dari Indonesia dan Malaysia ke Afghanistan mendapatkan pelatihan militer untuk melawan Soviet,” ujar Nurwakhid saat berbincang dengan tim JEO Kompas.com, pertengahan Agustus 2022.

“Hingga pertengahan 1990-an, banyak anggota JI yang berlatih di Afghanistan kemudian membentuk jaringan global dengan Al Qaeda,” lanjut dia.

Hubungan baik yang masih dijalin dengan ulama dan santri Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki sangat membantu Sungkar dan Ba’asyir dalam merekrut pengikut dari Negeri Jiran.

Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa pondok pesantren itu menjadi pemasok kelompok militan JI adalah pada saat peristiwa Bom Malam Natal tahun 2000 serta Bom Bali tahun 2002. Beberapa pelaku merupakan alumni pondok pesantren itu. Nama yang paling top adalah Ali Gufron alias Muklas.

“Bom Bali yang salah satu pelakunya dikaitkan dengan alumni Pesantren Ngruki menjadi warna tersendiri di tengah upaya para pengelola yang ingin menjadikan Pesantren Ngruki menjadi lembaga pendidikan yang lebih modern,” ujar Nurwakhid.

Dari kiri ke kanan: Ali Ghufron alias Mukhlas, Imam Samudra alias Abdul Aziz, dan Amrozi saat dihadirkan dalam persidangan tahun 2003 terkait keterlibatan mereka dalam pengeboman di Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang. Ketiganya merupakan anggota Jamaah Islamiyah (JI).
AFP/GETTY IMAGES
Dari kiri ke kanan: Ali Ghufron alias Mukhlas, Imam Samudra alias Abdul Aziz, dan Amrozi saat dihadirkan dalam persidangan tahun 2003 terkait keterlibatan mereka dalam pengeboman di Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang. Ketiganya merupakan anggota Jamaah Islamiyah (JI).

Serangkaian peristiwa bom setelah itu juga semakin menguatkan stigma bahwa Ngruki merupakan salah satu pemasok militan dalam gerakan terorisme.

Demi mengikis stigma itu, pada Januari 2006, ikatan alumni pondok pesantren tersebut sampai mengutarakan permohonan maaf lantaran banyak rekannya yang terjerumus dalam tindakan kekerasan atas nama agama di Indonesia.

"Kami mohon maaf apabila ada rekan-rekan kami yang telah melakukan tindakan kriminal," kata Ketua Ikatan Alumni Pondok Pesantren Al Mukmin (IKAPIM) Ngruki, Ali Usman, kala itu.

 

 Upacara bendera pertama di Ngruki 

Di tengah stigma yang tidak kunjung luntur itu, berita mengejutkan tiba-tiba datang dari Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Kamis, 17 Agustus 2022. Untuk pertama kalinya sejak didirikan, pesantren menggelar upacara penghormatan bendera dalam rangka memperingati proklamasi kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia.

Peristiwa itu seolah melawan arus pikiran publik tentang Ngruki. Menjadi lebih monumental setelah publik mengetahui bahwa Ustaz Abu Bakar Ba’asyir turut mengikuti upacara bendera.

Sehari sebelum upacara digelar, Komandan Resor Militer 074/Warastratama, Kolonel (Inf) Achiruddin menyerahkan bendera merah putih kepada Ba’asyir. Penyerahan bendera itu merupakan lambang kesiapan pondok pesantren menggelar upacara HUT ke-77 Republik Indonesia.

“Saya berharap, momentum kemerdekaan ini dapat menggugah rasa cinta Tanah Air dan meningkatkan semangat nasionalisme para santri Ponpes Al Mukmin Ngruki,” ujar Kolonel (Inf) Achiruddin.

Pelaksanaan upacara bendera Merah Putih peringatan 17 Agustus di Pondok Pedantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (17/8/2022).
KOMPAS.com/LABIB ZAMANI
Pelaksanaan upacara bendera Merah Putih peringatan 17 Agustus di Pondok Pedantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (17/8/2022).

Selain menyerahkan bendera merah putih, sebelumnya Danrem juga telah mengutus prajuritnya untuk melatih para santri terpilih untuk menjadi petugas pengerek bendera.

Pada hari H, upacara bendera berlangsung khidmat. Ba’asyir duduk di barisan depan bersama Kolonel (Inf) Achiruddin, Kapolres Sukoharjo AKBP Wahyu Nugroho Setyawan, dan Dandim 0726/Sukoharjo Letkol Czi Slamet Riyadi.

Di belakang mereka, tampak hadir pengurus pondok pesantren, berhadap-hadapan dengan seribuan santri dan alumni yang berbaris rapih di lapangan pesantren.

Bertindak sebagai inspektur upacara, yakni Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Ia rela meninggalkan kemeriahan peringatan proklamasi kemerdekaan di Istana Negara Jakarta demi memenuhi undangan peristiwa bersejarah bagi Pondok Pesantren Ngruki itu.

“Saya sudah izin ke Bapak  Presiden. Alhamdulillah Bapak  Presiden meminta saya hadir,” ujar Muhadjir saat berbincang dengan JEO Kompas.com, Jumat (19/8/2022).

Fakta Menarik Upacara Bendera di Ngruki

Dalam kesempatan itu, Muhadjir sekaligus diminta memberikan pengarahan dalam acara reuni akbar alumni pondok pesantren. Serangkaian acara itu digelar dalam rangka peringatan 50 tahun usia Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu sendiri tidak menyangka Ustaz Abu Bakar Ba’asyir hadir dalam upacara bendera.

Tetapi apapun, Muhadjir menegaskan, peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di Pondok Pesantren Ngruki memiliki arti sangat penting bagi kemajuan pondok pesantren ini sendiri.

“Ini upacara peringatan HUT RI pertama yang dilaksanakan Ponpes Al Mukmin setelah berusia 50 tahun. Menurut saya, ini langkah sangat positif yang diinisiasi oleh para alumni dan pengurus dalam upaya membawa pesantren ke depan lebih baik,” ujar dia.

 

 Cerita di baliknya 

Peristiwa monumental itu memiliki kisah di baliknya. Kepala Humas Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Ustaz Muchson menceritakan, sebenarnya nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan sebagai antitesis ideologi ekstrem di pondok pesantrennya sudah tersemai sejak lama. Namun, memang baru kali ini menemui momentumnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, meski pondok pesantrennya tidak menggelar upacara bendera sendiri, tetapi pengurus selalu mengutus santri terpilihnya untuk menjadi petugas pengibar bendera merah putih dalam upacara bendera yang digelar di tingkat kecamatan atau kabupaten.

“Termasuk tahun ini, sebenarnya kami sudah menyiapkan tiga lokasi dan sudah membagi siapa santri yang tugas di sana. Tetapi karena akhirnya Ngruki mengadakan sendiri dan dihadiri menteri, semua yang sudah diberi tugas tadi difokuskan ke upacara di sini,” ujar Muchson kepada tim JEO Kompas.com, Senin (22/8/2022).

Wajah transformasi Pondok Pesantren Ngruki menuju lembaga pendidikan agama yang modern serta berwawasan kebangsaan juga tampak dalam materi pengajaran sehari-hari.

Muchson mengatakan, materi bernegara sesuai asas tunggal Pancasila, wawasan kebangsaan, dan cinta Tanah Air, telah disusupkan dalam kurikulum pembelajaran sehari-hari.

Selain itu, pengurus sering menghadirkan para tokoh yang dianggap cakap dalam materi kebangsaan dan cinta Tanah Air untuk dibagikan kepada para santri.

“Kami pernah menghadirkan Lemhanas. Jadi, materi-materi semacam itu disampaikan rutin kepada anak-anak. Walaupun acaranya mungkin cuma setengah hari, tetapi itu sangat berpengaruh,” ujar Muchson.

Kasubdit 3 Dit Kamneg Baintelkam Polri, Kombes Pol Yosef Sriyono Joko beri wawasan kebangsaan santri Ponpes Al Mukmin Ngruki di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (27/4/2018).
KOMPAS.com/Labib Zamani
Kasubdit 3 Dit Kamneg Baintelkam Polri, Kombes Pol Yosef Sriyono Joko beri wawasan kebangsaan santri Ponpes Al Mukmin Ngruki di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (27/4/2018).

Pondok Pesantren Ngruki diketahui menyediakan dua jenjang pendidikan bagi santrinya, yakni setingkat SLTP dan SLTA. Tetapi, keduanya dilebur dalam satu kesatuan dengan menggunakan sistem penamaan kelas 1 hingga 6. Maksudnya, kelas 1 hingga 3 masuk kategori SLTP, sementara kelas 4 hingga 6 masuk  kategori SLTA.

Menurut catatan pengurus, tahun 2022, total santri di Ngruki mencapai 1.478 orang.

Muchson melanjutkan, meski upaya memperbaiki citra pesantren telah dilakukan, perjuangan keluar dari stigma radikal belum mencapai titik maksimal. Tantangan justru bukan berasal dari internal, melainkan dari publik sendiri.

Contoh nyata ketika upacara bendera pertama kali dilaksanakan, masih banyak yang berkomentar miring dan menaruh ketidakpercayaan.

Muchson mengatakan, sedikit banyak anggapan miring itu berpengaruh terhadap psikologis para santri. Namun di sisi lain, hal itu diakui tidak menjadi ganjalan bagi pengurus untuk terus menyemai hal-hal baik di dalam pesantren.

Bagi pengurus, perjalanan Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki masih panjang. Tantangan yang dihadapi santri di masa depan, tidak hanya persoalan radikalisme, ekstremisme, atau nasionalisme, tetapi juga soal bagaimana peran santri mengisi pembangunan, hingga mendorong perbaikan akhlak kaum muda.

“Insya Allah kalau pengetahuan agamanya lebih matang dan juga cinta Tanah Air, saya kira para santri kami akan bisa berkontribusi,” ujar Muchson.

 

 Momentum pembuktian 

Direktur the Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya mengatakan, peristiwa upacara bendera semestinya menjadi momentum publik untuk mengapresiasi positif kemajuan Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki. Publik juga semestinya mulai mengikis stigma negatif pada diri Ustaz Abu Bakar Ba’asyir.

“Pergerseran seperti itu sangat mungkin terjadi karena ABB (Abu Bakar Ba’asyir) sudah begitu inklusif pada persoalan dan isu kebangsaan. Beliau open minded dan telah mengalami transformasi. Itu niscaya terjadi bagi siapapun, termasuk pada diri ABB,” ujar Harits kepada tim JEO Kompas.com, Senin (22/8/2022).

Ilustrasi terorisme
Shutterstock
Ilustrasi terorisme

Kini, tidak ada alasan lagi bagi publik untuk melekatkan Pesantren Ngruki dan sosok Abu Bakar Ba’asyir dengan gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia.

“Kelompok teror sudah tidak nyambung lagi dengan Ngruki dan ABB. Peristiwa tersebut (upacara bendera) juga semakin membuat berjarak antarentitas. Karena kelompok teror biasanya anti-pemerintah beserta segala simbolnya,” lanjut Harits.

Di sisi lain, momentum ini juga harus dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum untuk semakin menekan kelompok teror yang masih bercokol.

Sebab, dengan “terlepasnya” Ngruki dan ABB dengan kelompok tersebut, aksi-aksi terorisme diakui semakin lemah karena kehilangan pemimpin spiritual.

“Saat ini mereka memang makin lemah dan potensi ancamannya tidak signifikan lagi,” ujar Harits.