JEO - Insight


Meraba
Masa Depan
dengan
AI sebagai Copilot

Senin, 24 Juni 2024 | 16:54 WIB

Bagi saya, AI adalah tentang copilot. Manusia sebagai pilotnya dan sekarang memiliki kemampuan baru, sumber pemberdayaan baru, untuk bisa berbuat lebih banyak.

∼ CEO Microsoft, Satya Nadella, 30 April 2024 ∼ 

BAYANGKAN, lukisan dan film kini bisa dinikmati para penyandang low vision bahkan tunanetra. 

Jangankan dulu. Beberapa tahun ke belakang saja, ide bahwa lukisan bahkan film bisa "bertutur" kepada penyandang disabilitas netra ini pun mungkin tak terbayangkan.

Ini berlaku juga untuk teks yang pembacaannya butuh tanda baca tambahan, seperti tulisan dalam bahasa Arab yang butuh tanda baca untuk bisa "berbunyi" sebagaimana bacaan seharusnya.

Sebelumnya, penyandang tunanetra harus mencukupkan diri membaca tulisan Arab tanpa tanda baca terpasang langsung di huruf bertanda baca itu, yang baru dimungkinkan oleh huruf Braille. 

Seperti Braille latin, Braille Arab juga merupakan simbol dalam enam titik. Tanda baca juga merupakan simbol titik yang berbeda.

Dalam sistem huruf Braille yang ada, tanda baca diletakkan terpisah di sebelah huruf yang seharusnya diberi tanda tersebut. Misal, kata bismi, akan ditulis dalam huruf Braille dengan urutan huruf ba, tanda baca kasrah, huruf sin, tanda baca sukun, huruf mim, dan tanda baca kasrah berderet.

Beberapa huruf Arab dan kata dalam bahasa ini juga belum dapat sepenuhnya dikonversi ke sistem huruf Braille yang ada sekarang. Sudah begitu, ketersediaan bahan bacaan—termasuk kitab suci berbahasa Arab—dalam huruf Braille juga masih sangat terbatas. 

Kini, semua hal itu mulai memungkinkan terjadi, dengan kehadiran kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI). 

"Selama ini, problem tunanetra itu apa? Kan foto, gambar. Makanya kita selalu minta ada labelnya. Nah, dengan AI ini sekarang semua bisa diakses," kata Executive Director dan Co-Founder Mitra Netra Foundation, Bambang Basuki, Selasa (30/4/2024).

Executive Director dan Co-Founder Mitra Netra Foundation, Bambang Basuki (tengah) saat diwawancara oleh jurnalis Kompas.com di sela gelaran Microsoft Build: AI Day, Selasa (30/4/2024).
KOMPAS.com/MIFTAHUL RIZKY
Executive Director dan Co-Founder Mitra Netra Foundation, Bambang Basuki (tengah) saat diwawancara oleh jurnalis Kompas.com di sela gelaran Microsoft Build: AI Day, Selasa (30/4/2024).

Sebelumnya, yayasan yang Bambang pimpin telah membuat perangkat lunak (software) untuk mengonversi bahan ajar dari guru atau materi umum yang tersedia menjadi tulisan dalam huruf Braille yang bisa dicetak, dan sebaliknya dari huruf Braille ke tulisan latin.

Dengan bantuan AI, software tersebut berkembang lagi, mampu "membaca" dan "menyuarakan" gambar dan foto dari beragam objek yang kemudian dapat dikonversi ke huruf Braille dalam rupa teks yang juga dapat dicetak. Ini termasuk untuk objek berisi materi tulisan Arab. 

Yang menarik, keberadaan AI ini tak mengharuskan para penggunanya untuk mengerti secara mendalam soal pemrograman dan teknologi informasi. Bambang bertutur, yang penting ada ide yang disodorkan dan AI akan membantu mengembangkan perangkat lunaknya. 

Akankah AI benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan kemanusiaan dengan segala kemudahan dan solusi yang ditawarkan?

Tentu, penggunaan AI tidak itu saja. Ada spektrum teramat luas yang sekarang terbuka untuk dijelajahi bersama, seturut geliat perkembangan AI. 

Terlebih lagi, AI saat ini sudah memasuki babak baru yang disebut sebagai generative AI. Beragam aktivitas rutin manusia bisa dipangkas dan atau dipercepat dengan bantuannya. 

Pertanyaan besar yang lalu muncul, akankah AI benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan kemanusiaan dengan segala kemudahan dan solusi yang ditawarkan?

Atau, apakah AI malah menjadi ancaman, termasuk di lini pekerjaan yang selama ini dikerjakan manual oleh manusia?

Kompas.com berkesempatan secara eksklusif mewawancarai CEO Microsoft Satya Nadella di sela gelaran Microsoft Build: AI Day yang berlangsung di Jakarta pada pengujung April 2024.

CEO Microsoft, Satya Nadella, saat diwawancara Kompas.com di sela gelaran Microsoft Build: AI Day di Jakarta, 30 April 2024.
GETTY IMAGES FOR MICROSOFT/GRAHAM DENHOLM
CEO Microsoft, Satya Nadella, saat diwawancara Kompas.com di sela gelaran Microsoft Build: AI Day di Jakarta, 30 April 2024.

Dalam perbincangan eksklusif tersebut, Nadella memastikan komitmen perusahaannya untuk selalu hadir membangun platform teknologi, yang akan tersedia di setiap negara melalui ekosistem mitra yang sangat kaya.

"Dengan ini, pihak-pihak lain dapat membangun lebih banyak teknologi," ungkap Nadella.

Microsoft, lanjut Nadella, tidak semata bicara soal produk milik sendiri tetapi juga tentang produk pihak lain yang dibangun menggunakan teknologi Microsoft.

Kita masih berada di tahapan awal AI. Dalam 10 tahun ke depan, Anda akan melihat banyak kemampuan baru karena daya, skala, dan kebaruan dari AI.

Menurut dia, ini yang terjadi ketika pada 1975 orang-orang memakai Microsoft Basic untuk Altair dan hari ini saat orang-orang menggunakan Azure untuk membangun aplikasi-aplikasi AI. 

"Ini bukan tentang teknologi apa pun, melainkan identitas perusahaan dan bagaimana itu diterjemahkan menjadi keunggulan suatu negara. Menurut saya, itulah yang menjadi fokus kami selama ini," ungkap Nadella. 

Lebih khusus soal AI, Nadella menegaskan keberadaan teknologi ini bak copilot di pesawat terbang. Pilotnya, tegas dia dalam analogi yang sama, tetap adalah manusia.

Bedanya, ungkap Nadella, manusia dalam peran pilot yang didampingi AI sebagai copilot ini sekarang memiliki kemampuan dan sumber pemberdayaan baru untuk bisa berbuat lebih banyak. 

"Jadi, menurut saya, itulah tujuannya. Kita masih berada di tahapan awal AI. Dalam 10 tahun ke depan, Anda akan melihat banyak kemampuan baru karena daya, skala, dan kebaruan dari AI," ujar Nadella. 

Ujungnya, Nadella berkeyakinan AI akan menjadi pengungkit dari pertumbuhan yang lebih tinggi dan berkelanjutan bagi pembangunan ekonomi, dan tentu saja manusia tetap sebagai pilot dalam analogi pesawat, alias pemegang kendali utama dalam praktik keseharian.

CEO Microsoft Satya Nadella saat menjelaskan masa depan dan harapannya soal AI, dalam wawancara khusus dengan Kompas.com, Selasa (30/4/2024).
KOMPAS.com/MIFTAHUL RIZKY
CEO Microsoft Satya Nadella saat menjelaskan masa depan dan harapannya soal AI, dalam wawancara khusus dengan Kompas.com, Selasa (30/4/2024).

Namun, Nadella juga mengingatkan, pada akhirnya, yang menentukan adalah kemampuan setiap orang dan organisasi untuk mengadopsi teknologi baru serta mengubah kebiasaan kerja. 

"AI akan membawa dampak sektoral yang luas, bukan salah satu saja," tegas Nadella. 

Dalam momen khusus juga, Kompas.com berbincang mendalam soal AI dengan Presiden Direktur Microsoft Indonesia, Dharma Simorangkir, pada medio Maret 2024. 

AI harus dipandang dan ditempatkan sebagai entitas yang membantu manusia menghadirkan kemampuan optimal dalam keseharian.

Seperti halnya Nadella, Dharma mengungkap pula banyak aspek soal AI, termasuk langkah perusahaan dan proyeksi masa depan dari kehadiran teknologi kecerdasan buatan yang terus dan masih akan berkembang ini. 

Salah satu yang sama-sama diyakini Nadella dan Dharma, AI harus dipandang dan ditempatkan sebagai entitas yang membantu manusia menghadirkan kemampuan optimal dalam keseharian. Karena sifatnya membantu, peran utama tetap ada pada manusia yang menggunakannya. 

Dalam rangkaian tulisan bertutur, JEO Kompas.com merunut jejak langkah AI dari logic awal yang digunakan hingga generasi terkini. Dalam bab terpisah, JEO Kompas.com mengurai khusus babak baru AI yang saat ini memasuki era generative AI. 

Sebagai penutup, JEO Kompas.com mengupas proyeksi masa depan penggunaan AI bagi manusia dan kemanusiaan. Termasuk, sampai di manakah ujung dari perkembangan AI pada masa depan?

 

 M E N U :  

thumb
thumb
thumb
 
 
 
 

AI,
DARI LOGIC
SAMPAI GENERATIVE AI

Ilustrasi artificial intelligence
SHUTTERSTOCK/SOMYUZU
Ilustrasi artificial intelligence

KECERDASAN buatan (artificial intelligence atau AI), bukanlah barang baru yang tiba-tiba muncul begitu saja. Sejarahnya teramat panjang.

Seperti halnya komputer dan juga peranti telekomunikasi, sejarah AI dimulai dari logika (logic) berbasis matematika. 

Namun, lompatan besar AI boleh dibilang baru mulai terjadi pada era 1950-an. Ini ketika Alan Turing pada 1956 memunculkan prosedur yang belakangan dikenal sebagai Turing Test. 

Pada tahun itu, Turing menulis makalah berjudul Computing Machinery and Intelligence. Di dalamnya dia membahas cara membuat mesin cerdas dan cara menentukan standar agar suatu mesin disebut cerdas lewat Imitation Game

Menurut Turing, "Jika komputer tidak bisa dipisahkan dari manusia dalam percakapan berbasis teks maka komputer tersebut harus dianggap 'cerdas'."

Tertatih seturut perkembangan teknologi komputer, lompatan besar berikutnya baru terjadi pada era 1980-an dengan kehadiran aneka penerapan teknologi machine learning.

Walaupun, terminologi machine learning sebenarnya sudah muncul untuk kali pertama pada 1959, yaitu oleh Arthur Samuel dalam makalah berjudul Some studies in machine learning using the game of Checkers.

Kembali tertatih, lompatan AI baru terjadi lagi pada kurun 2010-an, seturut kemunculan era deep learning. Pada babak lompatan besar ini, sederet asisten virtual cerdas mulai bermunculan.

Sebut saja deretan asisten virtual cerdas itu adalah Alexa dari Amazon, Siri dari Apple, Cortana dari Microsoft, dan Google Assistant. Perusahaan-perusahaan juga mulai menanamkan teknologi asisten virtual dalam layanan dan dukungan pelanggan mereka. 

Terkini, yang kali ini diiringi intensitas dan kecepatan tinggi, baru terjadi lagi setelah era 2020-an, ketika dunia disodori babak baru AI, yaitu generative AI (AI generatif).

Salah satu penanda besar babak generative AI ini adalah kemunculan ChatGPT dari OpenAI yang di-backup Microsoft, pada 2022.

Tahapan AI

Dari videografik di atas, AI adalah komputer atau peranti cerdas secara umum atau yang paling dasar sebagaimana pendapat Turing. Ibarat kata, AI adalah payung besar untuk apa pun yang memenuhi kriteria Turing sebagai peranti cerdas. 

Dalam perjalanan waktu, di dalam AI mengemuka sub domain dari kecerdasan buatan ini, dikenal sebagai machine learningMachine learning merupakan babakan AI yang memungkinkan komputer atau peranti memahami suatu pola tertentu dari kumpulan data menggunakan algoritma matematika.

Dari machine learning, kecerdasan buatan menghadirkan lagi sub-bagian yang bernama deep learningDeep learning menyatukan teknik machine learning—seperti pemrosesan natural language untuk mengajarkan mesin mengembangkan algoritma "belajar dari contoh"dengan kemampuan membangun model baru. 

Bertahap, dari dasar pendefinisian kecerdasan buatan hingga perkembangan teknik machine learning dan deep learning, semua ini kemudian menjadi basis dari AI generatif. 

AI generatif menggunakan kemampuan machine learning untuk memahami pola tertentu dari kumpulan data, mengaplikasikan deep learning dalam kemampuan membangun model baru, sekaligus unjuk kemampuan untuk bisa "berkomunikasi" menghasilkan sesuatu berdasarkan masukan (input) perintah (prompt) pengguna.

Lompatan AI terkini ini memungkinkan teks dan gambar dihasilkan berdasarkan masukan perintah (prompt), seperti di ChatGPT dan DALL-E.

Momentum penting AI

Ilustrasi artificial intelligence
SHUTTERSTOCK/SUPATMAN
Ilustrasi artificial intelligence

Ada beberapa momentum penting yang patut dicatat dari tahap perkembangan AI selepas era Turing meluncurkan Turing Test. Yang terlibat dalam aneka momentum ini pun tak melulu pakar matematika atau komputasi. 

Walaupun penyebutan peranti cerdas berawal dari Turing dan Turing Test, logic pemrograman yang mendasarinya baru dikembangkan pada 1955 oleh pakar ilmu politik Herberth Simon dan programer komputer Cliff Shaw di institut riset RAND di Amerika Serikat. 

Bahkan, terminologi AI sendiri baru muncul pada 1956. Saat itu, John McCarthy dan Marvin Minsky menggelar Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence (DSRPAI).

Adapun logic AI berbasis artificial neural network pertama kali mencuat dari psikolog Amerika, Frank Rosenblatt. Dialah yang mengawali praktik pengenalan pola dari kumpulan data sebagai prinsip dasar machine learning, menggunakan dua set komputer sebesar ruangan kerja. 

Walau begitu, terminologi machine learning lagi-lagi baru muncul belakangan, yaitu pada 1958, dari Arthur Samuel lewat tulisan berjudul Some studies in machine learning using the game of Checkers.

Babak machine learning ini terus berlanjut. Misal, pada 1965, ilmuwan komputasi, Joseph Weizenbaum, membangun ELIZA, sebuah program interaktif yang mengelola dialog dalam bahasa Inggris tentang beragam topik. Ini tercatat sebagai salah satu program awal komputer pengolah bahasa sehari-hari (natural language)

Lalu, pada 1966, juga ada Shakey, robot bergerak yang dibangun Stanford Research Institute. Ini menjadi model awal robot bergerak. Berikutnya ada WABOT-1 yang dibangun Waseda University, robot yang yang bisa melihat dan menjawab sejumlah pertanyaan umum seperti jarak dan arah.

Era machine learning juga menghadirkan The Stanford Cart pada 1979, meski sudah mulai dibangun pada 1960. Lalu pada 1980 meluncur pula WABOT-2. Berlanjut pada 1986 Mercedez Benz menghadirkan mobil pertama yang bisa melaju tanpa sopir. 

Di era 1990-an, internet mencuat, dimulai dari proyek Sir Berners Lee bersama CERN di Geneve, Swiss. Era ini menandai lonjakan data digital dan material mentah yang memperkaya algoritma AI. 

Lompatan AI berikutnya terjadi pada 1995, ketika ilmuwan komputer Richard Wallace membangun chatbot ALICE. Ini adalah kependekan dari Artificial Linguistic Internet Computer Entity. ALICE terinspirasi oleh program ELIZA.

ALICE memulai era peranti elektronik bisa bercakap-cakap dengan manusia menggunakan  natural language dan sudah diperkaya sejumlah data dalam skala yang belum ada preseden, berkat keberadaan internet. ALICE sepenuhnya lulus Turing Test. 

Babak penting yang patut dicatat juga adalah peran Lionel Tarassenko yang mengembangkan neural network analysis dalam kasus sleep disorder. Era 1990-an ditandai pula dengan kekalahan juara dunia catur Gary Kasparov menghadapi superkomputer Deep Blue.

ARSIP KOMPAS, 13 MEI 1997

Sejumlah inovasi robotik berkemampuan AI hadir dari aneka penjuru dunia pada kurun 90-an hingga 2000-an. Sampai, pada 2010-an, lompatan besar AI kembali terjadi. Ini saat peranti-peranti rumah tangga dengan kemampuan lebih dari bercakap-cakap mulai merangsek masuk ke rumah-rumah warga. Istilahnya, asisten virtual cerdas (smart virtual assistant).

Asisten virtual ceras ini memasang perangkat lunak yang dapat melakukan sejumlah layanan, berdasarkan perintah atau pertanyaan, termasuk lewat ucapan. 

Lalu, Google Brain meluncur pada 2010. Ini menandai era baru AI, yaitu fase deep learning. Berlanjut pada 2011, IBM menghadirkan superkomputer Watson, yang bisa menjawab pertanyaan dalam kalimat ambigu. 

Sesudah itu, lahirlah beragam inovasi berbasis deep learning. Sebut saja, mobil dengan pergerakan penuh tanpa sopir dan mendapat izin untuk berlalu lalang di jalanan.

Era 2010-an juga ditandai dengan riset dari Andrew Zisserman yang mengangkat teori komputasi dan sistem komersial untuk analisis gambar secara geometri. Ini tahapan pengenalan image oleh komputer. 

Deep learning terus berkembang pada era 2010-an lewat beragam temuan lain, baik dalam riset maupun produk robotik, termasuk mobil tanpa sopir dengan software otonom sebagai pengendali. 

Lompatan besar berikutnya baru terjadi lagi pada 2020-an. Deep learning sudah menjamah area large language model (LLM), yang tidak sekadar menggunakan natural language tetapi sudah semakin bertindak laiknya interaksi manusia. 

Ledakannya adalah saat ChatGPT diluncurkan pada November 2022. AI Chatbot besutan OpenAI yang disokong Microsoft ini bisa diakses publik dengan gratis. Dalam waktu sebulan, 100 juta orang sudah menggunakannya. 

Inilah era generative AI, ketika peranti dengan perangkat lunak di dalamnya bisa melakukan banyak hal berdasarkan masukan perintah. Keluarannya beragam, dari teks, gambar, hingga program baru, dan entah apa lagi yang mungkin dalam waktu dekat akan hadir di keseharian kita.  

Dalam bahasa CEO Microsoft Satya Nadella, babak baru AI yang sesungguhnya barulah dimulai.

thumb 

 

MICROSOFT DAN AI
HARI INI

CEO Microsoft, Satya Nadella, saat berbicara di forum Microsoft Build: AI Day, di Jakarta, Indonesia, Selasa (30/4/2024).
GETTY IMAGES FOR MICROSOFT/ANNICE LYN
CEO Microsoft, Satya Nadella, saat berbicara di forum Microsoft Build: AI Day, di Jakarta, Indonesia, Selasa (30/4/2024).

SETELAH booming AI generatif pada akhir 2022, kecerdasan buatan mengemuka sebagai tren baru di dunia teknologi yang marak dikembangkan oleh berbagai perusahaan.

Proyeksi dari firma riset MarketsandMarkets, misalnya, menyebutkan bahwa pendapatan dari AI secara global bakal mencapai 1.345 miliar dollar AS pada 2030, dengan tingkat pertumbuhan per tahun (CAGR) 36,8 persen antara 2023-2030.

Microsoft saat ini merupakan salah satu pemain besar di ranah AI yang getol mendorong riset kecerdasan buatan serta memasarkan aneka layanan berbasis AI generatif.

Dalam laporan keuangan terbarunya yang dirilis pada akhir April 2024, Microsoft mengatakan pendapatan dari produk server dan cloud service seperti Azure meningkat 31 persen pada kuartal yang berakhir pada 31 Maret 2024, dibanding periode yang sama tahun lalu.

Lebih dari seperlima angka pertumbuhan tersebut disumbang oleh layanan-layanan generative AI, termasuk dari OpenAI yang menjadi rekanan Microsoft dalam hal ini.

Microsoft memang berinvestasi di OpenAI, dimulai dengan penanaman modal sebesar 1 miliar dollar AS pada 2019, yang antara lain digunakan untuk pengembangan teknologi Azure AI supercomputing.

Berberapa tahun setelahnya, pada 2023, Microsoft mengumumkan fase ketiga dari kemitraan jangka panjang dengan OpenAI lewat investasi lanjutan seniai 10 miliar dollar AS.

Microsoft mengintegrasikan produk OpenAI seperti GPT dan DALL-E ke layanannya, termasuk GitHub Copilot yang mampu menulis kode program laiknya developer software secara otomatis.

Di tahun yang sama, Microsoft mengumumkan ketersediaan layanan OpenAI melalui cloud service Azure.

AI Microsoft di Indonesia

Layanan-layanan AI Microsoft sudah mulai digunakan oleh sejumlah perusahaan dan organisasi di Indonesia. Salah satunya adalah eFishery, perusahaan startup digital yang bergerak di bidang akuakultur atau perikanan. 

Efishery mengembangkan tool AI generatif bernama "Mas Ahya" menggunakan Azure OpenAI Service.

Mas Ahya, aplikasi yang namanya adalah kependekan dari "ahli budidaya" dan diakses melalui aplikasi mobile ini memungkinkan para petani ikan rekanan eFishery untuk bertanya mengenai berbagai hal terkait usaha mereka.

Tujuannya, membantu mengatasi masalah yang dihadapi sehingga meningkatkan hasil yang didapat.

Mas Ahya mampu menganalisis kondisi kolam—termasuk kualitas air dan pemberian pakan ikan—lewat perangkat IoT khusus yang diletakkan di lokasi. Alat yang terhubung ke internet tersebut mengirimkan data ke server eFishery, untuk kemudian ditelaah oleh Mas Ahya.

Lalu ada PT Kereta Api Indonesia (Persero). Perusahaan ini memanfaatkan layanan lain dari Microsoft, yakni Azure Cognitive Service bersama Azure OpenAI Service, untuk membuat asisten virtual dengan karakter avatar bernama Nilam. Bentuknya berupa perangkat TV digital yang menampilkan sosok avatar tersebut.

Pengunjung dapat berinteraksi dengan asisten virtual yang sudah ditempatkan di sejumlah stasiun KA ini lewat suara ataupun teks untuk bertanya mengenai hal-hal seperti jadwal kereta api atau ketersediaan tiket.

Dengan kapabilitas multi-bahasa, Nilam mampu memahami Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa mandarin, serta bahasa daerah seperti Bahasa Jawa dan Sunda.

Copilot di Windows

Di samping ranah enterprise, Microsoft turut mendorong pengembangan AI untuk konsumen atau pengguna umum lewat fitur-fitur berbasis kecerdasan buatan di rangkaian produk perangkat lunaknya, seperti sistem operasi Windows yang kini hadir dengan asisten AI Copilot.

Copilot adalah program asisten pribadi berbasis AI generatif (large language model, LLM) GPT-4 di sistem operasi Windows. Bentuknya berupa antarmuka chatbot yang bisa dipanggil di OS Windows 11 dan Windows 10 dengan menekan kombinasi tombol "Windows key + C" atau tombol khusus Copilot di produk komputer keluaran terbaru.

Copilot yang pertama kali diluncurkan pada awal 2023 memang tersedia sebagai fitur preview di kedua sistem operasi tersebut. Selain itu, Copilot juga turut hadir sebagai aplikasi Android yang bisa diunduh dari Google Play Store, serta aplikasi iOS yang dapat diperoleh dari App Store.

Asisten pintar ini dapat melakukan berbagai macam hal yang bisa diperintahkan oleh pengguna menggunakan bahasa sehari-hari, mulai dari merangkum poin-poin penting di artikel panjang (termasuk di link website) hingga membuat gambar sesuai dengan instruksi alias prompt.

Di luar Copilot, kemampuan AI ikut dibenamkan di elemen-elemen lain dari sistem operasi Windows, misalnya fitur Image Creator dan Background Removal di aplikasi Paint, serta tool editing video berbasis kecerdasan buatan di Clipchamp.

Masa depan PC adalah AI

Ke depan, AI bakal menyebar lebih luas ke berbagai aspek. Adopsinya akan dipercepat oleh perangkat-perangkat anyar.

Microsoft berharap AI yang dijalankan langsung di komputer bakal kembali menggairahkan industri PC.

Di ranah PC misalnya, dalam konferensi developer Build yang dilangsungkan pada 20 Mei 2024 di Amerika Serikat, Microsoft memperkenalkan kategori produk baru bernama "PC Copilot+" yang dibekali hardware khusus agar optimal menjalankan fungsi-fungsi berbasis kecerdasan buatan.

Hardware dimaksud adalah prosesor Neural Processing Unit yang terintegrasi di prosesor utama (system-on-chip, SoC) dengan kinerja pengolahan AI yang diklaim 20 kali lebih tinggi dibandingkan PC tradisional.

Dengan hardware yang memiliki kinerja tinggi dalam  menjalankan AI secara lokal di perangkat itu, fitur-fitur AI yang lebih kompleks dan canggih bisa dihadirkan.

Salah satu contohnya yang turut diumumkan oleh Microsoft dalam kesempatan yang sama adalah Recall. Fitur Windows yang satu ini memungkinkan pengguna merekam jejak semua aktivitasnya di komputer, dari browsing hingga voice chat, untuk ditelusuri di kemudian hari. Namun, saat ini Recall baru akan hadir sebagai pilihan (optional atau opt-in).

Microsoft berharap AI yang dijalankan langsung di komputer bakal kembali menggairahkan industri PC. Firma riset pasar Canalys agaknya sependapat dan memperkirakan sebanyak 48 juta unit PC dengan kapabilitas AI akan dikapalkan pada 2024.

Angka tersebut mewakili 18 persen dari total shipment PC, tapi baru menggambarkan awal transisi saja karena PC dengan AI diproyeksikan makin mengemuka di tahun-tahun berikutnya.

Menurut estimasi Canalys, pada 2025 angka pengiriman PC berkapabilitas AI akan naik menjadi 100 juta unit, atau mencakup 40 persen dari keseluruhan. Kemudian, pada 2028, jumlah pengapalan PC diperkirakan mencapai 205 juta unit dengan tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR) 44 persen antara 2024 hingga 2028.
 

 thumb

 

AI, COPILOT,
DAN MASA DEPAN

CEO Microsoft, Satya Nadella, berbicara di forum Microsoft Build: AI Day, di Jakarta, Indonesia, Selasa (30/4/2024).
DOK MICROSOFT
CEO Microsoft, Satya Nadella, berbicara di forum Microsoft Build: AI Day, di Jakarta, Indonesia, Selasa (30/4/2024).

CHIEF Technology Officer Dana Norman Sasono dengan antusias menjelaskan teknologi Github Copilot yang sudah mulai digunakan oleh perusahaan penyedia layanan dompet digital tersebut sejak awal 2024. 

Github Copilot merupakan tool developer software berbasis AI generatif yang mampu menyusun baris kode, hanya dengan diperintah menggunakan bahasa sehari-hari lewat prompt. Mirip dengan ChatGPT, tapi khusus untuk pengembangan perangkat lunak.

Berbeda dengan Copilot yang ada di Windows dan PC—jamak disebut sebagai Microsoft Copilot—, GitHub Copilot adalah asisten virtual yang dikembangkan Microsoft bekerja sama dengan OpenAI dan GitHub untuk menyederhanakan aktivitas pemrograman dan pengembangan sembarang program atau perangkat lunak (software).

Kemampuan Github Copilot ini, menurut Norman, mempermudah kerja developer software karena tak perlu repot-repot coding dari awal.

"Saya bisa minta tolong Github Copilot untuk membuat fungsi 'A' misalnya. Dia akan generate code-nya, kemudian saya bisa review dan copy-paste langsung (setelah melakukan beberapa penyesuaian)," ujar Norman kepada Kompas.com di sela acara Microsoft Build: AI Day di Jakarta. 

CTO Dana Norman Sasono (kanan) sedang menerangkan penggunaan AI, khususnya Github Copilot, dalam aplikasi perusahaannya, Selasa (30/4/2024).
KOMPAS.com/MIFTAHUL RIZKY
CTO Dana Norman Sasono (kanan) sedang menerangkan penggunaan AI, khususnya Github Copilot, dalam aplikasi perusahaannya, Selasa (30/4/2024).

Tool berbasis AI ini juga mampu menganalisa codebase, termasuk yang berukuran besar hingga ratusan bahkan ribuan baris kode, untuk memberikan ringkasan berisi penjelasan fungsi codebase.

Dengan keberadaannya, developer bisa lebih fokus ke hal-hal lain, misalnya yang membutuhkan kreativitas, sementara tugas yang bersifat mendasar bisa diserahkan ke GitHub Copilot.

Solusi Microsoft menghadirkan Copilot ini disertai pula dengan sejumlah jaminan pengaman. Jaminan pertama, data Anda adalah milik Anda.

Lalu, Microsoft menjamin data konsumen tidak akan digunakan untuk pengujian dan pelatihan AI apa pun. Data konsumen dijanjikan pula akan terproteksi di setiap langkah. 

Bicara data, Microsoft juga mengembangkan layanan berbasis AI untuk mengintegrasikan beragam basis data dalam aneka format untuk diunifikasi. Layanan ini dinamai Microsoft Fabric.

The Copilot Stack - (DOK MICROSOFT)

AI adalah ancaman?

Di sisi lain, kemampuan AI generatif yang kini sudah menyentuh bidang pengembangan perangkat lunak menimbulkan kekhawatiran di kalangan developer software. Alasannya tak lain karena AI sudah bisa mengambil alih sebagian pekerjaan mereka.

Sebuah survei yang melibatkan ribuan developer software misalnya, menyebutkan bahwa sembilan dari 10 responden belakangan merasa kesulitan mencari pekerjaan. Bahkan sempat muncul juga prediksi bahwa lima tahun lagi tak akan ada lagi programmer (manusia). 

Namun, benarkah AI memberikan ancaman dalam hal ini?

Presiden Direktur Microsoft Indonesia Dharma Simorangkir mengatakan bahwa AI sebenarnya tidak menghilangkan pekerjaan, tapi menggeser paradigma lama dengan menghadirkan kemampuan baru yang justru bisa membantu pekerja manusia di berbagai bidang.

Dia mencontohkan skenario penerapan AI di bidang edukasi, di dalam ruang kelas. Menurut Dharma, AI bisa membantu guru menganalisa masing-masing murid sehingga materi ajar bisa disesuaikan dengan kemampuan tiap anak.

"Kami rasa justru pergeseran (yang ditimbulkan oleh AI) itu akan memberikan waktu yang lebih banyak untuk masing-masing role dalam menelurkan inovasi-inovasi yang baru," ujar Dharma dalam perbincangan dengan Kompas.com, pada medio Maret 2024.

Hal yang mirip sudah mulai dilakukan oleh Universitas Terbuka (UT) di Indonesia, dengan menerapkan penilaian esai mahasiswa secara otomatis oleh AI berbasis GPT-4.

Bukannya menggantikan peran pengajar, AI alih-alih membantu meringankan pekerjaannya dan keputusan akhir tetap berada di tangan dosen.

Tim dari Universitas Terbuka (UT), Dian NS (tengah) dan Dimar Hanung Prakoso (kanan), tengah memaparkan penggunaan AI di kampus mereka untuk penilaian esai tugas mahasiswa. Gambar diambil pada Selasa (30/4/2024).
KOMPAS.com/MIFTAHUL RIZKY
Tim dari Universitas Terbuka (UT), Dian NS (tengah) dan Dimar Hanung Prakoso (kanan), tengah memaparkan penggunaan AI di kampus mereka untuk penilaian esai tugas mahasiswa. Gambar diambil pada Selasa (30/4/2024).

Mendisrupsi, tapi juga membuka peluang

Seperti disrupsi-disrupsi teknologi lain yang muncul sebelumnya, seperti mesin uap di revolusi industri, kemunculan komputer, perkembangan peranti telekomunikasi, hingga kehadiran jaringan internet, AI tak dimungkiri akan menghilangkan profesi-profesi lama yang sudah tidak relevan lagi.

Di sisi lain, booming AI juga memunculkan aneka macam profesi baru yang sebelumnya belum pernah ada.

Ini laiknya developer web yang baru hadir ketika internet mulai banyak diadopsi, atau bahkan seperti peralihan dari penggunaan mesin ketik ke komputer saat personal computer (PC) dipasarkan tak hanya ke perkantoran tetapi juga sampai ke rumah-rumah warga.

The World Economic Forum memprediksi bahwa AI akan mendisrupsi 85 juta pekerjaan secara global pada kurun 2020 hingga 2025, tapi di saat bersamaan juga menciptakan 97 juta peluang pekerjaan baru.

Walhasil, pekerja dan pelaku industri mesti menyesuaikan diri dengan gelombang perubahan yang dibawa  oleh AI.

Survei Microsoft bersama LinkedIn terhadap 3.100 orang di 31 negara pada medio Mei 2024 mendapati sejumlah penyesuaian tampak telah mulai terjadi seturut gelombang perubahan yang dibawa oleh AI ini, termasuk di Indonesia. 

Work Trend Index 2024

Di antara fakta menarik dari Work Trend Index 2024, tren penggunaan AI di kalangan pekerja sudah menggeliat, bahkan saat perusahaan atau organisasi tidak menyediakan fasilitas memadai untuk itu.

Secara global, termasuk di Indonesia, ada kecenderungan pekerja untuk membekali diri sendiri dengan kemampuan AI tanpa tergantung fasilitas perusahaan atau organisasi. Istilahnya Bring Your Own AI (BYOAI).

Di tataran global angkanya mencapai 78 persen responden, sementara di Indonesia pelaku BYOAI ada di kisaran 76 persen responden. 

Work Trend Index 2024

Dari sisi perusahaan atau organisasi, para pengambil keputusan terkait perekrutan juga mulai punya kecenderungan untuk merekrut pekerja dengan kemampuan AI meski minim pengalaman kerja dibanding mereka yang berpengalaman tetapi tidak memiliki kemampuan AI.

Di Indonesia, angkanya mencapai 76 persen responden menyatakan hal demikian, bahkan 69 persen responden spesifik menyatakan mereka tak akan merekrut pekerja tanpa kemampuan AI. 

Selain soal perekrutan, 92 persen pemimpin perusahaan atau organisasi di Indonesia yang menjadi responden survei ini pun menyatakan bahwa penggunaan AI adalah keharusan dalam bisnis. Angka ini lebih tinggi dibanding 79 persen responden secara global dan 84 persen di Asia Pasifik.

Meskipun, 48 persen dari pemimpin ini juga khawatir perusahaan atau organisasinya belum punya rencana dan visi untuk menerapkan AI. Namun, angka tersebut masih lebih rendah dibanding 60 persen responden secara global dan 61 persen di Asia Pasifik. 

Bagi pekerja dan pencari kerja yang menjadi responden Work Trend Index 2024, kemampuan AI karenanya juga diyakini memperluas peluang mendapatkan kerja dan atau kenaikan jenjang karier di perusahaan. 

"AI Skilling" oleh Microsoft

Skill baru untuk pekerja di era AI turut menjadi perhatian Microsoft, tak terkecuali di Indonesia. Sejumlah upaya dilakukan.

Di Indonesia,  Microsoft menggandeng Prakerja untuk meluncurkan program Talenta AI Indonesia dengan target menelurkan 100.000 talenta muda berketerampilan AI.

Mengenai pentingnya pendidikan AI, Presiden Direktur Microsoft Indonesia Dharma Simorangkir mengutip studi Access Partnership yang mengatakan bahwa penggunaan generative AI untuk melengkapi aktivitas kerja berpotensi membuka kapasitas produksi sebesar 243,5 miliar dollar AS di Indonesia, atau hampir  seperlima pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2022.

CEO Microsoft, Satya Nadella, mengumumkan investasi senilai 1,7 miliar dollar AS (setara sekitar Rp 27 triliun), dalam acara Microsoft Build: AI Day yang digelar di Jakarta, Selasa (30/4/2024).
DOK MICROSOFT
CEO Microsoft, Satya Nadella, mengumumkan investasi senilai 1,7 miliar dollar AS (setara sekitar Rp 27 triliun), dalam acara Microsoft Build: AI Day yang digelar di Jakarta, Selasa (30/4/2024).

Dalam pidato kunci saat membuka Microsoft Build: AI Day di Jakarta, CEO Microsoft Satya Nadella mengumumkan komitmen Microsoft memberikan pelatihan kemampuan pemanfaatan kecerdasan buatan atau AI skilling untuk 840.000 orang di Indonesia pada 2025.

Komitmen tersebut merupakan bagian dari investasi baru Microsoft di Indonesia senilai 1,7 miliar dollar AS (setara sekitar Rp 27 triliun) yang turut digunakan untuk membangun infrastruktur AI. Secara regional di Asia Tenggara, Microsoft menargetkan pelatihan AI skilling untuk 2,5 juta orang.

"Misi kami saat Ini adalah memberdayakan sebanyak-banyaknya orang dan organisasi di Indonesia untuk memanfaatkan gelombang AI yang kini tengah naik daun," ujar Nadella dalam kesempatan itu. 

AI mampu membuat berbagai organisasi menjadi lebih efisien dan produktif.

Ketika bertemu khusus dengan Kompas.com, Nadella menekankan pentingnya pemanfaatan AI oleh negara-negara di seluruh dunia karena teknologi itu berpotensi ikut mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dia mencontohkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5 persen pada kuartal-I 2024. Bukan tidak mungkin, kata dia, angka pertumbuhan ini bisa dipacu hingga satu digit besar atau bahkan dua digit dengan pemanfaatan AI.

Alasannya, sebut Nadella, antara lain karena AI mampu membuat berbagai organisasi menjadi lebih efisien dan produktif. Sifatnya pun lintas sektoral, tidak hanya menguntungkan salah satu sektor saja. 

"Bagi saya, itu adalah peluang terbesar. Negara-negara yang menerima masukan baru dan menciptakan nilai tambah baru (dari pemanfaatan AI) adalah negara-negara yang akan maju. Indonesia punya peluang bagus dalam hal ini," ujar Nadella dalam wawancara khusus dengan Kompas.com.  

Sampai mana ujungnya?

Pengembangan AI generatif saat ini maju dengan sangat pesat. Berbagai kegunaan baru bermunculan dengan cepat sehingga menimbulkan satu pertanyaan, "Kira-kira seperti apa ujungnya?" 

Presiden Direktur Microsoft Indonesia Dharma Simorangkir tergelak ketika mendapat pertanyaan tersebut dari Kompas.com.

Nadella memandang AI sebagai copilot, sementara manusia tetap sebagai pilotnya.

Dia berterus terang belum bisa membayangkan sejauh apa pengembangan generative AI nantinya. Sebab, yang ada sekarang pun, dengan berbagai peluang baru yang telah dibuka, sebenarnya masih babak awal saja.

"Yang saya lihat, saya sangat senang karena setiap hari ada saja temuan baru, pengembangan-pengembangan baru, dan juga inovasi baru yang dibangun di atasnya. Jadi saya sangat menantikan inovasi-inovasi oleh teman-teman di Indonesia," ujarnya.

Ini senada dengan pernyataan CEO Microsoft Satya Nadella dalam wawancara eksklusif dengan Kompas.com, yang bahkan menegaskan bahwa saat ini barulah tahapan awal AI.

Menurut Nadella, masih teramat banyak kemampuan baru dari AI yang akan bermunculan setidaknya dalam waktu 10 tahun ke depan, baik dalam daya, skala, maupun kebaruan. 

"Anda akan melihat pertumbuhan eksponensial dari kemampuan AI, yang harapannya akan diterjemahkan menjadi tingkat pertumbuhan yang lebih besar dan berkelanjutan bagi pembangunan ekonomi," tegas Nadella.

Namun, satu hal yang terus ditekankan oleh Nadella, AI adalah asisten, atau—dalam bahasa Microsoft—copilot, sementara pilotnya tetap adalah manusia.

Walaupun, seperti juga yang tegas dinyatakan oleh Nadella, ini mensyaratkan kemampuan mengadopsi teknologi dan mengubah kebiasaan kerja agar paduan peran itu berjalan sebagaimana mestinya.

Siap menjadi pilot dan meraba masa depan bersama AI sebagai copilot?

  

 thumb