QIU XUE LONG tiba-tiba terbangun. Sekujur tubuhnya merinding. Bocah itu terhenyak karena mimpi buruk.
Aliong, nama panggilannya, mencoba mengingat lagi mimpi yang ia alami. Dalam mimpi itu, ia sedang berada di suatu tempat yang dikelilingi api.
Di tengah kobaran api, ia melihat beberapa pilar berukuran besar dan pada pilar itu banyak manusia yang dirantai.
Usia Aliong masih terlalu muda untuk memahami arti mimpi yang mengerikan itu, saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Ia pikir itu hanya mimpi buruk biasa.
Aliong tak menyangka bahwa mimpi itu menjadi awal perjalanan spiritualnya mengenal Islam.
Beberapa tahun kemudian, Aliong mendapatkan secercah petunjuk soal mimpinya. Kala itu, ia sudah melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah atas (SMA).
Saat jalan-jalan ke sebuah toko buku, ia tertarik untuk membaca Al Quran yang dilengkapi terjemahan.
Sebelumnya, ia tidak pernah menyentuh Al Quran. Lantas, ia membuka kitab suci itu dari halaman paling belakang, seperti membaca buku pada umumnya.
Ia mulai membaca surat An-Nas, Al-Falaq, dan berhenti di surat Al-Humazah. Aliong tersentak karena bunyi ayat itu mirip sekali dengan gambaran yang ia lihat dalam mimpinya dulu.
Rasa penasaran mulai menggelayuti pikiran Aliong. Setelah lulus SMA dan bekerja di daerah Tegal Alur, Jakarta Barat, ia mulai mempelajari Islam dari buku dan bertanya ke teman-teman muslim.
Ketika itu, sekitar tahun 1995 dan 1996, untuk mencari informasi tentang agama tidak semudah sekarang.
Jawaban yang diberikan oleh teman-temannya kerap tidak memuaskan, buku-buku tentang keislaman pun tidak sebanyak saat ini.
Saran banyak orang membawa Aliong ke Masjid Lautze di daerah Karang Anyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat, yang dikenal sebagai kawasan pecinan.
Ia mulai mendalami ajaran Islam untuk menjawab pertanyaan yang terus menghantuinya. Kenapa harus Islam?
Di Masjid Lautze, keyakinan Aliong terhadap ajaran Islam mulai terbuka. Meski demikian, ia mengakui saat itu masih perlu waktu untuk meyakinkan dirinya.
Sampai akhirnya ia mendapatkan buku berjudul Allah yang ditulis oleh Said Hawwa dan membuat Aliong makin tertarik mendalami Islam.
Setelah Lebaran tahun 2002, laki-laki kelahiran Jakarta, 15 April 1976, itu mengucapkan syahadat.
Kini, Aliong lebih dikenal dengan nama Naga Kunadi. Jemaah di Masjid Lautze kerap memanggilnya Ustaz Naga.
Setelah menjadi mualaf, Naga aktif berkegiatan di masjid tersebut. Sejak 2017, ia menjadi pengurus di Yayasan Haji Karim Oei, organisasi dakwah yang menaungi Masjid Lautze.
Sebagai pengurus, ia juga melayani siapa pun yang ingin belajar tentang Islam atau sekadar berdiskusi keagamaan. Pada 2019, Naga mendapat beasiswa untuk kuliah S-1 Jurusan Pendidikan Agama Islam.
Mendalami ajaran Islam butuh waktu yang sangat panjang. Ia mencontohkan pengalamannya ketika menerima seorang warga Tionghoa yang ingin mempelajari Islam.
Selama lebih dari satu tahun, Naga memberikan konsultasi, mendampingi, dan berdiskusi, hingga akhirnya warga tersebut benar-benar yakin untuk memeluk Islam.
Naga meyakini tidak ada paksaan dalam Islam. Baginya, Islam adalah kedamaian.
Ia memahami Islam sebagai agama yang membawa keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Selain itu, Islam juga berarti berserah diri dan taat kepada segala perintah-Nya.
“Hal yang terpenting adalah ketenteraman, kedamaian, harus mewarnai lingkungan sekitar kita,” ujar Naga saat ditemui di Masjid Lautze, Senin (10/4/2023).
“Artinya, kita harus bisa membawa keselamatan kepada orang lain dan juga membawa kedamaian terhadap lingkungan sekitar,” ucapnya.
Pengalaman spiritual juga dialami oleh Budiman (52), warga Pademangan, Jakarta Utara. Ia memutuskan untuk memeluk Islam pada 1985 ketika masih duduk di bangku SMP.
Ketertarikannya terhadap Islam bermula ketika ia membaca Al Quran dengan terjemahan bahasa Indonesia. Kemudian, ia mengaku merasa lebih tenang ketika melaksanakan shalat.
“Kalau kita berdoa, hati kita tenang. Walaupun ada kesulitan-kesulitan, misalnya ada masalah keluarga, kita bisa lebih rileks, batin kita tenang,” tutur dia.
Jemaah lainnya, Koh Aon atau Lim On Sioe (66), memutuskan menjadi mualaf pada 1998. Ia mengaku tertarik dengan agama Islam karena saat muda sering mendengar ceramah agama di radio.
Ide pembangunan Masjid Lautze dicetuskan oleh Haji Junus Jahja alias Lauw Chuan Tho. Ia memeluk Islam pada 1979 di bawah bimbingan Buya Hamka.
Junus dikenal sebagai tokoh pembauran yang mendorong asimilasi etnis Tionghoa melalui Islam. Ia meyakini bahwa proses asimilasi atau pembauran etnis Tionghoa dapat ditempuh melalui jalur keagamaan.
Penerima Bintang Mahaputera dari Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie itu juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Kemudian, pada era 1990-an, Junus menggagas pendirian Yayasan Haji Karim Oei. Ketika itu, jabatan ketua yayasan dipegang oleh tokoh Muhammadiyah, Lukman Harun, dan digantikan oleh Junus.
Tahun 1991, Junus menginisiasi pembangunan Masjid Lautze dan diresmikan pada 1994 oleh Habibie saat masih menjabat Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Junus Jahja wafat pada 7 November 2011 di Rumah Sakit PGI Cikini dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Setelah Junus, jabatan ketua yayasan diemban oleh Haji Ali Karim, anak dari Haji Abdul Karim Oei Tjeng Hien, seorang muslim Tionghoa yang namanya diabadikan sebagai nama yayasan.
Haji Karim Oei merupakan sahabat dari Buya Hamka dan Soekarno. Pada era 1930-an, ia menjabat Ketua Konsul Muhammadiyah di Bengkulu.
Karim Oei juga tercatat sebagai salah satu pendiri Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dan pernah menjadi pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Menurut Ali Karim, banyak tokoh dari berbagai organisasi ikut membantu Masjid Lautze. Selain Lukman Harun dari Muhammadiyah, mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Ali Yafie turut memiliki andil dalam pembangunan masjid.
“Dia paling aktif membantu Masjid Lautze,” ujar Ali Karim saat ditemui, Sabtu (15/4/2023).
Bantuan juga datang dari tokoh organisasi Al Washliyah, Yunan Helmi Nasution, dan tokoh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Fahmi Idris.
Setelah resmi berdiri, Masjid Lautze tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi wadah bagi warga keturunan Tionghoa untuk mempelajari Islam.
Pada periode 1997 hingga 2022, tercatat ada 1.741 orang yang menjadi mualaf di masjid tersebut.
“Tujuan kami memberikan informasi soal Islam, bukan mengislamkan orang ya. Itu beda,” kata Ali Karim.
“Kami memberikan informasi mengenai agama Islam kepada warga keturunan Tionghoa, yang selama ini mereka melihat Islam dari sudut pandang negatif,” tutur dia.
Bangunan masjid didesain bercorak budaya Tionghoa agar mereka yang ingin belajar Islam tidak merasa asing dan nyaman.
Masjid Lautze tampak mencolok. Temboknya didominasi warna merah dan kuning. Arsitektur bangunannya menyerupai pagoda.
Selain itu, bagian atap tidak berbentuk kubah, seperti masjid pada umumnya yang memiliki simbol bintang dan bulan sabit.
Bentuk pintu masjid mirip dengan gerbang kelenteng yang tinggi dan terbuat dari kayu tebal. Pada bagian langit-langit dekat pintu masuk terdapat ornamen lampion.
Bagian dalam masjid dihiasi dengan ornamen seni kaligrafi Arab dan aksara China. Warna merah, kuning, dan hijau juga mendominasi.
Pada bagian mihrab atau ruang kecil tempat imam memimpin shalat terdapat hiasan kaligrafi bertuliskan Ar-Rahman, yang artinya Allah Maha Pengasih.
Di sebelahnya terpasang ornamen aksara China dengan arti yang sama, dalam bahasa Mandarin berbunyi La Ha Man.
Semua ornamen pada dinding masjid merupakan cendera mata yang dibawa pengurus Yayasan Haji Karim Oei dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika berkunjung ke China.
Ia menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi sebuah kota bernama Xi’an. Saat itu ia pergi bersama Ma’ruf Amin yang menjabat sebagai Ketua MUI.
Di Kota Xi’an, kata Ali Karim, terdapat sebuah masjid yang usianya sekitar 1.350 tahun. Jadi, masjid itu sudah ada kira-kira 50 tahun setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.
“Jadi tahun 700 itu orang-orang di China sudah Islam. Sebelum Indonesia (mengenal) Islam, (masyarakat) di China sudah Islam, itu yang kita jelaskan,” kata Ali.
Penyebaran Islam di Nusantara pada masa kerajaan tidak bisa dilepaskan dari peran etnis Tionghoa.
Sejumlah tokoh penyebar ajaran Islam atau Wali Songo memiliki kedekatan dengan masyarakat Tionghoa. Ada wali yang berdarah Tionghoa, ada pula yang menikah dengan perempuan Tionghoa.
Akulturasi kebudayaan Tionghoa dengan masyarakat lokal terjadi jauh sebelum ekspedisi Laksamana Cheng Ho atas perintah Kaisar Yongle dari Dinasti Ming, pada awal abad ke-15.
Namun, hubungan Cheng Ho dengan Sultan Samudera Pasai, Zainal Abidin Bahian Syah, mendorong kedekatan imigran Tionghoa dengan penduduk lokal.
Laksamana Cheng Ho dianggap sebagai salah satu orang yang berpengaruh dalam menyebarkan agama Islam di beberapa kawasan, termasuk Nusantara, melalui ekspedisi pada tahun 1405 hingga 1433.
Dikutip dari buku Cheng Ho Muslim Tionghoa (2000), selama 28 tahun ia memimpin armada raksasa untuk mengunjungi lebih dari 30 negara dan kawasan di Asia Tenggara, Samudra Hindia, Laut Merah, dan Afika Timur.
Jika dilihat dari waktunya, pelayaran yang dilakukan Cheng Ho lebih awal dibandingkan bahariwan Eropa seperti Christopher Columbus (1451-1506) maupun Vasco da Gama (1460-1525).
Menurut catatan sejarah, Cheng Ho adalah muslim yang taat. Ia giat menyebarkan agama Islam di Tiongkok maupun negara-negara lainnya.
Tidak sedikit kaum muslim yang diajak Cheng Ho berlayar, seperti Ma Huan dan Guo Chongli, yang pandai bahasa Arab dan Persia. Mereka bekerja sebagai penerjemah.
Ada pula seorang ulama Masjid Qinging di Kota Shan Xi bernama Hasan.
Menurut buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (2005), banyak saudagar Tionghoa menikah dengan penduduk di Samudera Pasai, lalu memeluk Islam.
Keturunan mereka tinggal di perkampungan sekitar Krueng Pirak atau Sungai Perak. Dari Samudera Pasai, ikatan mereka juga terjalin hingga ke tanah Jawa.
Catatan sejarah Serat Kanda dan bukti di kelenteng Sam Po Kong, Semarang, menyimpulkan, Sunan Ampel memiliki nama asli Bong Swi Hong.
Dikutip dari Konflik Etno-Religius di Asia Tenggara (2018), Sunan Ampel merupakan pendatang dari Yunnan.
Pada 1447, Sunan Ampel menikah dengan keturunan Tionghoa. Istri Sunan Ampel, Ni Gede Manila, merupakan anak Kapten China Gan Eng Cu alias Arya Teja yang berkuasa di Tuban.
Gan Eng Cu bertanggung jawab mengurus kepentingan masyarakat Tionghoa di Jawa. Ia adalah cucu dari Bong Tak keng, pimpinan komunitas masyarakat muslim di Kerajaan Campa, Vietnam.
Berkat kecakapannya dalam bekerja, Gan Eng Cu memikat hati Raja Majapahit. Ia dipindahkan dari Manila ke Tuban dan secara de facto menjadi kepala pelabuhan Tuban.
Banyak yang salah mengira Gan Eng Cu sebagai Bupati Tuban, Wilatikta. Padahal, Bupati Tuban adalah Gan Eng Wan, adik Gan Eng Cu.
Ketika berdakwah di Tuban, Sunan Ampel diangkat menjadi menantu Gan Eng Cu. Kemudian ia dijadikan kapten di Bangil, dekat muara sungai Porong.
Setelah menikah dengan Ni Gede Manila, Sunan Ampel memiliki anak yang kelak dikenal sebagai Sunan Bonang. Sehingga, Sunan Bonang merupakan peranakan Yunnan-Tionghoa.
Sunan Ampel memiliki ipar yakni Sunan Kalijaga, saudara dari Ni Gede Manila. Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan, Gan Eng Cu memiliki seorang putra bernama Gan Si Cang.
Pada 1478, Kin San alias Raden Kusen, orang yang berkuasa saat itu, mengangkatnya sebagai kapten. Ia berhasil membangun kembali usaha kayu dan galangan kapal di Semarang yang sempat terbengkalai.
Gan Si Cang mengajukan permohonan kepada Raden Kusen untuk membantu menyelesaikan Masjid Agung Demak. Permintaan itu diteruskan kepada Jin Bun alias Raden Patah. Dari catatan itu, sosok Gan Si Cang ditengarai sebagai Sunan Kalijaga.
Ada pula sunan lain yang bersinggungan langsung dengan masyarakat Tionghoa melalui ikatan pernikahan, yakni Sunan Gunung Jati.
Dalam Serat Kanda, Sunan Gunung Jati menikah dengan perempuan Tionghoa bernama Ong Tien yang kemudian namanya diganti menjadi Nyi Ratu Rara Semanding.
Pernikahan itu terjadi ketika Sunan Gunung Jati diundang ke Negeri Tirai Bambu pada masa Dinasti Ming, dalam rangka diplomasi Kerajaan Cirebon dengan China.
Selama di China, Sunan Gunung Jati tinggal di Nan King untuk mempelajari ilmu pengobatan tradisional.